Menikah dengan Pribadi Borderline

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T253B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Dalam satu kata dapat disimpulkan pengalaman menikah dengan pribadi borderline: mustahil! Kenapa mustahil karena sifat-sifat dari pribadi borderline ini sangat menyusahkan. Bagaimana cara menolongnya?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Dalam satu kata dapat disimpulkan pengalaman menikah dengan pribadi borderline: mustahil! Kenapa mustahil adalah dikarenakan oleh beberapa penyebab :

  • Pernikahan mensyaratkan adanya keinginan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan satu sama lain. Masalah dengan orang yang berkepribadian borderline adalah ia sukar menyesuaikan diri. Baginya caranya adalah yang paling benar, jadi pasanganlah harus menyesuaikan diri. Pola pikirnya yang hitam-putih membuatnya sukar memahami persoalan dari sisi pasangan. Tidak bisa tidak, untuk mencegah timbulnya konflik, akhirnya pasangan memilih untuk mengalah. Masalahnya adalah, sikap ini makin membuatnya merajalela dengan kemauannya.
  • Emosi marahnya yang begitu kuat berdaya destruktif. Ia kerap main tangan, baik kepada pasangan dan anaknya. Pokoknya jika pasangan atau anak tidak melakukan yang dituntutnya, ia marah besar. Pada dasarnya ia sudah beranggapan bahwa orang selalu berusaha melawan dan menyusahkannya, itu sebabnya ia cepat marah tatkala melihat orang tidak melakukan apa yang dimintanya. Orang dengan kepribadian borderline adalah kandidat pelaku penganiayaan pasangan dan anak.
  • Oleh karena ia takut ditinggalkan, ia kerap berprinsip, sebelum ditinggalkan, lebih baik meninggalkan pasangan terlebih dahulu. Daya juangnya untuk menyelesaikan masalah rendah; itu sebabnya ia cepat menyerah dan mengeluarkan ancaman untuk bercerai. Ketakutannya untuk ditinggalkan juga membuatnya cepat cemburu dan posesif. Ia akan berusaha mengendalikan pasangan sedemikian rupa sehingga pasangan tidak mungkin meninggalkannya.
  • Pernikahan dengan penderita borderline sama dengan hidup dalam hukum dan peraturan. Semua harus sesuai aturan yang dibuatnya; baik pasangan maupun anak tidak boleh melanggarnya. Tuntutan demi tuntutan membuat pasangan dan anak letih, apalagi jika tidak disertai kasih dan kehangatan. Akhirnya ia akan dijauhi dan ini membuatnya bertambah marah dan makin memaksakan kehendak.
  • Namun dampak terburuk hidup dengan penderita borderline adalah akibat yang ditimbulkannya pada anak. Pada akhirnya ia merusak jiwa anak lewat tuntutannya, kemarahannya, penghinaannya, dan kehampaan kasih. Malangnya, anak yang menderita ditangan orangtua yang seperti ini berkemungkinan besar mengikuti jejak orangtuanya. Maka dimulailah sebuah siklus destruktif.

Kesimpulan :
Hidup dengan penderita borderline memang amat sulit; hanya pertobatan rohanilah yang sanggup mengubahnya. Firman Tuhan berkata, "Hari orang berkesusahan buruk semuanya, tetapi orang gembira, hatinya selalu berpesta." (Amsal 15:15) Orang dengan kepribadian borderline sesungguhnya adalah orang yang berkesusahan. Itu sebabnya hari-harinya semua buruk. Ia harus mencari pertolongan namun untuk itu diperlukan kerendahan hati. Datanglah dan akuilah bahwa memang, saya bermasalah. Tuhan tengah menunggu untuk menolong.

Comments

Againts all odds....saya sudah menikah dengan seseorang dengan gejala borderline (walau masih produktif) selama 5 tahun. Selama itu konflik banyak mewarnai hidup keluarga kami, dan sampai saat ini saya masih menunda memiliki anak karena adanya masalah borderline. Yang cukup saya sesali adalah banyak menipulasi-manipulasi yang saya harus lakukan demi kepentingan saya sendiri, akrena kurang terakomodasinya kepentingan saya hanya utuk istri saya saja. Saya cukup familiar dengan berbagai macam litratur mengenai Borederline, tetapi walaupun demikian masih ada tanda tanya di dalam hati saya yaitu: 1. mengingat susahnya hidup bersama dengan pribadi borderline apakah ada solusi lain untuk mengatasinya selain solusi non biblical yaitu cerai??? karena againts all odd...saya hingga hari ini masih yakin ada pemulihan... 2. Kondisi istri yang borderline tidak diketahui olehnya, karena walau saya sering ajak dia ke psikiaterm dia selalu marah-marah, adakah referensi atau rujukan, semacam forum atau kelompok orang-orang yang disebut sebagai non-borderline (hidup dengan borderline), dimana saya dapat share atau saling support? Di Indonesia saja.. Atas bantuannya saya berterima kasih.

kembali menindaklanjuti dalam menghadapi orang yang menderita broderline tanpa disadari....Apa perlu dilibatkan psikiater???

Pak Atma, Sesungguhnya yang Bapak butuhkan hanyalah tempat untuk menuangkan kekesalan hati dan penguatan untuk terus bertahan. Jadi, sebenarnya Pak Atma tidak mesti menemui seorang psikolog atau psikiater. Jika ada teman atau hamba Tuhan yang bersedia mendengarkan dan memberi dorongan atau hamba Tuhan, saya kira itu sudah cukup. Nah, kebetulan di Semarang ada seorang hamba Tuhan yang mendalami bidang konseling yang dapat menolong Bapak. Namanya Ibu Lortha. Silakan Bapak hubungi beliau sehingga secara berkala Bapak dapat menemuinya untuk menerima masukan sekaligus dikuatkan lewat doa. Alamat email Ibu Lortha, lorthamahanani@gmail.com atau HP.081390837363 Sedikit masukan buat Bapak, sedapatnya Bapak bertahan dan tidak undur bila istri ngambek. Terpenting adalah Bapak melakukannya dengan kasih dan tidak kasar. Dan, selalu beri kepadanya penjelasan alasan Bapak melakukan apa yang Bapak lakukan. Selalu akhiri penjelasan dengan kata-kata menyejukkan bahwa Bapak mengasihinya dan melakukan semua ini demi kepentingan bersama. Kata-kata seperti ini penting didengarnya. OK Pak Atma, mudah-mudahan masukan ini dapat membantu. Paul

Benar jika pengidap borderline tidak perlu kepsikiater, apalagi harus ruqiah( bilamuslim ). Pak pdt Paul yg terhormat, saya tergugah dengan artikel anda, mangenai borderline, adalah semacam penyakit hati seseorang dan juga mengancam sekitarnya, memang benar jika pengidap borderline mustahil bisa berumah tangga, karena hobinya menyakiti dan menguji, tapi ini sungguh terjadi dlm kehidupan saya, saya lahir dari seorang ibu pengidap borderline, secara sy baru tahu istilah penyakit itu dlm 3 thun blakang ini, ayah sy meninggal saat sy bayi, smentara sy di asuh oleh oranglain, lalu ibu menikah lg saat sy umur dua thun, kmi hidup bersama dngan ayah baru startnya dari umur 2 th smpai umur 25, betapa sulit dan pedihnya hidup dngan seorang borderline, hidup sy penuh dgn airmata, tak ad cinta kasih dari ibu, ayah aplg, dia cenderung membiarkan sikap ibu, saya banyak mengalami pelecehan, dn prnganiyaan, saya mengalami trauma yang mendalam, hampir putus asa, karena selalu di tuntut, tak ada yang mendukung, terlalu panjang penderitaan yang saya alami, pernikahan ibu dan ayah tiri bertahan sktar 21 thn, dan itu tidak mengubah sikap ibusaya sama sekali, malah semakin menjadi2, tekanan yg terjadi selama 21 thn telah mengubah kejidupan sosial dan pribadi ayah tiri sy, ia banyak kehilangan teman2 dn relasinya, skrang ia menjadi pemalas dn pecandu narkoba, saat saya berusia 20 thn adl masa perenggangan rmahtangga orangtua sy, yg kemudian memaksa sy untuk menjadi kepala keluarga, bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga, ibu dan adik2 ada 3 orng, tetapi kebiasaan ibu yg selalu menuntut dan selalu salah membuat kmi dlm suatu konflik, hingga sy diusir dan saya membuat keputusan untuk hidup memisahkan diri dari kehidupan ibu sy yg kelam, kemudian saya menikah. Pada intinya pengidap borderline adl orang yang tidak bisa berdamai pada masa lalu, atau menyimpan kepahitan, saya berusaha membantu memulihkan ibu sy, tetapi ini adl penyakit hati, yg hanya membutuhkan kesadaran atas egonya, atau pengakuan atas kelemahannya, agar ia bisa sembuh total, sayang sekali ibu sy bukan kristen, prnah sy ajak ikut kkr, ibu sy buru2 pulang marah2, hehehe, pastinya pengidap borderline adl orang yg paling sulit hidup berdampingan, ia cenderung menjauh dari kelurganya (misal : orangtua & saudara2nya) kalaupun menikah ia akan menyakiti pasangan, kalaupun punya anak ia sangat possesif dan arogan, saran saya sebelum menyesal lebih baik jangan menikah dengan seorang yg terindikasi borderline, karena sangat merugikan secara materi dan mental, saya tidak menyesali lahir dari ibu seorang borderline, karena ini adl takdir, masakecil yang suram dan masa remaja yang dirampas membuat saya terpuruk, tetapi saya mampu bangkit, dengan memaafkan dan melupakan yang sudah terjadi, saya memilih hidup berlainan bukan berarti tidak sayang ibu, melainkan sy tidak sanggup berdampingan dngannya, walaupun dalam hati kecil saya, saya sangat merindukan sentuhan kasih sayang dari ibu, sy skrng hnya dpt mendoakan agar suatu saat ibu sy mendapat jamahan dari Tuhan agar dpt melembutkan hatinya, benar jika waktu tidak dapat kembali, tetapi sisa waktu bisa di perbaiki, salam, Tuhan Yesus memberkati.

Ibu Yuli, maaf atas keterlambatan kami membalas surat ibu. Terima kasih untuk keterbukaan ibu berbagi cerita dan derita dengan kami. Sungguh tidak mudah hidup dengan penderita borderline.  Pilihan kita hanya satu bila tetap ingin hidup bersamanya : mengikuti kehendaknya. Jika kita tidak mengikuti kehendaknya, ia akan membuat hidup sengsara.  Kami senang dan bersyukur kepada Tuhan atas pertolongan dan kasih karunia-Nya kepada Ibu.   Ia telah mengangkat ibu dari lumpur dan menempatkan ibu di tanah yang tinggi !  Puji Tuhan ! Semoga Tuhan terus menyertai ibu dan biarlah Tuhan menjamah dan memulihkan orang tua ibu.

Salam:  Paul Gunadi