Anak dan Kemarahan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T260A
Nara Sumber: 
Pdt.Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu emosi yang kerap menjadi masalah dalam hidup adalah kemarahan. Alangkah baiknya kalau kemarahan itu dapat diatur mulai anak berusia dini dan ini adalah tugas dari orangtua untuk mendidik anak mengatur kemarahannya dan tugas orangtua pula mengajarkan bagaimana caranya agar kemarahan itu tidak terjadi?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Salah satu emosi yang kerap menjadi masalah dalam hidup adalah kemarahan. Adalah tugas orangtua untuk mendidik anak mengatasi kemarahannya supaya pada akhirnya anak dapat nyaman sekaligus tahu bagaimana mengatur kemarahannya. Terkait dengan kemarahan, pada dasarnya ada dua respons yang umumnya terbentuk:

  • Mengatasinya sebagai bagian dari masalah pribadinya
  • Membuat orang lain mengatasi kemarahannya.

Singkat kata, respons pertama adalah respons yang menandakan tanggung jawab pribadi sedangkan respons kedua adalah respons yang lari dari tanggung jawab pribadi dan malah melimpahkan tanggung jawab ini kepada orang lain. Sudah tentu tugas kita sebagai orangtua adalah mendidik anak agar bertanggung jawab penuh atas kemarahannya sehingga ia dapat belajar mengaturnya dengan efektif.

Untuk dapat mengatur kemarahan, kita perlu mengetahui faktor apa sajakah yang mempengaruhinya:
  • Latar belakang keluarga yang buruk di mana tidak tersedia panutan yang sehat sehingga pada akhirnya anak belajar mengekspresikan kemarahan secara tidak sehat pula.
  • Tingkat energi yang tinggi yang membuat anak sukar mengatasi gejolak kemarahannya dan cenderung melampiaskannya secara fisik dan langsung.
  • Tingkat kepekaan yang tinggi yang membuat anak mudah terganggu, tersinggung, dan marah.
  • Cara pandang yang berorientasi detail yang membuat anak melihat segalanya dengan begitu jelas. Tidak bisa tidak, makin banyak melihat, makin terbuka kemungkinan ia melihat hal-hal yang tidak disukainya.
  • Ego yang kuat alias keras kepala yang membuat karakter anak cenderung tegas dan kasar.
Cara untuk mengatasinya:
  • Sudah tentu target kita bukanlah melarang anak untuk marah namun mendidiknya agar ia tahu mengapa, kapan, dan bagaimanakah seharusnya ia marah. Singkat kata, kita tidak memintanya untuk melenyapkan kemarahan dari hidupnya melainkan mengaturnya dengan efektif.
  • Mendidik anak untuk mengembangkan kesabaran yang pada dasarnya adalah kemampuan untuk tinggal diam bersama ketidaknyamanan. Jadi, makin lama kita dapat "duduk" bersama ketidaknyamanan, makin tinggi tingkat kesabaran.
  • Mendidik anak untuk belajar menyangkal diri. Dengan kata lain, meski ia layak mendapatkannya, namun secara berkala kita memintanya untuk tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.
  • Mendidik anak untuk menerima dan hidup dengan kenyataan bahwa dalam dunia ini tidak ada yang sempurna. Semua ada kecacatannya. Jadi, ada waktunya bagi anak untuk "melupakannya" dan tidak mempermasalahkan hal yang mengganggunya.
  • Mendidik anak untuk mengampuni. Mengampuni bukanlah melupakan; mengampuni justru menuntut kita untuk melihat dengan jelas apa yang telah terjadi namun pada akhirnya memutuskan untuk tidak membalas dan memilih untuk tetap menjalin relasi. Firman Tuhan berkata,"Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain dan ampunilah seorang akan yang lain . . . sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu . . . . " (Kolose 3:13)
  • Pada akhirnya di atas segalanya kita mesti mendidik anak untuk mengasihi. Tuhan memanggil kita untuk mengasihi, "Dan di atas semuanya itu kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." (Kolose 3:14)