Sabat dan Kesehatan Jiwa

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T283A
Nara Sumber: 
Pdt.Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Ada banyak alasan mengapa tidak selalu kita berhasil menjalankan hidup yang memancarkan Kristus. Salah satunya adalah karena tidak selalu kita berhasil menjalankan kehidupan yang berimbang. Sabat adalah hari di mana Tuhan memerintahkan kita untuk berhenti bekerja dan mengingat Tuhan. Sewaktu berhenti bekerja dan mengingat Tuhan, kita pun diajak untuk menjalani sebuah kehidupan yang sehat. Sabat yang bagaimana yang membuat jiwa kita sehat?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

"Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan . . . . Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya."

Keluaran 20:8-11

Makna Sabat

Istilah Sabat pada dasarnya berarti, "berhenti." Tuhan memerintahkan umat-Nya untuk berhenti bekerja selama sehari setelah bekerja selama enam hari. Di Kitab Kejadian 2:2-3 dapat kita baca bahwa pada hari ketujuh Tuhan "berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya." Dari makna "berhenti" muncullah istilah "istirahat" sebab memang berhenti bekerja identik dengan istirahat. Hari di mana Tuhan berhenti bekerja atau "beristirahat" dipanggil, Sabat.

Tujuan Sabat

  1. Hidup dalam keseimbangan.
    Kita mafhum bahwa Tuhan tidak memerlukan istirahat. Tuhan berhenti bekerja bukan karena Ia butuh beristirahat melainkan karena Ia ingin menggariskan sebuah pola hidup bagi kita yaitu sebuah pola yang terdiri dari bekerja DAN beristirahat. Agar dapat hidup kita mesti bekerja, bukan beristirahat. Namun, agar kita dapat hidup sehat, kita mesti beristirahat. Istirahat dibutuhkan sebab tubuh kita tidak imun terhadap kelapukan dan kerusakan. Bekerja tanpa beristirahat akan berakhir dengan kerusakan-secara fisik, mental, dan rohani. Sebagaimana kita ketahui ada begitu banyak kecelakan terjadi-baik di darat, di laut, maupun di udara-yang disebabkan oleh keletihan. Sewaktu kita kurang beristirahat kita tidak lagi berfungsi dengan optimal dan pertimbangan kita pun terganggu.
  2. Hidup dalam keterbatasan.
    Sewaktu kita menjadwalkan diri untuk menikmati Sabat, kita diingatkan akan kelemahan kita. Adakalanya kita tidak menyadari betapa letihnya kita sampai kita berhenti bekerja dan beristirahat. Kadang kita begitu tenggelam dalam pekerjaan sehingga mulai mengabaikan tanda peringatan yang dikeluarkan tubuh dan jiwa. Sering kali kita lupa keterbatasan sampai kita berhenti bekerja. Di saat berhenti itulah baru kita merasakan keletihan sampai-sampai kita tidak sanggup melakukan apa-apa lagi. Di saat itulah kita diingatkan betapa lemahnya kita dan di saat itu pulalah kita mengingat Tuhan-Allah perkasa yang dapat memberi kita kekuatan.

Kesimpulan

  • Gaya hidup Sabat melahirkan KEHIDUPAN YANG BERIMBANG dan hanya kehidupan berimbang yang dapat melahirkan KEHIDUPAN YANG BERNILAI. Pada akhirnya hanyalah kehidupan bernilai yang dapat melahirkan BERKAT BERNILAI. Sewaktu ditanya seseorang apa kiatnya sehingga ia dapat menulis begitu banyak buku yang memberi inspirasi kepada banyak orang, Scott Peck, penulis buku "The Road Less Travelled," bertutur bahwa setiap hari ia menyisihkan waktu tiga jam untuk tidak berbuat apa pun. Dengan kata lain, tiga jam sehari ia menjalankan Sabat. Dalam tiga jam yang tidak diambilnya secara serentak itu, biasanya ia menggunakan sebagian untuk bersaat teduh dan selebihnya hanya untuk berdiam diri dan merenung.
  • TUHAN TIDAK TERTARIK DENGAN JUMLAH. Jika Ia mementingkan jumlah atau kuantitas, sudah tentu Ia akan memilih 1200, bukan 12 murid. Tuhan tertarik pada KUALITAS HIDUP, bukan kuantitasnya. Bila kita senantiasa berkejaran dengan waktu pada akhirnya kita akan MENGHANCURKAN HIDUP SENDIRI DAN HIDUP ORANG LAIN. Sebaliknya, jika kita menyelaraskan hidup dan pelayanan sesuai dengan pola yang ditetapkan Tuhan, pada akhirnya kita akan melahirkan berkat yang jauh lebih bernilai dan bertahan lama.

Kesimpulannya satu:
Kita tidak mungkin memproduksi kualitas secara MASSAL. Kualitas mesti diukir satu per satu-mulai dari hidup kita sendiri. Bila kita sendiri tidak memiliki kualitas itu, jangan berharap kita akan dapat menularkannya pada orang lain.