Pasangan yang Tidak Konsisten secara Moral dan Emosional

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T526A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Perkataan dan perbuatannya tidak sepadan alias munafik. Kualitas pernikahan menjadi dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu respek dan kepercayaan. Yang mesti dilakukan adalah memberi peneguhan atas kejujurannya dan mengoreksi secara halus. Penerimaan penuh menyebabkan ia lebih berani menjadi dirinya dan tidak lagi bersembunyi di balik perkataan atau perbuatan yang tidak nyata.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kesembilan adalah pasangan yang tidak konsisten secara moral dan spiritual, dalam pengertian, perkataan dan perbuatannya tidak sepadan. Ia mengucapkan perkataan yang baik dan rohani tetapi perbuatannya tidak seperti itu. Ia terlibat di dalam pelayanan gerejawi namun kehidupannya tidak berbeda dengan orang dunia. Ia bisa memberi nasihat tetapi ia sendiri tidak melakukannya. Singkat kata, hidupnya tidak konsisten alias munafik.

Kemunafikan niscaya memengaruhi kualitas pernikahan setidaknya dalam dua hal berikut ini. Pertama, RESPEK. Begitu kita melihat bahwa pasangan hanya dapat berkata tetapi tidak berbuat, merosotlah respek kita kepadanya. Kita sukar menerima wejangan rohaninya sebab kita tahu, tidak selayaknyalah ia mengatakan hal-hal seperti itu. Pada akhirnya kita pun susah mendengar perkataannya yang berkenaan dengan hal-hal lain sebab kita berkesimpulan bahwa ia hanya dapat berbicara tetapi tidak sanggup melakukannya.

Sudah tentu dampak dari merosotnya respek itu dalam. Begitu respek tumbang, tumbang pulalah rem yang tadinya menahan kita untuk mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan sewaktu berselisih dengannya. Sekarang, semua kata keluar dengan bebas karena kita tidak lagi respek kepadanya. Hubungan dengannya lebih diwarnai oleh tuntutan agar ia membuktikan perkataannya terlebih dahulu, sebelum mengucapkannya atau sebelum ia meminta kita melakukan sesuatu. Singkat kata, di dalam hati kita berkata, "Lakukanlah dulu; jangan bisanya menuntut orang saja."

Kemunafikan juga memengaruhi kualitas pernikahan dalam hal KEPERCAYAAN. Begitu kita melihat bahwa perbuatannya tidak seperti perkataannya, hilangnya kepercayaan kita kepadanya. Apa pun yang diucapkannya, sekarang kita pertanyakan ketulusannya. Kita meragukannya sebab kita tidak lagi tahu apakah ia tengah berkata benar atau tidak, dan apakah yang dimaksudkannya itu benar-benar terkandung di dalam perkataannya. Juga, sewaktu kita melihat perbuatannya, kita langsung berpikir, apakah ia melakukannya secara tulus atau tidak.

Dan, tidak bisa tidak, kita pun mulai mempertanyakan cintanya dan niat baiknya kepada kita. Sewaktu ia menyatakan cinta, kita pun bertanya-tanya, apakah memang benar demikian. Dan, tatkala ia melakukan sesuatu yang baik, kita pun mempertanyakan apakah ada maksud lain yang terkandung di dalam perbuatan baik itu. Singkat kata, hilangnya kepercayaan melemahkan sendi pernikahan secara perlahan tetapi pasti. Akhirnya relasi pun mulai retak. Mungkin kita bertanya-tanya penyebab mengapa pasangan menjadi pribadi yang tidak konsisten baik secara moral maupun spiritual. Pada dasarnya ia adalah pribadi yang seperti itu; dengan kata lain, sebelum menikah pun, ia sudah seperti itu. Mungkin kita melihatnya tetapi tidak menganggap hal itu sebagai masalah yang serius atau kita tidak melihatnya.

Kemunafikan lahir dari adanya perbedaan antara diri apa adanya dan diri yang diharapkan. Mungkin kita diharapkan menjadi pribadi yang rohani tetapi sebenarnya kita tidak seperti itu. Nah, untuk menyenangkan hati orang, maka jadilah kita pribadi yang rohani—di hadapan orang. Kita mengucapkan perkataan yang rohani dan melakukan perbuatan yang rohani, padahal dalam hati, kita tidak seperti itu. Nah, begitu pola ini terbentuk, sukarlah kita keluar darinya. Kita takut penolakan orang dan kita pun tidak mau mengecewakan orang. Akhirnya kita terpenjara oleh pola yang tercipta; dan kita pun mulai hidup di dalam kebohongan.

Apakah yang mesti kita perbuat bila kita menikah dengan pribadi yang tidak konsisten secara moral dan spiritual? Pada dasarnya kita mesti memberi peneguhan atas kejujurannya. Kita melakukannya dengan cara, tidak menghiraukan perkataannya yang tidak konsisten atau tidak mencerminkan dirinya dan memberi penghargaan terhadap perkataan dan perbuatannya yang tulus serta mencerminkan siapa dirinya.

Jadi, jika kita tahu bahwa apa yang dikatakannya tidak benar atau tidak mencerminkan siapa dirinya, biarkan. Jangan memarahi atau mengkonfrontasinya. Sebaliknya, bila apa yang dikatakannya sesuai dengan siapa dirinya, sampaikan penghargaan kita kepadanya. Perlahan-lahan ia pun makin terdorong untuk menyelaraskan perkataan dan perbuatannya sebab ia tahu bahwa ia aman; kita tidak menyerang atau menolaknya.

Berikut, bila kita sedang bersama orang lain dan kita mendengarnya mengatakan sesuatu yang kita tahu ia sendiri tidak melakukannya, kita dapat mengoreksinya secara halus. Misalkan, ia berkata kepada anak-anak bahwa mereka mesti membaca Firman Tuhan setiap hari dan bahwa itulah yang selama ini dilakukannya. Nah, kita tahu bahwa itu tidak benar; ia tidak membaca Firman Tuhan setiap hari, bahkan ia hampir tidak pernah membaca Firman Tuhan. Kita dapat berkata kepada anak bahwa apa yang dimaksud oleh Ayah adalah bahwa ia berusaha membaca Firman Tuhan setiap hari sebab ia tahu betapa pentingnya membaca Firman Tuhan. Tetapi, Ayah tidak selalu berhasil melakukannya. Koreksi seperti ini tidak menjatuhkan martabatnya di depan anak tetapi koreksi seperti ini menyadarkannya bahwa ia tidak bebas berkata semaunya. Ia tahu bahwa ia mesti berkata benar dan konsisten, setidaknya di hadapan kita. Sewaktu ia mengalami penerimaan penuh dari kita walau ia tidak seperti yang diucapkannya, ia pun merasa aman. Ia akan lebih berani menjadi dirinya dan tidak lagi bersembunyi di balik perkataan atau perbuatan yang tidak riil.

Amsal 12:22 mengingatkan, "Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya." Banyak dosa keluar dari hidup yang tidak konsisten; kebohongan bukan saja melahirkan kebohongan, tetapi juga kejahatan. Itu sebab Tuhan tidak ingin kita hidup munafik; Ia tidak ingin kita mengembang-biakkan dosa.