Menyiapkan Anak Berpacaran

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T487A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Sebagai orangtua, kita mempunyai tugas menyiapkan anak untuk memilih pasangan hidup yang tepat baginya dan berkenan di mata Tuhan. Tugas ini tidak mudah. Oleh sebab itu perbincangan kali ini akan memberikan masukan bagi orangtua dalam menyiapkan anaknya berpacaran – dan kelak – menikah
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Salah satu tugas kita sebagai orangtua dalam membesarkan anak adalah mempersiapkan anak untuk menikah. Sudah tentu termaktub dalam tugas ini adalah memandunya untuk dapat memilih pasangan hidup yang sesuai baginya serta berkenan kepada Tuhan. Tidak bisa tidak, untuk bisa memilih pasangan hidup yang sesuai, anak mesti menjalani proses perkenalan atau masa berpacaran.

Berikut adalah beberapa masukan untuk menolong kita menyiapkan anak untuk menikah, secara khusus petunjuk tentang hal-hal yang terkait dengan berpacaran.

PERTAMA DAN TERUTAMA, kita mesti mendoakan anak agar Tuhan menyediakan pasangan hidup baginya yang sesuai. Kita harus mulai mendoakan anak sejak ia kecil, bukan pada saat ia dewasa dan masuk ke usia pernikahan. Kita mohon kepada Tuhan agar Tuhan menyiapkannya untuk menjadi seorang suami atau istri yang berkenan kepada Tuhan. Kita pun perlu berdoa agar Tuhan menghadirkan orang-orang yang sesuai dengan kehendak Tuhan ke dalam hidup anak. Dan, terakhir kita harus berdoa agar Tuhan mengaruniakan hikmat kepada anak untuk dapat melihat dan memilih pasangan secara jernih dalam takut akan Tuhan.

KEDUA Kita mesti menyiapkan anak untuk menikah melalui kehidupan pernikahan kita sendiri. Mungkin dari semua bekal berkeluarga yang dapat kita bagikan kepadanya, inilah bekal terpenting. Idealnya anak hidup dan menyaksikan pernikahan kita orangtuanya sebagai pernikahan yang kuat dan riil. Di dalam pernikahan yang sehat anak berkesempatan melihat cinta diwujudkan dan dibuktikan lewat pelbagai masalah kehidupan. Singkat kata, di dalam pernikahan seperti inilah anak belajar secara praktis bagaimana menjadi suami atau istri yang seturut dengan jalan Tuhan. Apa yang dilihatnya—bagaimana kita memperlakukan satu sama lain dan menghadapi sesuatu yang tak diharapkan—akan menjadi pedoman baginya.

KETIGA Di dalam memberi wejangan kepada anak, sedapatnya janganlah menggunakan orang lain sebagai contoh buruk. Sudah tentu saya tidak meminta Saudara untuk sama sekali tidak menceritakan contoh buruk kepada anak. Namun sedapatnya, janganlah lakukan itu terlalu sering. Alasannya adalah sikap menghakimi orang sering kali menjadi bumerang bagi kita sendiri. Bila anak melihat bahwa kita sendiri pun melakukan hal yang sama atau tidak lebih baik daripada orang yang kita ceritakan, anak akan menyimpulkan bahwa kita munafik atau setidaknya, buta terhadap kelemahan sendiri. Ini bumerang pertama. Bumerang kedua adalah pada akhirnya anak mengembangkan sikap tidak suka terhadap sikap menghakimi dan kritis yang kita tunjukkan dan di kemudian hari justru memilih pasangan yang seperti itu, sebagai ungkapan pemberontakannya terhadap kita. Jadi, berhati-hatilah sewaktu berbicara tentang orang lain di hadapan anak. Sebaiknya kita membicarakan tentang hal-hal yang baik tentang pasangan lain supaya anak dapat belajar dari contoh yang positif itu.
Saya mengenal seorang laki-laki yang sering mengeluarkan kata-kata negatif terhadap orang yang pendek. Ada saja yang tidak baik yang dikatakannya tentang orang yang pendek. Tebak apa yang terjadi? Salah seorang putranya, yang paling dibanggakannya, akhirnya menikah dengan seorang wanita yang pendek! Jadi, berhati-hatilah berkata-kata tentang orang lain.

KEEMPAT Sejak anak memasuki usia pra-remaja, katakanlah kepada mereka bahwa kita tidak mengharapkan mereka berpacaran pada usia sebelum 18 atau sebelum masuk kuliah. Jelaskan kepada mereka bahwa pada masa remaja, salah satu tugas penting yang anak mesti lakukan adalah tugas bergaul dan mengenal manusia. Untuk dapat bergaul dan mengenal orang, anak perlu memiliki kemandirian dan tidak terikat pada orang lain. Jadi, doronglah anak untuk bergaul dalam kelompok dan tidak eksklusif.

KELIMA Sampaikan kepada anak bahwa kecocokan adalah penting tetapi kesamaan juga sama pentingnya. Kita tidak mencari orang yang 100% sama dengan kita tetapi sedapatnya carilah pasangan hidup yang jauh lebih banyak samanya dengan kita, ketimbang bedanya. Kesamaan akan mengeratkan relasi dan mencegah kesalahpengertian. Kadang anak akan tergoda untuk memilih dan tertarik dengan orang yang sangat berbeda darinya. Akui bahwa perbedaan mempunyai daya tarik tersendiri—di tahap awal. Pada akhirnya, perbedaan menuntut penyesuaian dan dalam prosesnya penyesuaian melahirkan konflik. Jadi, makin banyak perbedaan, makin besar porsi konflik yang mesti dilalui.

KEENAM Tekankan kepada anak bahwa karakter yang mesti diutamakannya dalam mencari pasangan hidup adalah

  1. bertanggung-jawab,
  2. jujur,
  3. murah hati dan
  4. rendah hati.
Latar belakang pendidikan dan status sosial juga penting karena bagaimanapun latar belakang ini dapat memengaruhi pemikiran dan nilai hidup, tetapi keduanya tidaklah sepenting keempat karakter ini. Bertanggung jawab bukan saja dalam bekerja tetapi juga atas tindakannya. Ia tidak cepat menyalahkan orang atau situasi; sebaliknya, ia cepat mengakui andilnya dalam tindakan yang diambilnya. Jujur dalam pengertian bukan saja ia tidak berbohong berkenaan dengan perkataannya, tetapi juga hidup apa adanya, di dalam dan di luar sama, tidak menutupi kekurangan diri dan tidak bersandiwara. Ia pun perlu murah hati, dalam pengertian bukan saja ia bersedia memberi pertolongan kepada orang, tetapi juga pengampunan. Ia tidak menyimpan kesalahan orang dan tidak mendendam. Terakhir, ia rendah hati, bukan saja ia tidak suka membesarkan atau membanggakan diri, tetapi juga bersedia menerima teguran dan tidak suka merendahkan orang. Ada banyak karakter yang indah tetapi dalam daftar pemilihan pasangan, keempat ini mutlak harus ada.

KETUJUH Terpenting adalah jelaskan kepada anak bahwa Tuhan meminta kita untuk menikah dengan pasangan yang seiman. Lewat pena Rasul Paulus, Tuhan berkata tentang istri yang suaminya telah meninggal, "Istri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya." (1 Korintus 7:39) Tuhan menetapkan ketentuan ini adalah untuk kebaikan kita semata. Tuhan mau memberkati dan memakai kita bersama sebagai satu kesatuan. Jika kita menikah dengan pasangan yang tidak seiman, kita tidak dapat melayani Tuhan bersama. Kita pun tidak dapat saling menguatkan di dalam Tuhan; sebaliknya, besar kemungkinan kita pun terpengaruh dan akhirnya meninggalkan Tuhan. Jadi, ingatkan anak untuk menikah dengan sesama orang percaya pada Kristus.