Ketundukan Sejati

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T309B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Sebagai istri yang dominan, untuk bisa tunduk kepada suami tidaklah mudah, banyak hal yang kita tidak sukai dari pasangan karena memang kita merasa lebih mampu dibandingkan suami. Ternyata ketundukan itu bukanlah bawaan sejak lahir dan ketundukan itu perlu dipelajari. Kalau kita sadar bahwa kita adalah pribadi yang dominan dan ingin belajar pastilah kita mampu untuk tunduk kendati sulit. Di sini akan dijelaskan bagaimana kita bisa tunduk melalui ajaran firman Tuhan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk menerapkan Firman Tuhan dalam hal ketundukan.

  1. Ketundukan sejati tidak dapat lahir dari keterpaksaan; ketundukan sejati keluar dari hati yang mengasihi. Salah satu cara untuk mengasihi suami adalah dengan cara meneropong kelemahannya dari kacamata kekuatannya. Dengan kata lain, bangunlah relasi di atas dasar kekuatan, bukan kelemahan. Peliharalah kekuatan dengan cara menyuburkannya yakni memberi pujian dan dorongan untuk mengembangkan sisi terbaik pada dirinya.
  2. Ketundukan sejati tidak dapat lahir dari keterpaksaan namun demikian ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan. Maksudnya adalah kadang kita harus memaksa diri tunduk kendati tidak ingin dan tidak rela demi mendahulukan kehendak suami. BELAJARLAH UNTUK MENUNDA; jangan memaksakan kehendak. Berhubung suami adalah kepala keluarga, kita tidak bisa dan tidak seharusnya membantahnya secara langsung atau menunjukkan sikap memberontak.
    1. Menunda berarti mencari kesempatan lain yang lebih tepat untuk mendiskusikan suatu hal.
    2. Menunda juga berarti menyiapkan suami untuk lebih dapat memahami keinginan dan pemikiran kita. Adakalanya ia tidak menerima pendapat kita sebab ia tidak mengerti sedalam-dalamnya apa yang terkandung di hati.
    3. Menunda juga berarti mendoakan suami supaya ia rela mengesampingkan egonya dan lebih memikirkan kepentingan kita.
  3. Kita harus menyadari siapakah diri kita. Ada di antara kita yang memang berkarakter keras dan dominan dan kita perlu mengakui fakta ini.
  4. Mungkin kita dibesarkan dalam keluarga di mana ibu berperan sepenuhnya sedang ayah hampir-hampir tidak memunyai peranan apa pun.
  5. Mungkin semua saudara kita adalah perempuan sehingga pada akhirnya kita menjadi suara terbanyak dalam keluarga.
  6. Mungkin memang kita memiliki tingkat keegoisan yang tinggi dan sukar mengalah sehingga kehendak sukar dibendung.

Kesadaran ini penting sebab bila kita tidak memiliki kesadaran ini, maka kita cepat menuding suami sebagai pihak yang bersalah, bahwa dialah yang membuat kita marah dan berbuat ini dan itu.

  • Jika kita menyadari memang inilah diri kita—wanita yang keras dan dominan—kita mesti berusaha keras menahan mulut untuk mengeluarkan pendapat dengan segera.
  • Kita pun mesti berusaha menahan diri untuk mengambil keputusan sendiri tanpa mengkonsultasikannya dengan suami. Dari awal pernikahan kita mesti mendisiplin diri untuk mengkonsultasikannya dengan suami walaupun ada kemungkinan kita akan beradu pendapat alias konflik.
  • Terpenting adalah secara berkala kita harus mengalah—meski mungkin saja pendapat kita jauh lebih baik daripada pendapat suami. Sikap mengalah yang diperlihatkan secara berkala akan mengkomunikasikan citra kepada suami bahwa kita bukanlah orang yang mau menang sendiri alias egois. Ketika suami melihat bahwa kita tidak egois, ia pun akan lebih terdorong untuk mengalah dan memertimbangkan pendapat kita. Apabila kita dapat memulai dan memertahankan pola relasi seperti ini, pada akhirnya pengambilan keputusan akan menjadi proses pencarian keputusan terbaik, bukan ajang menang - kalah.

Firman Tuhan mengajarkan agar kita tidak mendahulukan kepentingan pribadi; sebaliknya, kita harus mendahulukan kepentingan yang lain. "Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri." (Filipi 2:3). Jika kita beranggapan bahwa kita tidak harus tunduk kepada siapa pun—termasuk suami—pastilah kita akan menuai badai konflik terus menerus. Dan, ini bukanlah rencana Tuhan.