Kasih dan Penghargaan

Versi printer-friendly
Penulis: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Sumber: 
Eunike
Abstrak: 
Banyak pernikahan, hilangnya cinta bukan dikarenakan oleh perbuatan pengkhianatan atau ketidaksetiaan yang dilakukan baik oleh suami maupun istri. Cinta harus tetap ada dan bersemi dalam pernikahan. Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimanakah kita bisa melestarikan cinta itu.
Isi: 

...suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat.
Efesus 5:28-29

Bayangkan pemandangan ini. Seorang pria setengah baya bersama istri dan kedua anak mereka, duduk bersama di sebuah restoran. Si pria melayangkan pandangannya ke mana-mana, kecuali ke arah istri dan anak-anaknya; si istri melihat ke kiri dan kanan, tetapi tidak ke arah suami dan anak-anak-nya; kedua anak mereka juga menengok ke segala arah, kecuali ke arah orangtua mereka. Yang menarik adalah, tidak ada seorang pun yang berbicara…dengan siapa pun! bak orang bisu, mereka tidak berkomunikasi sama sekali !

Saya kira pemandangan seperti ini dapat kita saksikan pada banyak meja makan, baik itu yang berada di rumah makan atau yang di rumah sendiri. Saya sendiri sudah sering melihat pasangan suami-istri yang duduk semeja, saling berhadapan, namun dengan tatapan kosong dan tanpa mengucapkan satu suku kata pun. Saya mengamati bahwa kebanyakan mimik wajah mereka ditandai dengan kebosanan—tanpa ekspresi, apalagi api cinta.

Pada banyak pasangan suami-istri, “cinta” seolah-olah merupakan sebuah kata yang terdengar aneh untuk diucapkan dan lucu untuk dibisikkan. Seakan-akan zaman keemasan cinta sudah berlalu dengan usainya bulan madu dan dimulainya kehidupan “berumah tangga.” Cinta menjadi perasaan yang dikenang dengan manis dan hanya manis dalam kenangan. Jika untuk dialami sekarang, cinta berubah menjadi sesuatu yang tidak nyaman karena di dalam kata ini tersirat tuntutan—atau ketidakpuasan, jika tidak terpenuhi, dan kebutuhan—atau ketidakdewasaan, bila terus menerus dibutuhkan. Suami atau istri yang masih menggumamkan kata cinta dengan mudah akan menerima tuduhan, “kekanak-kanakan” atau “tidak hidup dalam realitas” atau—ini yang mencengangkan—“sudah bukan masanya lagi!”

Siapakah yang membagi hubungan nikah dalam dua kurun, “sebelum dan sesudah menikah,” dan memasukkan cinta pada masa “sebelum menikah?” Kita telah membuat cinta seakan-akan hanyalah sebagai pemanasan atau persiapan yang diperlukan guna terciptanya pernikahan namun setelah itu, kegunaan cinta lenyaplah sudah. Tanpa sadar kita telah menetapkan cinta sebagai prasyarat terjadinya pernikahan sebab tanpa cinta, pernikahan akan sukar terwujud. Itu betul. Namun, juga tanpa sadar, kita telah melupakan bahwa cinta sesungguhnya merupakan syarat berlangsungnya kehidupan pernikahan itu sendiri. Tanpa cinta, pernikahan akan mati. Yang tersisa adalah bangunan pernikahan belaka—ibarat rumah kosong tanpa penghuni yang perlahan-lahan akan dirusakkan oleh kekosongan itu sendiri.

Saya mengamati bahwa pada banyak pernikahan, hilangnya cinta bukan dikarenakan oleh perbuatan pengkhianatan atau ketidaksetiaan yang dilakukan baik oleh suami maupun istri. Saya melihat bahwa pada umumnya cinta lenyap dari perkawinan karena kita sendiri beranggapan bahwa cinta memang tidak seharusnya berada dalam pernikahan yang "serius." Kita sendirilah yang memensiunkan cinta dari rumah tangga kita karena kita telah menyimpulkan bahwa masa bakti cinta telah berakhir seiring dengan dimulainya kehidupan bersama. Sekali lagi, cinta hanya dapat dan boleh dikenang, tetapi tidak untuk dicicipi oleh “orang yang dewasa!” betapa sedihnya dan betapa sangat kelirunya !

Cinta harus tetap ada dan bersemi dalam pernikahan. Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimanakah kita bisa melestarikan cinta itu. Ada banyak cara untuk melukiskan dan menjelaskan cinta; Alkitab sendiri menggunakan beberapa cara untuk menjabarkannya, sebagaimana tertera pada 1 Korintus 13. Saya memparalelkan cinta dengan harga atau nilai. Secara praktisnya, yang kita cintai adalah yang kita hargai; sebaliknya, yang kita hargai adalah yang kita cintai. Saya kira prinsip ini berlaku mulai dari benda sampai orang sekalipun. Barang yang kita hargai adalah barang yang kita sayangi; itu sebabnya kita merasa sedih tatkala kehilangan barang yang bernilai tinggi (bagi kita). Sebaliknya, kita sukar menyayangi barang yang sudah kita anggap, tidak bernilai.

Demikian pula dengan manusia. Orang yang kita hargai biasanya adalah orang yang kita kasihi; bak barang berharga, kita mencoba melindunginya, jangan sampai ia dipermalukan atau dibuat susah. Sama dengan itu, orang yang kita sayangi adalah orang yang kita hargai pula. Kita mengasihinya sebab kita menghargainya. Kesimpulannya ialah, cinta dapat diidentikkan dengan nilai atau penghargaan yang kita lekatkan pada objek cinta itu. Memang cinta jauh lebih besar daripada nilai atau penghargaan, tetapi keberadaan dan besarnya cinta dapat diukur dengan keberadaan dan besarnya penghargaan yang kita berikan pada objek cinta itu.

Firman Tuhan yang tertera di atas menegaskan keparalelan antara cinta dan penghargaan. “Siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya…” bukankah istilah “mengasuh” yang dapat pula diterjemahkan “memberi makan” dan “merawati” yang dalam bahasa Inggrisnya, to cherish, mengandung muatan penghargaan pada sesuatu yang bernilai? Saya simpulkan, mengasihi suami atau istri berisikan, atau setidak-tidaknya dimulai dengan, menghargai suami atau istri dan kita menghargai suami atau istri dengan cara “memberi makan” dan “merawatinya.”

Kata “memberi makan” yang digunakan pada ayat ini mempunyai arti, membesarkan anak sampai mencapai kedewasaan (to bring up to maturity). Dengan kata lain, istilah ini mengandung makna memberi kecukupan makan dan gizi agar anak dapat bertumbuh secara wajar. Hampir sama dengan itu, istilah “merawati” memiliki makna, memperhatikan dan menyayangi dengan penuh kelembutan (to tenderly care). Kesimpulannya, itulah yang Tuhan kehendaki kita lakukan kepada suami dan istri kita yakni menyediakan gizi emosional—cinta kasih—serta memperlakukan dan menyayangi pasangan hidup kita dengan penuh kelembutan. Tidak lebih, tidak kurang !

Sebagaimana telah saya singgung di atas, menghargai setidak-tidaknya merupakan langkah awal atau lebih tepat lagi, tindakan nyata, dari mengasihi. Ada beberapa saran yang dapat saya sumbangkan agar kita dapat mewujudkan penghargaan kita kepada suami dan istri kita. Pertama,gunakan pelbagai kesempatan untuk mengungkapkan kepadanya bahwa kita bersyukur sebab Tuhan telah memberikan dia sebagai suami atau istri kita. Dengan kata lain, kehadirannya bukan saja kita inginkan, tetapi juga kita hargai. Dia begitu bernilai bagi kita sehingga kita bersyukur bahwa dia berada di dalam hidup kita. Kita bisa menunjukkan penghargaan kita melalui ucapan terima kasih, sentuhan lembut, tatapan sayang, atau melakukan sesuatu yang disukainya. Perhatikan prinsip yang berlaku di sini: Mulai dengan terima kasih, berakhir dengan menerima kasih. Mulai dengan tidak tahu berterima kasih, berakhir dengan tidak ada kasih.

Kedua, bersikaplah dengan lemah lembut. Perlakuan kasar bukan saja meninggalkan luka pada si penerimanya, melainkan juga merobek penghargaan kita terhadapnya. Perhatikan prinsip yang berlaku di sini: Semakin halus kita memperlakukannya, semakin bernilai dia di hadapan kita. Semakin kasar kita memperlakukannya, semakin rendah dia di mata kita. Upayakan supaya jangan sampai kita melanggar batas kepatutan dalam mengumbar emosi kita. bagaimanapun juga perlakuan kita akan mempengaruhi penilaian kita terhadap pasangan kita.

Ketiga, sebisa-bisanya, utamakan kepentingan pasangan kita di atas kepentingan lain atau orang lain. Cinta terungkap dengan jelas dalam wadah perbandingan—bagaimana kita memperlakukannya dibandingkan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Siapa atau apa yang kita dahulukan mencerminkan siapa atau apa yang penting bagi kita. Dalam hal ini, perbuatan berbicara jauh lebih keras dari ucapan. Jadi, ucapan cinta kita mesti didukung oleh perbuatan kita mendahulukannya. Apabila itu tidak terjadi, dia akan dengan segera tahu bahwa sesungguhnya ia tidaklah sepenting yang kita katakan. Perhatikan prinsip yang berlaku di sini: Mengorbankan kepentingan sendiri, itu cinta; mengorbankan kepentingan pasangan kita, itu menomorduakannya.

Baik itu berterimakasih, bersikap lembut, ataupun mendahulukan kepentingan pasangan kita, sebetulnya semua melambangkan penghargaan kita terhadapnya. Semua itu merupakan wujud nyata ungkapan, “Engkau berharga bagiku!” Cinta tidak dapat lepas dari upaya membuat pasangan kita merasakan bahwa ia bernilai bagi kita. Ingatlah, barangsiapa menabur penghargaan, ia akan menuai cinta.