Rasa Malu dan Rendah Diri

Versi printer-friendly
Januari

Berita Telaga Edisi No. 99 /Tahun IX/ Januari 2013


Diterbitkan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Sekretariat: Jl.Cimanuk 56 Malang 65122 Telp.: 0341-408579, Fax.:0341-493645 Email: telagatelaga.org Website: http://www.telaga.org Pelaksana: Melany N.T., Dewi K. Megawati Bank Account: BCA Cab. Malang No. 011.1658225 a.n. Melany E. Simon




Rasa Malu dan Rendah Diri

Rasa malu dapat digambarkan seperti semacam perasaan tidak nyaman. Biasanya berkaitan dengan membuka diri kepada orang lain, jadi rasa malu timbul seolah-olah kita sedang disoroti dan seolah-olah dinilai rendah oleh orang lain.

Perbedaan rasa takut dan rasa malu:

Rasa takut -> kita melarikan diri karena kita takut pada sesuatu, kita ingin menghindari sesuatu.

Rasa malu -> biasanya terjadi dalam relasi sosial; lebih berkaitan bagaimana saya dilihat oleh orang lain.

Orang dikatakan menderita rendah diri adalah kalau orang tersebut merasa kurang berharga, dibandingkan dengan orang lain, kita kelihatannya kalah terus. Antara rasa malu dan rendah diri memiliki keterkaitan, kalau ditelusuri ada cukup banyak orang yang merasa malu, latar belakangnya adalah karena dia merasa rendah diri.

Rasa malu juga diperlukan bagi kita terutama untuk mengendalikan diri kita hal ini berkaitan dengan etiket pergaulan dan sopan santun dan juga rasa malu untuk berdosa itu perlu kita miliki. Amsal 7 : 13, mencontohkan perilaku seorang wanita yang tidak tahu malu. Jadi di sini memang rasa malu perlu juga untuk mengendalikan tingkah laku. Rasa malu akan sedikit demi sedikit mencair kalau orang itu kemudian merasa lebih aman, lebih diterima dan dia merasa orang lain sebetulnya tidak memandang rendah dirinya.

Dalam batas tertentu rasa malu diperlukan namun jika kelebihan pun hal ini justru akan menyiksa.

Dalam pengertian orang menjadi tidak berani untuk bertemu dengan orang lain, lebih cenderung menarik diri, tidak merasa nyaman kalau bersama-sama dengan orang lain, akibatnya akan dirasakan dalam pergaulan.

Lingkungan sering kali yang menciptakan rasa malu yang berlebihan, lingkungan juga yang menyebabkan asal mulanya seseorang kurang bisa menghargai dirinya sendiri atau merasa rendah diri. Dan lingkungan berperan besar untuk seseorang mulai mengurangi rasa malunya.

Cara berpikir kita kadang-kadang juga mengakibatkan kita merasa rendah diri atau rasa malu. Biasanya cara-cara berpikir seperti ini cara berpikir yang mengevaluasi diri secara negatif. Cara berpikir orang yang merasa malu itu kadang-kadang membesarkan hal yang negatif dari dirinya. Misalnya saja kita sekali waktu gagal kemudian kita mengatakan : “Saya orang yang gagal, saya tidak mungkin berhasil ya sudah saya tidak perlu tampil deh”.

Perbedaan rendah hati dengan rendah diri:

Orang yang rendah diri ->

selalu tidak nyaman menerima kelebihan dirinya dan selalu membesarkan hal yang negatif dari dirinya.

Orang yang rendah hati ->

cukup merasa nyaman meskipun dia tidak berusaha menonjol-nonjolkan kelebihan dirinya, tapi kalau dipuji orang ya terima kasih tanpa berusaha membangga-banggakan berlebihan dirinya dan merendahkan orang lain.

Dalam kisah pribadi Yesus, Yesus sangat mengenali diri-Nya sebagai Anak Allah, sebagai Allah sendiri yang mempunyai kemuliaan yang luar biasa dan Dia tidak terpengaruh oleh evaluasi dari orang lain. Dia sama sekali tidak merasa direndahkan oleh orang lain bahwa Dia bisa mengampuni orang-orang yang telah mengolok-olok Dia. Nah inilah yang harus kita teladani bahwa kita sebagai manusia itu seharusnya menjadi manusia-manusia yang berharga di hadapan Allah. Kita sesungguhnya manusia yang berharga dan apapun yang dikatakan orang lain itu tidak harus menjadikan kita malu untuk merasa rendah.

Oleh Bp. Heman Elia, M.Psi.

Audio dan transkrip bisa didapatkan melalui situs TELAGA dengan kode T81A





Doakanlah

  1. Bersyukur untuk sumbangan yang diterima dari Bp. Drs. Psi. Robin A.Wijaya sebesar Rp 250.000,- , dari Radio Suara Gratia FM di Cirebon sebesar Rp 200.000,- dan dari Pengurus Shepherd of Your Soul (SYS) di USA sebesar Rp 19.180.800,-.

  2. Doakan untuk buku yang berjudul “Remaja dan Pergumulannya” yang akan diterbitkan oleh P.T. Visi Anugerah Indonesia.

  3. Doakan untuk rekaman lanjutan dengan Ev. Sindunata Kuniawan sebagai nara sumber.

  4. Doakan untuk Bp. Heman Elia agar bisa menyelesaikan 1 artikel lagi yang berjudul “Pergumulan Antara Ambisi dan Realita”.

  5. Bersyukur Tuhan sudah memanggil pulang ibu Elly Gunarti, ibu dari Bp. Jusuf N.T. (Koord. Program Telaga) pada tgl. 31 Januari 2013 dalam usia 97 tahun, doakan untuk seluruh keluarga besar yang ditinggalkan.

  6. Bersyukur untuk penerimaan dana dari donatur tetap dalam bulan ini, yaitu dari :
        001 – Rp 100.000,-
        003 – Rp 600.000,- untuk 3 bulan
        006 – Rp 100.000,- untuk 2 bulan
        011 – Rp 300.000,- untuk 2 bulan
    (Des.’12 dan Jan.’13)





Telaga Menjawab

Tanya?

Diusia saya yang sudah menginjak 50 tahun, saya punya anak tunggal laki-laki usia 18 tahun. Untuk mendapatkan anak ini, saya harus operasi 5x supaya hamil.

Sejak masuk sekolah usia 2,8 tahun, saya selalu berkonsultasi dengan banyak psikolog karena anak ini tidak bisa punya empati sama sekali. Saya terakhir berhubungan dengan psikolog ternama di Surabaya.

Hasil yang saya ingat sejak usia 13 tahun masuk SMP, yaitu bermental usia lebih kecil seperti anak usia 9 tahun. Sekarang pun mentalnya masih seperti anak yang berusia 10 tahun, tidak dewasa.

Saya sadar sekarang di usianya 18 tahun, saya akhirnya capek juga karena tidak semestinya saya selalu mengingatkan dia. Tidak punya kejujuran, selalu ingin menyimpang, mencuri. Dia tidak punya kebiasaan baik seperti sikat gigi, membereskan buku-bukunya, tempat tidurnya berantakan, semua hilang tidak bisa dicari sendiri. Yang lebih prihatin dia tidak punya teman baik sama sekali karena mulut bau, malas sikat gigi, pelajaran disekolah pun tidak terlalu bagus.

Tiap mau menerima rapot, saya selalu dipanggil wali kelasnya, dari TK sampai SMA kelas 2 ini.

Bagaimana ini, saya merasa tidak sanggup dititipi Tuhan anak seperti ini, tidak nampak kemajuannya sama sekali. Suami saya juga jengkel, apapun nasehat atau perintah untuk gunting kuku, rapikan meja, untuk tidak pakai head phone di mobil, tetap saja tidak berubah, malah kami sebagai orang tua seperti orang gila, di depan mertua dan orang tua kami juga merasa sulit mengajar anak ini.

Sepupunya ada banyak, tapi tidak betah berkumpul dengan anak saya, saudara saya pun merasa kesulitan menasehati anak saya. Sangat kepala batu, tapi introvert, tidak melawan tapi tetap diam saja. Saya ingin kostkan dia, tapi saya kesulitan, dia banyak alerginya tidak bisa menahan keinginan untuk tidak makan makanan yang alergi kalau sudah kena sakit alergi, dokter biasa tidak bisa mengobati dia, harus ke tingkat dokter spesialis.

Jawab!!!

Kami bisa memahami bahwa Ibu dan suami merasa tertekan dan putus asa dengan kondisi anak yang tidak menunjukkan perubahan dan kematangan yang berimbang dengan usianya.

Memang kalau melihat usianya, orang tua akan cenderung mengharapkan anak telah cukup mampu mengatur diri dan memahami lingkungannya. Akan tetapi pada kenyataannya tidak. Hal ini bukanlah karena anak tidak memunyai rasa empati, namun karena kondisnya yang khusus.

Kondisi khusus dalam hal ini adalah adanya perbedaan antara usia sebenarnya dan usia mentalnya. Usianya 18 tahun, namun usia mentalnya 10 tahun. Perbedaan inilah yang membuat anak terlihat tidak memunyai empati. Dalam perbedaan ini juga yang membuat orang tua kadang bingung, di satu sisi melihat usia 18 tahun maka mengharapkan anak berperilaku selayaknya remaja berusa 18 tahun; akan tetapi anak terhalangi dengan usia mentalnya yang masih 10 tahun.

Kalau boleh, kami menyarankan supaya orang tua mengubah tuntutan/harapan terhadap anak; perlakukan anak seperti anak yang masih berusia 10 tahun. Di mana rata-rata anak seusianya masih perlu dilatih untuk dapat melakukan sendiri segala aktifitas yang berhubungan dengan dirinya. Perlu dibuatkan jadual harian; perlu sering diingatkan tentang barang-barang pribadinya.

Dalam hal ini sangat diperlukan kerelaan orang tua untuk melatih ulang anak; memberikan lebih banyak kasih sayang; bersikap tenang dan tidak terlalu terpengaruh dengan tuntutan dari orang lain karena bagaimanapun juga orang tualah yang lebih tahu kondisi anak; memunyai keyakinan bahwa anaknya akan mampu untuk mengurus dirinya sesuai dengan usia mentalnya.

Sekali lagi, kami menganjurkan supaya orang tua tidak memandang dan memerlakukan anak sebagai remaja yang berusia 18 tahun, akan tetapi memandang dan memerlakukan anak sebagai anak yang masih berusia 10 tahun. Dan juga apabila memungkinkan, sekolahkan anak pada sekolah yang dapat mendukung kondisi anak (sekolah bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti dia).

Dan tidak lupa kami menyarankan supaya orang tua terus mendoakan dia dan kalau memungkinkan orang tua juga mengikuti konseling dalam mendampingi anak.






Judul Baru Telaga

T351A Topeng Laki-laki (I)
T351B Topeng Laki-laki (II)
T352A Tahun Pertama Pernikahan (I)
T352B Tahun Pertama Pernikahan (II)
T353A Topeng Perempuan (I)
T353B Topeng Perempuan (II)
T354A Keterampilan Untuk Mengampuni
T354B Keterampilan Untuk Memahami
T355A Ketika Tuhan Terlambat (I)
T355B Ketika Tuhan Terlambat (II)
T356A Ketika Anak Terkena Skizofrenia (I)
T356B Ketika Anak Terkena Skizofrenia (II)
T357A Peran Ortu dlm Keselamatan Anak (I)
T357B Peran Ortu dlm Keselamatan Anak (II)
T358A Kepemimpinan dalam Keluarga (I)
T358B Kepemimpinan dalam Keluarga (II)
T359A Wanita Tanpa Pasangan
T359B Pria Tanpa Pasangan
T360A Pengaruh Ibu pada Anak
T360B Laki-laki dan Ambisi





Kisah si Gadis Kecil dan Kotak Emas

Di sebuah keluarga miskin, seorang ayah tampak kesal pada anak perempuannya yang berusia tiga tahun. Anak perempuannya baru saja menghabiskan uang untuk membeli kertas kado emas untuk mem-bungkus sekotak kado.

Keesokan harinya, anak perempuan itu memberikan kado itu sebagai hadiah ulang tahun pada sang Ayah.

“Ini untuk ayah,” kata anak gadis itu.

Sang ayah tak jadi marah. Namun, ketika ia membuka kotak dan mendapatkan isinya kosong, meledaklah kemarahannya.

“Tak tahukah kau, kalau kau menghadiahi kado pada seseorang, kau harus memberi sebuah barang dalam kotak ini !”

Anak perempuan kecil itu menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia berkata terisak-isak, “Oh ayah, sesungguhnya aku telah meletakkan sesuatu ke dalam kotak itu.”

“Apa yang kau letakkan ke dalam kotak ini? Bukankah kau lihat kotak ini kosong?” bentak ayahnya.

“Oh ayah, sungguh aku telah meletakkan hampir ribuan ciuman untuk ayah ke dalam kotak itu,” bisik anak perempuan itu.

Sang ayah terperangah mendengar jawaban anak perempuan kecilnya. Ia lalu memeluk erat-erat anak perempuannya dan meminta maaf.

Konon, orang-orang menceritakan bahwa, pria itu selalu meletakkan kotak kado itu di pinggir tempat tidurnya sampai akhir hayat. Kapan pun ia mengalami kekecewaan, marah atau beban yang berat, ia membayangkan ada ribuan ciuman dalam kotak itu yang mengingatkan cinta anak perempuannya.

Dan sesungguhnya kita telah menerima sebuah kotak emas penuh berisi cinta tanpa pamrih dari orang tua, istri/suami, anak, pasangan, teman dan sahabat kita. Tak ada yang lebih indah dan berharga dalam hidup ini selain cinta.

Dikutip dari forumkristen.com




Humor...

Karena bangun kesiangan, Adam, anak kecil berusia 5 tahun berlari-lari ke sekolah minggu. Di tengah jalan, dia melihat penjual bakpao. Karena belum sarapan, ia membeli satu bakpao dan akan memakannya sedikit demi sedikit saat khotbah nanti.

Puji-pujian dan doa usai sudah. Tibalah saatnya untuk mendengarkan firman Tuhan. Adam mulai makan sedikit demi sedikit bakpao yang dibelinya tadi.

Cerita Alkitab minggu itu berjudul "Kejatuhan Manusia dalam Dosa". Guru sekolah minggu yang telah mempersiapkan diri dengan baik sangat antusias, semangatnya berkobar-kobar sehingga ketika dia bercerita dia bersuara setengah berteriak,

"... Tuhan bertanya, Adam... apa yang kau makan?" Mendadak Adam kecil yang sedang asik makan berdiri dengan takut dan menjawab, "Bakpao, Kak.."