Agar Anak Bermoral Baik

Versi printer-friendly
Penulis: 
Heman Elia, M.Psi
Sumber: 
Eunike
Abstrak: 
Kita barangkali sangat terkejut ketika untuk pertama kali mendapati anak kita yang masih belia berani melontarkan kata-kata kotor kepada guru atau orang tuanya sendiri.
Isi: 

Kita barang kali sangat terkejut ketika untuk pertama kali mendapati anak kita yang masih belia berani melontarkan kata-kata kotor kepada guru atau orang tuanya sendiri. Mungkin pula anak yang tadinya manis dan baik tiba-tiba mencuri uang dalam jumlah besar, memeras teman sekelas, nyontek, belajar merokok, memfitnah teman, atau membaca buku porno. Apakah hal demikian normal?

Meskipun saat ini semakin banyak anak terlibat kasus yang menyangkut moral, kita tidak boleh beranggapan bahwa hal ini wajar. Pelanggaran moral bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Seyogyanyalah pelanggaran moral oleh anak dikoreksi dan tidak dibiarkan begitu saja.

Semakin seriusnya perilaku tak bermoral yang dilakukan anak yang masih muda memberi petunjuk akan semakin beratnya tantangan bagi orang tua dalam mendidik anak. Mengapa anak berperilaku buruk? Salah satu kemungkinannya adalah karena semakin jarangnya kehdirang orang tua di rumah. Jumlah waktu yang dipakai orang tua untuk mengajar anak-anaknya hidup secara benar juga semakin berkurang. Akibatnya pengenalan anak terhadap kehidupan orang tuanya sendiri juga semakin sedikit. Padahal anak perlu menyaksikan orang tuanya secara langsung untuk memperoleh contoh nyata hidup yang bermoral.

Kesulitan bertambah ketika anak justru memperoleh pengajaran yang kurang patut, baik melalui televisi, teman sekolah, maupun dari orang dewasa di sekitarnya. Ketika perilaku butuk anak terbentuk menjadi pola kebiasaan, perilaku itu sudah semakin sulit dibelokkan lagi. Karena itu, kita perlu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membentuk perilaku moral anak-anak kita.

Pembentukan moral anak tidak bisa dilakukan tanpa arah tujuan. Jadi, sangalah perlu bagi orang tua untuk menyiapkan konsep dan alat mendidik seawal mungkin, kalau bisa sebelum pengajaran moral itu diterapkan.

Berikut ini adalah beberapa prinsip mendidik yang perlu kita perhatikan.

  1. Target dan Standar Moral

    Moral selalu bersangkut-paut dengan nilai-nilai mengenai baik dan buruk atau jahat. Bila kita menginginkan anak kita bermoral tinggi, kita tentunya perlu mengetahui terlebih dulu apa tolok ukur perilaku yang baik atau buruk itu.

    Tolok ukur yang tidak pernah berubah dari zaman ke zaman adalah prinsip-prinsip hidup kudus sebagaimana yang diajarkan oleh Alkitab. Daud dalam Mazmur 119:9 menyatakan demikian, "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu."

    Orang tua perlu membaca firman Tuhan setiap hari untuk mengasah pandangan moralnya. Secara naluri kita memang mengetahui bahwa mengambil milik orang lain tanpa persetujuan dan kerelaan si empunya barang adalah tindakan yang tidak terpuji. Namun lingkungan pergaulan yang buruk dan kebiasaan yang kita contoh dapat menumpulkan bisikan nurani yang lurus dan bersifat naluriah ini. Orang yang sering menyakiti orang lain melalui tutur katanya mungkin tidak merasa bersalah karena beranggapan bahwa yang ia lakukan itu hanya semacam pembelaan diri. Padahal kita diminta untuk mengendalikan lidah kita (Yakobus 3:1-12). Demikian pula orang yang melakukan penjarahan sering merasa punya hak melakukan hal demikian dengan alasan dirinya hidup miskin. "Menjarah orang kaya tidak akan mengurangi kekayaannya", demikian alasan yang sering kita dengar. Bila kita sebagai orang tua menolerir hal-hal demikian, kemungkinan besar anak pun akan berlaku amoral dengan menggunakan berbagai alasan. Hanya dengan berpegang pada firman yang hidup itu, kita dapat memperoleh patokan berperilaku moralistik.

    Alasan lain diperlukannya standar moral sesuai dengan firman Tuhan ini adalah bahwa sering kali orang tua tanpa sengaja mendidik anak untuk memuaskan kebutuhan orang tua dan kebutuhan anak itu sendiri. Padahal seharusnya kita mendidik anak agar mereka mengenal dan menyenangkan Tuhan yang adalah sumber moral itu sendiri. Sebagai contoh, ada cukup banyak orang tua yang memaksa anak berkata jujur kepada orang tua, namun meminta anak berkata dusta kepada tamu yang orang tua tidak sukai di saat lainnya. Contoh lain adalah orang tua yang mengajarkan pentingnya uang sedemikian rupa sehingga anak menomorsatukan uang dalam hidup mereka. Padahal Alkitab cukup banyak mengingatkan kita akan pentingnya hidup jujur terhadap uang dan tidak mendewakan uang. Yesus mengatakan, "Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tua. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon" (Matius 6:24). Alkitab juga mengajarkan bahwa kita tidak mungkin dibenarkan oleh usaha kita untuk berbuat baik. Kita dibenarkan oleh iman kepada Yesus Kristus dan bukan oleh perbuatan-perbuatan baik kita (Galatia 2:16). Alasan perlunya hidup bermoral baik adalah bahwa kita harus menghidupi iman kita. "Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" (Yakobus 2:17). Jadi agar anak bermoral baik, langkah pertama adalah memimpin mereka untuk beriman kepada Yesus Kristus yang menebus dosa mereka. Berikutnya adalah agar mereka dapat hidup kudus meneladani Kristus.

    Ada sebuah catatan lagi, yakni perlaku moral bukanlah terutama soal tidak menaati peraturan. Perilaku moral lebih banyak bersangkut-paut dengan sikap hati. Jadi, meskipun kita berusaha mengarahkan perilaku anak yang kasat mata, kita perlu lebih memusatkan perhatian pada sikap hati anak kita. Tujuan kita pada akhirnya adalah tertanamnya sikap kasih, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan pada anak-anak kita.

  2. Proses Pencapaian Moral

    Dalam mendidik, kita harus membedakan tindakan yang disengaja dan yang tidak disengaja anak. Kita dapat mengetahui bahwa suatu tindakan yang kita larang dengan sengaja dilanggar anak dengan mengamati tiga hal berikut. Pertama, anak telah sungguh-sungguh memahami apa yang seharusnya ia lakukan. Kedua, anak telah tercukupi kebutuhan fisik dan psikis utamanya. Ketiga, anak sudah mampu melakukan sebagaimana yang dituntut darinya dan dapat dimintai tanggung jawabnya.

    Nah, bila kita yakin bahwa ia sudah mampu bertanggung jawab, namun sengaja melanggar, kita boleh menerapkan tindakan koreksi dalam bentuk hukuman. Repotnya, sekalipun adakalanya kita yakin bahwa anak kita telah sungguh memahami apa yang kita harapkan, mereka sebenarnya belum mencapai tahapan pemahaman sebagaimana yang kita bayangkan. Anak yang belum dapat membedakan antara fakta dan fiksi sering mencampuradukkan keduanya sehingga tampak seperti berbohong. Ada juga anak yang membawa pulang barang-barang milik sekolah karena ia melihat hal yang sama dilakukan oleh teman-temannya. Kesalahpahaman dan ketidakmengertian anak yang serta-merta berbuntut hukuman dari orang tua dapat membuat anak terluka dan sebagian anak menjadi semakin keras kepala. Sebagian lainnya menjadi anak yang manis di depan kita, tetapi melakukan berbagai pelanggaran ketika mereka berada dalam situasi tanpa pengawasan. Jadi, bila anak melakukan pelanggaran, kita perlu meyakinkan diri dahulu mengenai apakah mereka benar memahami bahwa tindakannya melanggar prinsip moral. Bila mereka belum mengerti tentang hal ini, tugas kita adalah memberi penjelasan kepadanya.

    Cukup sering pula anak melakukan tindakan yang salah karena kebutuhannya belum tercukupi. Anak yang kurang memperoleh perhatian orang tua mungkin akan melakukan pelanggaran di sekolah demi memperoleh perhatian guru, teman, dan orang tuanya. Mungkin juga anak yang menyontek di sekolah melakukan hal ini karena nilai bagus yang diperolehnya merupakan satu-satunya cara untuk meraih pujian orang tuanya. Ada anak yang melakukan pencurian karena ia diperas oleh anak lain yang lebih berkuasa. Anak menyerah terhadap usaha pemerasan ini dan terpaksa membayar 'upeti' lewat mencuri. Mungkin anak ini terpaksa melakukan hal demikian karena tidak memperoleh rasa aman yang cukup dari orang tuanya dan terpaksa bertindak menurut caranya sendiri. Orang tua sang anak mungkin jarang mengetahui masalah anak karena tidak menjalin komunikasi secara memadai dengannya.

    Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa anak yang masih muda memerluka pengawasan yang banyak agar dapat berperilaku baik. Koreksi juga perlu cukup sering dilakukan. Namun kita perlu mengendorkan pengawasan sedikit demi sedikit ketika anak mulai memahami prinsip moral dan mulai dapat mengambil keputusan moralnya sendiri. Sehubungan dengan hal ini, ada dua kecenderungan yang harus kita hindari. Pertama, orang tua seyogyanya tidak bersikap membiarkan ketika kita menemukan pelanggaran moral yang pertama kali dilakukan anak. Orang tua perlu segera menasihati anak dan meminta mereka tidak melakukannya lagi. Pengawasan orang tua yang kurang ketika anak masih muda akan membuat perilaku moral mereka yang terlanjur menyimpang semakin sulit dikendalikan ketika mereka beranjak remaja. Kedua, orang tua seyogyanya tidak secara terus-menerus mengawasi dan mengoreksi setiap kesalahan yang dilakukan anak. Sebab setiap anak memerlukan ruang untuk melakukan kesalahan dan memperbaikinya. Anak juga memerlukan pengampunan dari orang tua hingga batas-batas tertentu. Bila anak terlalu banyak diawasi, dikoreksi, dan dihukum, anak mungkin melakukan lebih banyak pelanggaran. Pelanggaran terjadi mungkin karena anak tidak tahan dengan kontrol ketat orang tua sehingga mereka memberontak. Selain itu, anak melanggar karena fokus perhatiannya lebih tertuju kepada kesalahan dan bukan pada kebaikan yang seharusnya lebih banyak mereka lakukan.

    Jadi tujuan orang tua memberi koreksi dan pengawasan adalah untuk secara bertahap membuat anak dapat mengambil keputusan moralnya secara mandiri.

  3. Cara Mendidik

    Kita baru dapat menghasilkan anak yang bermoral baik bila menggunakan cara mendidik yang juga tepat. Cara yang paling efektif tentunya adalah melalui kesaksian hidup kita sendiri. Orang tua perlu mengusahakan agar hidupnya bersih. Lalu bagaimana bila orang tua sendiri dalam ketidaksempurnaannya melakukan pelanggaran moral yang sempat disaksikan anaknya? Dalam situasi seperti ini, anak tetap akan menghargai orang tuanya bila orang tua segera bertobat dan menunjukkan penyesalan mendalam.

    Cara efektif lain yang orang tua dapat dilakukan adalah lewat bercerita. Orang tua dapat meluangkan waktu setiap harinya untuk berbincang dan bercerita dengan anak. Lewat cerita Alkitab dan cerita lain yang berisi pengajaran moral, anak dapat diberi pemahaman tentang moral. Selain itu, waktu bercerita juga dapat kita manfaatkan untuk memahami pergumulan moral anak dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dengan demikian kita pun dapat memahami cara berpikir anak dan mengoreksinya bilamana perlu.

    Kita juga perlu memberi sanksi untuk mengoreksi pelanggaran moral yang secara sengaja dilakukan anak bilamana ia tidak menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, perilaku terpuji anak juga perlu memperoleh pujian dan penghargaan orang tua. Dengan bertindak demikian, berarti orang tua sedang bertindak untuk memperkuat prinsip moral anak. Mengingat besarnya peran lingkungan terhadap pembentukan moral anak, kita tidak boleh lupa mendoakan anak-anak kita. Setiap orang tua perlu memohon hikmat dari Tuhan untuk bukan saja dapat mendidik anaknya, tetapi kita memohon Tuhan menjaga anak-anak kita dari pengaruh si jahat.

Kondisi saat ini memang cukup menyulitkan kita dalam mendidik anak. Tetapi kita tetap dapat memiliki anak yang bermoral baik dengan bersandarkan kekuatan dari Tuhan.?

Comments

orang tua harus banyak belajar dari kisah anak terhilang dari sisi "legowo"-nya bapak si anak tersebut dan tugas gerejalah menyeimbangkan antara orang tua dan anak, konteks yang seimbang seperti di Kolose 3:20-21 jangan hanya yang dibahas Keluaran 20:12.