Menyelaraskan Perbedaan Nilai Moral
Nilai moral mencerminkan siapa diri kita yang sebenarnya; sebaliknya, nilai moral pun merefleksikan siapa diri kita yang seharusnya. Kita tidak selalu berhasil hidup sesuai dengan nilai moral yang kita yakini, kadang kita gagal, namun nilai moral itu sendiri mendemonstrasikan bagian terbaik atau terburuk dari diri kita. Tuhan Yesus pernah berkata, "Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu." (
Pernikahan merupakan pemaduan dua individu dan ini berarti, pemaduan dua nilai moral. Dalam kenyataannya, pemaduan ini menjadi lebih kompleks karena perpaduan ini tidak sekadar melibatkan dua nilai moral yang seharusnya dan dua nilai moral yang sebenarnya. Agar lebih jelas, saya berikan sebuah contoh. Misalkan ada sepasang suami-istri yang masing-masing berkarier. Si istri mempunyai keyakinan bahwa ia harus memberikan sepersepuluh dari penghasilannya kepada Tuhan. Sebaliknya, suaminya tidak memiliki keyakinan yang sama.
Si suami mengakui bahwa memang Tuhan meminta persepuluhan namun ia berpendapat Tuhan menuntut persembahan sukarela dan sampai saat ini ia masih belum rela memberikan persembahan sebesar itu. Jadi, selama ia tidak rela, ia tidak harus mempersembahkan persepuluhannya sebab menurutnya, Tuhan sendiri tidak akan senang menerima persembahan setengah hati. Alhasil, tatkala mereka membahas perbedaan ini, timbullah konflik karena masing-masing mempertahankan pendiriannya. Masalah ini diperumit dengan satu hal lainnya. Ternyata si istri sendiri tidak selalu memberi persepuluhannya secara konsisten. Ssesungguhnya ia pun masih bergumul dengan pemberian persepuluhan ini; kadang ia tidak ikhlas dan harus bersusah payah memaksa dirinya menyisakan uang sebesar itu untuk Tuhan. Hal inilah yang adakalanya terlihat oleh si suami dan dijadikan dasar olehnya untuk membela dirinya sewaktu beradu argumen dengan istrinya. Si istri tidak begitu saja menerima serangan si suami karena baginya, ia tetap bergumul walahu kadang kalah, sedangkan si suami tidak lagi bergumul.
Dari contoh ini kita dapat melihat bahwa konflik di antara keduanya terjadi pada dua level. Pada level atas atau wacana, mereka membicarakan tentang nilai moral yang seharusnya; pada level bawah atau praktis, mereka membicarakan tentang nilai moral yang sebenarnya. Dan dapat kita duga, pertengkaran di antara mereka lebih sering terjadi pada level praktis-level di mana si istri tidak konsisten dengan pendiriannya. Pada level inilah terbuka peluang bagi si suami untuk membela diri dan menyudutkan istrinya. Pertanyaannya adalah, bagaimanakah kita menyelaraskan nilai moral yang berbeda?
Pertama, kita harus mengembalikan masalah ke tempat kedudukan semula yakni perbedaan nilai moral yang seharusnya. Meributkan perbedaan nilai moral pada level praktis dimana terjadi ketidakkonsistenan, tidak akan menyelesaikan masalah. Konflik pada level ini hanya akan berakhir dengan penyerangan terhadap ketidakkonsistenan-dan ini bukan masalah utamanya. Masalahnya adalah perbedaan pada level keyakinan akan kebenaran itu sendiri dan inilah yang harus menjadi pokok pembicaraan. Jadi, langkah pertama adalah, jangan terpancing untuk terseret masuk ke dalam kancah perdebatan pada level praktis.
Kedua, kita harus menyetujui tolok ukur yang kita gunakan. Tidak mungkin kita manautkan dua pandangan yang berbeda jika kita memakai standar yang berlainan pula. Dalam kasus yang saya angkat di atas, keduanya adalah orang Kristen, jadi, mereka merujuk ke Alkitab sebagai tolok ukurnya. Perbedaannya terletak pada kematangan rohani dan pengenalan akan karakter Tuhan, bukan pada perbedaan interpretasi.
Adakalanya memang perbedaan nilai moral bisa disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap bagian tertentu dari firman Tuhan. Bila ini terjadi, saya anjurkan agar kita mencari informasi dari orang yang lebih memahami firman Tuhan untuk memberikan penjelasannya. Namun saya kira kasus seperti ini tidak banyak; yang lebih banyak adalah kasus perbedaan kematangan rohani dan pengenalan akan karakter Tuhan. Ini membawa saya ke poin berikutnya.
Ketiga, pribadi yang lebih matang harus bersabar dan bertenggang rasa dengan pasangan yang lebih lemah dalam iman dan dalam pengenalan akan karakter Tuhan. Firman Tuhan mengingatkan, "Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. Kita yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat...untuk membangunnya." (
Saya kira keterbukaan si istri justru akan membuat si suami lebih respek kepada si istri. Silakan ceritakan kepada si suami pergumulan pribadinya memberi persepuluhan namun terus upayakan kemenangan dalam pergumuluan ini. Ingat, fokus utama yang harus menjadi perhatian si istri bukanlah kerelaan si suami memberi persepuluhan melainkan kematangan rohani dan pengenalannya akan karakter Tuhan. Percuma saja bila si suami memberi persepuluhan namun tetap tidak memahami karakter Allah bahwa sebenarnya Ia adalah Allah yang baik dan bahwa Ia ingin memberi anak-Nya kesempatan untuk menyatakan kepercayaan dan kasih kepada-Nya. Bagaimana mungkin ia memberikan persepuluhan dengan penuh syukur jika ia sendiri tidak mengalami kasih Tuhan terhadap dirinya?
Sebagai kesimpulan, arahkan perhatian kita pada akar masalahnya yakni kematangan rohani dan pengenalan akan karakter Tuhan. Jangan berpuas diri dengan penampilan. Doakan agar pasangan kita bertumbuh dewasa serta makin mengenal Kristus dan dari pihak kita sendiri, jadilah contoh yang konsisten. Perbedaan nilai moral tidak selaras dengan perdebatan melainkan dengan pertumbuhan.
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 7130 kali dibaca