Menolong Suami Menjadi Ayah

Versi printer-friendly
Penulis: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Sumber: 
Eunike
Abstrak: 
Salah satu peranan istri yang penting dalam keluarga (dan sudah tentu, peranan suami pula di pihak sebaliknya) adalah menolong suami menjadi ayah. Kedua peranan ini, yakni sebagai suami dan sebagai ayah, tidaklah secara otomatis dapat dilakonkan oleh semua pria dengan sama baiknya. Sebagian pria, jauh lebih siap menjadi suami ketimbang ayah; sebagian lagi lebih siap menjadi ayah daripada suami.
Isi: 

Salah satu peranan istri yang penting dalam keluarga (dan sudah tentu, peranan suami pula di pihak sebaliknya) adalah menolong suami menjadi ayah. Kedua peranan ini, yakni sebagai suami dan sebagai ayah, tidaklah secara otomatis dapat dilakonkan oleh semua pria dengan sama baiknya. Sebagian kita, pria, jauh lebih siap menjadi suami ketimbang ayah; sebagian lagi lebih siap menjadi ayah dari pada suami. Pertanyaannya adalah, ayah seperti apakah yang seharusnya menjadi sasaran model setiap pria kristiani? Saya kira pertanyaan ini perlu kita ajukan agar pria bisa memahami bahwa ia bukan sedang "Dibentuk" sesuai selera istrinya belaka, melainkan sedang ditolong untuk menjadi ayah sebagaimana yang Tuhan kehendaki-tugas yang memang tersirat dalam penciptaan Hawa untuk Adam.

Firman Tuhan melukiskan hubungan Allah dengan kita, umat-Nya, sebagai hubungan antara Bapa dengan anak. Paulus menegaskan hal ini dengan mengatakan, "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya" (Efesus 1:5). Saya kira kita tidak perlu mencari jauh-jauh model ayah yang seharusnya menjadi sasaran kita bersama. Firman Tuhan dengan jelas dan dalam banyak kasus menjabarkan apa yang Allah lakukan dalam kapasitas-Nya sebagai bapa. Berikut ini akan saya paparkan dua hal yang berulang kali Allah lakukan kepada kita anak-anak-Nya dan sumbangsih yang dapat istri berikan kepada suaminya.

Ia Mengasihi Anak-anak-Nya

Firman Tuhan menyatakan, "Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah dan memang kita adalah anak-anak Allah" (1 Yohanes 3:1). Berulang kali dan dalam pelbagai kesempatan Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita; pada puncaknya Ia menyerahkan Putra Tunggal-Nya mati untuk menebus hukuman dosa kita.

Ada sebagian ayah yang mungkin berkata, "Saya mengasihi anak saya tetapi saya tidak perlu mengatakan hal itu kepadanya. Dia pasti tahu." Dalih "dia pasti tahu" mungkin tepat karena sebagian anak memang tahu bahwa ia dikasihi ayahnya meski ia tidak pernah mendengar uangkapan kasih itu dari mulut ayahnya. Namun, kenyataannya adalah, tidak semua anak tahu bahwa ia dikasihi ayahnya. Jika kita jujur terhadap diri kita, bukankah pernyataan, "Saya dikasihi ayah" lebih merupakan pernyataan teoritis pernyataan yang keluar dari sesuatu yang dianggap lazim. Dengan kata lain, pada waktu kita berujar, "Saya dikasihi ayah" sebenarnya yang kita ingin kemukakan adalah, "Ayah mengasihi saya sebab bukankah seharusnya semua ayah mengasihi anaknya?"

Di sini saya ingin membedakan antara "yang seharusnya" dan "yang terjadi." Memang, seharusnyalah anak dikasihi ayah, namun apakah itu yang sungguh terjadi? Kita hanya tahu bahwa itu sungguh terjadi bila kita mengalami, menyaksikan dan menerima kasih ayah. Kasih hanya ada sewaktu kasih itu diberikan dan diterima; kasih yang dianggap ada tidaklah sama dengan kasih yang sungguh-sungguh ada. Kasih diberikan tatkala uangkapan kasih itu diperlihatkan dengan riil dan kasih hanya bisa diterima bila kasih itu terlihat nyata.

Ada sebagian ayah yang mungkin sekarang memprotes, "Saya sudah menunjukkan kasih saya dengan bekerja." Bekerja adalah bagian kewajiban dan tanggung jawab kita berkeluarga dan segala sesuatu yang merupakan kewajiban tidaklah dapat dijadikan ukuran kasih. Saya berikan sebuah contoh. Dapatkah kita berkata bahwa pelayan di rumah makan itu mengasihi kita oleh karena ia melakukan tugasnya dengan baik, yakni melayani kita di meja makan? Saya yakin kita semua akan menjawab, "Tidak." Jadi, kesetiaan kita bekerja tidaklah dapat disamakan dengan kasih kita kepada anak. Ada yang bekerja dengan susah payah karena kasihnya kepada keluarga, namun ada pula yang bekerja dengan rajin karena memang ia seseorang yang rajin dan ada yang setia dalam pekerjaannya sebab ia menyukai pekerjaannya - motivasi yang tidak serta merta berkaitan dengan kasih kepada anak.

Kalau demikian kenyataannya, apakah itu yang dapat dijadikan ukuran kasih? Ternyata kasih hanya dapat diperlihatkan dengan jelas melalui pengorbanan tindakan yang melewati garis kewajiban dan tanggung jawab. Pengorbanan adalah tindakan mengesampingkan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan yang lain di mana tindakan itu sendiri akan atau setidaknya berpotensi membawa kerugian pada diri kita. Jadi, kasih ayah kepada anak hanya dapat dilihat dengan jelas jika anak bisa menyaksikan bahwa ayah telah berkorban untuknya.

Mari kita kembali kepada Allah sebagai Bapa kita. Bagaimanakah Ia menyatakan kasih-Nya kepada kita? Ternyata Allah tidak pernah hemat dengan kata-kata-Nya. Terlalu banyak bagian Firman Tuhan yang memuat ungkapan verbal kasih Allah kepada kita. Allah tidak pernah malu untuk mengatakan bahwa Ia mengasihi kita. Allah juga menyatakan kasih-Nya melalui tindakan nyata, seperti menolong, menyelamatkan, membebaskan, memberkati dan bahkan mati untuk kita - pengorbanan yang membawa kerugian nyawa. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa Allah mengasihi kita berdasarkan dua hal : ucapan-Nya dan perbuatan-Nya yang mengandung nilai pengorbanan.

Sekarang kita sudah memiliki sasaran yang jelas. Sebagai ayah kita harus mengasihi anak melalui ucapan dan perbuatan yang mengandung pengorbanan. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimanakah istri dapat menolong suami menjadi ayah yang mengasihi anak melalui perkataan dan perbuatan? Ada beberapa hal yang saya pelajari dari istri saya dan akan saya bagikan di sini.

Pertama, istri dapat menerjemahkan suara hati anak agar ayah dapat lebih peka dengan kondisi anak. Bila Anda seperti saya, kita para pria pada dasarnya tidak terlalu peka dengan kondisi dan perasaan anak. Sebaliknya, selain lebih peka, kaum ibu pada umumnya lebih dekat dengan anak. Saya kira hal ini dapat dimaklumi oleh karena ibulah yang lebih banyak mencurahkan waktu untuk mengasuh anak dan mereka pulalah yang lebih banyak bersama dengan anak.

Dalam keluarga kami, anak-anak jauh lebih terbuka kepada istri saya daripada kepada saya. kadang anak saya mengalami pergumulan tertentu dan kalau istri saya tidak menyampaikannya kepada saya, niscaya saya tidak akan tahu apa-apa. Seringkali istri sayalah yang membagikan isformasi itu dan meminta saya untuk mendekati si anak. Bagi saya, kesempatan seperti ini adalah kesempatan emas untuk menjalin kedekatan dengan anak sekaligus untuk memberi pertolongan pada saat ia membutuhkannya. Dengan kata lain, yang istri saya lakukan adalah menciptakan kesempatan bagi saya untuk memberi bantuan kepada anak saya pada saat ia membutuhkannya- tindakan kasih yang nyata.

Kedua, istri dapat mendorong komunikasi langsung antara ayah dan anak. Saya mencoba untuk terbuka dengan anak dan berusaha keras untuk memelihara tali komunikasi dengan mereka. Namun tetap saja anak-anak lebih siap untuk bercerita dengan istri saya. menghadapi situasi seperti ini, istri saya senantiasa mendorong anak-anak untuk langsung berbicara dengan saya. Komunikasi langsung membuka keran keluarnya ungkapan verbal bahwa saya mengasihi anak dan sebaliknya, mereka pun semakin tidak canggung mengutarakan perasaannya kepada saya.

Namun, saya pun ingin jujur mengakui bahwa sikap saya pribadi juga berpengaruh besar terhadap keinginan anak untuk berkomunikasi langsung dengan saya. Saya berikan contoh. Menurut pengamatan saya, istri saya lebih sering memarahi anak daripada saya, tetapi anehnya, anak saya jauh lebih berani berkomunikasi langsung dengannya ketimbang saya. Saya kira salah satu penyebabnya adalah, kemarahan istri - walau lebih sering-tidak memisahkannya dari anak, sedangkan kemarahan saya-kendati lebih jarang-memisahkan saya dari anak.

Saya jelaskan apa yang saya maksudkan melalui contoh beriku ini. Misalkan anak kami lupa membawa handuk dan meminta istri saya untuk mengambilkannya. Karena kealpaan ini sudah sering terjadi, istri menegurnya namun ia melakukan hal ini seraya membawakan handuk kepada anak. Sebaliknya, dalam kemarahan saya cenderung menegur tanpa melakukan apa yang dimintanya. Ini yang saya maksud dengan kemarahan memisahkan saya dari anak. Sebaliknya dengan istri saya, kemarahannya tidak menciptakan pemisah antara dirinya dan anak. Saya kira faktor ini mempengaruhi komunikasi kami dengan anak dan sebagai ayah, kita harus pula mengintrospeksi diri.

Ia Mendisiplin Anak-anak-Nya

Sebagai bapa, Allah pun mendisiplin kita, anak-anak-Nya, sebagaimana tertulis dalam Firman-Nya di Ibrani 12:5-7.

Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya: karena Tuhan menghajar orang yang dikasi-Nya dan ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Jika kamu harus menanggung ganjaran. Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar ayahnya?

Ada dua kata yang ingin saya bahas di sini. Pertama, istilah "menghajar" dalam ayat ini mempunyai makna "mendisiplin atau melatih anak." Akar kata istilah ini ialah pais yang berarti anak. Jadi, kata mendisiplin atau menghajar terkait erat dengan makna mendisiplin anak, yaitu mengarahkan atau membentuk anak menjadi seperti yang diinginkan orangtuanya. Allah sebagai bapa mendisiplin kita supaya kita bertumbuh seperti yang diinginkan-Nya.

Kedua, istilah "menyesah" secara harfiah mengandung arti "mencambuk" sebagaimana digunakan oleh Matius 27:26 dan Yohanes 19:1 sewaktu mereka mengisahkan penyiksaan yang dialami Tuhan Yesus sebelum Ia disalibkan. Jadi, kata menyesah di sini merujuk kepada upaya menghukum yang menimbulkan rasa sakit pada si penerima hukuman. Dari pelbagai contoh yang dicatat di Alkitab, saya kira kita dapat melihat bahwa Allah tidak pernah ragu menghukum anak-anak-Nya dengan hukuman yang berat, jika memang itu yang diperlukan. Misalnya saja, akibat ketidaktaatannya, berkali-kali bani Israel menerima hukuman Tuhan, baik sewaktu menuju Kanaan ataupun setelah mereka menetap di Tanah Perjanjian itu.

Dari kedua istilah ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Allah, sebagai bapa, tidak akan ragu mendisiplin kita bahkan dengan disiplin yang menyakitkan sekalipun. Jadi, sebagai ayah, kita pun dipanggil Tuhan untuk mendisiplin anak dan saya kira, setiap anak akan setuju bahwa disiplin adalah tindakan yang menyakitkan. Sebagai catata, saya perlu mengingatkan bahwa penggunaan pukulan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak melukai anak atau menanamkan benih kepahitan (tawar hati) pada anak (Kolose 3:21). Berikut ini saya akan membagikan apa yang istri saya lakukan untuk menolong saya mendisiplin anak dengan benar.

Pertama, istri dapat menyampaikan reaksi anak terhadap kesalahannya. Sebagaimana saya katakan sebelumnya, kebanyakan wanita lebih peka dengan hal-hal yang menyangkut perasaan dibanding kita, peria. Ternyata kepekaan istri saya sangat bermanfaat dalam memahami isi hati anak-anak kami, terutama setelah pelanggaran. Saya masih ingat beberapa peristiwa di mana saya harus mendisiplin anak kami. Pada saat-saat seperti itu yang ada dalam benak saya hanyalah pemikiran bahwa si anak patut mendapatkan sanksi atas tindakannya. Tidak senantiasa saya dapat mempertimbangkan perasaannya, dan dalam kemarahan tidak selalu saya mau memperhatikan perasaannya. Istri sayalah yang mengingatkan saya untuk lebih berhati-hati dengan sanksi yang akan saya berikan.

Bagaimanakah ia mengingatkan saya akan perasaan anak-anak? Biasanya ia memberitahukan saya bahwa anak kami sudah menyesali perbuatannya atau merasa takut menerima hukuman saya dan bahwa sesungguhnya ia tidak sengaja melakukan kesalahan itu. informasi-informasi seperti ini menolong saya untuk mengendalikan reaksi saya agar lebih proporsional dalam memberikan sanksi kepada anak. Pada saat-saat seperti itu saya tidak dapat melihat dengan jelas dan cenderung gagal memahami isi hati anak. Istri sayalah yang berperan menyampaikan reaksi anak kepada saya sehingga saya bisa memberi respons yang lebih tepat.

Kedua, istri harus menjadi panutan kepatuhan kepada suami. Disiplin baru dapat dianggap berhasil bila produk akhir dari disiplin itu sendiri adalah respek, bukan kebencian atau ketakutan. Tuhan memberi tugas utama kepada ayah untuk menjalankan disiplin di dalam keluarga (Efesus 6:4), namun disiplin dari ayah barulah mencapai hasil yang optimal bila anak respek terhadap ayahnya. Dengan kata lain, ayah pun bertanggung jawab untuk menjalani hidup yang mengundang respek, bukan pelecehan, dari anak dan istri.

Selain itu, istri pun dituntut untuk menghormati dan tunduk kepada suaminya; perintah yang paralel juga diberikan Tuhan kepada anak (Efesus 5:22; 6:1 ; Kolose 3:18,20). Implikasinya adalah, ibu perlu memberi contoh kepatuhan kepada ayah-contoh yang dapat ditiru oleh anak. Kita tahu bahwa anak belajar melalui apa yang dilihatnya lebih dari apa yang didengarnya. Ini berarti anak akan lebih mudah belajar patuh kepada ayahnya bila ibu menempatkan diri di bawah otoritas ayahnya pula. Saya kira sulit bagi anak untuk patuh kepada ayahnya jika ia tidak melihat kepatuhan itu pada ibunya.

Salah satu hal yang saya hargai dari istri saya ialah, ia berusaha untuk menunjukkan respek dan kepatuhan kepada saya. Tanpa dukungan istri saya, mustahil saya dapat menerapkan disiplin secara efektif di rumah kami. Bayangkan apa yang akan diserap oleh anak bila ia melihat ibu melecehkan ayahnya. Tanpa ia sadari, perlahan tetapi pasti, ia pun akan mulai melecehkan ayahnya. Sekali lagi saya tekankan, kepatuhan kepada ayah dimulai dari ibu, sebelum bisa berlanjut pada anak. Namun, kepada ayah saya berpesan, berhati-hatilah dengan hidup Anda, sebab respek tidak dibeli dengan uang atau diperoleh dengan intimidasi. Respek bertunas dari kekaguman terhadap hidup yang benar!

Kesimpulan

Saya mencoba menulis artikel ini dengan penuh kehati-hatian sebab saya tidak ingin meninggalkan kesan bahwa istrilah yang bertanggung jawab penuh menciptakan "ayah" dari seorang "suami." Kegagalan suami menjadi ayah sudah tentu tidak dapat diartikan sebagai kegagalan istri menolong suami menjadi ayah. Sebagai ayah, kita bertanggung jawab untuk hidup sesuai dengan panggilan itu.

Saya menyadari begitu banyak istri yang merana karena suami mereka tidak berfungsi sebagai ayah. Saya tidak bermaksud menambahkan beban Anda. Namun, saya ingin mengatakan, mungkin masih ada beberapa hal praktis yang dapat Anda, sebagai istri, lakukan untuk menolong suami Anda. Saya dan para suami tidak berniat buruk; kami hanyalah tidak tahu apa yang kami harus lakukan dan kami tidaklah begitu peka dengan kebutuhan emosional anak. Jadi, tolonglah kami menjadi ayah yang lebih baik; berilah kami dorongan dan petunjuk.....dengan penuh kesabaran.