"Mendisiplin Anak dengan Benar" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mendisiplin Anak dengan Benar". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Kita memang tidak bisa menyamaratakan pendisiplinan untuk semua anak, jadi kita harus mengenal anak dengan baik. Tapi pada intinya adalah kita harus meyakini bahwa disiplin adalah hal yangpenting dalam pembentukan diri si anak itu.
Tidak memberikan disiplin berarti merugikan si anak, tapi kita juga harus menyadari bahwa pemberian disiplin secara tidak tepat, itu juga akan berdampak buruk dan pada akhirnya merugikan si anak. Jadi kita harus belajar hal ini.PG : Biasanya di saat-saat awal kita tidak begitu melihat reaksi si anak karena anak itu terlalu kecil. Dan umumnya kita baru melihat reaksi si anak itu pada usia remaja, kalau dia pada usia reaja sudah mulai memberontak maka dapat dipastikan bahwa ada hal-hal yang kurang tepat sehingga akhirnya dia memberontak kepada kita, atau ada juga anak tidak memberontak, namun dia memutuskan hubungan dengan kita dan tidak mau lagi dekat dengan kita.
Bisa jadi itu adalah akibat dari penerapan disiplin yang kurang tepat kepadanya.PG : Biasanya Pak Gunawan, kita bisa melihat hal itu dari reaksi-reaksinya. Kalau dia menolak itu berarti sama sekali dia tidak mau dekat dengan kita, tidak bisa diajak bicara, menjauh. Namun klau misalnya dia anak yang suka bicara terbuka tapi kadang-kadang juga bisa memberontak, marah, berarti dia bukannya menolak tapi itu adalah bagian dari pertumbuhannya, dia tidak begitu suka dengan hal-hal yang kita lakukan.
Jadi kita harus melihat apakah reaksinya itu benar-benar reaksi yang menyeluruh, tidak mau ada hubungan dengan kita. Kalau itu yang terjadi maka itu adalah penolakan terhadap diri kita.PG : Kata mendisiplin berasal dari kata bahasa Inggris, "to disciple" yang artinya adalah memuridkan atau menjadikan seseorang murid. Latar belakang budaya saat itu, waktu seseorang menjadi murd, bukan saja diharapkan dia memelajari ilmu sang guru, tapi juga berpikir dan berperilaku seperti si guru itu.
Jadi kita bisa sedikit banyak menyimpulkan bahwa mendisiplin anak artinya menanamkan nilai moral dan pengetahuan yang benar pada anak. Jadi dia perlu tahu, ini adalah aspek pengetahuan dan itulah tugas kita. Kedua, kita juga harus membuatnya berpikir dan berperilaku seperti kita. Jadi bukan saja pemikiran atau ilmu tapi juga perilakunya. Itulah konsep yang mendasari disiplin di dalam budaya Yahudi dan juga yang tertera di Alkitab.PG : Itu sebabnya berdasarkan pemahaman ini sudah tentu diperlukan bukan saja pengetahuan yang benar tetapi juga perilaku yang benar dari diri kita sendiri, karena mustahil kita akan dapat menaamkannya dalam diri anak jika kita sendiri tidak memunyai keduanya.
Jadi singkat kata, syarat pertama untuk mendisiplin anak adalah memiliki pengetahuan yang benar dan juga hidup yang benar. Sebagai orang Kristen, pengetahuan dan nilai moral yang benar berasal dari pengenalan akan Tuhan lewat firman-Nya di Alkitab, sedangkan hidup benar bersumber dari ketaatan kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Jadi inilah dua kunci yang harus ada di dalam diri kita sebelum nantinya kita menjadi guru yang membentuk anak menjadi murid kita.PG : Betul sekali. Jadi anak lebih banyak belajar bukan dari perkataan kita, tapi dari perbuatan kita. Misalkan kita berkata kepada anak, "Jangan marah" tapi kita selalu marah-marah maka sudah entu yang anak akan lihat adalah marah-marahnya kita.
Jadi kita selalu harus mawas diri dengan perbuatan kita.PG : Mendisiplin tidak berhenti sewaktu anak "tidak melakukan" apa yang kita larang. Jadi misalkan kita berkata kepada anak, "Kamu jangan pulang terlalu malam," dan kemudian anak itu tidak pulag terlalu malam.
Disiplin tidak berhenti sewaktu anak tidak melakukan hal yang kita larang, mendisiplin harus berlanjut sehingga anak "melakukan apa yang kita minta" jadi melakukan yang positif, dan bukan hanya melakukan yang negatif. Misalkan dalam contoh tadi anak bukan hanya mengikuti kita tidak pulang malam, tapi misalkan anak juga memunyai kerelaan untuk menolong kita, tidak dimintai bantuan pun tapi dia akan memberikan bantuan, waktu anak sanggup melakukan hal-hal yang positif yang juga kita harapkan darinya maka disitulah kita bisa berkata, "Kita telah berhasil mendisiplinnya."PG : Betul. Jadi kalau anak akhirnya hanya bisa menghentikan perilaku yang tidak kita inginkan, berarti dia itu hanya tahu sepotong bahwa dia telah berhasil dibina secara sepotong. Sekali lagi ujuan akhir mendisiplin anak adalah agar dia memunyai pengetahuan dan nilai moral yang benar serta hidup benar.
Jadi tatkala anak berhenti untuk tidak melakukan, itu berarti dia belum benar-benar menghayati dan menerima nilai-nilai yang ditanamkan itu. Bila kita terlalu menitik beratkan pada yang salah dan bukan pada yang benar, maka akhirnya anak pun akan tahu apa yang salah dan bukan pada yang benar. Contoh, misalkan waktu barangnya diambil oleh si adik kemudian dia marah karena dianggap miliknya diambil. Sudah tentu nanti kita harus mengajarkan dia bukan saja jangan marah karena adikmu itu karena belum mengerti, tapi kita juga harus melihat apakah nanti si anak itu dengan sendirinya rela meminjamkan barangnya kepada si adik. Jadi disiplin yang tuntas adalah disiplin yang bukan saja menghentikan perilaku negatif tapi berhasil memunculkan perilaku yang positif pada diri si anak itu.PG : Betul. Jadi biasanya pada waktu anak-anak kecil kita memulai dengan yang negatif, kita melarang dia atau membatasi perilakunya namun semakin besar, semakin kita harus menunjukkan yang posiif-positifnya sehingga nanti anak juga tahu apa yang positif yang baik yang harus dilakukannya dan dengan sendirinya dia bisa melakukannya.
Kalau saya boleh intisarikan, tidak cukup bagi kita tidak membenci orang, tapi kita juga harus mengasihi orang. Tuhan meminta kita untuk jangan membenci, tapi Tuhan juga meminta kita untuk mengasihi. Jadi langkahnya bukan saja berhenti di titik netral, "Kita tidak melakukan perilaku membenci" tapi kita harus maju selangkah lagi yaitu justru harus mengasihi. Inilah disiplin yang tuntas yang harus kita tanamkan kepada diri si anak.PG : Kadang kita menyamakan disiplin dengan hardikan atau hukuman fisik, tapi sebetulnya mendisiplin anak tidak selalu dengan memukul anak atau memarahi anak. Mendisiplin dimulai dengan memberiahukan anak akan apa yang benar atau yang diharapkan darinya, jika anak tidak melakukannya maka kita harus memberinya peringatan bahwa jika ini berulang maka kita terpaksa menghukumnya.
Seringkali yang lalai kita lakukan ialah kadang kita langsung menghukumnya tanpa memberitahukannya terlebih dahulu akan apa yang diharapkannya dan konsekuensi yang harus ditanggungnya bila ia tidak melakukannya. Singkat kata, mendisiplin anak harus lebih berpusat pada mengarahkannya dan bukan pada membatasinya, kendati kadang kita juga harus membatasi perilaku anak.PG : Dibenarkan. Sudah tentu pada masa anak-anak kecil mereka masih belum bisa diberikan penjelasan-penjelasan sehingga sudah tentu akan ada hardikan, teguran supaya anak itu akhirnya takut denan kita.
Tapi yang saya mau tekankan adalah dengan bertambahnya usia anak maka hardikan atau teguran keras itu sudah tentu harus digantikan nantinya dengan penjelasan-penjelasan. Kalau anak-anak itu hanya takut kepada kita, akhirnya mereka akan membuat sebuah kesimpulan; kalau tidak ada orang tua, berarti saya harus melakukan yang saya ingin lakukan. Itu sebabnya dalam mendisiplin tujuannya bukan saja anak takut pada hardikan atau teguran-teguran kita, tapi pada akhirnya dari dalam dirinya ada keinginan untuk melakukan hal-hal yang benar dan tidak melakukan hal yang salah. Jadi kita tidak mau anak kita akhirnya berlaku benar tatkala kita ada di sampingnya. Kita mau ini menjadi bagian dalam hidupnya sehingga dari dalam dirinya sendiri akan muncul keinginan melakukan hal yang benar meskipun tidak ada kita di situ.PG : Sudah tentu akan ada kemungkinan anak itu melakukan yang kita minta ketika kita ada di sini, di luar kita mungkin saja dia tidak melakukannya. Jadi selalu ada kekhawatiran itu, tapi sediki banyak kita memastikan itu tidak akan terjadi kalau di rumah kita sudah menerapkan yang kita bahas sekarang ini yaitu kita tidak hanya memfokuskan pada perilaku negatifnya atau bergantung pada hardikan atau teguran kita.
Bagaimanakah kita ini bisa memunculkan keinginan di dalam dirinya yaitu memunculkan hal-hal yang baik itu dalam dirinya sendiri tanpa kita harus menegur dia. Waktu kita melihatnya di rumah, dia melakukan hal seperti itu maka dapat kita duga di luar rumah pun dia juga akan melakukannya.PG : Jadi kita harus mengerti bahwa anak itu tidak akan selalu sanggup untuk melakukan yang kita inginkan, adakalanya dia juga gagal. Waktu itu terjadi adakalanya kita harus berupaya keras meneimanya dan tidak menghakiminya.
PG : Misalkan kita ini harus menghukum anak, jadi dia berbuat kesalahan setelah kita peringatkan, maka lakukanlah hukuman itu dengan segera setelah pelanggaran terjadi dan jangan menunda. Makinlama waktu penundaan maka makin tidak efektif pendisiplinan sebab hukuman itu tidak lagi terlalu dikaitkan dengan perbuatannya yang semula, selain itu penundaan juga membuatnya hidup dalam ketegangan yang tidak perlu, ketegangan menantikan turunnya hukuman.
Jadi makin cepat, makin segera maka semakin efektif disiplin kita itu kepadanya.PG : Itu baik sekali. Jadi kalau kita menyadari bahwa waktu kita marah, kita cenderung lepas kendali maka lebih baik jangan saat itu kita mendisiplin dia karena biasanya kalau dalam emosi tingg, kita tidak bisa mengendalikan diri.
Yang terjadi bukanlah pendisiplinan tapi penghamburan emosi, pelampiasan emosi belaka dan ini harus kita hindari sebab pendisiplinan tidak sama dengan pelampiasan emosi. Lebih baik kita tunda dulu, tenangkan diri dulu baru kita bicara. Maksud saya jangan sampai ditunda dua hari atau tiga hari, tapi dalam hitungan misalkan 1 atau 2 jam, itu masih dalam taraf normal.PG : Emosi anak itu relatif sudah turun kembali dan dia mau memulai hidupnya lagi, memulai aktifitasnya lagi. Waktu dia belum dihukum tapi sudah dijanjikan dihukum, akhirnya dia itu menjadi lumuh dan tidak bisa merencanakan sesuatu karena dibayang-bayangi oleh hukuman yang nanti akan turun atasnya.
Jadi dengan kata lain, makin lama penundaan yang pertama membuat tingkat kecemasannya makin tinggi dan ini yang kita mau hindari serta kita tidak mau anak-anak kita hidup dibayang-bayangi oleh kecemasan yang tidak perlu, jadi dengan segeralah. Dan yang juga penting, yang membuat anak menyadari anak menerima hukuman ini adalah karena perbuatannya yang tadi itu, sehingga dia langsung mengasosiasikannya, kalau lain kali waktu dia akan melakukan sesuatu atau keinginannya untuk berbuat yang tidak benar, akhirnya keinginan itu akan lebih cepat untuk dipadamkan karena dia sadar kalau perbuatan ini yang nantinya membuat orang tuanya marah kepadanya.PG : Sudah tentu tidak masalah mendisiplin anak secara fisik, tapi jangan menghukum dengan kekerasan yang melampaui batas. Boleh menggunakan tangan atau alat, namun pukullah pantatnya saja dengn tidak berlebihan dan jangan kita menamparnya, menjambaknya, menendangnya, menonjoknya, jangan seperti itu.
Jadi hukumlah anak sesuai dengan kesalahannya dan jangan kita membabi buta dengan memerlakukan semua kesalahan sama. Atau satu anak bersalah tapi kita memukul semuanya, juga jangan seperti itu. Tapi kita harus tepat sasaran, salahnya apa ? Siapa yang salah ? Itu yang nanti akan kita berikan disiplin dan jangan hanya gara-gara kesalahan satu anak kemudian semuanya kena.PG : Betul.
PG : Sebaiknya jangan karena kemarahan yang terlalu berlebihan, itu akan mengkomunikasikan dua hal. Yang pertama adalah kebencian. Jadi waktu anak melihat orang tua memarahinya dengan emosi yan begitu tinggi, yang dia tangkap bukanlah disiplin lagi tapi kebencian dan yang kedua adalah efeknya kepada anak, anak merasa ngeri sekali dengan kemarahan orang tua.
Tidak bisa tidak perasaan ngeri itu akan berdampak dan anak akan menjauh dari orang tua, tidak berani dekat-dekat lagi karena trauma oleh apa yang dilihatnya.PG : Betul. Jadi kadang-kadang orang tua meminta anak ketika akan dimarahi, dia harus duduk di sini, diam di sini dan jangan ke mana-mana, kalau dia semakin jauh maka orang tua biasanya semakinemosi.
Maka orang tua bisa menjelaskan, "Saya itu butuh kamu duduk di sini dan janganlah kemana-mana sebab saya mau tahu kalau kamu sungguh-sungguh mendengarkan saya, jadi jangan kamu pergi ketika saya marah."PG : Kita harus berhati-hati supaya jangan seenaknya memarahi anak lewat perkataan kita, sebab ingatlah bahwa perkataan yang keluar tidak bisa ditarik kembali. Jadi jagalah lidah tatkala memarai anak dan jangan sampai akhirnya kita bocor.
Misalkan kita mengeluarkan kata-kata yang seperti ini, "Dasar kamu ini tidak layak menjadi anak saya, seharusnya kamu itu bukan menjadi anak saya dan kenapa kamu itu menjadi anak saya." Meskipun hanya sekali diucapkan, tapi kata-kata itu biasanya sangat-sangat kuat sekali menancap di hati kita sehingga sayang sekali karena itu menjadi pewarna yang akan memengaruhi relasi kita dengan anak. Kenapa saya bilang sayang, sebab bisa jadi kita hanya mengatakan hal itu sekali dan kita mungkin menyesal dan kita tidak pernah melakukannya lagi. Banyak kebaikan yang kita berikan kepada anak tapi perkataan yang terlalu keras meskipun hanya sekali, cenderung tertanam di dalam diri si anak. Jadi saya mau ingatkan bahwa kita harus berhati-hati dengan perkataan kita tatkala kita sedang marah.PG : Bisa. Kadang-kadang anak juga menangkap bahwa ini adalah kemarahan yang dilontarkan lewat sindiran.
PG : Betul. Jadi kalau kita tidak hati-hati memarahi anak di depan temannya, di depan orang lain di muka umum, itu jauh lebih mempermalukan dan melukai hati si anak. Jadi sebisanya kita perlu mngingat prinsip ini bahwa kita perlu mendisiplin anak tapi jangan menghancurkan anak.
PG : Betul.
PG : Kalau bisa kita mengingat bahwa baik ayah maupun ibu, dua-dua harus mendisiplin anak sehingga akhirnya respek anak pada keduanya baik ibu maupun bapak bertumbuh berimbang. Jika kita mendisplin dengan benar maka anak akan respek kepada kita sebaliknya bila kita tidak mendisiplin dengan benar atau tidak mendisiplin sama sekali maka respek anak kepada kita juga tidak akan bertumbuh.
Jadi itu bagian yang harus kita tekankan pula, Pak Gunawan.PG : Betul. Kalau kita melakukannya dengan benar maka anak akan terus dan makin respek kepada kita.
PG : Betul.
PG : Kita juga harus bisa menyeimbangkan disiplin dengan pengampunan, kadang kita sengaja tidak memberikan hukuman atau konsekuensi atas perbuatannya sewaktu dia meminta maaf atau menyesali peruatannya.
Memang kita juga tidak bisa membiarkan anak menggunakan itu untuk memanipulasi kita, jadi sedikit-sedikit minta maaf sehingga dia bisa bebas melakukan yang dia ingin lakukan. Kalau kita lihat bahwa dia sengaja memanipulasi maka kita harus tegas dan tetap memberikan kepada dia hukuman. Tapi kalau kita melihat dia jarang melakukan kesalahan tapi dia menyesal dan minta maaf, apalagi kalau dia sudah ketakutan dan sebagainya maka lebih baik jangan kita hukum dan kita bisa mengatakan, "Memang kamu salah, tapi yang terpenting adalah kamu belajar dari kesalahan ini. Papa dan Mama mengampuni kamu." Jadi anak belajar pengampunan dari kita, anak yang tidak mendapatkan pengampunan akhirnya juga susah memberi pengampunan kepada orang lain.PG : Betul. Orang tua harus bijak dan jangan sampai membuat anak merasa, "Kenapa saya harus meminta maaf, karena ternyata tidak ada gunanya malahan dimanfaatkan untuk menyerang dan menjatuhkan aya," jadi dia merasa jera dan tidak akan melakukannya lagi.
PG : Betul. Kalau kita mau mengampuni, itu bukan berarti kita tidak konsisten, kita tahu kesalahannya apa, tapi dia memang menyesali dan kita mengampuni. Dan yang tidak konsisten adalah waktu da berbuat apa, sekali kita marahi dan berikutnya kita tahu dia berbuat apa tapi kita hanya mendiamkan saja, dan itu yang tidak boleh.
Tapi kita harus konsisten kalau ini adalah sebuah kesalahan, reaksi kita bisa memberikan konsekuensi atau hukuman, tapi bisa juga kita mengampuni dia.PG : Betul.
PG : Saya bacakan dari Hosea 6:1 dan 3, "Mari, kita akan berbalik kepada Tuhan, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita.Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan, Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi."
Tuhan Allah adalah Tuhan yang mendisiplin dan bukan hanya mengasihi, bahkan Ia menghukum dengan hukuman yang keras namun tujuannya jelas agar kita bertobat atau berbalik kepada Tuhan. Sewaktu kita bertobat, Ia segera datang kepada kita seperti fajar, seperti hujan untuk menyirami kita dengan kasih dan pengampunan-Nya. Kepada anak kita pun, kita harus bersikap sama, kita mendisiplinnya namun kita pun siap untuk membalutnya bila ia bertobat.GS : Itu adalah kasih Tuhan yang luar biasa yang perlu kita teladani dalam kehidupan keluarga kita. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mendisiplin Anak dengan Benar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Kita tahu bahwa sebagai orang tua kita harus mendisiplin anak namun kadang kita tidak tahu dengan pasti bagaimanakan mendisiplin anak dengan benar. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan tentang mendisiplin anak.
- Mendisiplin berasal dari bahasa Inggris, "to disciple" yang berarti memuridkan atau menjadikan seseorang murid. Kata ini berasal dari latar budaya di mana seorang murid diharapkan bukan saja memiliki pengetahuan yang dimiliki si guru tetapi juga hidup alias berpikir dan berperilaku seperti si guru. Jadi, mendisiplin berarti (a) menanamkan nilai moral dan pengetahuan yang benar tentang hidup pada anak dan (b) membuatnya berpikir dan berperilaku seperti kita. Singkat kata, syarat pertama untuk dapat mendisiplin anak adalah memunyai pengetahuan yang benar dan hidup benar. Dan, sebagai orang Kristen, pengetahuan dan nilai moral yang benar berasal dari pengenalan akan Tuhan lewat Firman-Nya sedangkan hidup benar bersumber dari ketaatan kita hidup sesuai kehendak Tuhan.
- Kedua, mendisiplin tidak berhenti sewaktu anak "tidak melakukan" apa yang kita larang. Mendisiplin mesti berlanjut sehingga anak "melakukan" apa yang kita minta. Jika anak hanya berhenti melakukan apa yang kita larang namun tidak melakukan apa yang kita ajarkan, itu berarti pendisiplinan belum tuntas. Sekali lagi, tujuan akhir mendisiplin anak adalah agar ia mempunyai pengetahuan dan nilai moral yang benar serta hidup benar. Tatkala anak berhenti pada "tidak melakukan" itu berarti ia belum benar-benar menghayati dan menerima nilai yang ditanamkan itu. Bila kita terlalu menitikberatkan pada apa yang "salah" dan bukan pada apa yang "benar" maka pada akhirnya anak pun hanya tahu akan apa yang "salah" bukan pada apa yang "benar."
- Ketiga, kadang kita menyamakan disiplin dengan hardikan atau hukuman fisik, tetapi sebetulnya mendisiplin anak tidak selalu dengan memukul anak atau memarahi anak. Mendisiplin dimulai dengan memberitahukan anak akan apa yang benar atau diharapkan darinya. Singkat kata, mendisiplin anak harus lebih berpusat pada mengarahkannya, bukan pada membatasinya-kendati kadang kita pun harus membatasi perilaku anak.
- Jika harus menghukum anak, lakukanlah dengan segera setelah pelanggaran terjadi, jangan menundanya. Makin lama waktu penundaan, makin tidak efektif pendisiplinan sebab hukuman itu tidak lagi terlalu dikaitkan dengan perbuatannya yang semula. Selain itu, penundaan juga membuatnya hidup dalam ketegangan yang tidak perlu-ketegangan menantikan turunnya hukuman.
- Menghukum anak secara fisik perlu dilakukan dengan bijak. Jangan menghukum dengan kekerasan yang melampaui batas; boleh gunakan tangan atau alat namun pukullah pantatnya saja dengan tidak berlebihan. Juga, hukumlah anak sesuai kesalahannya, jangan menyamaratakan segalanya.
- Berhati-hatilah dengan emosi marah, sebab sering kali emosi marah yang kuat menimbulkan trauma pada anak melebihi hukuman itu sendiri.
- Menghukum tidak berarti boleh seenaknya memarahi anak. Ingat, perkataan yang keluar tidak bisa ditarik kembali. Jadi, jagalah lidah tatkala memarahi anak.
- Baik ibu maupun ayah harus mendisiplin anak sehingga respek anak pada keduanya bertumbuh berimbang.
- Mendisiplin harus diimbangi dengan mengampuni. Kadang kita sengaja tidak memberinya konsekuensi ketika ia meminta maaf atau menyesali perbuatannya. Melalui pengampunan anak akan belajar mengampuni pula.
- Firman Tuhan: "Mari, kita akan berbalik kepada Tuhan, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita . . . . Marilah kita mengenal dan sungguh-sungguh mengenal Tuhan; Ia pasti muncul seperti Fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi" (Hosea 6:1&3). Tuhan Allah kita adalah Allah yang mendisiplin, bukan hanya mengasihi. Kadang Ia bahkan menghukum dengan hukuman yang keras. Namun, tujuannya jelas: agar kita bertobat atau berbalik kepada Tuhan. Sewaktu kita bertobat, Ia segera datang kepada kita seperti Fajar, seperti hujan untuk menyirami kita dengan kasih dan pengampunan-Nya. Kepada anak kita pun harus bersikap sama: kita mendisiplinnya namun kita pun siap membalutnya bila ia bertobat.