Lanjutan dari T45A
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan daripada perbincangan kami beberapa waktu yang lalu, tentang "Menjahit masa laluku", karena masih ada banyak hal yang masih perlu kami perbincangkan pada kesempatan ini. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Pada dasarnya kita mengakui bahwa masa lalu itu memang acapkali berdampak pada kehidupan kita sekarang ini. Nah, dampaknya itu bergantung pada berapa manisnya atau berapa pahitnya hal yng kita alami itu.
Hal-hal yang manis akan membuat kita bangga tentang diri kita dan akhirnya membuat kita berani untuk membuka diri kepada orang lain. Kebalikannya hal-hal yang pahit akan membuat kita malu mengenangnya dan kita mencoba untuk menutupinya dari kehidupan kita sehingga kita tidak mau orang lain mengetahui kehidupan kita itu. Nah masa lalu ini tidak bisa kita lepaskan dari hidup kita, nah sering kali yang kita lakukan adalah untuk yang memang pahit itu akan mencoba untuk merobeknya dari kehidupan kita ibarat baju yang kita sobek. Nah makanya topik pada hari ini adalah "Menjahit masa laluku," dalam pengertian memang kita perlu menempelkannya kembali ke dalam hidup kita dengan cara menjahitnya. Nah jahitan di sini berarti satu lubang demi satu lubang, kita tidak menjahit sekaligus, kita menjahit satu lubang demi satu lubang. Jadi proses penyembuhannya juga akan memerlukan proses satu hal demi satu hal, satu hari lepas satu hari seperti itulah.PG : Kalau memang tidak mengganggu kita, silakan kita singkirkan dari benak kita tidak apa-apa, namun kalau memang mengganggu pandangan kita tentang kita, mengganggu emosi kita, dan juga menganggu kita dalam hubungan dengan orang lain, nah kalau sudah sampai ke taraf seperti itu, saya kira kita harus hadapi.
PG : Saya membaginya dalam 8 tahapan Pak Gunawan, tahap pertama adalah kita perlu mengakui keberadaan bagian hidup yang memalukan itu, mengakui berarti tidak lagi menyangkalinya. Nah, ini mugkin tampaknya sepele, namun sebetulnya untuk peristiwa yang memalukan kecenderungan kita yang pertama adalah menyangkalinya atau kita mencoba mendistorsinya bahwa o...tidak
begitu kok peristiwanya, o... bukan itu yang terjadi, jadi dengan kata lain kita mencoba untuk mengubah peristiwanya, sehingga tidak lagi persis sama seperti yang kita alami. Nah langkah yang pertama harus kita akui itu benar-benar terjadi seperti itu.PG : Rasionalisasi akan penting dan ada tempatnya, namun bukan pada tahap pertama. Jadi tahap pertama tetap harus kita akui apa adanya.
PG : Kita harus memeriksa pelaku atau penyebab utama peristiwa itu, artinya kita harus melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang bertanggung jawab. Nah, ini bisa menyangku diri kita sendiri yang bertanggung jawab atau orang lain.
Kecenderungan kita sering kali berat di kiri atau berat di kanan tidak bisa berada di tengah-tengah, kecenderungan kita yang pertama misalnya adalah menyalahkan orang lain. Semua salah orang, semua salah papa mama, salah keadaan, semua salah teman, semua salah gereja, ah semuanya salah Tuhan, jadi kita tidak mau memikul tanggung jawab. Nah, kecenderungan yang berikutnya adalah menyalahkan diri sendiri, semua salah saya, kalau saja saya lebih pintar, saya lebih tanggap, saya lebih mengerti, saya lebih dewasa, saya bertindak seperti ini dan itu, tidak akan terjadi, sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Jadi pada akhirnya semua kesalahan saya. Nah, pada tahap memeriksa kita harus melihat jelas, sebetulnya siapa yang bertanggung jawab, siapa yang melakukannya, apakah saya mempunyai pilihan saat itu. Kalau saya tidak punya pilihan, mengapa pilihan itu tidak bisa saya ambil, kalau misalnya ada pilihan tapi saya tidak bisa mengambilnya, mengapa kok saya tidak bisa memikirkannya dan bertindak seperti itu. Nah, kita harus melihat dengan jelas kesalahan siapa, mungkin sebagian kita sebagian yang lainnya.PG : Sangat sulit sekali karena harus kita ingat kalau ini sudah terjadi misalnya 20 tahun yang lampau, berarti masa lalu itu kita akui atau tidak sudah membantu atau membentuk konsep diri kta atau pandangan kita tentang hidup ini, dan sulit sekali untuk kita bisa mengubahnya.
Saya berikan contoh yang gampang, misalnya seperti tadi, atau pada waktu yang terakhir kita membahasnya, sebagai suatu contoh pula. Kalau ada seorang wanita yang kesulitan untuk mempercayai pria karena ayahnya bermain serong dengan wanita lain, dan dia misalkan sudah hidup dengan konsep seperti ini selama 20 tahun. Misalkan ayahnya bermain serong pada saat dia berusia 10 tahun, sekarang dia usia sudah 30 tahun, sudah 20 tahun mempunyai anggapan bahwa laki-laki itu tidak bisa dipercaya, sebab 10 tahun pertama hidupnya sangat mempercayai pria, dalam hal ini ayahnya. Setelah dikhianati dan dikecewakan, dia terpaksa mengubah keyakinannya tentang hidup ini. Nah, ini sudah menjadi bagian dari hidup dia dan menjadi suatu yang integral dalam konsep pemikirannya, bahwa hidup ini perlu berhati-hati terutama terhadap pria, dan saya tidak akan sembarangan dengan pria dan saya harus berhati-hati dengan pria. Jadi sudah membentuk siapa dia, dan cara dia bersikap terhadap hidup ini. Kalau sekarang ini dia mau berubah, dia harus mengubah bukan saja satu keping dari kehidupannya namun seluruh kehidupannya akan berubah. Nah, ini yang kadang kala susah dia lakukan karena berarti dia harus mulai mempercayai pria lagi dan dia itu sudah terbiasa untuk tidak mempercayai pria dan hidupnya sudah relatif aman. Waktu dia harus mempercayai pria lagi wah....resikonya ini jangan-jangan nanti saya ditipu, akhirnya kebanyakan tidak begitu mudah mengubah konsep-konsep ini.PG : Betul, jadi dalam kaitan dengan orang lain sebetulnya adakalanya kita ini tidak merasa aman, sewaktu kita harus mengubah pandangan kita itu. Sebab ancaman tiba-tiba muncul kembali, seba masa lalu yang pahit itu sebetulnya hal yang menakutkan, hal yang merugikan kita misalnya.
Jadi kita tidak mau dirugikan untuk kedua kalinya, jadi kita berusaha untuk menjauhkan diri dari ancaman ini.PG : Perlu sekali, jadi dalam tahap memeriksa ini, dia melihat dengan jelas apa yang terjadi. Ayahnya bermain serong dia harus akui, nah mungkin bisa jadi dia memarahi ayahnya, semua kesalahn ayahnya, atau ada orang yang justru kebalikannya, mengatakan ayah tidak salah, gara-gara ibu seperti ini maka ayah bermain serong.
Jadi memang ada kesimpulan-kesimpulan yang telah terdistorsi yang akhirnya kita miliki. Dalam tahap memeriksa kita harus melihat siapa yang menyebabkan, ataukah memang ada faktor sebab akibat di sini, apakah faktor dua-duanya saling berperan.PG : Yang ketiga adalah kita mengizinkan Bu Ida, mengizinkan diri untuk mengekspresikan perasaan yang muncul saat itu, jadi kita mesti berani beremosi baik itu kesedihan kita atau pun kemaraan kita terhadap orang yang memang telah menyakiti kita itu, terhadap orang yang telah merugikan kita itu.
Misalkan orang tua kita bercerai dan misalkan kita bisa berkata OK! Saya mengertilah kenapa mereka bercerai, tapi sebagai seorang anak apa yang kita rasakan tatkala orang tua kita bercerai. Misalnya kita merasa marah, kenapa mereka itu akhirnya meninggalkan saya, sehingga tidak punya lagi kedua orang tua yang utuh. Saya marah kenapa mereka kok tidak bisa menyelesaikan persoalannya, nah perasaan yang awal ini sebaiknya kita kenali kembali dan kita ekspresikan apa adanya. Kadang kala kita takut mengekspresikannya karena berbagai sebab, misalnya kedua orang tua sekarang sudah sangat baik kepada kita, atau suatu hari salah satu orang tua kita sudah tidak ada, sudah meninggal masa kita begitu jahatnya mau marah-marah pada orang yang sudah meninggal. Dan yang harus kita yakinkan diri kita adalah waktu kita mengekspresikan emosi kita bukannya sedang memaki atau menghukum arang tua kita, tapi kita semata-mata mau memberitahukan mereka bahwa saat itu inilah perasaan saya, inilah yang terjadi saya marah, atau saya sedih, saya kecewa atau saya frustrasi dan sebagainya.PG : Tidak perlu, jadi kita bisa melakukannya sendiri, jadi misalkan waktu kita merenungkannya kita membiarkan diri kita merasakan kembali perasaan itu. Kalau bisa kita bicara langsung kepad yang bersangkutan.
PG : Betul.
PG : Kita perlu menerima kenyataan akan adanya suatu yang terhilang akibat peristiwa itu. Contoh misalnya setelah perceraian orang tua kita, ada kebutuhan yang akan terhilang atau sudah terhlang misalnya papa kita yang meninggalkan rumah, karena perceraian ini, kita kehilangan figur papa, belaian kasih sayang papa yang seharusnya kita bisa terima setiap hari.
Sekarang kita hanya bisa nikmati sebulan sekali atau sebulan dua kali. Kita akan kehilangan waktu untuk bercengkerama dengan papa kita, karena sudah tidak ada lagi di rumah, kita kehilangan model di mana kita bisa mencontohnya secara langsung, jadi kita harus akui apa yang terhilang setelah peristiwa itu. Misalnya ada lagi peristiwa yang lain, kita dilecehkan, dihina, nah apa yang terhilang dalam hidup kita setelah itu, keberanian, penghargaan diri, konsep diri yang positif tentang hidup kita ini, nah itulah hal-hal yang terhilang dan kita harus akui.PG : Bagus sekali Pak Gunawan, jadi waktu kita menyadari apa yang terhilang, kita juga lebih bisa mengerti, apa yang harus kita lakukan untuk memenuhinya lagi sekarang, meskipun caranya mungin berbeda.
Atau karena mengakui adanya yang terhilang itu kita juga lebih bisa memahami tindakan-tindakan kita sekarang. Misalnya karena kita dulu sering dihina kita menjadi orang yang begitu menggebu-gebu membuktikan diri bahwa saya ini mampu, bahwa orang lain tidak bisa seenaknya saja menghina kita. Nah, kita akhirnya lebih bisa mengerti kenapa saya berperilaku seperti ini, o....saya tidak mau lagi dihina, karena itulah yang terhilang dalam hidup saya.PG : Sebab begini Pak Gunawan, biasanya kita harus meminjam penerimaan orang lain, sebelum kita bisa menerima diri sendiri. Di hadapan konselor atau orang lain yang bisa kita percayai, waktukita mengakuinya, terus dia memberikan respons bahwa dia menerima kita, nah responsnya itu yang menerima kita seolah-olah menjadi kekuatan untuk kita menerima masa lalu itu.
Sebab dengan kekuatan sendiri, kita seakan-akan tak berdaya untuk menerimanya, tidak bisa lagi kita terima, tapi waktu konselor kita atau sahabat kita ini atau hamba Tuhan kita ini menerima kita apa adanya itu seolah- olah memberikan kita kemampuan untuk memeluk kembali masa lalu yang kita tidak bisa terima itu.PG : Kondisi yang menekan dia pada masa sekarang akan menyulitkan dia menerima masa lalu itu Ibu Ida, karena apa, karena masa lalu itu akan menambah penderitaannya, meskipun sering kali memag harus dibahas, harus diungkit, dan harus diselesaikan.
Tapi karena dia sudah begitu dalam kesakitan, orang tersebut tidak bisa membayangkan menambah lagi rasa sakitnya. Dia sudah begitu merasa hidup tidak ada gunanya lagi sekarang. Nah, kalau dia harus menambah lagi dengan masa lalunya itu, dia merasa sudah tidak ada lagi kekuatan untuk menanggungnya. Itu sering kali menjadi alasan kenapa orang tidak mau melihat masa lalu tersebut.PG : Langkah berikutnya adalah menangisi akan kehilangan atau goresan luka itu, jadi kita mengakui sebetulnya apa yang terhilang dari kehidupan kita, dan yang sebetulnya kita sangat rindukandalam hal ini misalnya kerinduan belaian kasih sayang dari seorang ayah.
Silakan kita tangisi, silakan berdukacita karena berdukacita atau proses berdukacita sebetulnya adalah proses menangisi kehilangan sesuatu yang berharga, yang tidak lagi kita dapat nikmati. Jadi silakan kita keluarkan perasaan kita yang sedih itu.PG : Mungkin untuk waktu tertentu, baik untuk dirinya dalam pengertian mungkin dia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kesedihan. Karena itulah dia membangkitkan semangatnya, dan menjadi serang yang mudah marah dan tidak bisa lagi merasakan kesedihan.
Namun dengan dia menjadi orang yang marah dia menjadi orang yang akhirnya kuat dan tabah menghadapi kekerasan hidup ini. Nah, tapi dalam proses penyembuhan ini memang yang lebih ideal adalah dia kembali kepada sesungguhnya yang terjadi itu yakni ada yang hilang dan dia menangisi yang hilang itu. Kita memang cenderung berkiblat dari satu ekstrim ke ekstrim yang satunya, ada orang yang perlu menangis tapi dia tutupi sehingga yang muncul kemarahan. Ada yang perlu marah tapi dia tidak bisa marah sehingga semua ditutupi dengan tangisannya.PG : Berikutnya adalah memahami mengapa peristiwa itu terjadi, jadi ini mengandung unsur mengerti secara menyeluruh, jadi mengerti sungguh-sungguh kaitan-kaitannya dan motivasi pada masing-msing orang yang terlibat, kenapa kok dia sampai begini.
Apa sebabnya o....dia pun dibesarkan seperti ini, o....ayah dulu melihat kakek itu seperti itu, o....ibu juga begini karena itulah keluarga ibu yang membesarkan ibu saat itu, o....saya mengerti kenapa ayah dan ibu sering bertengkar karena mereka hidup dalam kesusahan, tekanan ekonomi begitu berat, sehingga mereka tidak bisa menghadapi stres dengan baik. Sehingga akhirnya kemarahan diluapkan pada anak-anak, o....saya sekarang mengerti. Nah, di sinilah kita merasionalisasi dengan benar, karena sudah melihat faktanya dengan tepat pula.PG : Betul sekali. Analisa yang tepat ini akan memberi kita juga pengertian yang jelas, inilah duduk masalahnya.
PG : Betul, karena kalau hanya emosi saja yang diubahkan itu biasanya tidak permanen, harus ada perubahan secara rasional.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi ini membawa kita ke langkah berikutnya yang ketujuh yakni mengampuni. Mengampuni orang yang bersalah kepada kita, baik itu orang lain maupun diri sendiri, Pak Guawan.
Jadi mengampuni ini terus-menerus maka saya simpulkan bahwa pengampunan rasional mendahului pengampunan emosional. Artinya apa, kita sudah mengampuni secara rasional tapi setelah itu emosi kita masih ada, kita masih marah, nah memang itulah yang biasanya terjadi, urutannya memang begitu; pengampunan rasional itu dulu perlahan-lahan, pengampunan emosional itu baru muncul. Jadi harus kita ulang lagi, ulang lagi, hari ini marah hari ini kita ampuni, besok mendingan lusa marah lagi, lusa kita ampuni lagi terus begitu.PG : Betul, dan Tuhan sendiri memang mengaitkan niat untuk mengampuni itu dengan pengampunan dari Allah Bapa. Sebagaimana yang ditulis dalam
PG : Kadang-kadang memang tergantung pada apa dampaknya persoalan itu pada dirinya. Ada orang yang mudah mengampuni diri sendiri, ada orang yang lebih sulit mengampuni diri sendiri.
PG : Nah, yang terakhir adalah kita mesti akhirnya menjahit atau menyatukan masa lalu yang memalukan itu dengan diri kita yang kita banggakan. Saya sengaja mendampingkan tentang 2 hal ini maa lalu yang memalukan dan diri yang kita banggakan.
Sebab kecenderungan kita adalah mau sempurna Bu Ida yaitu kita menampilkan yang bagus, yang kita banggakan, sementara yang memalukan kita tidak mau lagi. Kalau kita ada baju yang bagus dan kita terbiasa memakai baju yang bagus kita tidak suka memakai baju yang jelek karena sudah menjadi image kita, citra diri kita. Nah, orang yang berani hanyalah orang yang bisa menyatukan keduanya ini di dalam dirinya yaitu berani mengakui bahwa saya ini tidak sebaik yang engkau pikir, ada hal yang memalukan yang pernah saya alami, nah ini saya akan berani memberitahukan kepada saudara sekalian, kepada kita semuanya, nah itu adalah orang yang berani. Sebab kecenderungan kita begitu, makanya ada orang yang kebalikannya berani menonjolkan semua yang jelek karena memang tidak ada yang bagus. Karena memang dia merasa dirinya tidak ada yang bagus makanya dia berani terus menerus memberikan yang jelek-jelek dan terus-menerus melakukan yang jelek-jelek. Manusia sering kali jatuh ke dalam dua kutub yang sangat berbeda ini, akhirnya yang jelek ini semua ditunjukkan tapi dia merasa aman, nah sebaliknya orang yang maunya bagus, dia akan tunjukkan yang bagus. Nah, yang bisa berdiri di tengah-tengah dan merangkul keduanya saya kira itu yang paling sehat, namun justru yang paling susah.PG : Saya akan bacakan dari surat
PG : Betul.
PERTANYAAN KASET T 45 B
- Langkah-langkah apakah yang diperlukan untuk menjahit masa lalu?
Ada beberapa pendapat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh psikologi tentang pengaruh masa lalu pada kehidupan kita di masa kini dan masa yang akan datang, diantaranya yaitu:
Sigmund Freud, beliau berpendapat bahwa masa lalu itu sangat menentukan masa sekarang.
Golden Aphort dan Rogers, tokoh-tokoh psikologi humanistik ini berkata bahwa masa lalu mempengaruhi kita, namun untuk orang sehat masa lalunya tidak menentukan kehidupan mereka. Dalam pengertian masa lalu itu tetap ada pengaruhnya namun tidaklah menguasai atau menentukan kehidupan mereka di masa sekarang.
Saya kategorikan masa lalu dalam dua jenis besar, yaitu:
Yang menyenangkan, yaitu hal-hal yang manis akan membuat kita bangga tentang diri kita dan akhirnya membuat kita berani membuka diri kepada orang lain.
Yang menyakitkan, yaitu hal-hal yang pahit akan membuat kita malu mengenangnya dan kita mencoba menutupinya, sehingga kita tidak mau orang lain mengetahui pengalaman itu
Jadi dalam hidup dan diri kita seringkali memang terdapat dua sisi, yaitu diri yang terbuka yang kita buka dan sajikan kepada orang lain, dan diri yang kita tutup agar tidak bisa dilihat oleh orang lain, bahkan sebisa mungkin kita pun tidak mau melihatnya.
Dalam menghadapi suatu pengalaman yang tidak mungkin kita ingkari dan lepaskan, kita harus menyadari bahwa masa lalu merupakan fakta yang tak dapat diubah, dan ini seharusnya membuat kita menjadi orang yang lebih bijaksana dan berhati-hati dalam hidup ini. Jadi masa lalu itu benar-benar merupakan rangkaian hidup kita yang memang berkaitan erat dengan kehidupan kita sekarang.
Ada sebagian orang yang mencoba melupakan masa lalunya, akibat dari sikap ini bisa positif dan negatif tergantung pada apa yang terjadi dan apa motivasi orang tersebut melupakannya. Sebab melupakan bisa muncul dari motivasi yang positif dan negatif. Yang positif misalnya, kita sudah selesaikan dan kita sudah bisa menerima kenyataan maka sekarang kita lupakan. Yang negatif misalnya, kita ingin menyangkali keberadaan peristiwa tersebut, menyangkali bahwa itu pernah terjadi dalam hidup kita maka kita mencoba untuk melupakannya.
Sejauh mana seseorang bisa mengingat masa lalunya, ini tergantung pada apa yang dialaminya dan pada usia berapa ia mengalaminya. Pada umumnya kita sulit sekali mengingat peristiwa yang terjadi di bawah usia 3 tahun. Di atas usia 3 tahun ada peristiwa-peristiwa yang masih bisa kita ingat. Kita bisa lebih mengingat peristiwa yang terjadi sekitar usia 5 tahun keatas. Seringkali orang bertanya kepada saya, apa peranan Roh Kudus atau Tuhan dalam proses kesembuhan atas peristiwa-peristiwa traumatis yang kita alami di masa lampau? Asumsinya adalah Tuhan berkuasa dan dengan kuasaNya yang besar itu IA mampu membebaskan kita dari kungkungan masa lalu kita. Tapi mengapa begitu banyak orang Kristen yang tetap dipengaruhi sekali oleh masa lalu mereka.
Jawaban saya demikian:
Tuhan memang mampu dan berkuasa tapi cara Tuhan bekerja tidak selalu supernatural. Tuhan bisa saja menghilangkan pengaruh masa lalu itu secara mendadak dan supranatural tapi cara kerja Tuhan bukanlah demikian. IA lebih sering bekerja secara natural, apalagi yang berkaitan dengan masalah psikologis.
Kesembuhan kita atas masa lalu menuntut pergumulan. Dan pergumulan kalau diistilahkan dalam bahasa kristiani adalah pertumbuhan.
Saya kira ada dua unsur penting di sini:
Adalah pengakuan bahwa kita ini pernah berada di lumpur rawa, hampir dalam kebinasaan. Jadi adanya suatu pengakuan tentang masa lalu kita.
Adalah adanya faktor pertolongan Tuhan setelah kita menanti-nantikan pertolonganNya. Maka pemazmur berkata saya akan menyanyikan lagu atau nyanyian baru. Lagunya mungkin sama, tapi dinyanyikan dengan jiwa yang baru. Hidup kita tetap sama tapi jiwa yang sudah menerima pertolongan Tuhan akan bisa melihat hidup ini dengan mata yang berbeda. Jadi bagi siapa yang menderita karena masa lalunya, tetaplah menanti-nantikan Tuhan, itulah yang diminta oleh Tuhan.
Langkah-langkah yang diperlukan untuk menjahit masa lalu:
Kita perlu mengakui keberadaan bagian hidup yang memalukan itu, mengakui berarti tidak menyangkalinya lagi.
Kita harus memeriksa pelaku atau penyebab utama peristiwa itu. Artinya kita harus melihat dengan jelas, apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang bertanggung jawab, ini bisa menyangkut diri kita sendiri atau orang lain. Kita seringkali berat di kiri atau di kanan, tidak bisa berada di tengah-tengah.
Yang pertama, kecenderungan kita adalah menyalahkan orang lain. Semua orang salah, semua salah papa mama, keadaan salah, semua salah teman, semua salah gereja, atau semuanya salah Tuhan. Kita tidak mau memikul tanggung jawab.
Yang berikutnya, kita cenderung menyalahkan diri sendiri, semua salah saya, kalau saja saya lebih pintar, lebih tanggap, lebih ngerti, lebih dewasa, atau saya bertindak seperti ini dan itu, tentu masalah ini tidak akan terjadi. Sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi.
Kita mengizinkan diri untuk mengekspresikan perasaan yang muncul saat itu. Jadi kita harus berani beremosi baik itu sedih ,ataupun marah terhadap orang yang memang telah menyakiti kita.
Kita perlu menerima kenyataan akan adanya suatu yang terhilang akibat peristiwa itu.
Menangisi kehilangan atau goresan luka itu
Memahami mengapa peristiwa itu terjadi. Ini mengandung unsur mengerti secara menyeluruh, jadi mengerti sungguh-sungguh kaitan-kaitannya dan motivasi pada masing-masing orang yang terlibat
Mengampuni orang yang bersalah kepada kita, baik itu orang lain maupun diri sendiri.
Yang terakhir, kita harus menjahit atau menyatukan masa lalu yang memalukan itu dengan diri yang kita banggakan.
Ayat ini merupakan penghiburan yang besar sekali untuk kita semua, Tuhan sudah memulai pekerjaan yang baik dan Dia berjanji akan meneruskannya sampai pada akhirnya. Jadi kita harus selalu yakin bahwa yang Tuhan sudah lakukan ini akan berlanjut, bukan dengan tenaga atau kuasa kita sendiri tetapi dengan kuasa dan cara Tuhan, dan akhirnya semuanya bisa kita lewati.