Topeng Perempuan 1

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T353A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan, sama-sama berharga dan sama-sama dikasihi. Ketika laki-laki dan perempuan masuk ke dalam lingkungan masyarakat, ternyata perempuan memiliki tuntutan yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Apa saja tuntutannya? Kalau perempuan kurang bisa memenuhi tuntutan itu, perempuan tersebut menjadi menggunakan topeng di dalam kesehariannya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Meski kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, namun pada kenyataannya kita menjadi laki-laki-atau perempuan lewat proses pembentukan. Singkat kata kita belajar menjadi laki-laki atau perempuan, melalui pengamatan sendiri maupun pengondisian yang kita alami dari orang dan budaya di sekitar.

Ada tuntutan dan pengharapan yang kita terima dari lingkungan untuk menjadi laki-laki atau perempuan.

Pada akhirnya "keberhasilan" kita memenuhi tuntutan dan pengharapan sekadar topeng yang kita pakai supaya kita tetap diterima oleh lingkungan. Sebagai akibatnya kita tidak akan hidup bebas; kita senantiasa hidup dalam ketegangan—antara menjadi diri yang sebenarnya dan menjadi diri yang diharapkan.

Sebagai perempuan, mungkin salah satu tuntutan yang kerap diembankan adalah menjadi SEMPURNA, yang berarti:

  • Selalu tahu membawa diri dalam setiap situasi.
  • Selalu bersedia berkorban.
  • Selalu memaafkan dan memercayai.
  • Selalu rohani.

  1. Selalu Tahu Membawa Diri dalam Setiap Situasi

    Salah satu ciri kesempurnaan yang dilekatkan pada perempuan adalah perempuan diharapkan "tahu membawa diri." Itu sebab ada begitu banyak aturan untuk bersikap dan berpenampilan yang diembankan pada perempuan. Dari cara duduk sampai cara makan, dari cara berbicara sampai cara berjalan, dari bercengkrama dengan teman sampai berbicara dengan kerabat, semua sudah digariskan dan hampir semuanya diembankan pada perempuan, lebih dari laki-laki. Sudah tentu, selalu tahu membawa diri dalam setiap situasi, adalah sebuah karakter yang indah. Masalahnya, oleh karena besarnya tekanan ini akhirnya banyak perempuan memilih untuk "memendam dirinya." Daripada memunculkan diri yang sebenarnya—dan bertentangan dengan tuntutan untuk membawa diri—akhirnya perempuan memilih untuk tidak berkehendak dan tidak bersuara.

    Dampak "memendam diri"
    • Sebagai akibat tidak berani menyuarakan dirinya, banyak perempuan yang hidup dalam ketertekanan. Banyak yang hidup dalam ketegangan antara menjadi seperti yang diharapkan dan menjadi apa adanya. Namun pada akhirnya banyak yang memilih untuk hidup seperti yang diharapkan. Semua dikerjakan kendati jiwa tertekan. Alhasil banyak perempuan yang hidup dalam ketidakbahagiaan.
    • Dampak berikut adalah banyak perempuan yang pada akhirnya hidup untuk menjalani peran dan tanggung jawab semata. Di satu pihak ini adalah baik, namun di pihak lain, ia kehilangan dirinya DAN kesempatan untuk memberi sumbangsih sesuai dengan karunia yang diberikan Tuhan kepadanya.
  2. Selalu Berkorban

    Ini adalah ciri kesempurnaan yang juga kerap diasosiasikan dengan perempuan. Secara tidak adil kita lebih memberikan izin kepada laki-laki untuk mementingkan diri ketimbang perempuan. Pada umumnya kita lebih sukar menerima perempuan yang egois daripada laki-laki yang egois. Kita menuntut perempuan untuk senantiasa mendahulukan orang lain. Bagi banyak orang, perempuan identik dengan orang yang memberikan dirinya atau hidupnya buat orang lain. Sudah tentu, tidak egois, memberikan diri, dan rela berkorban adalah karakter yang indah. Masalahnya adalah, sebagian perempuan pada akhirnya juga menuntut orang untuk bersedia memberikan diri sepenuhnya kepadanya dan bersedia mengorbankan apa pun demi kepentingannya. Ia menjadi begitu cepat terluka bila orang menolak untuk memberikan diri sepenuhnya kepadanya.

    Dampak "menuntut orang"
    • Di satu pihak perempuan memberikan diri dan bersedia menanggung banyak demi kepentingan orang, di pihak lain perempuan cenderung menjadi bergantung pada orang lain pula untuk memenuhi kebutuhannya. Seakan-akan ia hanya dapat hidup bila ada orang lain yang juga memberikan diri kepadanya.
    • Ada kecenderungan perempuan untuk menguasai orang untuk memberikan diri kepadanya, misalkan suami, anak, atau teman. Semua ingin diaturnya dan semua mesti berjalan sesuai kehendaknya. Kalau tidak hati-hati, sikap seperti ini malah membuat orang ingin melepaskan diri darinya.
    • Tuntutan agar orang pun memberikan diri kepadanya membuatnya tenggelam dalam relasi. Penghargaan diri dan identitas dirinya lebih ditentukan oleh relasinya dengan orang lain—misalkan, dalam relasinya dengan anak atau suami—seolah-olah di luar relasi, keberadaan dirinya tidaklah penting.
  3. Selalu Memaafkan dan Memercayai

    Betapa seringnya perempuan terluka akibat perbuatan orang yang dikasihinya. Masalahnya adalah sebagai manusia yang diharapkan sempurna, perempuan dituntut untuk selalu dapat memaafkan dan memercayai orang yang telah melukainya—baik itu kerabat, orang tua, anak, maupun suami. Memaafkan dan memercayai adalah karakter yang indah. Masalahnya adalah, sering kali perempuan melakukannya hanya untuk memertahankan relasi yang didambakan. Singkat kata, memertahankan relasi menjadi tujuan akhir dan apa pun akan dilakukannya guna mencapai tujuan tersebut.

    Dampak dari "memertahankan relasi"
    • Adakalanya perempuan memilih untuk menyangkal realitas daripada menerima fakta apa adanya. Misalnya, dengan terus melihat yang positif dan mengabaikan yang negatif. Akhirnya relasi seburuk apa pun tetap digenggam dan harga semahal apa pun tetap dibayar, daripada mengalami kehilangan.
    • Acap kali perempuan menjadi korban gara-gara ingin terus memertahankan relasi yang tidak sehat. Singkat kata, perempuan rentan menjadi korban oleh karena keinginannya memertahankan relasi. Dengan mudah perempuan diperdaya dan dimanipulasi oleh karena kuatnya keinginan memertahankan relasi.
    • Terakhir, oleh karena ingin memertahankan keutuhan relasi, akhirnya perempuan malah melestarikan sesuatu yang tidak sehat di dalam keluarga dan membuat yang lainnya terpengaruh dan menjadi korban oleh yang tidak sehat itu. Alhasil siklus ketidaksehatan terus berputar dan berlanjut dengan pemain yang baru.
  4. Selalu Rohani

    Ciri kesempurnaan lain yang kerap diidentikkan dengan perempuan adalah rohani. Pada kenyataannya memang lebih banyak perempuan yang beribadah dan terlibat dalam pelayanan di gereja dibandingkan laki-laki. Memang pada umumnya perempuan lebih peka daripada laki-laki dalam hal rohani dan cenderung berperan sebagai pendoa dan pembimbing rohani bagi keluarganya. Sudah tentu hal ini adalah indah dan baik serta menyenangkan hati Tuhan. Masalahnya adalah ada kecenderungan bagi perempuan untuk tampil rohani atau kuat, dengan cara menutupi kelemahan. Kita mafhum bahwa sesungguhnya tidak ada kehidupan rohani yang sempurna. Kadang kita kuat, kadang kita lemah. Orang yang rohani tidak selalu kuat dan hal ini bukanlah sesuatu yang mesti ditutupi.

    Dampak "menutupi kelemahan"
    • Pertumbuhan rohani yang sejati berawal dari keterbukaan. Bila kita tidak membuka diri apa adanya dan mengakui kondisi rohani kita yang sesungguhnya, maka akan sulit buat kita untuk bertumbuh.
    • Kecenderungan untuk menutupi kelemahan dapat pula berakibat pada sikap sukar memahami kelemahan orang. Alhasil sikap yang muncul adalah sikap menuntut dan menghakimi.
    • Oleh karena selalu tampil kuat secara rohani, perempuan akhirnya menjadi "tiang sandaran" keluarga dan hal ini dapat membuat yang lain kurang bertanggung jawab dalam kehidupannya.

Kesimpulan : Tuntutan agar perempuan "sempurna" adalah tidak realistik. Mungkin sekali tuntutan ini terkait dengan peran perempuan sebagai seorang ibu. (Bukankah kita menuntut ibu untuk sempurna?) Pada akhirnya peran ini lebih sering membuat perempuan terpenjara dan tidak bebas.

Tuhan Yesus berkata di Yohanes 8:32, "Kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Kendati ayat ini secara spesifik berhubungan dengan Tuhan Yesus sebagai Kebenaran Allah yang memerdekakan kita dari belenggu dosa, namun bukankah kebenaran secara umum juga memerdekakan kita dari kepalsuan hidup? Singkat kata, janganlah karena ingin tampil sempurna sesuai tuntutan, kita malah terperangkap ke dalam kepalsuan hidup.