Terpenting Bukan Membesarkan, Melainkan Menguatkan Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T541A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kenyataannya hampir semua orang bisa membesarkan anak dengan memberikan makanan yang cukup. Namun menumbuhkan ketangguhan pada diri anak sehingga anak sanggup menghadapi tantangan hidup, tidak semua orang dapat melakukannya. Apa saja faktor yang meruntuhkan ketangguhan diri anak?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Hampir semua orang dapat membesarkan anak. Dengan memberi anak makan yang cukup dan bergizi serta memelihara kesehatan dan menjaga keselamatannya, hampir setiap kita akan dapat membesarkan anak. Namun, tidak semua orang dapat menguatkan anak, dalam pengertian, menumbuhkan ketangguhan pada diri anak sehingga sanggup menghadapi terpaan badai hidup. Berikut beberapa masukan untuk mengembangkan ketangguhan dalam diri anak sehingga bukan saja anak bertumbuh besar, ia pun dapat bertumbuh kuat.

  1. Kita mesti mengurangi kadar kecemasan dalam dirinya ke level minimum. Seringkali tanpa disengaja kita menjadi penyuplai kecemasan terbesar dalam diri anak. Maksud saya, karena takut hal buruk menimpa anak, kita menjaganya dengan ketat. Belum sempat anak berbuat apa-apa, kita sudah memberikannya peringatan atau malah menariknya keluar. Masalahnya, bila kita terus memperlakukan anak seperti ini, sesungguhnya kita tengah menanamkan kecemasan di dalam dirinya. Dia akan takut mengambil risiko. Kecemasan adalah rayap yang memakan balok ketangguhan. Makin tinggi tingkat kecemasan, makin besar keinginan untuk menjauh dari risiko bahaya. Untuk menekan kecemasan ke level minimum, akhirnya kita terus menghindar dari situasi yang kita anggap berbahaya. Tidak bisa tidak, kita akan berangsur-angsur menjadi lemah; kemampuan kita menghadapi situasi baru—apalagi tantangan—makin surut. Bukannya menghadapi tantangan, kita cenderung lari atau berlindung di belakang orang lain. Sebagai orangtua penting bagi kita untuk menjaga reaksi supaya tidak cepat panik dan tidak tergesa-gesa menarik anak keluar dari situasi yang mengandung risiko. Sebaliknya, dampingi anak tatkala menghadapi kesulitan; beri dia dorongan dan kekuatan. Ajak dia bertukar-pikiran dan berilah dia waktu untuk mengambil keputusan. Ketenangan kita mengkomunikasikan kepadanya bahwa kita akan sanggup menghadapi tantangan itu dan ini akan membuatnya lebih tenang. Terpenting adalah, pada saat seperti ini kita dapat mendorongnya untuk mengaplikasikan iman. Bukalah Firman Tuhan dan pelajari serta camkan kembali janji Tuhan untuk menyertai kita. Ingatkan anak tentang Daud, Daniel dan tokoh Alkitab lainnya, yang bersandar penuh pada Tuhan dan akhirnya melihat penyelamatan-Nya. Mazmur 121:1-2 mengingatkan, "Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; darimanakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi." Situasi yang dihadapinya ada dalam tangan Tuhan dan Ia sanggup menolong. Namun, sebagaimana kita alami, tidak selalu Tuhan bertindak secara langsung dan segera. Pada umumnya Tuhan akan bertindak lewat cara yang tak terbayangkan dan dalam waktu-Nya. Menantikan Tuhan adalah keharusan namun dalam penantian inilah kita bertumbuh.Lewat pergumulan iman seperti ini, anak akan mengalami pertumbuhan rohani dan ia akan mengembangkan ketangguhan, baik mental maupun rohani.
  2. Izinkan Anak untuk Gagal. Keberhasilan tanpa kegagalan adalah racun yang dapat membuat jiwa sakit. Keberhasilan tanpa kegagalan membuat kita bukan bertambah kuat tetapi malah bertambah lemah. Keberhasilan tanpa kegagalan membuat kita beranggapan bahwa kita hebat dan sempurna dan ini berbahaya. Sebab, suatu saat kita akan mengalami kegagalan dan pada saat itulah kita disadarkan bahwa kita tidak sehebat dan sesempurna yang kita pikir. Kegagalan adalah semen dan pasir yang diperlukan untuk membangun jiwa yang tangguh. Itu sebab kita mesti rela dan tega untuk membiarkan anak mengalami kegagalan. Itu tidak berarti bahwa kita harus menciptakan skenario dalam hidupnya supaya dia gagal. Tidak. Sebaliknya, seyogianyalah kita memberikan kepadanya masukan untuk menghindar dari kegagalan. Terpenting adalah sewaktu rencananya tidak terwujud, sewaktu apa yang dirintisnya tidak membuahkan hasil, izinkanlah dia kecewa dan frustrasi. Jangan justru marah, seakan-akan kegagalan adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi dalam hidupnya. Salah satu hal yang perlu kita tanamkan pada diri anak adalah apa yang seharusnya diperbuat sewaktu usaha kita gagal. Kita dapat mengajarkan bahwa terpenting adalah kita belajar dari kegagalan, kita bangkit kembali dan kita berusaha kembali. Seringkali kegagalan memaksa kita untuk kreatif—untuk tidak menggunakan cara yang sama. Mungkin ada jalan lain yang belum pernah terpikirkan dan kita perlu mencobanya. Atau, mungkin itu saatnya kita mengakui bahwa memang kita tidak mampu dan bahwa kita memerlukan pertolongan. Mazmur 91:6 mengingatkan, "Betapa besarnya pekerjaan-pekerjaan-Mu ya Tuhan, dan sangat dalamnya rancangan-rancangan-Mu." Tuhan memakai kegagalan; Ia memasukkan kegagalan ke dalam kurikulum pendidikan-Nya. Tuhan mengizinkan kegagalan terjadi dalam hidup Daud dan Petrus untuk menyadarkan mereka akan keterbatasan dan kelemahan mereka. Kegagalan membuat mereka belajar untuk lebih bersandar pada kekuatan Tuhan dan menjadikan mereka alat yang tangguh di tangan Tuhan yang penuh kasih karunia. Jadi, sekali lagi, izinkan anak mengalami kegagalan sebab kegagalan adalah jalan menuju ketangguhan.
  3. Biarkanlah anak belajar untuk menerima kenyataan bahwa ia tidak dapat menyenangkan semua orang. Sudah tentu kita harus berusaha berdamai dengan semua orang dan berupaya menjadikan relasi dengan sesama sebagai relasi yang positif dan menyenangkan. Kita tidak mau anak bertumbuh menjadi pribadi yang tidak peduli dengan orang dan tidak menghiraukan perasaan orang sama sekali. Namun, kita pun ingin anak menyadari bahwa pada akhirnya ia akan harus memilih apa yang baik dan benar, bukan apa yang sedap dan manis. Pada waktu kita memilih apa yang baik dan benar, kita menyusahkan orang, bukan menyenangkan orang; dan ini biasanya berujung pada penolakan. Penolakan menyakitkan.Kecenderungan kita adalah menyenangkan hati orang agar tidak ditolak.Tetapi, sebagaimana kita ketahui, kadang orang menolak kita. Nah, kesanggupan kita menerima penolakan dan tidak membiarkan penolakan menghancurkan diri kita adalah jalan menuju ketangguhan. Berkali-kali Tuhan Kita Yesus mengalami penolakan, tetapi Ia jalan terus, Ia tidak berhenti. Ia mengerti bahwa akan ada yang menerima-Nya tetapi akan ada pula orang yang menolak-Nya. Yohanes 1: 11 menjelaskan, "Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya." Kita hanya dapat menerima penolakan dari manusia bila kita tahu bahwa kita telah menerima penerimaan dari Tuhan. Jadi, inilah yang mesti kita tanamkan pada anak: Terpenting adalah ia tahu bahwa apa yang diperbuatnya benar di hadapan Tuhan dan bahwa Tuhan menerimanya. Lebih baik diterima oleh Tuhan namun ditolak manusia daripada diterima oleh manusia tetapi ditolak oleh Tuhan. Dengan kata lain, kita hanya dapat menerima penolakan bila kita memunyai prioritas hidup yang benar. Ini yang mesti kita tanamkan pada anak.
  4. Sejak kecil arahkan anak untuk menjadikan Tuhan sumber kekuatannya, sebagai dasar kepercayaan dirinya.. Biarlah ia menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak memunyai apa-apa dan bahwa kekuatan yang dimilikinya adalah terbatas dan sementara. Amsal 3:5-6 mengingatkan, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan." Kesombongan tidak membuat kita tangguh; sebaliknya, kesombongan membuat kita kecolongan. Bila kita bersandar pada pengertian sendiri dan menganggap diri orang yang paling bijak di dunia, maka tinggal tunggu waktu, kita akan kecolongan. Akan ada sesuatu yang terjadi yang membuat kita terantuk dan jatuh. Sebaliknya, jika kita bersandar pada kekuatan Tuhan, kita akan kuat sebab sumber kekuatan kita bukanlah pada diri sendiri melainkan pada Tuhan. Dan, kekuatan Tuhan tak terbatas. Sebagai orangtua, tugas kita bukanlah hanya membesarkan anak, tetapi juga menguatkan anak, mempersiapkan mereka menjadi pribadi yang tangguh. Kita lakukan tugas dan bagian kita, Tuhan akan melakukan tugas dan bagian-Nya.