Stres Baik atau Buruk

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T478B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Pada umumnya kita mengaitkan “stres” dengan segala sesuatu yang buruk. Apakah memang benar demikian? Hans Selye, seorang ahli dalam bidang stres pada awal abad 20, berpendapat tidak semua stres berpengaruh buruk. Menurutnya sebagian stres justru berpengaruh baik sebab stres dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas serta daya tahan mengatasi masalah. Apakah yang harus kita perbuat bila menghadapi stres?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Pada umumnya kita mengaitkan "stres" dengan segala sesuatu yang buruk. Apakah memang benar demikian? Hans Selye, seorang ahli dalam bidang stres pada awal abad 20, berpendapat tidak semua stres berpengaruh buruk. Menurutnya sebagian stres justru berpengaruh baik sebab stres dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas serta daya tahan mengatasi masalah. Itu sebab ia menelurkan sebuah istilah, eustress, yang berarti stres yang baik, untuk membedakannya dari jenis stres lainnya. Namun, stres dapat pula berdampak buruk, bukan saja pada kesehatan jiwa, tetapi juga pada kesehatan jasmani.

Pada tahun 1942 Walter Bradford Cannon, seorang periset bidang fisiologi di Harvard Medical School, menerbitkan hasil penelitiannya yang berkaitan dengan stres, ketakutan dan kesehatan. Cannon meneliti penyebab kematian sejumlah orang muda di Amerika Selatan, Afrika, Australia, Selandia Baru, Haiti dan di beberapa kepulauan di Samudra Pasifik. Menurut orang di sekitar, mereka semua mati akibat santet. Cannon tidak sependapat. Menurut hematnya mereka mati karena ketakutan yang mencekam. Begitu dukun menyiarkan berita bahwa ia telah menyantet seseorang, maka orang itu akan dicekam ketakutan. Masalah menjadi lebih parah karena begitu mendengar berita penyantetan, maka orang di sekitar akan pergi meninggalkan orang yang disantet itu. Alhasil orang yang disantet harus hidup sendirian dan itu berarti, ia harus menghadapi ketakutannya sendirian. Dalam waktu singkat orang itu akhirnya mati.

Terlepas apakah kita memercayai kuasa santet atau tidak, lewat penelitian ini Cannon berupaya memperlihatkan adanya kaitan yang erat antara pikiran, kesehatan dan keefektifan hidup. Penelitian demi penelitian berikut mengkonfirmasi kaitan antara ketiga faktor ini. Sekarang kita ketahui bahwa hidup dalam ketertekanan atau stres meningkatkan asam lambung yang akhirnya menimbulkan gangguan pencernaan. Kita pun tahu bahwa stres berpotensi mengeraskan dinding pembuluh darah yang berpotensi menimbulkan penyumbatan. Dalam kondisi tertekan,kita tidak dapat berpikir jernih dan cepat. Kita sering lupa dan kadang merasa lumpuh, sampai-sampai tidak dapat menyelesaikan persoalan yang sederhana, cenderung bingung dan tidak dapat mengambil keputusan. Singkat kata keefektifan kita menurun drastik. Selama kita hidup, kita harus menghadapi stres. Apakah yang harus kita perbuat ?

  1. Kita mesti mengubah paradigma : bukan menghindar dan menghilangkan stres melainkan menghadapi stres. Menghindar berarti membangun struktur kehidupan dimana sedapat mungkin kita hidup jauh dari stres. Mungkin kita menolak untuk terlibat dalam persoalan hidup seseorang, mungkin kita melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain—dan menyalahkannya bila terjadi kesalahan. Menghilangkan berarti tatkala berhadapan dengan stres, kita lari atau menggunakan cara tidak sehat untuk TIDAK menghadapinya. Mungkin kita menyangkal keberadaan masalah atau kita mengecilkan keparahan masalah. Adakalanya kita menunda penyelesaiannya karena kita berharap masalah akan selesai dengan sendirinya. Kadang kita berusaha mengendalikan situasi atau orang sehingga pada akhirnya orang lainlah yang harus mengatasi permasalahan kita. Baik menghindar maupun menghilangkan hanyalah alat bantu sementara. Pada akhirnya kita mesti menghadapi stres—hari ini ! Sebab jika tidak, kita harus berhadapan dengan stres yang jauh lebih besar—esok hari ! Terlebih penting lagi, menghindar dan menghilangkan tidak menumbuhkan kesanggupan dan ketahanan kita menghadapi stres. Kita makin lemah dan makin mudah luluh diterpa stres. Itu sebab kita mesti melatih diri untuk menghadapi stres. Untuk suatu kurun, memang hidup menjadi tidak nyaman tetapi pada akhirnya kita akan lebih kuat, cakap dan bijak.
  2. Dalam menghadapi stres kita harus mengurainya menjadi komponen yang kecil-kecil. Misalkan, persoalan dengan lembaga diurai menjadi persoalan dengan individu tertentu. Ketidaksukaan kita dengan sistem kerja diurai menjadi ketidaksetujuan dengan kebijakan tertentu. Ketidakbahagiaan dalam berumah tangga diurai menjadi penolakan terhadap perilaku pasangan yang mengganggu. Pada waktu kita mengurai permasalahan yang menekan menjadi komponen yang lebih kecil dan spesifik, kita akan lebih dapat menghadapinya. Raksasa masalah sekarang berubah menjadi kaki, tangan dan bagian-bagian kecil lainnya dari masalah. Ini akan mengurangi stres. Selain dari itu, kita pun lebih dapat melihat permasalahan dalam bingkai yang utuh. Mungkin kita akan menemukan situasi tidak seburuk yang kita kira, pernikahan kita tidak sekelam yang kita rasakan dan tempat di mana kita bekerja, tidak sejahat yang kita pikir. Masih ada hal-hal lain yang baik. Perspektif ini akan membantu kita menghadapi masalah dan kita tidak lagi tertindih oleh stres.
  3. Dalam kondisi stres kita tetap harus melakukan aktivitas rutin seperti sediakala. Tidak bisa disangkal, dalam kondisi stres minat akan berkurang. Jika sebelumnya kita senang berkumpul teman, sekarang tidak. Jika tadinya kita rajin berolah-raga, sekarang kita malas melakukannya. Tidak apa menguranginya tetapi jangan sampai kita berhenti melakukannya sama sekali. Setidaknya ada tiga alasan mengapa kita tidak boleh menghilangkan aktivitas rutin:
    • Aktivitas rutin memberi kesegaran, sehingga mengurangi dampak stres yang melayukan.
    • Aktivitas rutin memberikan kita kesempatan untuk memandang masalah dari sudut berbeda. Tatkala kita beraktivitas, untuk sejenak kita terlepas dari stress dan ini dapat membuat pikiran menjadi lebih jernih.
    • Aktivitas rutin menjaga keajegan hidup. Jika tadinya gara-gara stres, hidup terjungkal balik, sekarang dengan beraktivitas rutin, kita mengembalikan hidup ke kondisi semula yang kita kenal.

Yesaya 38 memuat cuplikan rasa syukur Raja Hizkia, yang tadinya sakit hampir mati tetapi kemudian menerima kesembuhan dari Allah. "Pondok kediamanku dibongkar dan dibuka seperti kemah gembala . . . . Sesungguhnya, penderitaan yang pahit menjadi keselamatan bagiku; Engkaulah yang mencegah jiwaku dari lobang kebinasaan" (ayat 12 dan 17). Sebesar apa pun stres yang kita hadapi, Tuhan lebih besar lagi. Jadi, pada waktu kita harus berhadapan dengan stres, jangan lupa untuk menghadap Tuhan.