Pengampunan dalam Pernikahan (III)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T550C
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Abstrak: 
“A happy marriage is the union of the two forgivers” artinya pernikahan yang bahagia merupakan kesatuan dari dua orang yang saling mengampuni. Kesalahpahaman atau masalah sepele akan sangat mungkin membuat pasangan terluka secara emosi atau batin, menambahkan amarah bahkan hingga menjadi korban KDRT. Sehingga pengampunan memiliki peranan penting dan vital bagi hubungan suami-istri di dalam pernikahan Kristen. Ada yang mengatakan: mengampuni ialah melupakan. Namun hal yang melukai kita ialah hal yang telah terjadi dan merupakan masa lalu kita, sehingga itu akan terus ada dalam ingatan kita selama kita masih hidup. Apakah ini yang dimaksud mengampuni? Lalu bagaimana dengan pendapat yang mengatakan: ketika kita mengampuni berarti kita harus berekonsiliasi dan ‘menutup mata’ pada batin kita yang telah terluka dan perilaku pasangan yang tidak mau berubah? Jadi apa yang dimaksud Alkitab tentang mengampuni?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Walau pengampunan telah diberikan, konsekuensi yang ditimbulkan akibat dari menyakiti pasangan tetap harus ditanggung. Kebanyakan orang Kristen menganggap bahwa ketika kita mengampuni berarti segala konsekuensi yang ada harus ditiadakan begitu saja dan menghidupi kehidupan suami-istri seperti semula, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dan melupakan kejadian yang menyakitkan itu. Jika kita melihat kasus perselingkuhan antara Daud dan Batsyeba di 2 Samuel 12:13, "Lalu berkatalah Daud kepada Natan: "Aku sudah berdosa kepada TUHAN." Dan Natan berkata kepada Daud: "TUHAN telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati." Tuhan mengampuni kesalahan Daud, menjauhkan dosanya dan menghindarkan Daud dari hukuman dosa yaitu kematian. Namun karena perbuatan Daud yang berusaha untuk menutup-nutupi perselingkuhannya itu dengan membunuh Uria maka dia telah menghina dan menista Tuhan, seperti tertulis di 2 Samuel 12:10 &14, "…karena engkau telah menghina Aku…" dan "…karena engkau dengan perbuatan ini telah sangat menista TUHAN, …" Maka Allah menimpakan malapetaka ke atas Daud dan keluarganya; antara lain: isteri-isteri Daud akan berhubungan badan dengan orang lain di muka umum, akan ada pertumpahan darah di dalam keluarga Daud sendiri sampai selamanya, dan anak dari perselingkuhan Batsyeba dan Daud akan meninggal. Konsekuensi ini pun harus Daud tanggung dan terima; di pasal-pasal selanjutnya akibat dari kesalahan Daud ini terjadi.

Dalam kasus lain, ada seorang klien dari yang merupakan seorang istri dari suami yang menganiaya dia sampai akhirnya si istri lumpuh karena 38 tulang-tulangnya patah dan mengalami penyakit komplikasi pada bagian organ tubuh dalamnya. Si suami melakukan tindakan kekerasan secara fisik, emosi dan seksual kepada si istri. Bahkan si suami memaksa si istri untuk berhubungan badan dengan anak remaja mereka sendiri yang berumur 16 tahun. Tentu saja hati si istri begitu tersakiti oleh paksaan ini. Ketika perlakuan si suami ini dilaporkan kepada polisi dan sesuai hukum yang berlaku si suami harus mendekam di penjara selama 16 tahun. Setelah melalui konseling yang panjang dan mengerti tentang pengampunan, maka si istri memutuskan untuk mengampuni suaminya. Namun si suami tetap mendekam di penjara hingga masa penghukumannya selesai.

Dari kedua kasus di atas maka kita belajar bahwa konsekuensi itu ada supaya kita bertanggung jawab atas hidup kita kepada Tuhan dengan tidak berbuat semena-mena. Oleh karena itu kita membedakan pengertian antara mengampuni dengan rekonsiliasi. Mengampuni ialah tuntutan bagi setiap murid Kristus Yesus, sebab Tuhan telah berbelas kasihan dan beranugerah untuk mengampuni kita dari dosa. Dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri atau mengasihi musuh ialah ajaran Tuhan Yesus yang diberikan kepada setiap kita. Jadi pengampunan merupakan inisiatif dari satu orang saja, yaitu orang yang disakiti. Namun setelah pengampunan itu diberikan, bukan berarti setiap hubungan akan bisa melakukan rekonsiliasi. Sebab rekonsiliasi merupakan kerjasama 2 orang (suami & isteri) untuk memulihkanhubungan mereka dan saling percaya kembali. Rekonsiliasi sangat tergantung apakah tingkah laku dan maksud orang yang menyakiti sudah berubah, sehingga orang yang terluka dapat memercayai orang yang menyakiti lagi. Meskipun pengampunan penting, terutama dalam hubungan pernikahan, tetapi rekonsiliasi tidak tepat untuk semua keadaan, terutama yang berhubungan dengan kekerasan, di mana mungkin dapat terjadi pelanggaran batas dan penganiayaan yang berkepanjangan. Jadi setelah pengampunan belum tentu harus terjadi rekonsiliasi dan juga belum tentu harus menjalin hubungan yang mesra lagi. Pengampunan dan kepercayaan tidak sama, terutama dalam hubungan yang penuh diwarnai dengan kekerasan dan pelanggaran hukum. Hubungan suami istri yang penuh dengan kekerasan sulit berbaik kembali, karena pihak yang sudah disakiti itu tentunya ingin melindungi diri, supaya tubuh dan emosinya tidak terluka lagi, bahkan jiwanya pun tidak terancam.

Sebagai orang Kristen yang telah ditebus oleh Tuhan, dosa yang telah diampuni bukan menjadikan kita semakin semena-mena terhadap anugerah keselamatan yang Tuhan berikan dan melakukan perbuatan yang menuruti keinginan daging; seperti tertulis di Galatia 5:19-21a yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora. Demikian juga di dalam pernikahan yang telah diberkati di depan Tuhan. Sebagai suami dan istri, bukan keinginan daging yang diutamakan namun kasih. Di dalam hubungan suami-istri dan juga di dalam hubungan dengan orang lain jika kita membuahi keinginan daging itu maka yang dikatakan rasul Paulus di ayat 21b, "Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah." Itu konsekuensinya. Jadi meskipun Tuhan Yesus sudah mati di kayu salib, sudah mengambil dosa-dosa kita, sudah mengampuni kita demikian juga kita sudah diampuni dan juga belajar mengampuni orang lain tapi kalau tetap melakukan hal-hal yang sesuai dengan kedagingan ini dikatakan bahwa "tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah". Hal ini sangat fatal sebab menyangkut kehidupan kita seumur hidup di dunia tapi juga di dalam kekekalan.

Oleh karena itu hendaklah kita hidup dikuasai oleh buah Roh; kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri sebab tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. Sehingga ada sukacita dalam keluarga, damai sejahtera, bukan lagi pemarah, lalu pemurah hati, baik, setia bukan mencari-cari percabulan, lemah lembut, dan menguasai diri. Konsekuensi hukum dari perbuatan daging itu masih berlaku, dan itu pilihan kita untuk melakukan atau tidak.