Pasangan Beremosi Tinggi

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T522A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Pada umumnya kita beranggapan bahwa masalah pernikahan disebabkan oleh kedua belah pihak: suami dan istri. Namun kenyataannya lebih banyak masalah pernikahan ditimbulkan oleh satu pihak saja. Acapkali orang yang beremosi tinggi adalah orang yang TIDAK KONSISTEN dan tidak mudah menghadapinya. Bagaimana jalan keluarnya? Ada dua cara yaitu membiarkan dan berusaha menyesuaikan dengan kehendaknya, sampai kita tidak sanggup lagi. Kemudian kita mengatakan bahwa kita sudah terlalu letih dan tidak sanggup lagi.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Pada umumnya kita beranggapan bahwa masalah pernikahan pastilah disebabkan oleh kedua belah pihak: suami dan istri. Biasanya kita berpikir, tentulah masing-masing mempunyai kelemahan dan itulah yang menjadi sumber masalah. Kendati benar ada masalah pernikahan yang disebabkan oleh suami dan istri—pada kenyataannya lebih banyak masalah pernikahan ditimbulkan oleh satu pihak saja. Memang pada akhirnya pihak yang satunya mungkin saja memberi reaksi yang tidak kalah parahnya, namun tetap pada awalnya kebanyakan masalah berawal dari satu pihak. Pada kesempatan ini kita akan melihat beberapa penyebab munculnya masalah dalam pernikahan, dan tidak jarang, keluarga.

Pertama adalah pasangan yang beremosi tinggi. Orang ini adalah orang yang tidak sanggup mengendalikan emosinya—dalam hal ini kemarahan—sehingga menikah dengannya tidak jauh berbeda dengan hidup bersama bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Pada dasarnya, masalah terbesar hidup dengan orang beremosi tinggi adalah (a) kita tidak tahu kapankah ia akan meledak dan (b) kita sungguh tertekan menghadapi ledakan emosinya. Mari kita lihat kedua hal ini secara saksama. Acap kali orang yang beremosi tinggi adalah orang yang TIDAK KONSISTEN. Hari ini anak pulang terlambat dari sekolah membuatnya marah tetapi hari lain, sama sekali tidak. Hari ini istri pergi dengan teman sekolahnya tidak apa, tetapi lain hari, perbuatan itu membuatnya mengamuk. Belum lagi bila ia sendiri yang tengah menghadapi masalah—baik di tempat pekerjaan atau pertemanan—ia bisa marah-marah tanpa henti. Karena tidak adanya kekonsistenan ini, maka pasangan—dan juga anak-anak—harus hidup dalam ketegangan secara terus menerus. Pasangan harus berjaga-jaga karena ia tidak tahu kapankah bom akan meledak. Singkat kata, hidup bersama pasangan yang beremosi tinggi memberi tekanan hidup yang besar. Bila kita hidup bersama pasangan yang beremosi tinggi, biasanya ada dua jenis reaksi yang biasanya kita keluarkan. Pertama, KITA MEMBALASNYA. Setiap kali pasangan marah, kita balas marah. Setiap kali ia berbuat salah, kita menyalahkannya. Singkat kata, kita menggunakan prinsip gigi ganti gigi, mata ganti mata. Memang ada dua kemungkinan yang terjadi bila kita menggunakan prinsip gigi ganti gigi. Pertama, pasangan akhirnya tidak berani seenaknya marah karena ia tahu, kita akan membalasnya. Kedua, pasangan tetap marah semaunya dan kita pun membalas sepuasnya. Bila inilah yang terjadi, dapat dibayangkan bahwa rumah tangga akan jauh dari sepi. Dan, biasanya kadar keparahan akan bertambah sehingga tidak jarang, pertengkaran bukan saja melibatkan kata, tetapi juga tangan.

Bila kita memilih membalas—dan masalah tidak membaik, malah memburuk—relasi kita akan berubah menjadi medan perang. Kapan waktu bisa terjadi pertengkaran. Akhirnya bukan saja relasi berubah, kita pun berubah—kita menjadi seperti dirinya! Kapan waktu kita pun bisa meledak dan mata kita pun menjadi seperti matanya—selalu mencari kesalahan. Tidak bisa tidak, korban terbesar adalah anak-anak karena sekarang mereka harus siap mendengar ledakan celaan dan kemarahan dari ayah dan ibunya.

Pilihan reaksi kedua yang cukup sering dipilih adalah KITA MEMBIARKANNYA. Kita tidak mau membalas karena kita tahu bahwa masalah bisa memburuk. Akhirnya kita memilih untuk membiarkan, yang artinya adalah, kita menanggung beban hidup dan berupaya menyesuaikan hidup sesuai kehendaknya. Kita berusaha untuk tidak membuatnya marah, dan bila ia marah, kita buru-buru meminta maaf. Kita pun memastikan anak-anak berperilaku sesempurna mungkin bila pasangan di rumah, supaya ia tidak marah. Singkat kata, kita berusaha menciptakan lingkungan hidup sesempurna mungkin agar ia tidak memunyai alasan marah.

Jika ini respons yang kita pilih, tidak bisa tidak, kita akan sangat tertekan dan letih. Besar kemungkinan kita akan menderita depresi, yang membuat kita lumpuh — kita tidak lagi dapat menjalankan kewajiban kita dengan baik. Kita akan kehilangan hidup kita sendiri karena semua berkisar pada kehidupan dan keinginan pasangan. Kebutuhan pribadi pun tidak lagi dipenuhi. Akhirnya kita pun mencari kompensasi. Kompensasi negatif dalam kasus seperti ini adalah kita menumpahkan kekesalan kita kepada anak, yang membuatnya tertekan. Bukan saja tertekan karena harus selalu hidup sesuai tuntutan orangtua yang beremosi tinggi, anak pun tertekan karena mesti mendengarkan keluh kesah kita.

Tidak mudah menghadapi pasangan yang beremosi tinggi. Jalan keluar yang ideal adalah ia menyadari perbuatannya dan bertobat. Tetapi, bagaimana jika ia tidak bertobat? Apakah yang mesti kita perbuat? Yang mesti kita perbuat adalah MENGGABUNGKAN kedua reaksi di atas. Pada awalnya kita memberi reaksi kedua—membiarkan dan berusaha menyesuaikan dengan kehendaknya—sampai kita tidak sanggup lagi. Kemudian, kita memberi reaksi pertama yakni memberi reaksi emosional namun bukan membalas melainkan mengatakan kepadanya bahwa kita sudah terlalu letih dan tidak sanggup lagi hidup seperti ini. Ingat, bila kita membalas, besar kemungkinan ia akan lebih galak. Jadi, sebaiknya tidak membalas. Kita katakan kepadanya bahwa kita terbatas dan tidak sanggup menjadi seperti yang diinginkannya.

Amsal 20:22 mengingatkan, "Janganlah engkau berkata, ‘Aku akan membalas kejahatan,’ nantikanlah Tuhan, Ia akan menyelamatkan engkau."