Menyenangkan Hati Orang

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T459B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Menyenangkan hati orang di sini bukanlah kerelaan mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan yang lebih tinggi, termasuk orang lain ataupun Tuhan. Menyenangkan hati orang di sini adalah ketidakbisaan menjadi diri sendiri apa adanya karena takut pada penolakan orang. Itu sebab kita memfokuskan pada orang lain dan rela berbuat apa pun untuk menyenangkan hati mereka. Alhasil kebutuhan kita tidak terpenuhi dan terlebih penting lagi, kita tidak dapat menjadi alat di tangan Tuhan yang efektif. Berikut akan dipaparkan bagaimana kita dapat keluar dari lilitan menyenangkan hati orang.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Mungkin bertanya-tanya, apakah salahnya menjadi orang yang selalu ingin menyenangkan hati orang. Sebelum saya menjawabnya, perlu saya jelaskan apa yang saya maksud dengan masalah menyenangkan hati orang. Menyenangkan hati orang di sini bukanlah kerelaan mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan yang lebih tinggi, termasuk orang lain ataupun Tuhan. Menyenangkan hati orang di sini adalah ketidakbisaan menjadi diri sendiri apa adanya karena takut pada penolakan orang. Itu sebab kita memfokuskan pada orang lain dan rela berbuat apa pun untuk menyenangkan hati mereka. Alhasil kebutuhan kita tidak terpenuhi dan terlebih penting lagi, kita tidak dapat menjadi alat di tangan Tuhan yang efektif. Berikut akan dipaparkan bagaimana kita dapat keluar dari lilitan menyenangkan hati orang.

Pertama, kita mesti belajar mengenali pikiran dan keinginan diri sendiri, kendati belum tentu kita berani mengungkapkannya. Misalkan, sewaktu orang mengatakan sesuatu, di dalam hati kita bertanya, sesungguhnya apakah saya setuju dengan pendapatnya. Pada saat seseorang berbuat sesuatu, bertanyalah, sebenarnya apakah yang kita rasakan. Apakah kita senang atau sedih? Apakah kita marah atau kecewa? Jadi, mulailah dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu agar kita mulai dapat berkenalan dengan diri kita yang sesungguhnya. Jika perlu, tuliskanlah semua itu agar kita bisa membacanya dan melihat diri kita secara lebih jelas. Ingatlah bahwa jika kita telah hidup menyenangkan hati orang untuk kurun yang lama, pada akhirnya kita telah kehilangan diri. Itu sebab kita harus kembali berkenalan dengan diri sendiri.

Kedua, kita harus mulai mengambil risiko menyatakan pikiran dan perasaan kita. Mungkin kita mulai dengan hal-hal yang relatif kecil atau tidak penting. Dan, kita memulai dengan orang-orang yang dengannya kita merasa aman. Kita tahu bahwa mereka menerima kita apa adanya. Ini adalah bagian yang sulit sebab biasanya, setelah menyampaikan isi hati dan perasaan kepada mereka, acap kali kita dirundung rasa bersalah dan rasa takut. Kita merasa bersalah karena berpikir bahwa kita telah mengecewakan orang. Kita beranggapan seharusnya kita tidak menyusahkan orang atau tidak semestinya kita melakukan sesuatu kepada orang yang begitu baik kepada kita. Alhasil kita merasa takut, kalau-kalau tindakan kita membuat mereka tidak lagi menyukai kita. Tidak bisa disangkal, memang sewaktu kita mulai menyatakan isi hati dan perasaan yang mungkin berbeda dari apa yang diharapkan orang, mungkin saja orang akan merasa terkejut. Mereka terkejut karena tidak terbiasa. Mereka telah memiliki konsep tentang diri kita yang senantiasa penurut dan bersedia melakukan apa saja yang diminta. Namun, sesungguhnya ada satu hal yang mulai bertunas dalam diri mereka sewaktu mereka melihat kita berani menyatakan isi hati dan perasaan kita kepada mereka: Benih respek mulai tertanam dalam diri mereka! Ya, mereka mulai menghormati kita karena mereka melihat bahwa kita dapat menjaga diri dan menjadi diri sendiri.

Satu hal lagi, makin berani dan tepat kita menyatakan isi hati dan perasaan, makin tepat dan efektif komunikasi kita dengan sesama. Bila sebelumnya sering terjadi kesalahpahaman karena orang tidak mengetahui dengan jelas isi hati kita, sekarang problem itu terpecahkan. Orang tahu posisi kita sebab kita mengemukakannya dengan jelas. Kalaupun konflik terjadi, biasanya akan lebih cepat terselesaikan karena kejelasan ini.

Ketiga, kita mesti menjaga keseimbangan agar tidak melakukannya secara berlebihan. Pada waktu kita mulai terbiasa mengungkapkan isi hati dan perasaan, tidak bisa tidak, kita merasa senang. Apalagi bila kita mendapatkan respons positif dari orang. Nah, kita harus menjaga diri dari kemungkinan berbuat lebih dari yang perlu. Maksud saya, kita tetap harus berpikir jernih tentang apa yang baik dan benar sehingga tidak mengeluarkan pendapat hanya karena ingin memperlihatkan pendapat dan didengarkan. Adakalanya kita mesti mengikuti pendapat orang lain karena kita mengakui bahwa pendapatnya lebih baik daripada pendapat kita. Kadang kita pun mesti menelan perasaan kita dan tidak mengutarakannya sebab mengekspresikan perasaan tidak selalu bermanfaat. Singkat kata, kita tetap harus menjaga keseimbangan agar tidak bertindak membabi buta dalam menyatakan isi hati dan perasaan kita.

Terakhir, kita harus senantiasa mengingat bahwa Tuhan ingin memakai kita sebagai alat-Nya di muka bumi. Bila kita terus terikat oleh tuntutan untuk menyenangkan hati orang, kita tidak dapat menjadi alat di tangan Tuhan. Sebaliknya, kita malah menjadi alat di tangan manusia. Singkat kata, Tuhan hanya akan dapat memakai kita secara leluasa bila kita bebas bergerak. Dan, inilah yang kita lihat di Alkitab. Tuhan Allah memanggil Musa untuk berbicara kepada Firaun dan meminta Firaun untuk membebaskan Israel dari Mesir. Pada awalnya Musa menolak karena ia takut. Tuhan tahu hal ini, itu sebabnya Tuhan mengutus Harun, kakak Musa, untuk mendampinginya. Tuhan pun memperlihatkan kepada Musa kuasa ilahi yang akan menyertainya. Dengan pendampingan Harun dan dengan kuasa Tuhan, Musa akhirnya mengiyakan panggilan Tuhan. Tuhan pun tahu kelemahan dan ketakutan kita, yang ingin menyenangkan hati orang. Tuhan akan mengutus orang untuk mendampingi kita dan Ia pun akan mengaruniakan kuasa-Nya kepada kita. Sebagaimana Tuhan memakai Musa secara leluasa, Tuhan juga ingin memakai kita secara leluasa. Inilah Firman Tuhan kepada Musa, yang boleh menjadi pegangan kita pula, "Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni Tuhan? Oleh sebab itu pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau apa yang harus kaukatakan" (Keluaran 4:11-12). Jadi, beranikanlah diri—demi Tuhan dan pekerjaan-Nya.