Menyelaraskan Perbedaan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T458A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Ada banyak perbedaan yang mesti diselaraskan dalam pernikahan. Keberhasilan atau kegagalan kita menyelaraskan perbedaan akan menentukan kondisi pernikahan. Penting bagi kita untuk bukan saja mengenali tetapi juga mengatasi perbedaan. Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang kerap muncul dalam pernikahan yang menuntut penyelarasan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Ada banyak perbedaan yang mesti diselaraskan dalam pernikahan. Keberhasilan atau kegagalan kita menyelaraskan perbedaan akan menentukan kondisi pernikahan. Penting bagi kita untuk bukan saja mengenali tetapi juga mengatasi perbedaan. Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang kerap muncul dalam pernikahan yang menuntut penyelarasan.

Pertama, berkaitan dengan bicara. Ada yang bicara seperlunya dan ada yang bicara sebanyaknya. Sudah tentu pada awalnya, yang bicara seperlunya merasa senang bersama dengan yang bicara sebanyaknya sebab baginya, hidup menjadi lebih semarak. Dan, yang bicara sebanyaknya senang bersama dengan yang bicara seperlunya sebab ia merasa didengarkan. Masalah biasanya timbul setelah pernikahan. Setelah menikah, yang bicara seperlunya mulai merasa pusing mendengarkan celoteh pasangannya yang terus bicara. Ia pun sering merasa dituntut untuk berbicara lebih banyak padahal ia tidak begitu menyukai bicara sebanyak itu. Baginya, bicara adalah untuk menyampaikan suatu keperluan. Sebaliknya, yang bicara sebanyaknya beranggapan bahwa bicara adalah darah yang menghidupi pernikahan. Tanpa bicara maka matilah pernikahan. Ia pun mulai merasa sepi sebab yang ia butuhkan bukan saja didengarkan tetapi juga ditanggapi. Ia berharap bahwa pasangannya berinisiatif untuk membagikan pengalamannya—sekecil apa pun—guna mempererat tali keintiman. Pada akhirnya ia merasa tertekan sebab ia tidak diperbolehkan menjadi dirinya. Yang dibutuhkan untuk menyelaraskan perbedaan ini adalah penetapan waktu, di mana yang yang bicara banyak dapat berbicara sebanyaknya dan yang bicara seperlunya mendengarkan dan menanggapinya. Penetapan waktu yang khusus untuk bicara adalah penting bagi keduanya untuk menjalin keintiman. Pernikahan mungkin bertahan dengan pembicaraan basi-basi tetapi pernikahan tidak dapat bertumbuh tanpa pembicaraan yang hangat dan mendalam. Jadi, tetapkanlah di mana masing-masing dapat berbicara apa adanya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Kedua, berkaitan dengan kualitas. Ada yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya dan ada yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya. Pada awal perkenalan yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya merasa senang bersama dengan yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya. Ia merasa tenang dan santai serta bebas dari tekanan dan tuntutan. Jika sebelumnya ia merasa dikejar-kejar tenggat dan harapan, sekarang ia merasa relaks. Itu sebab ia menghargai sikap pasangan yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya. Sebaliknya, pada awal perkenalan, yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya senang bersama dengan yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya sebab ia merasa terpacu untuk menjadi dan memberikan diri terbaiknya. Mungkin sebelumnya ia tidak pernah mengira bahwa ia sanggup menghasilkan karya sebaik itu, sekarang bersama pasangan ia dapat melakukan hal-hal yang sebelumnya tak terbayangkan. Setelah pernikahan, semua ini mulai berubah. Yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya merasa letih karena harus terus mendorong pasangannya dan ia pun kesal melihat mutu pekerjaan yang jauh di bawah standarnya. Apa pun yang dimintanya untuk dikerjakan, dikerjakan dengan kualitas yang menjengkelkannya sehingga pada akhirnya ia enggan meminta tolong pasangannya. Ia lebih suka mengerjakan segala sesuatu sendiri karena hasilnya lebih memuaskannya. Masalahnya adalah, ia menjadi bertambah lelah dan mudah marah. Sebaliknya, yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya mulai merasa frustrasi karena apa pun yang dilakukannya tidak pernah dapat memenuhi harapan pasangannya yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya. Ia pun merasa marah karena terus dituntut untuk berbuat lebih dan sikap pasangan terhadapnya membuatnya merasa tidak direspek. Pada akhirnya ia lepas tangan dan bersikap tidak mau tahu. Ia membiarkan pasangan melakukan segalanya. Relasi pun retak dan keintiman renggang. Yang diperlukan untuk menyelaraskan perbedaan ini adalah kesepakatan yang jelas akan apa yang menjadi tuntutan dan pengharapan masing-masing. Keduanya mesti duduk bersama dan mendaftarkan hal-hal apa saja yang mesti dikerjakan dalam menjalankan biduk rumah tangga ini. Kemudian, keduanya mesti menyepakati seberapa baik kualitas yang diharapkan dan yang dapat dipenuhi. Penting sekali bagi yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya untuk bersikap realistik dan bagi yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya untuk bersikap konsisten.

Ketiga, berkaitan dengan keterbukaan. Sebelum masuk ke pembahasan ini saya perlu menjelaskan bahwa saya membedakan keterbukaan dari kejujuran. Yang dimaksud dengan keterbukaan adalah kesanggupan untuk mengekspresikan diri—baik itu pikiran maupun perasaan—dengan segera dan lancar. Sedang kejujuran adalah keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Jadi, ada orang yang terbuka tetapi tidak jujur—tidak mengungkapkan kebenaran—dan ada orang yang tertutup tetapi jujur—berani mengungkapkan kebenaran. Dalam pernikahan biasanya ada yang terbuka dan ada yang tertutup. Yang terbuka siap untuk mengungkapkan isi hati secara langsung dan lancar sedang yang tertutup memerlukan waktu untuk dapat mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Pada awal perkenalan yang terbuka senang bersama dengan yang tertutup karena ia merasa terimbangi. Ayunan emosinya cenderung mereda bersama dengan yang tertutup dan masalah tidak berkembang ke mana-mana karena sikap pasangan yang tidak mudah tersulut. Sedang yang tertutup pada awalnya merasa senang bersama dengan yang terbuka karena ia merasa secara emosional ia menjadi "hidup." Setelah pernikahan masalah mulai bertunas. Yang terbuka merasa frustrasi karena banyak hal yang ingin diketahuinya tetapi tidak dapat diaksesnya oleh karena ketertutupan pasangannya. Ia pun merasa letih karena ia harus senantiasa mengorek dan mengais-ngais informasi dari pasangannya, terutama isi hatinya. Pada akhirnya ia mulai menuduh bahwa pasangan telah bersikap tidak jujur kepadanya karena lalai atau tidak memberitahukan sesuatu. Sebaliknya, yang tertutup akhirnya merasa dibombardir oleh emosi pasangannya yang terbuka. Ia tidak siap untuk terbuka tetapi itu tidak berarti ia berbohong. Pada akhirnya makin banyak yang ia tidak sampaikan kepada pasangan. Ia takut bila ia sampaikan maka makin banyak muatan emosional yang keluar dari mulut pasangan. Dan, itu menakutkannya. Masalahnya adalah, makin ia menutup diri, makin pasangan akan mengejarnya. Dan, makin dikejar, makin ia melarikan diri. Relasi pun terganggu. Yang dibutuhkan untuk menyelaraskan perbedaan ini adalah penundaan. Yang terbuka mesti belajar untuk menunda mengekspresikan isi hati dan pikirannya sehingga pada saat ia mengungkapkannya, emosi sudah lebih terkendali dan pemikiran pun keluar secara lebih jernih. Sebaliknya, yang tertutup harus menunda dorongan untuk melarikan diri atau bersembunyi dalam gua yang aman itu. Kendati sukar, ia harus belajar mengekspresikan dirinya sedikit demi sedikit.

Kesimpulan : Firman Tuhan di Yesaya 32:15 berkata, "Sampai dicurahkan kepada kita Roh dari atas: Maka padang gurun akan menjadi kebun buah-buahan dan kebih buah-buahan itu akan dianggap hutan." Tanpa Roh Tuhan kita tidak bisa menyelesaikan perbedaan sebab kecenderungan kita adalah mempertahankan, bukan melepaskan perbedaan. Jadi, datanglah kepada Tuhan, minta agar Ia mencurahkan roh-Nya atas kita untuk memberi kita kemampuan melepaskan perbedaan sehingga padang gurun perbedaan berubah menjadi kebun buah dan bahkan hutan yang subur.