Menjadi Konselor yang Efektif (I)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T463A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, MK
Abstrak: 
Dengan meningkatnya kesadaran akan kebutuhan layanan konseling, maka meningkat pula kebutuhan akan konselor-konselor yang efektif. Seperti dokter yang memberikan obat bagi tubuh pasiennya, konselor memberikan “dirinya yang sehat” sebagai obat bagi jiwa orang yang dilayaninya. Dengan kata lain, diri konselor yang tidak sehat adalah racun bagi orang yang dikonselingnya. Berikut akan dibahas tujuh karakteristik diri yang sehat yang perlu dimiliki oleh seorang konselor.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Latar Belakang
Gejala semakin banyaknya kesadaran orang akan kebutuhan untuk layanan konseling dan semakin banyak orang terjun ke pelayanan konseling.

Pembahasan
Seorang dokter diandalkan karena obat yang diberikan. Sementara seorang konselor tidak menulis resep dan tidak memberikan obat medis, meski dia juga berperan seperti dokter, yakni menyembuhkan jiwa konsele. Maka sebagai penyembuh jiwa atau penolong jiwa, tetap ada "obat" yang diberikan oleh seorang konselor. Yakni, dirinya sebagai "obat". Diri yang bisa menjadi obat yang menyembuhkan konsele adalah diri yang sehat. Maka, diri yang sehatlah yang menjadi andalan utama layanan seorang konselor, dan bukan semata-mata pengetahuan, wawasan dan keterampilan tehnik konseling yang dimiliki. Dengan kata lain, diri yang tidak sehat sesungguhnya adalah racun bagi konsele. Seorang konselor seharusnya memunyai Karakteristik Diri yang Sehat yaitu yang terdiri atas 7 karakteristik sebagai berikut :

  1. Memiliki Penghargaan Diri yang Memadai. Setiap kita dilahirkan dengan kebutuhan yang sehat dan normal untuk dicintai dan dihargai. Kebutuhan ini pertama dan utama dipenuhi lewat kedua orang tua kandung kita. Jika tangki cinta dan penghargaan diri kita telah terisi dengan memadai, maka kita tidak akan butuh menyedot dari orang-orang yang kita layani, termasuk konsele kita. Layanan konseling kita akan benar-benar berfokus untuk pergulatan konsele dan kita akan lebih mudah untuk menolong konsele yang memiliki pergulatan dengan penghargaan diri yang rendah. Dengan penghargaan diri yang memadai, kita tidak mudah terhanyut pada puja-puji maupun penolakan konsele. Tanpa penghargaan diri yang memadai, kita bisa menjadi layanan konseling sebagai ajang pelarian diri dan mengabaikan batas-batas integritas diri. Istilah plesetan yang berkembang, situasi follow up berubah menjadi follow me. Jadilah konsele atau klien yang baik untuk menjadi konselor yang baik.
  2. Emosi yang Matang.
    Emosi merupakan ekspresi jiwa. Memiliki emosi yang matang artinya bisa mengenali dinamika emosi, berinteraksi dan mengelola dengan cukup baik. Bisa sedih, marah, kecewa dan frustrasi namun dapat mengekspresikan secara terkendali dan bukan menolak, menekan dan mengabaikan. Merangkul namun tanpa dikuasai. Bisa gembira, puas dan bersemangat, serta mengekspresikan diri dengan apa adanya sekaligus memberi tempat pada kondisi emosi dan perasaan orang di sekitarnya. Memahami dan memberi ruang bagi orang di sekitar yang bisa berbeda situasi emosi dan perasaannya.
    Dengan emosi yang matang, konselor bisa mewadahi dinamika emosi dan perasaan konsele yang beraneka ragam dan bisa naik turun dengan cepat. Pergulatan konsele berkenaan dengan emosi dan perasaan bukan menjadi wilayah yang asing dan ditanggapi secara dingin atau pun gagap, karena konselor memahami dan menghayati dinamika emosinya secara hidup dan sehat.
  3. Pemahaman yang Mendalam. Pemahaman yang mendalam tentang manusia, dinamika kita sebagai manusia, pergulatan manusia yang kompleks, bisa membaca apa yang terjadi dalam pergulatan manusia. Ketika konsele tidak bisa mengucapkan dengan baik apa yang jadi pergumulannya, dengan melihat ekspresi wajahnya kita bisa cukup peka untuk memahami, ini yang dia pikirkan dan lain-lain. Bukan sebatas pengetahuan kognitif, tapi bagaimana kita bisa masuk dalam situasi tersebut dan bisa menghayati pergulatan itu, hal itu membangun kebijaksanaan dalam diri kita supaya kita peka memahami dan bertoleransi, tidak cepat menghakimi. Bukan membenarkan tapi bisa memahami dan memaklumi karena memunyai pemahaman yang mendalam. Rasa empatinya tumbuh. Kita bisa melihat dari sudut pandang konsele. Pemahaman yang mendalam tumbuh di ruang penderitaan, kesulitan yang pernah dialami.
  4. Hati yang Mau Belajar ("teachable heart") dari sekelilingnya. Termasuk belajar dari konseling yang kita layani. Pertama dan utama adalah mau mendengarkan. Mendengar bukan untuk menjawab tapi untuk memahami, baik dengan telinga maupun dengan mata dan hati kita.
  5. Kemampuan Relasi yang Baik. Relasi yang baik dengan orang lain. Semua masalah psikologis berkaitan dengan masalah relasi. Relasi dengan dirinya, relasi dengan Tuhan dan relasi dengan orang lain. Jika memunyai kemampuan relasi yang baik dengan diri kita, dengan orang lain dan dengan Tuhan maka akan menjadi modal penting sebagai diri yang sehat menjadi konselor yang efektif bagi orang-orang yang datang untuk dilayani lewat proses konseling kita.
    Ayat Firman Tuhan yang mendasari perbincangan ini dari I Tesalonika 2:8, "Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi". Firman Tuhan ini menjelaskan bahwa dalam pelayanan kita bukan saja membagi Injil atau kebenaran secara kata-kata tetapi kita juga perlu membagi hidup kita. Sebagai konselor yang efektif mari kita punya hidup yang berkualitas, diri yang efektif. Inilah modal yang sama pentingnya dengan kebenaran yang kita sampaikan dengan kata-kata.