Melayani Untuk Menyenangkan Tuhan ( II )

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T560B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Abstrak: 
"Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu." 1 Petrus 5:2-3 - Pelayanan seperti inilah yang dikehendaki Allah.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Pengampunan adalah proses perubahan setelah terjadi kesalahan. Pengampunan tidak mengingkari sudah terjadi kesalahan atau pengalaman yang menyakitkan. Pengampunan juga bukan berpura-pura tidak pernah terjadi pengalaman yang menyakitkan. Pengampunan bukannya melupakan apa yang pernah terjadi. Suatu kesalahan atau kejadian yang menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap diri kita merupakan suatu sejarah, kita tidak dapat mengingkarinya, juga tidak mungkin melupakannya. Kita harus menghadapi apa yang sudah pernah terjadi, kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan.


Dengan pengampunan kita tidak lagi dikendalikan oleh apa yang sudah pernah terjadi dan oleh hal yang melukai hati kita. Mengingat kita tidak dapat mengubah sejarah dan kita juga tidak dapat mengubah apa yang sudah pernah terjadi, seharusnya kehidupan kita tidak dikendalikan lagi oleh apa yang pernah kita alami di masa lalu. Hanya dengan demikian kita dapat disembuhkan dari luka batin yang disebabkan apa yang pernah terjadi di masa lalu kita. Pengampunan adalah hadiah yang diberikan secara cuma-cuma dan sadar oleh orang yang pernah disakiti sehingga siklus batin yang terluka dapat dipatahkan.


Pengampunan bukannya menghilangkan akibat perbuatan kesalahan seseorang.


"Pengampunan adalah suatu fenomena yang kompleks yang berhubungan dengan emosi, pikiran dan tingkah laku, sehingga dampak dan penghakiman yang negatif terhadap orang yang menyakiti dapat dikurangi." Everett L. Worthington, Jr. membuat perbedaan antara dua jenis pengampunan, yaitu "keputusan untuk mengampuni" dan "pengampunan secara emosi", demikian juga dengan "perasaan tidak mengampuni" dan rekonsiliasi


"Keputusan untuk mengampuni" berarti saya mengambil keputusan untuk tidak menyimpan kebencian, kepahitan, kemarahan, dendam dan balas dendam terhadap pasangan saya, termasuk orang lain. Mengapa pengampunan harus termasuk orang lain juga, bukan hanya antara suami istri saja? Banyak sekali sudah terbukti ternyata dendam, marah dan sakit hati terhadap orang lain yang disimpan dan belum dibereskan akan membawa dampak negatif terhadap pasangan suami istri dan keluarga yang baru mereka bentuk bersama. Maka untuk meningkatkan hubungan pernikahan pasangan suami istri itu sendiri, baik suami maupun istri harus juga mengampuni orang lain yang mereka anggap pernah menyakiti hati atau melukai batin mereka. "Pengampunan secara emosi" berarti emosi saya yang negatif diubah menjadi emosi yang positif; seluruh orientasi emosi saya juga berubah. Untuk menjalin hubungan baik antara suami istri bukan hanya butuh pengertian tentang kedua macam pengampunan, yaitu "keputusan untuk mengampuni" dan "pengampunan secara emosi". Tetapi sewaktu pasangan Anda berbuat kesalahan dan menyakiti Anda, pertama-tama Anda harus mengambil keputusan untuk mengampuni. "Pengampunan secara emosi" butuh waktu yang lebih panjang, kadang-kadang pasangan yang bersalah perlu dengan adil dan benar membenahi akibat perbuatannya dahulu, baru dapat terjadi "pengampunan secara emosi".


Maka kita perlu mengerti dalam pernikahan Kristen perlu dimulai dari kebutuhan kita untuk mendapatkan pengampunan dari TUHAN Allah dahulu. Setelah TUHAN mengampuni kita, baru kita dapat mengampuni orang lain, termasuk mengampuni pasangan kita, orang tua, anak, saudara kandung, anggota keluarga lainnya, para teman, dokter, guru, teman sekantor, teman segereja, teman sepelayanan dan lain sebagainya. Sering kali dalam kehidupan kita, daftar orang yang pernah menyakiti dan melukai hati kita dapat seperti suatu daftar panjang yang tidak ada habisnya dan menunggu untuk kita ampuni.


Selain mengampuni pasangan kita dan orang lain, kita juga perlu mengampuni diri kita sendiri. Orang yang terluka, sering kali menyalahkan dirinya sendiri. Memang kadang-kadang dia sendiri juga bersalah. Tetapi orang yang pernah menyakiti pasangannya, termasuk orang lain, baik dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja, perlu juga mengampuni dirinya sendiri. Biasanya orang yang mau mengampuni dirinya sendiri, harus datang dahulu ke hadapan Allah Yang Maha Tahu dengan rendah hati untuk memohon pengampunan-Nya. Dan kalau mungkin dia juga perlu memberanikan diri menghadap pasangannya atau siapa saja yang pernah dia sakiti, setelah memohon pengampunan dari mereka, dia baru dapat mengampuni dirinya sendiri.


Mengampuni diri kita sendiri tidak mudah, karena kita bukan hanya harus mengampuni kesalahan yang telah kita perbuat, kita juga harus menerima kekurangan kita. Mungkin kita dapat berpikir, "Mengapa saya dapat jadi orang yang mengerikan seperti ini?" Kita harus mau menerima bahwa diri kita banyak kekurangan dan kesalahan, dan kita adalah orang yang tidak sempurna, maka sering kali pengampunan terhadap diri sendiri baru dapat dilakukan setelah waktu yang lama.


Berbagai ahli yang memelajari pengampunan menyatakan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi merupakan dua hal yang berlainan, prosesnya pun tidak sama. Orang yang disakiti dapat memberi pengampunan, tanpa campur tangan atau permintaan maaf dari orang yang menyakitinya. Dan tidak sama dengan perkiraan banyak orang Kristen, yang menganggap orang yang sudah mengampuni harus rekonsiliasi dengan orang yang pernah menyakitinya. Orang yang mengampuni belum tentu dapat rekonsiliasi atau berbaik kembali dengan orang yang menyakitinya, termasuk pasangannya sendiri.


Ini disebabkan pengampunan adalah dari inisiatif orang yang disakiti. Rekonsiliasi dapat juga merupakan inisiatif dari orang yang disakiti, tetapi supaya dapat terjadi rekonsiliasi, baik orang yang pernah disakiti maupun orang yang menyakiti perlu ada komitmen untuk bekerja sama. Pengampunan berjalan satu arah, sedangkan rekonsiliasi dua arah. Rekonsiliasi tergantung apakah tingkah laku dan maksud orang yang menyakiti sudah berubah, sehingga orang yang terluka dapat mempercayai orang yang menyakiti lagi. Meskipun pengampunan penting, terutama dalam hubungan pernikahan, tetapi rekonsiliasi tidak tepat untuk semua keadaan, terutama yang berhubungan dengan kekerasan, di mana mungkin dapat terjadi pelanggaran batas, dan penganiayaan yang berkepanjangan.


Jadi setelah pengampunan belum tentu harus terjadi rekonsiliasi dan juga belum tentu harus menjalin hubungan yang mesra lagi. Pengampunan dan kepercayaan tidak sama, terutama dalam hubungan yang penuh diwarnai dengan kekerasan dan pelanggaran hukum. Hubungan suami istri yang penuh dengan kekerasan sulit berbaik kembali, karena pihak yang sudah disakiti itu tentunya ingin melindungi diri, supaya tubuh dan emosinya tidak terluka lagi, bahkan jiwanya pun tidak terancam.


Selain itu pengampunan bukan merupakan suatu senjata yang digunakan orang yang menyakiti untuk mengendalikan orang yang disakiti. Misalnya ada suami yang karena berbagai alasan mengolok-olok, memukul, menekan, menyakiti, mengendalikan atau melakukan berbagai tindakan kekerasan terhadap istrinya. Setelah tindakan kekerasan itu sang suami dengan berbagai cara merayu istrinya untuk mendapatkan pengampunan dan dapat rekonsiliasi dengan istrinya kembali. Tetapi setelah rekonsiliasi, sang suami dengan berbagai alasan kembali melakukan tindakan kekerasan dan mengendalikan istrinya dengan kekerasan lagi. Ini dapat terjadi berulang-ulang dan terus-menerus


Matius 6:14 dan 15, "Kalau kalian mengampuni orang yang bersalah kepadamu, Bapamu di sorga pun akan mengampuni kesalahanmu. Tetapi kalau kalian tidak mengampuni kesalahan orang lain, Bapamu di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."