Media Sosial dan Kesepian

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T506B
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, MK.
Abstrak: 
Memiliki sekian banyak akun media sosial dan ribuan teman di dunia maya tidak menjamin orang merasa bahagia. Menurut penelitian, justru orang-orang yang terlalu sering bermedia sosial sesungguhnya adalah pribadi yang kesepian. Saatnya kita mawas diri terhadap ancaman ini.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Media sosial begitu marak dan akan makin marak. Orang merasa tidak perlu ke mana-mana dan menghabiskan banyak uang untuk bepergian, traktir makan atau telepon, namun sudah bisa terhubung dengan banyak orang. Begitu efisien dan irit. Tak heran muncul tren seseorang bisa memiliki banyak akun media sosial, termasuk banyak akun grup media sosial. Ada studi menarik bahwa media sosial justru bisa membuat kita semakin merasa kesepian. Ditemukan bahwa kalau kita menghabiskan lebih dari dua jam setiap hari untuk bermedia sosial, justru membuat peluang merasa terisolasi atau terpisah dari orang lain dua kali lebih besar dan kita merasa semakin kesepian.

Studi lapangan tahun 2014 yang dilakukan Universitas Pittsburgh ini menjangkau 1.787 orang berusia rentang 19-32 tahun berkenaan penggunaan 11 situs media sosial paling populer: Facebook, YouTube, Twitter, Google Plus, Instagram, Snapchat, Reddit, Tumblr, Pinterest, Vine dan LinkedIn. Ditemukan, orang yang mengunjungi media sosial lebih dari 58 kali seminggu cenderung tiga kali lebih mungkin merasa kesepian daripada orang-orang yang menggunakan situs di bawah sembilan kali. Sebelumnya, sudah ada dugaan para ahli bahwa media sosial memberi sumbangsih kenaikan FOMO (fear of missing out), rasa takut terhilang dan terpisah.

Ada dua penafsiran yang muncul dari studi lapangan ini. Pertama, kemungkinan bahwa orang-orang yang pada awalnya merasa terisolasi atau terpisah dari pergaulan bersama orang lain, beralih ke media sosial. Kedua, peningkatan penggunaan media sosial menyebabkan perasaan terisolasi atau terpisah dari dunia nyata. Semakin lama menghabiskan waktu di media sosial, semakin sedikit waktu yang dimiliki untuk berinteraksi sosial dalam kehidupan nyata. Untuk kemungkinan pertama, sudah jelas dipahami. Untuk kemungkinan kedua, bisa dijelaskan dari 5 bahasa kasih sayang: sentuhan fisik yang sehat, kebersamaan yang dirasakan, kata-kata peneguhan, pelayanan, hadiah. Sentuhan fisik dan kebersamaan yang dirasakan optimal jika berjumpa langsung. Bisa dijelaskan pula dari fakta bahwa kita makhluk inderawi: melihat, mendengar, meraba, mengecap, membaui. Keberadaan kita sebagai manusia semakin penuh jika fungsi-fungsi panca indera kita dioptimalkan. Jika lewat media sosial, meraba dan membaui tidak bisa terwadahi.

Didukung pula kenyataan studi lapangan di masa lalu: dua kelompok bayi. Satu kelompok bayi hanya disusui dengan dot dan digantikan popok. Satu kelompok bayi disusui dengan dot, digantikan popok, dan digendong ditimang-timang dengan suara keibuan. Kelompok pertama lebih mudah sakit dan meninggal. Kelompok kedua sehat bertumbuh kembang.

Implikasinya:

  1. Lakukan Diet Media Sosial dan Puasa Media Sosial. Hidupkan kebenaran bahwa kita bisa hidup, eksis dan bahagia tanpa media sosial, bahkan tanpa teknologi sekalipun. Manusia adalah makhluk cinta dan bukan makhluk tehnologi.
  2. Secara sengaja hidupkan relasi sehat dengan sesama secara hidup, bertemu langsung, muka dengan muka. Hadir dan berinteraksi di tengah keluarga, di ruang-ruang publik seperti di taman kota, di kegiatan kampung atau perumahan, saling berbagi kisah dan dukungan lewat pertemuan dengan teman dan sahabat.
  3. Fokuskan anak usia 12 tahun ke bawah dalam pemenuhan lima bahasa kasih sayang dan arahan-arahan positif. Jauhkan dari gawai atau gadget, gim elektronik dan televisi. Optimalkan interaksi langsung dengan orang per orang. Dengan sendirinya kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial anak tumbuh mekar dengan subur dan terjauhkan dari peluang berbagai gangguan emosi dan kepribadian di masa anak, remaja, maupun dewasanya kelak.

Manusia adalah zoon politicon, kata Aristoteles, makhluk yang bermasyarakat, makhluk sosial. Manusia adalah Homo homini socius, kata Adam Smith, manusia menjadi sahabat bagi sesamanya. "Tidak baik manusia hidup seorang diri," kata Tuhan Pencipta manusia. Manusia membutuhkan ruang interaksi yang langsung dan bukan terbatasi oleh media sosial.

Ibrani 10:24-25, "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat".

Firman Tuhan ini bukan hanya mendorong kita untuk beribadah Minggu dengan setia, tapi firman Tuhan ini mendorong kita menghidupkan interaksi horizontal kita dalam kita berelasi sesama manusia terlebih dengan sesama saudara seiman.