Ketika Tuhan Belum Mengaruniakan Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T512A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Tidak semua pasangan langsung memiliki anak setelah mereka menikah, ada yang harus menunggu begitu lama dan mengusahakan banyak cara untuk bisa hamil. Kenyataan ini berat. Walau begitu, kita mesti melihat hidup tanpa anak sebagai rencana tuhan yang utuh, bukan sebagai suatu kesalahan atau kekurangan
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Tidak bisa disangkal, salah satu alasan mengapa kita menikah adalah agar kita memunyai keturunan. Memang ada sebagian orang yang memilih untuk tidak memunyai anak, tetapi saya kira, kebanyakan kita berharap kita akan dikaruniakan anak. Masalahnya adalah, tidak semua kita yang berharap, akan memperoleh apa yang kita harapkan. Ada yang sudah menikah bertahun-tahun, tetapi belum dikaruniakan anak. Apakah sikap kita menghadapi kenyataan hidup yang tak diduga dan diharapkan ini? Berikut akan diberikan beberapa saran.

  1. KITA HARUS MEMPERCAYAKAN HIDUP KITA SEPENUHNYA KEPADA TUHAN, TERMASUK RENCANA KITA YANG BAIK.
    Menginginkan anak adalah sebuah keinginan yang baik, apalagi bila kita mengerti bahwa anak adalah pemberian Tuhan, jadi, untuk kita persembahkan kembali kepada-Nya. Meski baik, kita tetap harus memercayakan keinginan itu kepada Tuhan dan memercayai keputusan-Nya. Kita cenderung beranggapan, oleh karena kita memunyai keinginan dan rencana yang baik, maka sudah seyogianyalah Tuhan mengabulkan permohonan kita. Pada kenyataannya Tuhan tidak selalu mengabulkan permohonan kita yang baik. Pada saat seperti inilah iman kita mengalami ujian: Dapatkah kita memercayakan hidup kita kepada Tuhan? Sebaik apa pun rencana kita akan hidup ini, pada akhirnya kita harus menyerahkan keputusan akhir kepada Tuhan. Kita tidak dapat melihat semua; jadi, pemahaman dan perencanaan kita terbatas. Tuhan melihat semua, jadi, perencanaan Tuhan sempurna. Namun, entah mengapa pada saat ini rencana-Nya yang sempurna dalam hidup kita tidak melibatkan anak. Itu sebab Tuhan menahan diri-Nya untuk mengaruniakan anak kepada kita . Satu hal yang perlu kita ingat adalah tatkala Tuhan tidak mengaruniakan anak, itu tidak berarti Ia jahat. Kita harus percaya bahwa rencana-Nya keluar dari hati-Nya yang baik. Jadi, terimalah keputusan Tuhan sebagai rencana-Nya yang baik atas hidup kita.
  2. KITA MESTI MELIHAT HIDUP TANPA ANAK SEBAGAI RENCANA TUHAN YANG UTUH, BUKAN SEBAGAI SUATU KESALAHAN ATAU KEKURANGAN.
    Ya, sering kali kita berpikir bahwa pernikahan tanpa anak adalah suatu kesalahan atau kekurangan—sebagai sesuatu yang tidak lengkap. Pemikiran ini keliru sebab Tuhan tidak pernah menetapkan bahwa pernikahan haruslah membuahkan anak. Bahkan di dalam Firman Tuhan tidak ada janji bahwa Tuhan akan mengaruniakan anak. Pernikahan yang tidak dikaruniakan anak adalah suatu kehidupan yang utuh, sama utuhnya dengan pernikahan yang dikaruniakan anak. Memang, pada umumnya orang beranggapan bahwa pernikahan belumlah lengkap jika belum dikaruniakan anak. Itu sebab sering kali orang menanyakan kepada kita, yang belum dikaruniakan anak, kapankah kita akan memunyai anak. Sudah tentu pertanyaan itu dapat menambah tekanan pada kita, sebab kita tidak bisa memastikan kapankah atau apakah kita akan dikaruniakan anak. Kendati tertekan, ingatlah bahwa di mata Tuhan pernikahan kita sudah lengkap dan tidak ada yang salah. Selama Tuhan memberkati pernikahan kita dengan kasih, itu sudah cukup, tidak ada yang kurang. Kasih dalam pernikahan, itulah yang membuat pernikahan kita utuh dan lengkap, bukan kehadiran anak.

  3. MAKSUD TUHAN TIDAK MENGARUNIAKAN ANAK BUKAN UNTUK MEMBUAT KITA MENGURUNG DIRI DI KAMAR MELAINKAN UNTUK MEMBUAT KITA KELUAR DARI KAMAR.
    Besar kemungkinan salah satu tujuan mengapa Tuhan tidak mengaruniakan anak kepada kita adalah agar kita lebih terlibat di dalam pekerjaan Tuhan dan lebih memerhatikan orang. Meski membawa sukacita, membesarkan anak adalah pekerjaan yang tidak mudah, menguras waktu dan tenaga. Tanpa anak, kita dapat membagikan hidup kita secara lebih leluasa sehingga lebih banyak yang dapat kita lakukan untuk Tuhan dan sesama. Kadang kita merasa terpukul karena tidak dikaruniakan anak dan memilih mengurung diri. Kita merasa malu bertemu dengan orang, terutama dalam konteks ulangtahun anak. Akhirnya kita menolak pergi karena enggan berjumpa orang sebaya datang ke pesta membawa anak, sedang kita, tidak. Perasaan ini dapat dimengerti tetapi sebaiknya, tidak dibiarkan menguasai hidup kita. Jangan sampai kita membatasi ruang pergaulan gara-gara tidak memunyai anak. Percakapan tentang anak hanyalah satu dari sejumlah topik yang dapat dibicarakan. Juga, sewaktu bertemu dengan saudara atau teman yang dikaruniakan anak, bersukacitalah bersama mereka. Tunjukkan bahwa kita senang dan tidak iri atas berkat Tuhan yang diterimanya. Makin mereka melihat kenyamanan kita bersama dengan mereka dan bermain dengan anak mereka, makin mereka nyaman mengikutsertakan kita dalam lingkup pertemanan. Sebaliknya, makin kita terlihat tidak nyaman, makin itu membuat mereka sungkan mengundang kita. Jadi, pertahankanlah tali relasi dengan kerabat dan teman.

  4. SILAKAN BERUSAHA SETELAH BERDOA.
    Maksud saya, silakan mengupayakan pengobatan untuk hamil sebab mungkin ada yang dapat dilakukan untuk membuka kemungkinan kita hamil. Terpenting adalah kita berdoa terlebih dahulu. Juga, silakan mempertimbangkan kemungkinan mengadopsi anak. Sewaktu kita mengadopsi anak, bukan saja kita diberkati tetapi juga orangtua dan anak itu. Kebanyakan alasan mengapa orang menyerahkan anak untuk diadopsi adalah karena mereka tidak sanggup merawat dan membesarkan anak, baik secara fisik maupun mental. Jadi, adopsi merupakan jalan keluar bagi mereka sekaligus kesempatan bagi si anak untuk menikmati kasih sayang dan kecukupan dari orangtua yang sudah siap untuk merawat dan membesarkannya.

Firman Tuhan di Mazmur 126:5 mengingatkan, "Orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak sorai." Jika kita terus hidup untuk Tuhan dan sesama, dan bekerja dengan giat bagi Tuhan, kita akan menuai berkat dan sukacita, dengan atau tanpa anak.