Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keterampilan Untuk Memahami". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Didalam kita bersosialisasi, berhubungan dengan banyak orang, tentu dibutuhkan banyak keterampilan, kemampuan supaya kita bisa berkomunikasi, berinteraksi dengan baik dan salah satunya adalah memahami orang lain dan ini yang sulit karena kita pada dasarnya selalu menuntut untuk dipahami. Dan kita mau memperbincangkan tentang bagaimana menumbuhkan atau membangun suatu keterampilan dalam diri kita untuk bisa mamahami orang lain. Hal-hal apa yang kira-kira ingin Pak Paul sampaikan kepada kami ?
PG : Saya ingin menggaris bawahi yang Pak Gunawan katakan tadi bahwa ini adalah keterampilan yang penting yang harus dikuasai dalam hidup yaitu mengerti pemikiran dan perasaan orang lain, sebab keterampilan ini memungkinkan kita untuk menempatkan diri dalam posisi orang, sehingga kita bukan saja dapat mengerti alam pemikirannya tapi juga alam perasaannya. Mungkin kita dalam pergaulan sehari-hari pernah mendengar istilah berempati. Inilah yang dimaksud dengan berempati, yaitu memahami dan mengerti pemikiran dan perasaan orang lain. Ini adalah hal yang sangat penting sebab inilah keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun relasi yang sehat dan langgeng, tanpa keterampilan memahami kita tidak mungkin bisa membangun sebuah relasi yang sehat dan langgeng.
GS : Pak Paul, apakah memang betul kita hanya berempati kepada orang yang sedang mengalami musibah atau menderita sakit dan seterusnya, tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak mengalami itu semua, artinya sehat-sehat saja dan biasa-biasa saja, apakah kita perlu berempati juga kepadanya ?
PG : Sebetulnya berempati itu sangat diperlukan waktu kita bersama dengan orang yang sedang berduka, karena pada saat-saat itu orang yang berduka membutuhkan sekali kesensitifan dari pihak kita untuk bisa mendampinginya, menghiburnya dan itu diperlukan kemampuan untuk bisa berempati, mengerti alam pemikiran dan perasaannya. Namun sudah tentu tidak hanya dalam konteks kita ini menghibur orang yang sedang berduka, tapi berempati ini juga adalah keterampilan yang diperlukan di dalam situasi kehidupan yang lain misalnya di dalam konteks kita bersilang pendapat dengan pasangan kita. Misalnya istri kita tidak setuju dengan sesuatu yang kita telah kemukakan, berempati diperlukan dalam artian kita mesti memahami alam pemikirannya kenapa dia tidak setuju, atau misalkan suami kita marah waktu kita berkata sesuatu. Penting bagi kita berempati dalam pengertian, mengerti alam perasaannya kenapa dia sampai marah dan apa yang telah kita katakan atau lakukan yang membuat dia beranggapan misalnya kita sengaja mau menyakiti hatinya dan sebagainya. Sekali lagi dalam konteks kehidupan yang lain pun keterampilan berempati juga dibutuhkan.
GS : Bagaimana caranya kita menumbuhkan empati di dalam diri kita, Pak Paul ?
PG : Hal pertama yang harus kita ketahui adalah sesungguhnya keterampilan untuk memahami bukan sepenuhnya berasal dari asahan lingkungan, dengan kata lain sama dengan keterampilan lainnya, faktor bawaan atau lahiriah berperan besar dalam keterampilan ini. Jadi ada orang yang memang lahir dengan kemampuan alamiah yang kuat untuk dapat memahami dan ada orang yang memang memiliki modal yang relatif kecil untuk dapat memahami. Jadi saya tidak mau menyangkal adanya faktor lahiriah ini. Jadi semua orang tidak sama kemampuannya dalam hal memahami.
GS : Jadi itu sama dengan perasaan mengasihi yang tidak semua orang bisa sama ?
PG : Ada orang yang lebih cepat merasa iba atau merasakan apa yang diderita oleh orang lain dan ada orang-orang yang bawaannya lebih sulit iba atau sulit untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
GS : Tapi masih bisa dipelajari, Pak Paul ?
PG : Jadi hal yang harus kita ketahui yang kedua adalah kita masih bisa memelajarinya, sama seperti keterampilan lainnya, keterampilan memahami dapat dikembangkan walaupun pada akhirnya kwalitas masing-masing pribadi untuk memahami tidak sama, namun meskipun tidak sama dan memang mungkin tidak dapat mencapai kwalitas tertinggi, pada akhirnya kemampuan untuk memahami bahkan pada kadar yang rendah pun sudah cukup untuk membangun relasi yang sehat dan langgeng. Dengan kata lain saya berikan contoh, mungkin untuk menjadi seorang konselor dibutuhkan kwalitas memahami yang tinggi. Tapi untuk membangun relasi di antara teman hanya dibutuhkan kwalitas kemampuan untuk memahami yang lebih rendah atau lebih bersahaja. Jadi tidak semua orang dituntut untuk memunyai kemampuan memahami yang sangat-sangat tajam dan dalam, yang penting adalah kita sanggup melihat, "Kenapa dia berpikiran demikian, apa yang sebetulnya ada dalam isi hatinya, apa yang sedang dirasakannya, dan kenapa dia merasa seperti itu ?" Itu adalah kemampuan mendasar dan itu yang diperlukan oleh semua orang.
GS : Jadi sebenarnya berempati ini lebih mudah kita lakukan pada orang-orang yang dekat dengan kita dalam arti keluarga atau dengan orang lain, Pak Paul ?
PG : Seharusnya yang dekat dengan kita lebih mudah, karena kita akan lebih mengerti alam pemikirannya, kita lebih sering berinteraksi dengan dia dan karena kita juga dekat maka kita sering berbagi perasaan dengan dia. jadi seharusnya dengan pasangan kita, terhadap anak kita, kita lebih memunyai kemampuan untuk dapat berempati.
GS : Tadi Pak Paul singgung tentang menjadi konselor, ada konselor yang lebih mudah memahami kliennya daripada keluarganya sendiri.
PG : Betul. Kenapa begitu ? Saya sudah singgung dua hal itu, yang pertama adalah faktor bawaan yang memang dikaruniakan kemampuan yang sangat kuat untuk dapat memahami alam pemikiran orang dan alam perasaan orang. Itu faktor yang pertama dan faktor yang kedua sudah tentu konselor lebih terlatih, karena dalam pendidikan hal itu adalah hal yang penting dan seringkali diajarkan dan ditekankan sehingga mereka lebih terasah di dalam hal ini, sedangkan orang yang biasa-biasa dan tidak bertugas sebagai konselor tidak selalu dituntut untuk terus memahami alam perasaan dan pemikiran orang lain sehingga kalau bawaannya tidak begitu kuat maka sudah tentu kemampuan dia juga tidak terlalu kuat.
GS : Dengan kata lain, kalau kita sering berempati maka makin terasahlah empati kita, begitu Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi orang yang mau belajar dan benar-benar mau mengerti alam pemikiran pasangannya, anaknya, dia akhirnya akan belajar dan lebih mampu untuk berempati.
GS : Sebenarnya sejak kapan orang harus dilatih berempati, Pak Paul ?
PG : Sama seperti keterampilan sosial lainnya, keterampilan untuk memahami paling efektif diajarkan pada masa belia atau muda. Pada umumnya anak kecil jauh lebih mudah dan tanggap untuk belajar. Jadi masa kecil adalah masa terbaik untuk menumbuhkan keterampilan untuk berempati.
GS : Masa kecil ini sekitar umur berapa yang Pak Paul usulkan ?
PG : Saya kira mulai anak umur 2 tahunan, karena anak umur 2 tahun sudah mulai bisa mengeksplorasi lingkungannya, kita sudah mulai mengajarkan, "Jangan ini nanti begini, jangan pukul anjing ini nanti anjing ini marah" kita mulai berkata seperti itu pada anak-anak usia 2 tahunan. Kalau masih ada kesempatan paling lambat sampai anak itu lulus SMA, jadi kita harus terus tanamkan dan sudah tentu pada masa kecil harus lebih intens, kalau anak remaja sudah sering keluar dan akan berkurang intensitasnya. Tapi kalau bisa sampai usia remaja atau setidaknya usia SD, 12 atau 13 tahun.
GS : Jadi peran orang tua itu besar sekali, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, karena orang yang pertama dikenal anak adalah orang tua dan orang yang paling banyak terlibat dalam kehidupannya adalah orang tua. Jadi orang tua adalah guru yang paling efektif untuk mengajarkan keterampilan untuk memahami walaupun peran orang lain juga tidak kecil namun tetap porsi terbesar adalah orang tua sendiri.
GS : Selain orang tua, biasanya siapa yang bisa mengajarkan empati di rumah ?
PG : Saya kira misalkan kalau di rumah ada pamannya, ada kakek neneknya mereka juga bisa berperan atau di luar rumah yang juga berperan nantinya adalah guru-guru sekolah dan guru-guru Sekolah Minggu, dan pada waktu mereka remaja adalah sesama teman sudah mulai mengasah keterampilan empati ini. Di usia remaja teman-teman akan berkata, "Kamu kok bilang ini dengan yang ini, kamu harus sadar omongan kamu melukai hati dia" ini adalah bentuk asahan atau proses pembelajaran pada anak-anak remaja untuk lebih bisa berempati.
GS : Kalau di rumah yang menjadi kesulitan adalah orang tua itu sendiri juga sulit untuk berempati dengan orang lain ?
PG : Kalau memang orang tuanya sendiri kesulitan berempati, saya bisa bayangkan dia juga akan sulit mengajarkan bagaimana berempati atau memahami alam pemikiran dan perasaan orang lain kepada anak-anaknya sendiri, itu betul.
GS : Karena empati ini tidak hanya diajarkan secara lisan, tapi juga harus diperagakan dengan nyata supaya anak melihat sebenarnya bagaimana berempati itu.
PG : Betul sekali. Jadi sama seperti keterampilan sosial lainnya, keterampilan untuk memahami paling tepat diajarkan lewat contoh kehidupan yang konkret, jadi orang tua harus mendemonstrasikan keterampilan untuk memahami lewat situasi kehidupan yang nyata, baik yang berkaitan dengan anak itu sendiri atau dengan orang lain. Jadi saya berikan contoh misalnya ketika akan mendapatkan nilai ujian yang tidak memuaskan, orang tua dapat menanyakan, "Apa penyebabnya dan berusaha memahami kesulitan anak tanpa menghukumnya. Jika hal seperti ini terjadi berulang kali, maka secara alamiah anak pun mulai mencontoh tindakan orang tuanya sewaktu diperhadapkan dengan situasi kehidupan yang serupa.
GS : Seringkali orang tua tidak mengajarkan sifat empati karena dianggap tidak ada gunanya malah merugikan bagi si anak atau mereka sendiri sebagai orang tua, karena ini memberikan perhatian dan sebagainya, sedangkan yang diajarkan adalah sebaliknya dari itu.
PG : Betul. Jadi kadang-kadang kita sebagai orang tua terlalu sibuk, daripada mengajarkan proses, maka kita langsung kepada hasil akhirnya. Misalnya kita melihat anak kita itu bersitegang dengan kakaknya soal mainan, dia sudah memainkan mainan ini cukup lama dan kakaknya meminta dan tidak diberi. Karena kita sudah repot maka yang seringkali kita lakukan adalah memerintahkan si anak untuk memberikan mainan itu kepada kakaknya. Kita akhirnya tidak memunyai waktu untuk menjelaskan prosesnya yang dapat justru menjadi sebuah pelajaran yang baik buat si anak untuk berempati misalnya kita bisa berkata, "Coba kamu sendiri bayangkan kalau kakakmu yang memainkan mainan ini mulai pagi sampai siang dan kamu memintanya untuk meminjam dan dia tidak berikan, bagaimana perasaanmu ? Kamu pasti akan marah dan tidak suka sebab kamu melihat kakak sudah bermain begitu lama dan ini yang sekarang kakakmu rasakan dan tidak kamu beri mainan kepada dia sedangkan kamu sudah memainkannya begitu lama." Tapi sekali lagi saya harus katakan kita tidak selalu sempurna sebagai orang tua, jadi kadang-kadang karena kita sudah sibuk dan kita lalai menjelaskan proses ini dan sebetulnya inilah proses yang baik untuk dijelaskan supaya anak belajar untuk berempati.
GS : Tadi Pak Paul katakan ada kakak dan adik terlibat dalam proses pembentukan empati seorang anak.
PG : Tepat sekali. Jadi anak-anak itu bisa belajar bukan saja lewat pengalaman pribadinya sewaktu orang tua menjelaskan atau orang tua itu memahami kesulitan anak tanpa menghakimi, tapi juga waktu orang tua mendemonstrasikan kemampuan untuk memahami dalam situasi yang lain dengan orang lain, misalnya dengan kakak atau adiknya, ayah atau ibunya. Misalnya si anak itu melihat bahwa kakaknya itu berbuat sesuatu yang tidak berkenan kepada orang tuanya, orang tuanya itu tidak langsung memarahi tapi bertanya dulu kepada si kakak, "Kenapa dia begini dan begitu ?" Kemudian barulah memberikan sanksi, maka si anak akan berusaha memahami kakaknya sebelum memberikan tindakan kepada si kakak, ini menjadi pengalaman pembelajaran bagi si anak bahwa lain kali kalau saya menghadapi situasi orang berbuat sesuatu yang tidak berkenan kepada saya, saya harus mencari tahu kenapa dia begini dan begitu, baru saya nanti bersikap kepadanya. Jadi anak-anak yang dari kecil melihat langsung bagaimana orang tua berempati kepadanya dan bagaimana orang tua juga berusaha memahami kakak atau adiknya, akan diperkaya dengan kemampuan ini.
GS : Tapi itu pun orang tua harus memerlakukan anaknya ini sama, kalau terhadap kakaknya dia bertanya dulu, mengerti dulu tapi tidak terhadap adiknya maka ini menimbulkan suatu kegalauan bagi anaknya.
PG : Betul. Jadi anak-anak harus melihat kita sebagai orang tua yang konsisten, kita memerlakukan pendekatan yang sama kepada semuanya.
GS : Dengan cara bagaimana lagi seseorang itu belajar empati, Pak Paul ?
PG : Saya berikan contoh lagi, orang tua bisa mengajarkan keterampilan untuk memahami kepada anak melalui apa yang dialami oleh si anak misalnya si anak mengadu dia dikucilkan oleh teman-temannya, mungkin kita bisa mengajarkan kepadanya untuk melihat dirinya dari kacamata temannya, kita dapat menanyakan apakah yang mereka katakan tentang penyebab "mengapa mereka tidak mau berteman dengannya ?" Bila ia menjawab misalnya bahwa teman-teman menuduhnya egois maka kita bisa menanyakan kepadanya alasan kenapa mereka sampai menuduhnya egois, lewat pembicaraan seperti inilah kita dapat mengajak anak untuk melihat dirinya dari sudut pandang orang lain. Jadi tidak hanya dia melihat semua dari kacamata dia, anak-anak atau teman-teman mengucilkan dia, maka dia perlu melihat dari kacamata teman-temannya kenapa mereka sampai tidak mau bermain dengannya.
GS : Berempati itu berarti dia harus berada pada posisi orang lain dan itu berarti secara tidak langsung menyangkali dirinya sendiri yang berada pada posisi yang berseberangan dengan orang itu, ini bagaimana ?
PG : Ini poin yang baik. Jadi inilah sebetulnya keterampilan yang dibutuhkan supaya anak juga belajar untuk tidak terlalu memikirkan kepentingannya sendiri saja. Jadi anak perlu belajar menempatkan dirinya pada posisi orang lain, anak yang tidak pernah belajar berempati akhirnya bertumbuh besar menjadi anak yang egois dan selalu hanya memikirkan kepentingannya dan tidak memikirkan kepentingan orang sebab dia tidak terbiasa menempatkan diri pada posisi orang lain. Jadi apa pun yang diinginkannya dia harus dapatkan, apapun yang dia perintahkan orang harus lakukan. Ini adalah bibit-bibit yang kalau tidak dikondisikan atau dipoles, bisa benar-benar menjadi bibit-bibit keegoisan dan nanti si anak bisa bermasalah dengan teman-temannya, dan setelah dia besar dan menikah dapat dipastikan dia akan menjumpai masalah dengan pasangannya karena pasangannya akan merasa, "Istri atau suami saya luar biasa egois dan tidak bisa memikirkan kepentingan saya".
GS : Tapi dia sendiri belum tentu sadar kalau dia sendiri egois dalam hal ini.
PG : Betul. Jadi ada orang-orang yang tidak terbiasa berempati, tidak merasa kalau dirinya egois, dia hanya berkata, "Saya melihatnya begini dan berpikirnya begini" tapi dia tidak bisa berpikir dari kacamata orang, tidak bisa turut merasakan sesuatu dari perasaan orang, itu yang dia tidak mampu lakukan.
GS : Kalau Pak Paul tidak keberatan, apakah Pak Paul punya pengalaman dalam berempati ini ?
PG : Saya kira salah satu yang saya ingat sewaktu saya masih kecil adalah saya pernah melihat ada orang jatuh pingsan di depan rumah kami dan saya masih ingat mama saya diberitahukan ada orang jatuh pingsan di depan rumah kami dan tetangga yang lain keluar menolong orang tersebut dan saya masih ingat sekali mama saya masuk ke dalam dan kemudian mengambilkan susu hangat dan memberikan kepada orang itu sebab orang itu pingsan tidak lama dan kemudian dia siuman kembali dan saya masih ingat mama saya memberikan air susu hangat itu kepadanya. Waktu saya melihat hal itu, saya masih kecil dan saya tidak bisa mencernanya tapi apa yang saya saksikan itu meninggalkan bekas di hati saya bahwa kalau orang kesusahan kita harus berbuat sesuatu untuk menolongnya, dan cukup sering keluarga kami, orang tua saya memanggil misalnya pedagang atau apa, saya ingat ada seorang pedagang sate babi yang suka datang dan memang kelihatan susah sekali atau dalam kemiskinan yang dalam. Saya masih ingat mama saya sering panggil dia untuk beli meskipun kadang-kadang sudah ada makanan, tapi saya tahu sengaja membelinya untuk menolong dia. Hal-hal seperti itu meskipun mama saya tidak berkata, "Anak-anak inilah pelajaran tentang berempati" tidak seperti itu. Tapi waktu kami menyaksikannya kami menjadi belajar bahwa kita harus menempatkan diri pada posisi orang yang susah dan kita harus berusaha menolong orang yang susah dan hal kecil seperti itu dicatat oleh anak dan akhirnya menolong anak-anak bertambah besar untuk memiliki kemampuan untuk memahami alam pemikiran dan perasaan orang lain pula.
GS : Jadi berempati ini diawali dengan suatu kepedulian yang besar terhadap seseorang, begitu Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi pada akhirnya buah dari empati dari kemampuan memahami alam perasaan dan pemikiran orang lain adalah belas kasihan. Kalau kita memang tidak memunyai kemampuan memahami perasaan dan pemikiran orang maka sulit sekali bagi kita untuk bisa akhirnya berbelas kasihan kepadanya dan ini kita lihat dengan sangat jelas pada contoh Tuhan Yesus yang sangat mempedulikan orang lain. Dia selalu hatinya tergerak oleh belas kasihan sebab dia menempatkan dirinya pada diri orang-orang yang dilayani-Nya bahwa mereka orang yang susah dan tertindas. Jadi belas kasihan itu selalu ada dalam hati-Nya.
GS : Mungkin ada cara lain untuk membangkitkan empati ini dalam diri seorang anak, Pak Paul ?
PG : Misalnya orang tua dengan sengaja memilih membahas sebuah topik tentang berempati. Sebagai contoh, sewaktu kita tengah membahas atau membicarakan tentang hari Natal, kelahiran Tuhan kita Yesus di dunia ini, kita bisa misalkan membicarakan tentang tindakan Raja Herodes Agung yang memerintahkan pembunuhan anak-anak berusia 2 tahun ke bawah setelah mendengar bahwa Tuhan Yesus telah dilahirkan dan dia tidak mau Tuhan nanti mengambil takhtanya sebagai raja. Karena dia tidak tahu dimanakah bayi Yesus dilahirkan maka dia memutuskan membunuh semua anak yang berusia dua tahun ke bawah yang tinggal di kota Betlehem. Kita bisa menjelaskan bahwa raja adalah seorang pribadi yang tidak punya keterampilan untuk memahami, dia tidak mengerti pemikiran dan perasaan orang tua yang harus kehilangan anaknya sewaktu anak itu dibunuh. Sebab dikarenakan sifat egoisnya belaka yang tidak ingin kehilangan takhtanya, jadi supaya dia tetap bisa menguasai takhta dia tidak segan segan menghabisi nyawa anak-anak kecil dan tidak memedulikan perasaan orang tua yang harus kehilangan anak-anaknya. Disini kita melihat sebuah keterkaitan yang erat antara keterampilan memahami perasaan dan pemikiran orang dan belas kasihan. Kita melihat Herodes yang tidak bisa mengerti perasaan orang karena dia egois, apa yang terjadi pada dirinya ? Dia kehilangan belas kasihan. Jadi orang tua harus benar-benar melihat betapa pentingnya kemampuan memahami karena nantinya dari sinilah akan muncul kemampuan untuk berbelas kasihan. Inilah sebuah karakter yang sangat-sangat disenangi oleh Tuhan kita.
GS : Sebenarnya ini juga merupakan anugerah atau perlindungan Tuhan terhadap umat manusia, bisa kita bayangkan kalau orang tidak lagi mampu berempati terhadap sesamanya, dunia ini bisa rusak.
PG : Betul sekali. Dan kecenderungan manusia adalah hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri sehingga kalau orang tua lalai mengajarkan ini akhirnya makin banyak orang-orang di dunia ini yang tidak memikirkan kepentingan orang lain dan tidak bisa lagi berbelas kasihan kepada mereka.
GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa menyimpulkan apa yang telah kita perbincangkan tentang keterampilan untuk memahami orang lain ?
PG : Firman Tuhan di Roma 15:1 berkata, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri." Jadi perintah Tuhan sangat jelas bahwa kita harus menolong orang dan untuk bisa menolong orang diperlukan belas kasihan, dan untuk bisa berbelas kasihan diperlukan kemampuan berempati atau memahami perasaan atau pun pemikiran orang lain dan dengan modal yang sama inilah baru kita bisa berkata, "Baiklah saya tidak akan mendahulukan kesenangan saya tapi saya akan bisa mendahulukan kepentingan orang lain". Semua ini bersumber dari satu itu saja yaitu kemampuan untuk memahami.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keterampilan Untuk Memahami". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.