Kesalahan Dalam Mendisiplin Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T456B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kita mafhum bahwa anak membutuhkan disiplin.Tanpa disiplin anak akan bertumbuh “liar” tanpa penguasaan diri. Ada hal yang boleh dilakukan anak sampai kadar tertentu tetapi ada pula hal yang tidak boleh dilakukan anak setelah melewati kadar tertentu. Ada hal yang seharusnya dilakukan anak namun ada pula hal yang tidak seharusnya dilakukan anak.Untuk itu marilah kita melihat dengan lebih saksama bagaimanakah caranya menerapkan disiplin pada anak usia secara bijak agar pendisiplinan dapat terlaksana dengan efektif.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kita mafhum bahwa anak membutuhkan disiplin. Tanpa disiplin anak akan bertumbuh "liar" tanpa penguasaan diri. Ada hal yang boleh dilakukan anak sampai kadar tertentu tetapi ada pula hal yang tidak boleh dilakukan anak setelah melewati kadar tertentu. Ada hal yang seharusnya dilakukan anak namun ada pula hal yang tidak seharusnya dilakukan anak. Untuk itu marilah kita melihat dengan lebih saksama bagaimanakah caranya menerapkan disiplin pada anak usia secara bijak agar pendisiplinan dapat terlaksana dengan efektif.

Pertama yang perlu kita selalu ingat adalah tujuan pendisiplinan anak bukanlah untuk menciptakan kepatuhan total, tanpa kesempatan untuk memilih atau berkehendak sama sekali. Dengan kata lain, mendisiplin anak tidaklah bertujuan untuk mengecilkan ruang gerak anak sampai sedemikian rupa sehingga ia tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Salah satu kesalahan yang umum dilakukan oleh orang tua adalah membatasi ruang gerak anak sedemikian rupa sampai-sampai anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan kehendaknya. Kita tidak mau memberikan kebebasan penuh kepada anak pada usia dini sebab kita tidak ingin membiarkannya bertumbuh besar tanpa rem. Namun kita pun perlu menyeimbangkan pembatasan dan pembiaran agar anak dapat mengembangkan dirinya pula.

Sebagai contoh, kita menyadari bahwa pada umumnya anak senang bermain dengan air. Itu sebab sewaktu mandi, anak cenderung berlama-lama dan sulit disuruh keluar dari bak mandi. Jika kita tahu bahwa ia dapat ditinggal sendiri di bak mandi, sebaiknya biarkanlah ia bermain dan berlama-lama di bak mandi. Jika kita tidak mau ia bermain-main dengan sabun mandi dan menghabiskannya, sediakanlah mainan atau bubbles yang dapat digunakannya sewaktu bermain di bak mandi.

Nah, oleh karena tidak mudah memintanya untuk keluar dari bak mandi, maka sebaiknya kita memberikan kepadanya tiga peringatan. Sudah tentu peringatan pertama kita sampaikan setelah ia menghabiskan waktu yang cukup lama di bak mandi. Setelah peringatan pertama, kita memberikannya waktu jeda sekitar 10 menit, sebelum memberikan peringatan kedua. Peringatan ketiga kita berikan setelah memberikannya waktu sebanyak 10 menit lagi. Pada saat itu barulah kita memaksanya untuk keluar dari bak mandi. Saya yakin jika kita melakukan ini secara konsisten sekitar tiga kali, maka anak akan memahami "prosedur mandi." Ia tahu bahwa ia akan dapat bermain sewaktu mandi dan ia tahu bahwa ia mempunyai cukup banyak waktu untuk bermain di bak mandi. Ia pun tahu bahwa peringatan pertama masih memberikannya waktu lumayan lama untuk meneruskan permainannya. Lewat cara seperti ini, disiplin terlaksana namun disiplin tidak menghilangkan kesempatan kepada anak untuk mengekpsresikan dirinya.

Kedua, yang selayaknya kita ketahui adalah bahwa mendisiplin anak bukanlah bertujuan untuk melenyapkan perilaku anak yang negative, dengan menghalalkan segala cara. Dengan kata lain, kita senantiasa harus memonitor cara pendisiplinan agar cara pendisiplinan tidak malah menghancurkan diri anak.

Salah satu kesalahan yang umum diperbuat orang tua adalah terlalu memfokuskan pada penghilangan perilaku anak yang negatif tanpa memerhatikan dampak buruk dari pendisiplinan yang berlebihan. Memang dengan pendisiplinan yang keras, hampir semua perilaku anak yang negatif akan hilang, namun pada akhirnya yang hilang bukan saja perilaku tetapi juga diri anak itu sendiri. Misalkan, ada orang tua yang menyekap anak di dalam kamar yang kecil dan gelap. Memang, besar kemungkinan hukuman itu akan menghentikan perilaku anak yang negatif, namun dampak hukuman itu bisa membuat anak trauma dengan ruang sempit. Setiap kali ia berada di dalam ruang sempit ia akan sesak nafas dan dicekam rasa takut yang melumpuhkan. Jadi, sebelum memberi hukuman kepada anak, pertimbangkanlah dampak buruknya.

Ketiga, yang mesti kita ingat adalah pelabelan cenderung terus melekat pada diri anak, jadi janganlah melabelkan anak dengan label yang menghina atau merendahkannya. Sebagai contoh, oleh karena anak tidak berprestasi akademik yang baik, maka anak menerima label "bodoh." Jika label ini didengar anak pada saat ia remaja dan duduk di bangku SMA dan sebelumnya ia tidak pernah tinggal kelas, besar kemungkinan label ini tidak begitu memengaruhi anak. Sebaliknya, bila label "bodoh" ini dikatakan kepada anak semasa anak kelas 1 atau 2 SD, besar kemungkinan label ini akan melekat pada anak dan mempengaruhi prestasi belajarnya di tingkatan selanjutnya. Saya mengerti bahwa tujuan kita sebagai orang tua adalah baik; kita hanya ingin memotivasi anak. Namun sayangnya pelabelan akhirnya melekat dan memengaruhi pandangan anak terhadap dirinya sehingga akhirnya kepercayaan dirinya ikut melorot turun. Satu hal lagi, berhati-hatilah dengan olok-olokan yang juga berisikan pelabelan. Misalkan, cukup sering orang tua menyebut anaknya, "gembrot" atau "rakus." Mungkin buat kita, kata-kata ini adalah sekadar guyonan namun tanpa kita kehendaki, anak malah menyimpan kata-kata ini dan mengembangkan ketakutan yang berlebihan terhadap kegemukan. Akhirnya ia terobsesi dengan masalah berat badan dan makanan yang sehat.

Amsal 3:35 mengingatkan, "Orang yang bijak akan mewarisi kehormatan, tetapi orang yang bebal akan menerima cemooh." Membesarkan anak dengan pendisiplinan yang bijak memang tidak menjamin anak akan bertumbuh menjadi orang yang kita harapkan. Namun setidaknya, bila kita mendisiplin anak dengan bijak, maka anak tidak mudah mencemooh kita. Ia mungkin tidak setuju dengan kita namun ia tetap dapat menghormati kita. Dan, pada akhirnya respek dapat menjadi jembatan relasi antara orangtua dan anak.