Kerukunan Dalam Keluarga

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T475B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Tujuan hidup adalah untuk memuliakan Tuhan. Jika demikian, maka semua — termasuk pernikahan — adalah untuk memuliakan Tuhan. Untuk memuliakan Tuhan, pernikahan harus bersatu dan rukun. Berikut akan dipaparkan beberapa langkah untuk memelihara kerukunan, yaitu bersedia menanggung kelemahan pasangan, saling membangun, dan menerima satu sama lain.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Tujuan hidup adalah untuk memuliakan Tuhan. Jika demikian, maka semua — termasuk pernikahan — adalah untuk memuliakan Tuhan. Untuk memuliakan Tuhan, pernikahan harus bersatu dan rukun. Berikut akan dipaparkan beberapa langkah untuk memelihara kerukunan.

  1. Kita mesti bersedia menanggung kelemahan pasangan. Firman Tuhan di Roma 15:1 menasihati, "Kita yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri." Kita memasuki pernikahan membawa kekuatan dan kelemahan. Agar tercipta kerukunan, kita mesti bersedia menanggung kelemahan masing-masing. Untuk itu dibutuhkan kerelaan untuk berkorban. Pernikahan bukanlah tempat bagi orang yang egois; orang yang egois hanyalah mencari kesenangan pribadinya. Firman Tuhan mengingatkan agar kita tidak mencari kesenangan kita sendiri. Untuk menanggung kelemahan pasangan kita dituntut untuk melepaskan kesenangan sendiri. Kadang, kita harus bukan saja menunda tetapi juga membatalkan sesuatu yang ingin kita lakukan demi pasangan. Tanpa kesediaan untuk berkorban, mustahil kita akan dapat membangun kerukunan dan memuliakan Tuhan lewat pernikahan kita. Pernikahan juga bukanlah tempat untuk orang yang menganggap diri sempurna. Pernikahan adalah rumah bagi orang yang menyadari kelemahannya. Bila kita hanya melihat kekuatan pada diri kita, maka kita akan mudah terjerumus ke dalam lubang kesombongan. Di dalam kesombongan kita pun susah untuk berbelas-kasihan; sebaliknya, kita sering menuntut pasangan untuk memperbaiki diri supaya sesuai dengan pengharapan kita. Alhasil kita tidak dapat hidup rukun; hari demi hari akan diisi oleh kemarahan dan tuntutan.
  2. Kita mesti saling membangun. Firman Tuhan di Roma 15:2 berkata, "Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya." Bukan saja kita harus bersedia menanggung kelemahan pasangan, kita pun mesti membangunnya. Singkat kata kita bertanggungjawab untuk membangun pasangan supaya ia bertumbuh menjadi seorang pribadi yang lebih baik dan lebih sehat. Pernikahan yang rukun dan sehat menciptakan pribadi yang sehat, sedang pribadi yang sehat menciptakan pernikahan yang rukun dan sehat. Agar tercipta pribadi yang sehat dibutuhkan pertolongan; tanpa pertolongan mustahil kita dapat bertumbuh menjadi pribadi yang sehat. Pertolongan datang bukan dari siapa-siapa melainkan dari pasangan sendiri. Tuhan telah mendesain pernikahan sedemikian rupa sehingga untuk membangunnya diperlukan sikap saling tolong dan saling membangun. Cara terbaik untuk membangun satu sama lain bukanlah lewat menyuruh atau memberi instruksi. Cara terbaik adalah lewat perbuatan. Sewaktu pasangan melihat kita hidup sehat, pasangan akan termotivasi untuk mencontoh dan menjadi diri yang sehat pula. Adakalanya kita salah mengerti dan terus menasihatinya untuk berubah atau bertumbuh. Pada kenyataannya pasangan tetap tidak berubah; malah tidak jarang, ia berbuat kebalikannya karena tidak suka disuruh berubah oleh kita. Sebagai contoh, apabila pasangan melihat kita meminta maaf tanpa ragu, ia pun akan belajar untuk meminta maaf. Sebab, tidak bisa tidak, ia harus mengakui bahwa sikap berani meminta maaf adalah sebuah karakteristik yang mulia. Mungkin pada awalnya ia mengeraskan hati untuk tidak meminta maaf namun di dalam hati, ia pasti mengakui bahwa meminta maaf adalah suatu sikap yang mulia — yang belum ada pada dirinya. Bila kita saling membangun, maka pada akhirnya kita akan bertumbuh menjadi pribadi yang sehat. Dan, kita pun akan dapat membangun pernikahan yang rukun. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kesanggupan untuk hidup rukun. Sebaliknya, pribadi yang tidak sehat memiliki kecenderungan yang kuat untuk terus menciptakan konflik. Jadi, bangunlah satu sama lain; tunjukkanlah lewat perbuatan, bukan lewat perkataan.
  3. Terimalah satu sama lain. Firman Tuhan di Roma 15:7 berkata, "Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita untuk kemuliaan Allah." Untuk dapat menerima pasangan apa adanya, terlebih dahulu kita mesti melihatnya apa adanya. Kadang kita luput melihat pasangan secara tepat karena pandangan kita telah tertutup oleh kabut perasaan pribadi. Mungkin kita jengkel sehingga apa pun yang kita lihat, semua menjadi negatif. Atau sebaliknya, kita terlalu mengaguminya sehingga apa pun yang diperbuatnya, semua menjadi baik dan benar, padahal belum tentu demikian. Terimalah pasangan apa adanya dan terimalah kenyataan bahwa mungkin ia tidak akan berubah menjadi diri yang kita dambakan 100%. Kita pun perlu melihat kelemahan-kelemahannya. Tuhan menerima diri kita apa adanya dulu sebelum Ia mendorong kita untuk bertumbuh dan berubah. Kita pun harus mempraktekkan prinsip yang sama: Terimalah dulu baru dorong dia untuk bertumbuh. Itu berarti, kalau pun ia tidak berubah, kita akan tetap menerimanya sebab penerimaan kita tidak bergantung pada perubahannya. Di dalam roh penerimaan inilah pernikahan baru dapat bertumbuh menjadi rukun. Sebaliknya, tanpa penerimaan, pernikahan akan menjadi ajang konflik tak berkesudahan. Jadi, selalu komunikasikan kepada pasangan bahwa kita telah menerima dirinya apa adanya. Kita menginginkannya berubah dalam hal tertentu tetapi itu tidak berarti, kita hanya akan menerimanya bila kita melihat perubahan itu. Di dalam penerimaanlah orang makin terdorong untuk berubah sebab di dalam penerimaanlah ia tahu bahwa ia sungguh dikasihi.