Kebohongan dalam Keluarga

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T211A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

Kepercayaan mutlak dibutuhkan untuk membangun pernikahan tetapi kadang kebalikannya yang kita temukan, yaitu kebohongan. Apakah yang harus kita lakukan bila inilah yang kita dapati pada pasangan sendiri? Salah satu cara ialah mintalah kepadanya untuk melihat fakta. Kita memohon bantuannya untuk berterus terang secara proaktif. Jangan baru menjawab jujur bila sudah ditanya atau terpojok; sikap seperti ini makin menjerumuskan komunikasi (dan juga relasi) ke dalam pola interogasi.

Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

T 211 A "Kebohongan dalam Keluarga" oleh Pdt. Paul Gunadi

Kepercayaan mutlak dibutuhkan untuk membangun pernikahan tetapi kadang kebalikannya yang kita temukan-kebohongan. Apakah yang harus kita lakukan bila inilah yang kita dapati pada pasangan sendiri?

1. Kita mesti mengintrospeksi diri: Apakah kita berbagian dalam persoalan kebohongan ini? Pada dasarnya pembatasan yang berlebihan rentan melahirkan kebohongan. Ada sebagian dari kita yang memasuki pernikahan dengan rasa tidak percaya yang tinggi; kita takut sekali dikhianati. Mungkin ini disebabkan oleh masa lalu di mana kita pernah dibohongi dan dikhianati sehingga kita senantiasa berjaga-jaga. Akibat rasa kurang percaya, kita selalu ingin tahu apa yang dikerjakan pasangan dan membatasi ruang geraknya dalam pergaulan. Perlakuan seperti ini rawan melahirkan kebohongan karena pada akhirnya pasangan belajar menyembunyikan tindakannya yang mungkin saja tidak salah namun tidak dapat kita terima.

Jika inilah masalahnya, kita mesti berani berubah. Jangan menyalahkan pasangan saja; akuilah bagian kita dan mulailah mempercayainya. Katakanlah bahwa ini adalah masalah kita, bukan masalahnya. Mintalah bantuannya agar kita dapat mengalahkan rasa cemburu dan ketidakpercayaan ini dengan cara berkomunikasi dengan jujur. Berjanjilah kepadanya bahwa kendati tidak mudah, kita tetap berusaha untuk tidak marah.

2. Jika kita tidak mempunyai masalah dengan rasa tidak percaya dan cemburu, namun pasangan kerap berbohong, ajaklah bicara secara terbuka dan rasional. Tanyakanlah sebenarnya apakah yang membuatnya tidak berani berterus terang. Ada orang yang sudah dirundung ketakutan dan rasa bersalah sebelum masuk ke dalam pernikahan akibat pengalaman masa lalunya. Mungkin ia sering menerima hukuman dari orangtua yang terlalu tinggi tuntutannya sehingga daripada dihukum, pada akhirnya ia mengembangkan sikap tertutup dan kadang berbohong untuk menyelamatkan diri. Sikap yang sama ini dibawanya masuk ke dalam pernikahan dengan anggapan bahwa kita-sama seperti orangtuanya-juga siap menghukumnya.

Jika inilah masalahnya, mintalah kepadanya untuk melihat fakta: Apakah pernah atau sering kita marah kepadanya karena menganggap ia gagal memenuhi tuntutan kita? Dengan melihat faktanya, ia dapat menyadari bahwa kita tidak sama dengan orangtuanya. Lewat percakapan itu, kita memintanya untuk melawan godaan menyamakan kita dengan orangtuanya sekaligus memintanya untuk berterus terang. Katakanlah bahwa kita tidak ingin menciptakan relasi dengan corak interogasi sebab kita tidak mau menjadikannya terdakwa. Namun supaya itu terjadi, kita memohon bantuannya untuk berterus terang secara proaktif. Jangan baru menjawab jujur bila sudah ditanya atau terpojok; sikap seperti ini makin menjerumuskan komunikasi (dan juga relasi) ke dalam pola interogasi.

Firman Tuhan: Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota. (Efesus 4:25)