Gagal Mendisiplin Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T465B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Mendisiplin anak bukanlah pilihan melainkan keharusan. Anak memerlukan disiplin sama seperti dia memerlukan kasih. Tanpa disiplin anak akan bertumbuh kembang bukan saja tanpa arah tapi juga tanpa kekang yang menjadikannya tak terkendali. Pertanyaannya adalah mengapa ada anak yang tetap liar walaupun orangtua sudah berusaha mendisiplinnya? Berikut akan dibahas mengapa disiplin bisa gagal.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
Satu hal yang mesti disadari oleh orang tua adalah bahwa mendisiplin anak bukanlah sebuah PILIHAN melainkan suatu KEHARUSAN. Anak memerlukan disiplin sama seperti ia memerlukan kasih sayang. Tanpa disiplin anak akan bertumbuh kembang bukan saja tanpa arah, tetapi juga tanpa kekang, yang menjadikannya liar, tak terkendali. Nah, pertanyaannya adalah, mengapakah ada anak yang tetap liar walau orang tua sudah berupaya untuk mendisiplinnya? Berikut akan dipaparkan beberapa kemungkinan mengapa disiplin gagal.
  1. Disiplin gagal bila diberikan tanpa alas kasih sayang yang cukup. Anak baru akan dapat merespons secara positif terhadap disiplin yang diterimanya bila ia—bukan saja tahu—tetapi MENGALAMI kasih sayang dari orang tuanya. Kadang, setelah mendisiplin anak kita berkata kepadanya, "Nak, kamu ‘kan tahu bahwa kami mendisiplinmu karena kami sayang." Perkataan ini sudah tentu baik namun baru bermakna bila anak sungguh-sungguh mengalami kasih sayang kita. Jika tidak, perkataan ini tidak akan membawa faedah.
    Sudah tentu ada pelbagai cara untuk mengkomunikasikan kasih sayang kepada anak, salah satu di antaranya adalah memberikan WAKTU kita kepada anak. Ya, bukan saja kita harus memberi uang dan tenaga kita kepada anak, kita pun harus memberi waktu kita kepada anak. Memberi waktu mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan usia anak. Pada masa ia bayi, kita memberinya waktu dengan cara menggendongnya, bersenandung untuknya, memberinya makan, memandikan dan membersihkannya.
    Pada masa ia kecil, kita memberi waktu kepada anak dengan cara bermain dan berbicara dengannya, membacakan buku kepadanya, mengajarkannya, baik pelajaran atau pun hal lain yang ditanyakannya, serta memberinya batasan—apa yang tidak boleh diperbuatnya. Sedang tatkala anak menginjak bangku sekolah, kita memberi waktu kepada anak lewat menyiapkan makanan buatnya, mengobrol dengannya, mengantarnya pergi, dan berekreasi dengannya. Semua ini menuntut waktu dan itulah yang mesti kita berikan kepada anak. Sewaktu anak menerimanya, ia tahu DAN mengalami kasih sayang. Perkataan bahwa kita mengasihinya barulah bermakna bila anak menerima banyak waktu dari kita. Di atas landasan kasih sayang inilah disiplin ditegakkan.
  2. Disiplin gagal bila diberikan tanpa melewati sebuah proses yang jelas. Proses disiplin berawal dari PENCEGAHAN sampai LARANGAN dan dari PERINGATAN sampai PENGHUKUMAN. Misalkan, pada waktu anak kecil kita bersikap aktif menjaga dan mencegah anak melakukan sesuatu yang dapat membahayakannya, seperti menjauhkannya dari lubang atau benda tajam. Tatkala anak makin besar, barulah kita memberikannya larangan, yaitu memintanya untuk tidak bermain dekat lubang atau bermain dengan benda tajam.
    Setelah anak makin besar, kita pun harus memberinya PERINGATAN, bukan saja larangan. Peringatan adalah LARANGAN YANG DISERTAI ANCAMAN KONSEKUENSI. Kita perlu memberitahukan apa yang akan diterimanya bila ia melanggar larangan yang kita berikan kepadanya. Bila ia tetap melanggarnya, kita mesti menerapkan sanksi. Kita tidak boleh lalai sebab jika kita tidak memberinya sanksi sesuai peringatan, maka anak akan mengganggap remeh peringatan yang didengarnya. Nah, sanksi atau konsekuensi adalah penghukuman.
    Tanpa proses yang jelas, disiplin akan gagal. Larangan mesti dibangun di atas pencegahan, sedang penghukuman harus didirikan di atas peringatan. Jika ini diterapkan, maka anak akan tahu bahwa apa pun yang diterimanya memang sudah selayaknyalah diterimanya. Ia tidak terkejut dan sulit protes sebab keadilan telah ditegakkan. Lewat disiplin yang jelas anak belajar mendisiplin dirinya sendiri.
  3. Disiplin gagal bila orang tua tidak berdisiplin. Tidak bisa tidak, anak akan melihat bagaimanakah orang tua menjalankan hidupnya. Dan, pengamatan ini berpengaruh lebih besar daripada pengajaran yang disampaikan orang tua. Orang tua menunjukkan disiplin setidaknya lewat dua hal. PERTAMA, orang tua menunjukkan disiplin lewat gaya hidup sehari-hari. Apakah kita sering menunda sesuatu yang mesti dilakukan ? Apakah kita gampang ingkar janji yang telah dibuat, terutama kepada anak ? Apakah kita lebih banyak duduk menonton televisi ketimbang membaca ? Apakah kita bekerja keras atau bekerja asal-asalan ? Nah, semua ini memperlihatkan apakah orang tua memiliki disiplin atau tidak.
    BERIKUT, orang tua menunjukkan disiplin lewat pendisiplinan yang diberikannya kepada anak. Jika orang tua menerapkan disiplin semau-maunya, itu menunjukkan orang tua tidak mempunyai disiplin. Manakala orang tua mendisiplin sesuai luapan emosi, itu menunjukkan ketidakadaan disiplin pada orang tua. Bila orang tua malas mendisiplin anak, itu menunjukkan orang tua tidak berdisiplin. Singkat kata, anak harus melihat kedisiplinan orang tua sebelum ia dapat menerima disiplin orang tua. Bila tidak, ia cenderung berontak sebab ia melihat bahwa kita hanya dapat bicara, tetapi tidak dapat melakukannya sendiri.
    Ibrani 12:9 mengingatkan, ". . . dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati." Tuhan sudah menetapkan tugas mendisiplin anak kepada kita, orang tua. Memang belum tentu anak akan bertumbuh kembang sesuai dengan pengharapan kita. Namun, bila kita telah menerapkan prinsip mendisiplin anak yang tepat, setidaknya ia telah dibekali dengan modal mendisiplin diri. Tinggal terserah apakah ia akan memakainya atau tidak.