Buruk Muka, Cermin Dibelah
Natal pertama adalah kisah “Buruk Muka Cermin Dibelah.” Firman Tuhan di Yohanes (1:9-11) menjelaskan, “Terang yang sesungguhnya yang menerangi setiap orang sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya tetapi orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” Selama pelayanan-Nya di dunia, Tuhan Yesus tidak pernah mencuri, merampok, apalagi membunuh orang namun Ia akhirnya mati disalib. Hanya satu hal yang dilakukan-Nya yang membuat orang membenci-Nya: Ia menunjukkan keburukan hati manusia. Kristus adalah Terang dan di bawah cahaya sinar-Nya, kejahatan manusia terkuak lebar. Dunia tidak (mau) mengenal-Nya, milik kepunyaan-Nya tidak (mau) menerima-Nya.
Ada banyak faktor yang membuat kita jahat. Pertama, pada dasarnya kita sudah memiliki benih kejahatan akibat dosa yang bersarang dalam hidup sejak kita lahir ke dalam dunia. Itu sebabnya secara alamiah jauh lebih sukar menanam benih kebaikan dalam diri kita—jauh lebih mudah menanam benih kejahatan. Kedua, lingkungan berperan besar dalam pembentukan watak dan juga nurani sehingga apa pun kita awalnya, pada akhirnya kita rentan terhadap pengaruh buruk dari lingkungan. Ketiga, ada pula pengaruh organik-biologis yang mencenderungkan kita melakukan hal-hal yang berbahaya sehingga kita pun lebih mudah terjeblos masuk ke dalam perilaku bermasalah yang mengandung unsur kejahatan.
Apa pun penyebabnya, satu hal yang pasti adalah tidak mudah untuk memastikan dan memprediksi perilaku manusia. Sebagai contoh Adolph Hitler. Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa Hitler ialah seorang pecinta musik klasik. Salah seorang komposer favoritnya adalah Richard Wagner, seorang pemusik berkebangsaan Jerman yang hidup di abad 19. Mungkin tidak banyak yang tahu pula bahwa Hitler adalah seorang pelukis dan pernah beraspirasi untuk menjadi seorang seniman. Dua kali ia mencoba masuk akademi seni namun ditolak. Akhirnya ia tidak memilih menjadi seniman; sebagai gantinya ia menjadi tentara yang berlanjut ke kancah politik.
Saya pernah melihat foto lukisannya di sebuah majalah dan berdasarkan pengetahuan saya yang dangkal akan seni lukis, saya mengkategorikan lukisan itu indah. Kesenangan Hitler adalah memasukkan wujud manusia ke dalam lukisannya. Mungkin sulit bagi kita yang mencintai seni dan musik klasik membayangkan bagaimana mungkin seorang sesama pecinta musik klasik dan seni dapat menghabisi nyawa 6 juta manusia. Apalagi seorang seniman lukis yang bersemangat mengikut-sertakan sosok manusia ke dalam kanvasnya. Bagaimanakah mungkin seorang yang berjiwa halus dan cinta keindahan memunculkan perangai kejam tanpa nurani terhadap sekelompok manusia yang dianggapnya sebagai penyebab kemalangan di negerinya dan di seantero benua Eropa?
Banyak orangtua memasukkan anaknya ke kursus seni dan musik dengan harapan semua itu akan menciptakan jiwa agung pada diri si anak. Masalahnya adalah, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan bahwa si anak tidak akan bertumbuh menjadi seorang Hitler. Kita banyak mengenal orang jahat tetapi ternyata tidak banyak yang kita ketahui tentang kejahatan itu sendiri. Kejahatan tetap sebuah misteri.
Dosa pertama yang diperbuat manusia setelah manusia pertama jatuh ke dalam dosa adalah pembunuhan. Kain, si kakak, membunuh Habel, si adik kandung. Tuhan tidak menerima persembahan Kain besar kemungkinan karena ia mempersembahkannya bukan dengan ketulusan. Sebaliknya Tuhan menerima persembahan Habel dan inilah yang membuat Kain marah—begitu marahnya sehingga ia sanggup melakukan pembunuhan berencana. Ia mengajak adiknya ke padang dan si adik mengikuti ajakan si kakak tanpa kecurigaan sedikit pun.
Saya bayangkan ajakan ke padang tentulah disertai janji untuk melakukan sesuatu yang menarik dan menyenangkan sebab bukankah itu yang umum dilakukan kakak untuk adiknya? Di luar dugaan si adik—dan kita semua—Kain, si kakak memukul si adik sampai mati. Kita yang sedikit mengerti ilmu kesehatan dan tubuh manusia dapat memahami bahwa kematian akibat pemukulan biasanya tidak terjadi dengan sekejap. Pemukulan harus dilakukan berulang kali sampai maut menjemput nyawa—suatu cara pembunuhan yang kejam dan menunjukkan kemarahan yang buas.
Jika kita membaca Firman Tuhan dengan saksama kita akan menemukan bahwa sebelum Kain membunuh adiknya, sesungguhnya Tuhan sudah memberinya peringatan, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” (Kejadian 4:7)
Di dalam peringatan itu bukan saja Tuhan memintanya untuk menahan diri, Tuhan pun memintanya untuk becermin diri—melihat hatinya yang memang tidak tulus sebagai penyebab ditolaknya persembahan yang ia berikan kepada Tuhan. Sayangnya bukan saja Kain tidak mendengarkan nasihat itu, ia pun berubah menjadi buas dan gelap mata. Ia malah membunuh Habil setelah menerima teguran itu—seolah-olah teguran Tuhan membuatnya lebih ganas dan haus darah. Mungkin sekali!
Saya pernah berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Sewaktu diperingatkan, bukannya membaik dan menerima teguran dengan merendah, mereka malah membuas—menunjukkan siapakah diri yang terkandung di dalam tubuh itu. Sering saya terkejut karena tidak menyangka bahwa di balik senyum dan kemanisan tersim-pan sesuatu yang pahit dan beracun. Dan, terkuaknya yang pahit dan beracun itu justru setelah diberikan peringatan.
Peringatan Tuhan kepada Kain adalah sebuah cermin—permintaan untuk menatap diri. Sayangnya kita tidak terbiasa menggunakan cermin untuk menatap diri; kita justru memakainya untuk bersolek diri—mempercantik apa yang tadinya seadanya. Sesungguhnya cermin adalah wadah untuk melihat dan menerima diri apa adanya. Cermin bukanlah alat untuk mempercantik diri; sebaliknya, cermin hanyalah alat untuk mengingatkan kita bahwa sesungguhnya kita tidaklah secantik itu. Cermin menyadar-kan kita bahwa apa pun itu yang sedang kita tambahkan atau kurangi pada wajah sesungguhnya bukanlah bagian alamiah dari wajah itu sendiri.
Habel adalah cermin bagi Kain. Malangnya, begitu buruk muka dipandang, cermin yang bernama Habel pun dibelah. Sesuatu yang jahat selalu menuntut untuk bersem-bunyi dalam gelap supaya ia dapat terus bersemayam di dalam goa hati yang kelam. Ia menolak sinar sebab sinar memaksanya untuk melihat diri—yang jahat. Itu sebabnya tatkala sinar datang, apa pun dilakukannya untuk memadamkan terang itu—apa pun dan sejahat apa pun.
Natal adalah peringatan sebab Anak Allah sudah datang bukan saja untuk membeberkan dosa tetapi juga untuk menebus hukuman dosa. Malanglah mereka yang telanjur membelah “cermin” peringatan ini sebab mereka pun tidak akan sempat menerima penebusan hukuman dosanya. Berbahagialah kita yang merendahkan diri untuk melihat buruk muka namun tidak membelah cermin.
- Blog Paul Gunadi
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 5781 kali dibaca