Kepahitan Anak
Berita Telaga Edisi No. 111 /Tahun X/ Pebruari 2014
Diterbitkan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Sekretariat: Jl.Cimanuk 56 Malang 65122 Telp.: 0341-408579, Fax.:0341-493645 Email: telagatelaga.org Website: http://www.telaga.org Pelaksana: Melany N.T., Dewi K. Megawati Bank Account: BCA Cab. Malang No. 011.1658225 a.n. Melany E. Simon
Kepahitan Anak
Kadang tanpa disadari perlakuan kita kepada anak menimbulkan kepahitan. Akhirnya sampai besar anak terus menyimpan kepahitan dan tidak lagi bisa dekat dengan kita. Ada tiga tindakan orang tua yang dapat menimbulkan kepahitan mendalam pada diri anak dan ketiganya sebetulnya mempunyai akar yang sama yaitu penolakan.
Pertama adalah pembandingan dan perlakuan tidak sama, terutama dengan saudara sendiri. Mungkin karena ingin memacu semangat anak, kita membandingkannya dengan kakak atau adiknya. Kadang kita pun membandingkan anak dengan kakak atau adiknya bukan karena kita ingin memacu semangatnya melainkan untuk melampiaskan kekecewaan kita terhadapnya. Tidak bisa tidak, pesan yang diterima anak adalah bahwa ia tidak sebaik kakak atau adiknya dan bahwa ia tidak memunyai sesuatu yang dapat membanggakan orang tuanya seperti yang dimiliki kakak atau adiknya. Sebagai orang tua kita harus memerlakukan anak sebagai pribadi yang unik. Sesungguhnya sebelum kita membandingkan anak, ia sendiri sudah terlebih dahulu melakukannya. Ia akan menilik apa yang menjadi kelebihan kakak atau adiknya dan membandingkannya dengan dirinya sendiri. Apabila ia melihat bahwa ia tidak memiliki kelebihan kakak atau adiknya, sebenarnya ia sudah mulai merasa diri “kurang.” Ia pun telah melihat bahwa ia “lain” dari kakak dan adiknya. Sudah tentu perasaan ini bukanlah sesuatu yang mudah diterimanya. Itu sebabnya sewaktu orang tua membanding-bandingkannya—apalagi memperlaku-kannya berbeda dari kakak dan adiknya—ia merasa sangat disakiti. Yang dibutuhkannya adalah penerimaan dan penguatan; yang didapat malah dibandingkan dan dibedakan. Tidak heran pada akhirnya ia menyimpan kepahitan dan berupaya untuk hidup berlawanan dari apa yang diharapkan orang tua.
Kedua, kepahitan dapat ditimbulkan oleh penolakan orang tua untuk memberi pertolongan kepada anak sewaktu anak dalam keadaan butuh. Pada saat anak mulai dewasa anak mulai memikirkan hal-hal yang ingin dilakukannya. Tidak jarang anak berpaling kepada orang tua untuk memberinya bantuan. Nah, pada saat itu bila orang tua menolak permintaannya, besar kemungkinan hal ini akan menimbulkan kepahitan. Bila jelas terlihat bahwa anak bukan memanipulasi kita dan bahwa ia memang memerlukan bantuan, misalnya untuk merintis usahanya, dan kita memang sanggup menolongnya, sebaiknya berilah pertolongan. Biarlah kita berbagian dalam usahanya mengembangkan diri dan merintis kehidupannya. Ketidakrelaan kita menolongnya membuatnya berpikir bahwa kita tidak ingin melihat ia berhasil dalam hidup dan bahwa kita adalah kejam.
Amsal 25:21-22 berkata, “Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga berilah dia air minum. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya dan Tuhan akan membalas itu kepadamu.” Orang yang tengah membutuhkan adalah orang yang menyimpan bara api di kepalanya alias panas. Sewaktu kita menolak untuk membantunya, ia akan menyimpan kepahitan yang dalam. Sebaliknya jika kita menolongnya, ia akan merasakan kelegaan yang dalam. Jadi, jika anak sedang membutuhkan pertolongan, berilah. Kalau tidak bisa memberi semua, berilah sebagian. Tunjukkanlah bahwa kita mengasihinya, bukan hanya dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan. Anak yang mene-rima pertolongan dalam kesusahan, akan selalu tahu dan mengingat bahwa orang tuanya sungguh mengasihinya.
Ketiga, kepahitan pada anak muncul ketika ia bersalah dan memerlukan pengampunan, kita tidak bersedia mengampuninya. Amsal 16:6 berkata, “Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni.” Anak adalah manusia biasa, yang dapat melakukan kesalahan. Adakalanya anak melaku-kan kesalahan yang besar, yang mungkin sangat melukai hati kita. Nah, dalam situasi seperti ini anak memerlukan pengampunan. Sewaktu anak menerima pengampunan, ia pun akan melihat kasih dan kesetiaan kita kepadanya. Bukti kasih terbesar adalah sewaktu kesalahan terjadi dan pengampunan dibutuhkan. Anak akan sungguh-sungguh tahu bahwa kita mengasihinya pada waktu kita mengampuni kesalahan yang diperbuatnya. Anak pun baru akan tahu bahwa kita setia kepadanya dan tidak akan meninggalkannya pada saat ia melakukan perbuatan yang mengecewakan dan kita tetap menerimanya. Sebaliknya bila kita cepat mengubah sikap dan malah tidak bersedia mengampuninya, ia pun tahu bahwa kita tidak benar-benar mengasihinya dan bahwa kita tidak setia kepadanya. Ia pun cepat menyimpulkan bahwa ia hanya berharga dan dikasihi jikalau ia dapat membuat kita orang tuanya senang dan bangga atas pencapaiannya. Inilah hal yang berpotensi menimbulkan kepahitan pada diri anak: bahwa ia hanya berharga bila ia dapat melakukan hal-hal yang membanggakan orang tua. “Dengan kasih dan kesetiaan kesalahan diampuni.” Inilah yang diharapkan anak dari orang tuanya.
Oleh : Pdt.Dr. Paul Gunadi
Audio dan transkrip secara lengkap bisa didapatkan melalui situs TELAGA dengan kode T350 A
Doakanlah...
Bersyukur untuk sumbangan yang diterima dari Ibu Gan May Kwee di Solo sebesar Rp 500.000,-, dari Sdri. Jesica di Jakarta sebesar Rp 500.000,- dan dari Radio Suara Gratia FM di Cirebon sebesar Rp 200.000,-.
Bersyukur untuk 8x rekaman yang telah diselesaikan oleh Bp. Pdt. Paul Gunadi selama bulan Pebruari 2014 ini.
Doakan untuk Bp. Andrew A. Setiawan dan Ibu Lortha G. Mahanani dalam membuat artikel seputar pekerjaan yang akan diterbitkan oleh P.T. Visi Anugerah Indonesia setelah bulan April 2014.
Doakan agar Tuhan berkenan menambah radio yang bersedia menyiarkan program Telaga.
Doakan untuk proses pencocokan CD Telaga yang dititipkan di VISI Malang dan Surabaya agar dalam waktu dekat bisa diselesaikan.
Doakan untuk para korban bencana meletusnya Gunung Sinabung di Sumatera Utara, Gunung Kelud di Jawa Timur dan Gunung Marapi di Sumatera Barat agar pemerintah dan Lembaga-lembaga yang mengelola bantuan bisa memenuhi kebutuhan mereka pada waktunya serta tepat sasaran.
40 hari lagi masyarakat Indonesia akan menggunakan hak pilihnya dalam memilih para wakil rakyat 2014 – 2019. Doakan agar masing-masing menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
Bersyukur untuk penerimaan dana dari donatur tetap dalam bulan ini, yaitu dari :
001 – Rp 100.000,-
003 – Rp 400.000,- untuk 2 bulan
006 – Rp 150.000,- untuk 2 bulan
010 – Rp 1.400.000,- untuk 4 bulan
011 – Rp 300.000,- untuk 2 bulan
Telaga Menjawab
Tanya?
Beberapa bulan ke depan saya akan menikah dengan pria yang menurut saya kepribadiannya baik dan cocok dengan saya. Sebenarnya tidak ada masalah antara saya dan dia, namun saya merasa terbeban dengan kehidupan keluarganya sekarang dan masa lalunya.
Dia anak ke tiga dari empat bersaudara dan sejak kecil sudah ditinggal ayahnya karena orang tuanya bercerai. Ayahnya sebelum meninggalkan ibunya berulangkali terlibat perselingkuhan bahkan sampai ada wanita yang datang ke rumah mereka meminta pertanggungjawaban karena wanita tersebut hamil, dan parahnya bukan hanya satu wanita, tapi berganti-ganti.
Untuk menyambung hidup keluarga akhirnya ibunya bekerja di Amerika dan semua anaknya dititipkan ke saudara. Di Amerika ibunya menikah lagi dan memiliki satu anak, tapi akhirnya bercerai sehingga anaknya dititipkan ke saudara juga kemudian ibunya kembali bekerja ke luar negeri yaitu ke Taiwan.
Calon suami saya ini bercerita bahwa sejak kecil sudah ditelantarkan, tidak ada yang mengurus bahkan untuk mendaftar ke sekolah saja mereka harus datang sendiri tanpa siapa-siapa.
Saat ini ibunya sudah menikah lagi dengan orang Taiwan dan sudah menetap di sana cukup lama, sepertinya tidak mau kembali ke Indonesia karena sudah tidak bekerja dan sekarang ikut suaminya. Anak-anaknya di Indonesia sudah bekerja dan hidup masing-masing.
Saya menilai calon pasangan saya ini pastilah memiliki kepahitan yang dia simpan terhadap ayahnya, yang membuat kehidupannya kacau balau. Dia pernah bercerita bahwa ayahnya akan tetap diakui sebagai ayah, tapi dia tidak mau menengoknya atau mengurusnya lagi. Dia adalah orang yang sangat baik, kesadarannya akan segala hal sangat tinggi, tanpa dijelaskan dia tahu sendiri mana yang baik dan mana yang benar. Secara kasat mata, tidak terlihat dia memendam kekecewaan/kepahitan terhadap seseorang. Saya merasa bingung, bagaimana menghadapi orang seperti ini, apa yang harus saya lakukan untuk mengangkat kepahitan ini ? Saya merasa bingung harus mulai dari mana dan bagaimana caranya?
Jawab!!!
Kami sangat mengapresiasi kepedulian Anda terhadap calon pasangan yang memiliki latar belakang berbeda dengan Anda. Pengamatan Anda tentang calon yang memiliki kepahitan terhadap ayah dan ibunya juga merupakan bagian dari kepekaan Anda yang baik. Melalui surat yang diberikan kepada Telaga, kami menangkap bahwa Anda sangat rindu untuk menolong calon dalam hal memerdekakannya dari kepahitan masa lalu. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa memerdekakan kepahitan perlu dimulai dari pengakuan yang jujur bahwa dia memiliki kemarahan yang dipendamnya. Selama dia tidak mau mengakuinya, maka kita akan sulit untuk menolongnya. Hal ini sama seperti kalau kita sakit lalu pergi ke dokter. Kalau ingin disembuhkan, maka kita perlu berkata jujur bahwa kita sedang sakit di bagian tertentu. Bila kita menyem-bunyikannya, maka dokter seahli apapun tidak dapat menolong kita, bukan? Sebab itu bila Anda ingin menolongnya, maka sadarkan dulu bahwa dia sedang memiliki kepahitan.
Dalam situasi yang santai, coba tanyakan kepada si calon, “Apa perasaanmu sewaktu papa/mama melakukan ini dan itu (sebutkan saja salah satu peristiwa yang Anda pikir itu menyakitkan bagi orang-orang pada umumnya)?” bila dia tidak mengakui kepahitannya, coba tanyakan lagi, “Kira-kira menurutmu, di antara anak-anaknya, apakah ada yang merasa marah dengan perlakuan papa/mama yang demikian? Apa yang membuatnya marah? Dan apakah rasa marah seperti demikian tidak pernah terlintas dalam hidupmu sendiri?” Jadi, prinsipnya bila dia tidak mengakuinya, kita bisa coba menggunakan orang-orang dekatnya (saudara kandungnya) sebagai cermin dirinya. Dia perlu melihat bahwa adalah hal yang wajar dan normal sekali bila anak-anaknya merasa marah dan bahkan mengalami kepahitan.
Bila dia berani mengakui kepahitannya, maka kita bawa pada tahap selanjutnya, yaitu melihat dampak-dampaknya. Katakan padanya, “Terima kasih kalau kamu mau membuka diri tentang kemarahan yang dipendam sekian lama kepada saya. Kamu memiliki keberanian untuk mengakuinya. Sekarang, apakah boleh saya tahu lebih lanjut? Saya ingin tahu, kira-kira dampak seperti apa yang terjadi ketika kepahitan itu melekat dalam dirimu?” tentu Anda bisa menangkap bahwa tujuan utama dia melihat dampak-dampaknya adalah supaya dia lebih bisa mengambil keputusan untuk mengampuninya.
Dan tahap terakhir adalah mengajaknya untuk mengampuni papa dan mamanya. Hal ini perlu dilakukan secara bergantian dan berkelanjutan. Tidak perlu semua peristiwa pahit dirangkum dalam satu hari lalu mengadakan tahap pengampunan sekali saja. Ingatlah, pengampunan adalah sebuah proses. Proses untuk tidak lagi “memberi makan” pada kemarahan yang muncul sewaktu-waktu. Proses untuk tidak lagi membalas dendam. Dan pengampunan bukan sebuah rekonsiliasi di mana kedua pihak terlibat di dalamnya. Pengampunan adalah urusan dirinya saja. Setelah tahap satu dan dua berjalan, maka ajaklah dia untuk berdoa. Alangkah baiknya bila dia yang mengangkat doa permohonan untuk diberikan kekuatan pengampunan.
Demikianlah tanggapan kami, semoga berhasil melayani sang calon. Tuhan memberkati !
Buku Tamu
Nama : Tedja
Email : tedja.x.xxxxx@indopicri.net
Anggota Gereja : GMS Surabaya
Komentar : Shallom, saya sudah sering mendengar siaran Telaga, melalui radio Merdeka di kota kami, dan sangat membangun iman kerohanian kami, hari ini saya baru membuka website nya ternyata banyak artikel yang menarik dan membangun. Semoga semua yang dilakukan berkenan dan menyenangkan di hadapan Tuhan.
Terima kasih dan Tuhan Yesus Memberkati Anda semua.. :)
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 5715 kali dibaca