Terjepit Diantara Dua Anak Yang Bertikai

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T511B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Sebagai orangtua, kita tentu rindu anak-anak kita hidup dengan rukun, saling menyayangi satu sama lain. Namun bila pada akhirnya harapan itu tak terjadi, kita malah terjepit diantara anak-anak yang bertikai, kita haruslah bersikap tegas. Kita terus melanjutkan hidup sambil mengingatkan mereka tentang firman Tuhan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Sudah tentu kerinduan kita sebagai orangtua adalah melihat anak bertumbuh dewasa dan hidup rukun satu dengan yang lain. Sayang, kerinduan itu tidak selalu terwujud. Salah satu kenyataan pahit yang kadang mesti kita hadapi adalah melihat dua anak kita yang sudah akil balig bertikai. Oleh karena pelbagai sebab, mereka bermusuhan dan akhirnya menolak untuk berkomunikasi. Sebagai orangtua kita sedih, namun lebih dari sedih, kita susah karena permusuhan mereka membuat kita terjepit di tengah. Apakah yang mesti kita perbuat bila kita berada di dalam posisi itu? Berikut akan dipaparkan beberapa pemahaman dan saran.

  1. Kita harus menyadari dan menerima fakta bahwa setelah besar, ANAK MENJADI PRIBADI YANG TERPISAH DARI KITA.
    Sudah tentu kita berharap anak akan memeluk nilai-nilai moral yang kita anut, tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian. Pada masa dewasa anak menyerap nilai-nilai moral bukan saja dari dalam rumah tetapi juga dari luar. Kadang, mereka malah mengadopsi nilai moral yang tidak sehat dan itulah yang menjadi pemandu hidup mereka. Meski kita tidak menyetujuinya, anak tetap berpegang pada nilai-nilai moralnya. Ada banyak nilai moral tidak sehat yang dapat diserap anak, salah satunya adalah sikap MEMENTINGKAN DIRI sendiri. Biasanya kita mulai melihat sikap itu bertunas pada diri anak setelah anak bekerja dan menikah. Singkat kata, sikap itu mulai menampakkan diri tatkala anak sudah mempunyai uang dan kepentingan sendiri. Sikap itu belum terlihat pada masa kecil sebab pada saat itu anak masih bergantung pada kita, orangtua, di mana uang adalah uang kita dan semua kebutuhan kita penuhi. Itu sebab sikap mementingkan diri belum muncul secara jelas. Namun begitu anak bekerja dan memperoleh uang, ditambah dengan adanya keperluan setelah menikah, barulah sikap mementingkan diri muncul. Pertikaian dengan saudara biasanya muncul sewaktu yang lain membutuhkan bantuan tetapi tidak mendapatkannya atau yang lain marah karena mereka peduli dengan kita sedang dia tidak. Belum lagi bila ada masalah lain seperti, ia begitu melindungi pasangan dan anak-anaknya sehingga siapa pun tidak boleh berkata apa pun yang dianggapnya menyinggung perasaan pasangan atau anak-anaknya. Oleh karena sikap yang mementingkan diri mudah menimbulkan syak wasangka, akhirnya ia mudah salah paham, konflik pun tak terhindarkan.
  2. SEWAKTU DUA ORANG YANG DEKAT DENGAN KITA BERTIKAI, SANGATLAH SULIT BUAT KITA BERDIRI DI TENGAH.
    Walaupun kita berusaha bersikap netral, besar kemungkinan salah satu akan merasa bahwa kita berat sebelah. Itulah kodrat dari pertengkaran. Dua orang yang berkonflik selalu berusaha menarik simpati dan pembelaan dari orang ketiga. Orang yang bertikai ingin dibenarkan dan dibela; itu sebab, bukan saja mereka berupaya keras untuk menjadikan kita sekutunya, mereka pun menuntut kita berada sekubu dengannya. Sewaktu mereka melihat kita tidak secara terang-terangan bersekutu dengannya, mereka langsung menyimpulkan bahwa kita tidak berada di pihaknya. Tidak heran, pada akhirnya orang ketiga yang tadinya berusaha netral dan mau mendamaikan kedua pihak yang bertikai, malah dimusuhi—setidaknya dijauhi dan disalahmengerti—oleh kedua belah pihak. Jadi, sebagai orangtua kita hanya memunyai dua pilihan. Pilihan pertama adalah kita sama sekali menolak untuk terlibat. Pada waktu anak datang bercerita tentang keburukan kakak atau adiknya, kita langsung berkata bahwa kita tidak mau ikut campur. Kita berkata bahwa kita berharap mereka dapat menyelesaikan masalah itu sendiri. Pilihan kedua adalah, kita mengambil sikap yang jelas, di manakah kita berdiri. Pada umumnya kita perlu melakukan hal ini bila salah satu pihak memang jelas salah dan bermasalah. Jadi, daripada bersikap netral dan akhirnya dibenci kedua belah pihak, lebih baik kita bersikap jelas. Kita menegur pihak yang kita anggap bersalah dan kita menunjukkan pembelaan dan dukungan kepada pihak yang kita anggap benar. Memang, kita akan kehilangan satu anak, tetapi setidaknya kita tidak kehilangan dua anak.

    Namun, ada satu alasan lain mengapa kita harus bersikap jelas di dalam kasus di mana jelas-jelas satu pihak bersalah dan bermasalah, yaitu kita harus berdiri di atas kebenaran. Kita mesti menyampaikan teguran dan menunjukkan sikap yang jelas sebab pihak yang salah perlu melihat bahwa ia berada di posisi yang salah dan bahwa ia harus bertobat. Selain dari itu, tatkala kita berdiri di pihak yang benar, maka pihak yang benar akan melihat bahwa kita tidak plin-plan dan takut pada anak. Respek anak terhadap kita akan bertambah bila ia melihat kita berani menegur anak yang salah dan membela anak yang benar.

  3. KITA HARUS MELANJUTKAN HIDUP SEPERTI BIASA DAN TIDAK PERLU BERUSAHA MENJAGA PERASAAN MASING-MASING ANAK YANG BERTIKAI.
    Ada kecenderungan begitu anak bertikai, kita akan berusaha menjaga perasaan masing-masing anak, misalkan, sewaktu ada pertemuan keluarga dengan yang satu, maka kita tidak mengundang yang satunya. Sudah tentu motivasi kita baik yaitu melindungi perasaan masing-masing dari ketegangan. Sebaiknya kita tidak melakukan hal seperti itu; justru sebaliknya, kita membiasakan diri untuk tetap mengundang semua pihak. Kita serahkan keputusan di tangan mereka, apakah mereka mau datang atau tidak. Singkat kata, kita tidak mengambil alih tanggung jawab dari tangan mereka. Bila kita mulai mengambil alih tanggung jawab, maka mereka makin tidak bertanggung jawab. Juga, bila kita melakukan hal seperti itu, mereka pun cenderung menyalahkan kita bila mereka kebetulan harus berhadapan satu sama lain dan mengalami ketegangan. Mereka akan menuntut kita sebagai orangtua untuk menjaga perasaan mereka masing-masing. Itu bukan tanggung jawab kita; jadi, serahkan keputusan itu kepada mereka.

  4. Kita perlu mengingatkan kedua anak yang bertikai bahwa SUATU HARI KELAK MEREKA HARUS MEMPERTANGGUNG-JAWABKAN PERBUATAN MEREKA DI HADAPAN TUHAN.
    Kesempatan untuk berdamai tidak selalu ada; mungkin saja hari ini adalah hari terakhir mereka hidup. Jadi, ingatkan mereka untuk menggunakan kesempatan yang ada untuk berdamai. Secara berkala kita dapat membacakan Firman Tuhan yang terambil dari Matius 5:44 & 46, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?" Juga dari Matius 6:14-15, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." Ingatkan mereka bahwa tugas mereka bukanlah menentukan siapa salah dan siapa benar; tugas mereka adalah mengasihi dan mengampuni. Menentukan siapa salah dan siapa benar adalah tugas Tuhan, sedang mengasihi dan mengampuni adalah tugas kita. Suatu hari kelak Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban kita, jadi, selama masih ada waktu, mintalah kedua belah pihak untuk berdamai dan tidak menunggu pihak yang lain untuk berinisiatif terlebih dahulu. Perkataan Tuhan tidak dapat lebih keras dari itu—jika kita tidak mengampuni orang, Ia pun tidak akan mengampuni kita. Dalam hal mengasihi dan mengampuni, Tuhan tidak main-main. Ia adalah Pengasih dan Pengampun, jadi, sebagai anak-anak-Nya, kita pun mesti belajar menjadi seperti diri-Nya—pengasih dan pengampun.