Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Pasutri Di Tengah Krisis Kehidupan". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Silakan Pak Sindu, disampaikan tentang "Pasutri di Tengah Krisis Kehidupan".
SK : Ya di bagian awal ini, Bu Yosie, saya mau membagikan bahwa memang hidup berumah tangga itu dinamis; ada saatnya lancar, ada saatnya tersendat, ada saatnya kita berada di atas, ada saatnya di bawah, ada saatnya berkelebihan, ada saatnya berkekurangan. Termasuk di tengah kehidupan rumah tangga yang dinamis itu sangat manusiawi kita mengalami berbagai bentuk krisis kehidupan. Ada yang mengalami musibah kecelakaan, anak yang terkasih meninggal, musibah kecelakaan dimana membuat kehilangan harta benda misalnya rumah kebakaran, ada yang mengalami bencana alam, pandemi, wabah penyakit sehingga menyebabkan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Atau mungkin juga krisis kehidupan terjadi ketika ada anggota keluarga mengalami kegagalan, sakit berat yang sulit disembuhkan, membutuhkan biaya besar. Nah inilah tantangan realitas bahwa hidup pernikahan tidak lepas dari berbagai krisis kehidupan.
Y : Benar ya, Pak. Tidak mungkin kita bisa menghindari krisis, tidak ada jalan tol dalam kehidupan.
SK : Benar.
Y : Bagaimana pasangan suami istri menghadapi krisis kehidupan ? Apa yang perlu menjadi landasan dan apa yang perlu kita lakukan?
SK : Ada 5 hal, Bu Yosie, yang mau saya bagikan. Yang pertama, jagalah kekompakan karena dari kekompakan dan kesehatianlah akan lahir ide-ide segar dari Tuhan, akan lahir juga kekuatan jiwa. Kalau boleh saya mengutip dari Mazmur 133, dikatakan di ayat 1, "Sungguh alangkah baiknya dan indahnya apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun". Saya langsung lompat ke ayat 3b, "Sebab kesanalah Tuhan memerintahkan berkat kehidupan untuk selama-lamanya". Jadi dimana ada kerukunan, ada kesehatian, ada kesepakatan disanalah Tuhan akan memberkati terlebih dalam konteks pasangan suami istri. Jadi jagalah tetap kompak sekalipun dunia tidak kompak, situasi keuangan, pekerjaan, situasi kesehatan sedang tidak kompak dengan diri kita, tetapi tetaplah pertahankan kekompakan suami dan istri.
Y : Apa yang terjadi kalau kita tidak kompak di tengah krisis, Pak ?
SK : Yang terjadi bukan lagi dua menjadi satu, dua tetap dua. Dan itu artinya kita sedang merobek jiwa kita. Suami istri diciptakan Tuhan lewat pernikahan menjadi satu jiwa, satu hati, satu pikiran, satu tujuan. Ketika tidak kompak berarti kita sedang merobek jiwa kita sendiri, kita sudah membayangkan bila jiwa kita terobek oleh karena krisis kehidupan, ditambah kita merobek lagi lewat kita tidak mau kompak dengan pasangan suami atau istri kita.
Y : Semakin kecillah kekuatan kita, ya Pak ?
SK : Benar. Dan semakin kita akan terseok-seok, tidak berdaya dan malah semakin mungkin terjerumus, kalah dalam krisis kehidupan yang lebih mendalam lagi.
Y : Karena itu ini menjadi nomor satu.
SK : Pernikahan itu sebuah asset, sebuah modal, sebuah kekuatan yang perlu kita hargai, pertahankan bahkan kita bangun.
Y : Silakan selanjutnya.
SK : Yang kedua, hormatilah dan jaga perasaan pasangan. Kadang kita membenarkan diri, "Ya bukan salah saya kalau saya bicaranya celometan, memang saya dari kecil inilah kepribadian saya. Kalau suami/istri mau menerima saya, mau menjadikan saya suami atau istri, ini paket lengkap, paket apa adanya". Ini bukan salah saya, salah bunda mengandung, maaf memang ada faktor genetis, tetapi sebagian hal itu faktor kebiasaan dan itu masih mungkin kita ubah lewat cara yang disengaja (intensional). Karena begini, kalau kita tidak menghormati dan menjaga perasaan pasangan kita, kita menyakiti dan ketika menyakiti melanggar pasal pertama, yaitu jaga kekompakan. Justru karena kita sudah menikah, dua menjadi satu, semakin kita menghormati dan menjaga perasaan pasangan kita, karena ketika kita menghormati dan menjaga perasaan pasangan kita, kita sedang menghormati dan menjaga perasaan diri sendiri.
Y : Jadi bukan karena sudah menikah sekian tahun, lalu tidak apa-apa membenarkan diri, bicara seenaknya kepada pasangan.
SK : Maka menjaga perasaan pasangan kita dengan memilih kata, memilih nada yang tepat.
Y : Berarti harus cerdas emosi diri kita sendiri, ya Pak.
SK : Tepat. Salah satu bentuk cerdas emosi adalah kenalilah thermometer emosi kita dan kenalilah thermometer pasangan kita.
Y : Maksudnya seperti apa, Pak ?
SK : Kita perlu kenali suhu emosi kita, suhu pasangan kita. Nadanya menjadi tinggi, itu berarti ada kejengkelan, kemarahan. Maaf kalau saya memakai bahasa Jawa, "Sing waras kudu ngalah", yang masih berpikir sehat perlulah mengalah. Artinya mengapa sudah mulai nadanya tidak bagus, ada kemarahan, ada ketidaksabaran. Mungkin yang tidak sabar adalah diri kita sendiri yang nadanya tinggi. "Sudah aku tidak mau bicara". Atau pasangannya bicara, "Kamu mengapa tidak mengerti-mengerti". Kita jangan tambahkan, api ditambah bensin…..bul rumah terbakar. Kalau begitu lebih baik, mengalah dulu, "time out" dulu, tidak kita lanjutkan dulu. Kita menenangkan diri dulu, dengan cara itu suhu emosi terjaga, perasaan tidak sampai perlu babak belur tapi kita jaga, untuk diturunkan suhunya dan kita beberapa jam atau besok kita lanjutkan lagi dalam suasana terjagai perasaan kita dan perasaan pasangan kita.
Y : Menarik ya Pak, banyak orang tidak mengerti kadang bicara ya asal bicara saja. Jangankan memilih nada dan kata, tapi asal ‘ceplos’ saja.
SK : Kadang kita memakai atas nama suku daerah, "Memang aku arek Jawa Timur ya koyo ngene iki" (Aku memang orang Jawa Timur, ya seperti ini). Aku memang orang Indonesia bagian Timur, bicara ya seperti ini! Tergantung kalau suami istri satu daerah atau mungkin satu suku yang sama-sama tumbuh dalam budaya tertentu dan itu memang sesuatu yang tertoleransi, artinya tidak sama dengan menyakiti, oke itu masih mungkin sesuai konteks budaya lokal. Tapi tetap kalau itu memang menimbulkan ruang bahwa pasangan kita mendapati sebagai wujud tidak dihormati, pikiran keberadaan dan perasaannya, beranilah keluar dari pembenaran diri atas nama suku, atas nama daerah, atas nama kebiasaan keluarga. Standardnya firman Allah, bahwa kita menjaga perkataan. Pilih perkataan yang membangun, kita menghormati orang lain dan pasangan. Itu prinsip, kembalilah pada prinsip itu.
Y : Yang berikutnya, Pak.
SK : Yang ketiga, bagaimana pasangan suami istri menghadapi krisis kehidupan ? Bersinergilah. Bersinergi artinya kalau satu plus satu bukan sama dengan dua, tapi satu plus satu sama dengan tiga, lima, sepuluh. Artinya bersinergi berilah tempat kepada potensi terbaik pasangan kita atau berilah tempat pada potensi terbaik kita satu sama lain sebagai pasangan suami istri. Artinya disini, akuilah keterbatasan, memang aku terbatas dalam hal ini, tapi aku mau ambil tanggungjawab yang bisa aku lakukan. Sejalan dengan itu, aku mau memberi tempat pada sumbangsih pasangan kita, jadi misalnya, "Aku memang tidak punya ide, aku tidak punya gagasan-gagasan yang kreatif dan untuk itu aku mau dengar gagasanmu apa?". "Oh, begini begini", jadi aku bisa berpikir. Kalau begitu sepertinya ini akan mengalami kesulitan, kalau yang ini sepertinya bisa jalan. Kita berdiskusi, kemudian apa yang bisa kita lakukan sebagai sosok pribadi? Aku bisa lakukan ini, kamu bisa lakukan apa, ayo kita kerja sama saling mengisi dengan semangat menjaga kekompakan, semangat dan menghormati dan menjaga perasaan satu sama lain, maka akhirnya kita kembangkan satu sinergi.
Y : Betul, misalnya istri yang masak, suami yang memasarkan, mungkin punya kemampuan sebagai sales, marketing. Ini menjadi satu sinergi, yang istri mungkin pemalu tapi dia pandai masak.
SK : Yang satu punya kekuatan fisik, yang satu punya kekuatan dari segi ide, yang satu punya lingkup jejaring sosial, pasangannya punya lingkup jaringan sosial yang kelompok yang berbeda, digabungkan inilah bagian dari sinergi. Dalam sinergi ini pula, Bu Yosie, perlulah kita sekali lagi berilah tempat pada sumbangsih pasangan kita. Sesuatu yang alamiah terjadi di sekian banyak pernikahan, kalau yang berpendapat adalah pasangan kita, kita cenderungnya tergoda untuk mudah meremehkan. Apa sih cuma omong doang, jagonya teori istri saya, atau suami saya jagonya berimajinasi, berfantasi. Bicaranya tidak bermutu, tapi ternyata ketika pendapat itu diungkapkan teman atau orang lain yang kita hormati, kita terima. Ini ‘kan tidak adil.
Y : Ini ironis, Pak. Tapi itu terjadi, teman saya pernah bicara, "Tolong istri saya diajak olah raga, kalau saya yang ajak paling malas". Padahal seharusnya pasangan kita punya kemampuan untuk menyemangati kita atau lebih memengaruhi tapi sepertinya menyerah malah menyuruh saya sebagai teman. "Ayo kamu saja sebagai teman memengaruhi". Mengapa itu terjadi ? Seharusnya pasangan sebagai orang terdekat paling bisa mengerti dan memengaruhi kita.
SK : Karena memang secara alamiah suami istri, setahun dua tahun, tiga tahun, lima tahun, sepuluh tahun akhirnya sudah kenal luar dalam. Secara alamiah rasa respeknya menurun.
Y : Karena ada kelemahan-kelemahan tadi.
SK : Ada kelemahan, ada ketidakkonsistenan, ada dosa dan kesalahan, ada kesakitan yang pernah dimunculkan bahkan berulang-ulang sehingga muncul sikap "labeling", memberi label, cap suami yang tidak konsisten, cap istri yang hanya bisa marah-marah tapi tidak mau kerja. Kita akan punya cap cap seperti itu. Itulah sebabnya di sisi ini perlu dibereskan, mau tidak mau. Karena kalau kita punya penghakiman akhirnya memberi tembok, bukan hanya pasangan kita yang diberi tembok, tapi tanpa sadar kita pun memberi tembok pada diri untuk tidak mau menerima hal-hal baik yang masih mungkin dilontarkan kepada kita sebagai pasangannya.
Y : Ini memang menarik, karena tidak mudah.
SK : Memang tidak mudah, ini harus ada proses kesadaran. Prinsip untuk memperbarui pengampunan terhadap suami istri itu diperlukan. Berhentilah untuk menghakimi atau berhentilah untuk memberi label atau cap seperti tadi, "Ah memang istriku orangnya pemalas, tidak mau olah raga, tidak bisa diubah dari dulu, sekarang dan selama-lamanya, istriku begitu !". Atau "Suamiku dari kakeknya, dari ayahnya dan dia sendiri dan mungkin anak kami satu garis laki-laki yang demikian". Kita melakukan penghakiman, dalam hal ini sudah seperti kita menjadi tuhan bagi pasangan. Dalam hal ini sulit untuk bersinergi. Butuh keterbukaan untuk membereskan, termasuk dalam hal ini adalah memberi tempat kepada intuisi pasangan kita.
Y : Wah, menarik.
SK : Yang berintuisi biasanya istri. Seringkali laki-laki membanggakan, "Aku orang yang rasional, analitis, sistesis, sistematis, logis, matematis". Dan istri, "Apa cuma emosional, labil, berubah-ubah perasaan dan suasana hatinya". Keliru, ya mungkin ada sisi itu tetapi sisi yang lain, wanita pada umumnya dikaruniai Tuhan intuisi yang lebih tajam daripada pria. Intuisi ini artinya bukan sesuatu yang dunia roh, yang spekulatif. Intuisi sesungguhnya adalah sebuah pengetahuan yang kemudian terangkum dan memunculkan sebuah kepekaan. Intuisi bukan bersifat anti rasional atau spekulatif, tidak ! Intuisi sama pebisnis yang ulung ditandai dengan kemampuan berintuisi yang tajam, yang tepat. Bukan karena dia cenayang, paranormal, tetapi karena dia sudah punya banyak pengalaman hidup, pengalaman berbisnis atau pengetahuan dari bacaan buku-buku ditambah pengalaman dan berbagai kisah akhirnya memunculkan hikmat, memunculkan sebuah kepekaan. Itulah yang kita katakan intuisinya tajam. Kembali ke poin tadi, berilah tempat bagi intuisi pasangan kita sebagai sarana sinergi, maksudnya begini, karena kita sudah memutuskan ini dan itu menurut hukum sebab akibat, hukum rasional. Tapi pasangan kita berkata, "Aku tidak sreg, aku merasa yang tepat itu seperti ini". "Pertimbangannya apa ?" "Ya tidak tahu, tapi itulah yang aku rasakan". Janganlah kita sebagai pasangan mengejar, "Karena kamu tidak punya alasan yang logis, ya sudah, itu berarti aku anggap angin lalu". Berilah tempat, bukan berarti pasti benar, tapi ujilah. Kembali inilah bagian kekayaan modal yang kita bisa kembangkan untuk bersinergi di tengah menghadapi krisis kehidupan.
Y : Menarik sekali, ya Pak. Selanjutnya Pak.
SK : Langkah yang keempat yaitu buanglah sampah jiwa kepada Tuhan dan bukan kepada pasangan dan anak.
Y : Sampah jiwa maksudnya bagaimana, Pak ? Karena kita stres karena krisis atau bagaimana?
SK : Benar, di tengah krisis kehidupan kita ‘kan merasa penat, merasa putus asa, tertekan, merasa "down", jatuh mental, uring-uringan. Kalau kita tidak menyadari diri, akhirnya kita akan buang sampah ke suami atau istri atau kepada anak kita. "Kamu ‘kan sudah tahu, mengapa bertanya lagi?" Padahal istri atau suami kita bicara dengan cara baik-baik, tapi respons kita berlebihan. Respons kita negatif, sangat mungkin coba kita baca, perasaan apa yang sedang berkecamuk? Oh, aku ada ketersinggungan. Aku merasa tidak aman.
Y : Atau biasanya ada ganjalan dengan pasangan, sehingga dengan terpicu sedikit langsung meledak.
SK : Bisa demikian, poinnya itu adalah sebuah polusi, sampah yang muncul, yang saya maksudkan karena tema kita, "Di Tengah Krisis Kehidupan", memang ada faktor-faktor eksternal yang membuat kita tertekan, sedih, mungkin anak sakit berat, kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, karena yang kita kasihi meninggal dunia dan kita akhirnya mengalami krisis kehidupan. Sampah jiwa, faktor-faktor inilah yang perlu kita kenali. Aku punya beban jiwa yang tertekan dengan luka dan hal-hal perasaan negatif. Mari kita akui dan buangnya kepada Tuhan, bukan kita lemparkan kepada pasangan kita, suami atau istri kita, atau pun anak-anak kita. Dalam hal ini masing-masing perlu memastikan, mengisi tangki emosi, tangki spiritualnya, tangki hikmatnya ke Tuhan. Baik lewat curhat kepada Tuhan, punya waktu berdoa pribadi, waktu merenungkan firman Tuhan, ‘recharge’ diisi baterei jiwanya oleh Tuhan secara pribadi, atau pun boleh sebagai pasutri berdoa bersama, mezbah keluarga bersama, saling curhat bersama, berdoa bersama, isi baterei kita lewat hobi yang sehat, olah raga, jangan lupa prinsip "Mens sana in corpore sano". Tubuh yang sehat membuat jiwa kita sehat, makan yang cukup, tidur yang cukup. Dalam hal ini tolaklah sistim perwakilan.
Y : Bagaimana pak maksudnya ?
SK : Kalau dalam bernegara kita butuh DPR, perwakilan ya, kalau didalam kehidupan emosi, spiritual tidak bisa perwakilan, jadi masing-masing suami dan istri perlu relasi langsung dengan Tuhan. Jadi kita tidak bisa membenarkan diri, "Sudahlah cukup suamiku saja yang intim dengan Tuhan, karena dia ‘kan imamnya keluarga, dia ‘kan kepala keluarga, atau yang bakat-bakat hal-hal yang dunia rohani adalah istri. Dialah pendoa syafaat, suami yang bekerja. Yang urusan kerja adalah suami, yang urusan dekat-dekat dengan Tuhan, yang coraknya sabar, duduk diam menunggu, berpuasa, dialah istri. Tidak bisa, itu cara yang keliru. Itu bahkan cara yang dibujuk rayu oleh Iblis karena hal spiritual, hal emosi itu tanggungjawab masing-masing. Bahkan kalau masing-masing intim dengan Tuhan, diisi tangki emosi, jiwa dan rohnya oleh hal-hal yang sehat malah sinerginya lebih luar biasa. Istilahnya kalau mobil, sama-sama gigi empat. Kalau kendaraan sama-sama diisi bahan bakar yang penuh, kalau digabungkan dahsyat ! Terobosan di tengah krisis kehidupan yang sedang dijalani.
Y : Yang selanjutnya atau terakhir, pak.
SK : Yang poin ke lima atau terakhir, didalam menghadapi krisis kehidupan maka pasangan suami istri perlu terbuka pada dukungan dan masukan tubuh Kristus, jadi Tuhan menciptakan tidak baik seorang manusia sendirian saja. Itu dalam konteks pernikahan tapi juga dalam konteks tubuh Kristus, jadi kita memperkuat daya sinergi kita ketika kita sebagai pasutri juga merapatkan barisan dengan tubuh Kristus, baik lewat mentoring, konseling, lewat komsel (komunitas sel), lewat KTB (kelompok tumbuh bersama) yang saling meneguhkan, menguatkan, saling berbagi, saling memberi, saling mendukung, disanalah krisis kehidupan apa pun yang sedang kita alami didalam anugerah Tuhan lewat juga kesepakatan, kesehatian, dukungan dengan tubuh Kristus, kita akan punya daya dukung, daya terobos, bahkan kita akan mengalami kemenangan di tengah krisis apa pun yang sedang kita alami sebagai pasangan suami istri.
Y : Jadi di tengah krisis kehidupan, suami istri saja tidak cukup ya Pak, kita tetap perlu tubuh Kristus untuk menopang kita, untuk menumbuhkan kita.
SK : Marilah kita juga sebagai tubuh Kristus jangan meremehkan kalau ada yang sharing, berbagi kisah, ada yang sedang berkemalangan, bermasalah, apa yang bisa kita berikan, berikan, minimal telinga dan hati kita. Mendengar secara empati, mendoakan, itu sudah sangat berharga. Apalagi kalau kita diberi tempat untuk memberi ide, berdiskusi, dengan demikian itu akan memberi sumbangsih yang konkret dan signifikan, jelas terhadap pertolongan bagi pasutri yang sedang mengalami krisis kehidupan itu.
Y : Akhir kata, pak, apakah ada firman Tuhan yang bisa menjadi pegangan atau pedoman kita ?
SK : Saya bacakan, Bu Yosie, dari Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus". Jadi memang rancangan Tuhan, rancangan Kristus, bahwa kita bertolong-tolongan baik sebagai pasutri maupun juga sebagai tubuh Kristus. Disanalah krisis kehidupan bisa kita hadapi sampai krisis itu berlalu bahkan kita berkemenangan karena kita mengalami kuasa Kristus lewat pasutri yang bersepakat maupun lewat tubuh Kristus yang mendukung.
Y : Amin, terima kasih banyak pak, kiranya materi ini boleh memberkati para pasutri yang mendengarkan. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pasutri di Tengah Krisis Kehidupan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.