Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Yossy, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Panggilan Menjadi Pendeta". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, topik pembicaraan kita kali ini "Panggilan Menjadi Pendeta", sepertinya cukup menarik ya Pak. Hal apa yang bisa Bapak sampaikan ?
SK : Pembahasan ini untuk menolong kita yang mungkin bergumul akan panggilan pelayanan menjadi pendeta atau hamba Tuhan penuh waktu dan sedang berpikir untuk masuk ke Sekolah Teologi atau Sekolah Alkitab. Memang kalau berbicara tentang panggilan menjadi Pendeta (hamba Tuhan penuh waktu) itu memang ada berbagai pintu masuk, ada yang merasa terpanggil karena dia kagum dengan figur pendeta, dia melihat pendeta itu sebagai figur yang dihormati dan disegani sehingga akhirnya ia tertarik menjadi pribadi seperti figur tersebut.
Y : Atau memunyai figur teladan pendeta.
SK : Ada yang juga punya pengalaman supranatural, merasa mendapat mimpi atau penglihatan yang mengarahkan dia untuk menjadi pendeta. Ada juga yang ingin menjadi pendeta merasa karena tanpa disadari semacam terintimidasi oleh orang tuanya, yaitu karena orang tuanya pendeta. Kita adalah keturunannya secara biologis maka perlu meneruskan kepemimpinan orang tua yang menjadi pendeta karena gereja itu adalah yang gereja yang didirikan oleh orang tuanya. Ada juga yang sedari kecil sampai dia remaja berulang diberitahu orang tuanya, "Kamu ingat tidak, kamu sudah didoakan sejak dalam kandungan ibumu, bahwa kamu sudah diserahkan untuk menjadi pendeta". Kira-kira mirip seperti kisahnya Samuel di Perjanjian Lama. Diri kita memasuki usia remaja, terngiang-ngiang aku harus jadi pendeta. Kalau tidak begitu kena tulah, karena aku tidak memenuhi nazarnya orang tua. Aku sudah dipersembahkan pada Tuhan.
Y : Dari berbagai pintu masuk yang tadi Pak Sindu kemukakan, apa yang sebetulnya, seharusnya menjadi motivasi yang benar. Kita melayani Tuhan sepenuh waktu menjadi hamba Tuhan.
SK : Memang sesungguhnya sekalipun ada sekian pintu masuk, kita harus punya fondasi yang kokoh dan solid, artinya kesadaran diri sebagai orang berdosa yang menerima anugerah keselamatan lewat pribadi Juruselamat kita, Yesus Kristus dan anugerah keselamatan itu membuat kita tersadar, bahwa kita adalah orang yang benar-benar berhutang anugerah dan kita ingin membalas anugerah Allah lewat persembahan hidup kita untuk melayani Tuhan. Bahkan termasuk melayani penuh waktu sebagai pendeta, itu adalah dasar yang kokoh dan solid yang harus dimiliki paling dasar untuk kita yang bergumul tentang panggilan menjadi pendeta.
Y : Jadi tidak hanya nilai-nilai atau masukan dari luar walaupun itu orang tua kita tapi bagaimana kita sendiri mengalami panggilan itu. Merasa berdosa, ditebus Tuhan Yesus dan rindu memersembahkan hidup kita.
SK : Ini sangat amat penting, sangat krusial karena menjadi pendeta bukan sekadar profesi atau pekerjaan. Memang kalau di KTP, kita bisa menulis profesi pendeta tetapi etosnya bukan seperti orang-orang professional, orang-orang bayaran lainnya. Artinya menjadi pendeta, kita perlu punya etos, semangat, nilai-nilai, kesediaan untuk berkorban melampaui dari upah, dari gaji, penghasilan yang kita dapat. Kalau tidak demikian, kita akan masuk dalam kotaknya gembala upahan, bukan gembala yang sejati seperti kata Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes. Itu sangat mengerikan, Tuhan akan menjadi Hakim. Kalau kita gembala upahan, kita akan mendapatkan kemarahan Tuhan sendiri karena Dia melihat kita mempermainkan domba-domba yang kita gembalakan.
Y : Ini menarik sekali ketika kita harus memunyai paradigma yang benar, melayani Tuhan apalagi sepenuh waktu. Tentunya ada kriteria mendasar yang harus diuji supaya kita yakin kita melayani Tuhan sepenuh waktu, Pak.
SK : Betul Bu Yossy, untuk itu ada tiga uji yang perlu kita lalui untuk memastikan apakah benar-benar kita dipanggil untuk menjadi pendeta. Yang pertama, uji pelayanan. Dalam hal ini mari kita yang merasa terpanggil menjadi pendeta, minimal sekali berilah waktu 2 tahun untuk terjun dalam aneka tugas pelayanan di gereja atau pun di luar gereja. Kerjakan berbagai tugas pelayanan baik itu tugas-tugas fisik seperti bersih-bersih gereja, menyapu, mengepel. Antar jemput anak-anak Sekolah Minggu, tugas-tugas keorganisasian, kepanitiaan di gereja maupun tugas-tugas tampil di depan umum seperti memimpin pujian dan ibadah, mengajar di Sekolah Minggu, kelas anak-anak atau pun membawa renungan singkat. Selama kita melakukan tugas-tugas kegiatan pelayanan itu kita bisa mempertanyakan kepada diri kita sendiri apakah kita menikmatinya, apakah kita semakin haus untuk memberi waktu lebih banyak untuk melayani. Apakah ketika kita menghadapi krisis pelayanan kita tetap ingin maju melayani Tuhan. Krisis pelayanan itu bisa berupa gesekan dengan rekan pelayanan, kadang-kadang konflik. Disalah mengerti kita sudah berkorban uang, waktu, tenaga, eh dituduh miring, tidak dihargai. Ketika itu pun terjadi apakah kita berhenti pada tawar hati, kepahitan atau pun ketika kita tawar hati dan kepahitan tapi kemudian kita bisa bangkit kembali karena ingin melayani, karena cinta kita pada Tuhan dan pelayanan lebih daripada keterlukaan yang kita alami dalam pelayanan itu. Itulah uji pelayanan yang perlu dilewati oleh seorang yang bergumul tentang panggilan menjadi pendeta. Tanpa itu ia akan tidak tahan dan kalau pun diterima di Sekolah Teologi, dengan mudahnya ia akan keluar.
Y : Karena ada gesekan, ada konflik dengan mudah akan keluar ya, Pak. Yang kedua uji seperti apa yang perlu kita lalui ?
SK : Yang kedua uji hidup rohani. Apakah kita menikmati dan bertumbuh dalam relasi pribadi dengan Tuhan. Apakah di tengah aktifitas keseharian, sekolah, bermain, berteman termasuk di tengah aktifitas kegiatan pelayanan tersebut apakah kita menikmati perenungan Firman dan doa ? Apakah keintiman dan kehausan akan Allah makin menjadi nyata dalam hidup kita ? Apakah Kristus memang benar-benar kita letakkan menjadi pusat hidup kita ? Apakah kesukaan melayani karena begini bisa jadi kita punya minat dan hobi melayani tapi kalau kita minat dan hobi melayani di gereja atau luar gereja tanpa relasi pribadi dengan Tuhan, sesungguhnya kita semata-mata sedang melakukan aktifitas kegiatan pelayanan sosial dan bukan aktifitas kegiatan pelayanan rohani.
Y : Jangan-jangan itu hanya memenuhi kebutuhan pribadi kita, Pak.
SK : Benar.
Y : Kebutuhan kita diterima, dipuji ketika pelayanan kita baik, itu yang menjadi membahayakan.
SK : Kalau kita sebatas menikmati kegiatan pelayanan sosial dan kita merasa menikmati hidup tanpa relasi pribadi dengan Tuhan, sangat tidak tepat kemudian kita bercita-cita menjadi pendeta dan masuk Sekolah Teologi. Karena kebenarannya pendeta itu membawa peran imam dan nabi bagi jemaat yang dilayaninya. Artinya pendeta itu sendiri perlu dekat dan mengalami Tuhan secara dinamis dalam hidupnya sebelum dia sendiri membawa jemaat untuk dekat dan mengalami Tuhan secara dinamis pula. Jadi uji hidup rohani juga sama vitalnya dengan prinsip pelayanan.
Y : Jangan sampai kita menjadi hamba Tuhan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita yang tidak terpenuhi di masa-masa yang lalu.
SK : Benar.
Y : Yang ketiga, Pak ?
SK : Yang ketiga, bu Yossy adalah uji karakter. Apakah kita memiliki kerendahan hati untuk melayani ? Apakah kita memiliki kerendahan hati untuk meminta maaf jika bersalah ? Apakah kita memiliki kebersediaan untuk berkorban, apakah kita mau setia untuk hidup dalam kejujuran dan integritas. Baik ada orang tidak ada orang kita konsisten hidup dalam kebenaran ? Apakah kita memiliki hati yang sedia, setia dan senang diajar ? Tiga S. Apakah 9 buah Roh Kudus itu makin nampak dan orang–orang di sekitar kita menikmatinya ? Sembilan buah Roh Kudus itu juga 9 karakter, karena memang kalau menjadi pendeta bukan sekadar bermodalkan karunia rohani, punya keluhuran hati, punya karunia mujizat, karunia dalam hal berkhotbah atau pun mengelola sesuatu dengan baik. Menjadi pendeta bukan hanya berdasarkan karunia rohani tapi juga berdasarkan buah rohani, bukan hanya karunia Roh Kudus tapi juga buah Roh Kudus. Buah Roh Kudus atau karakter itu sangat amat vital karena yang sedang kita bagikan adalah karakter kita bukan sekadar pekerjaan pelayanan dari seorang pendeta. Jadi kalau kita tidak siap untuk diajar, dipimpin, ditegur, kita tidak cukup rendah hati untuk meminta maaf dan berkorban, pasti kalau nanti kalaupun kita bisa diterima di Sekolah Teologi, kita akan sangat amat bermasalah, gesekan dengan teman, dengan dosen, dengan bapak/ibu asrama, dengan gereja yang diutus untuk melayani.
Y : Dengan jemaat yang dilayani.
SK : Tepat. Maka dapat diringkas sebelum mendaftarkan diri ke sebuah Sekolah Teologi, kita perlu memiliki kematangan panggilan dan kematangan diri di level tertentu.
Y : Kematangan karakter tadi salah satunya, ya Pak.
SK : Dengan adanya tiga uji yaitu uji pelayanan, uji hidup rohani, uji karakter, menjadi sarana untuk memastikan dan sekaligus mengasah keterpanggilan dan kematangan diri kita.
Y : Berarti ini ‘kan tidak hanya pendapat kita pribadi tapi perlukah ada konfirmasi orang lain atau saran dan masukan dari orang-orang yang lebih rohani yang kita percaya sebagai mentor dan sebagainya.
SK : Betul, jadi memang konfirmasi dari orang lain di sekitar kita itu sangat amat vital. Pelayanan, karakter, hidup rohani itu sangat butuh umpan balik dari orang lain. Maka untuk sukses melalui tiga uji tadi, saya sependapat dengan apa yang disampaikan Ibu Yossy sangat strategis bahwa kita ada orang lain yang mendampingi kita yakni kita perlu punya mentor atau pembimbing rohani, juga perlu punya KTB (Kelompok Tumbuh Bersama), kelompok pertumbuhan yang sebaya, sesama lelaki atau pun sesama perempuan, tiga empat lima orang yang sebaya kita berkomunitas karena dengan adanya mentor dan kelompok KTB sebaya ini menolong kita untuk tertandu dan arah kedepannya, langkah-langkahnya juga kita bisa menerima umpan balik baik dalam perjalanan latihan pelayanan maupun pertumbuhan rohani dan karakter kita. Selain itu Bu Yossy, keuntungannya adalah bahwa nantinya pengalaman dimuridkan, kalau diberi judul pengalaman dimuridkan ini akan kita lanjutkan di Sekolah Teologi menjadi gaya hidup.
Y : Mulai dari awal ya.
SK : Sebelum masuk Sekolah Teologi sudah dimuridkan dan nanti kita masuk Sekolah Teologi kita lanjutkan. Pengalaman dimuridkan sangat bagus juga kalau kita memuridkan. Kalaupun kita sebelum masuk Sekolah Teologi sudah punya anak-anak rohani, orang-orang yang kita bimbing secara langsung, secara sengaja atau istilahnya secara intention sangat baik karena untuk menjadi pendeta kembali yang kita gembalakan adalah manusia.
Y : Jiwa-jiwa.
SK : Gembala itu bukan EO, bukan sekadar penyelenggara kegiatan ibadah, program-program gereja, menjadi sekadar panitia pengarah, tidak, dia perlu turun ke bawah berjumpa dengan orang, orang demi orang. Pemuridan intensional yang sadar disengaja ketika dialami sebelum masuk Sekolah Teologi itu akan menjadi sebuah modal nyata untuk nantinya dengan mudah ia akan lakukan ketika ia menjadi pendeta.
Y : Seperti menambah jam terbangnya, begitu ya Pak. Semakin tinggi semakin mengerti kebutuhan orang. Kalau bicara tentang waktu, Pak, kapan kita siap mendaftar ke Sekolah Teologi, waktu yang tepat menurut Bapak bagaimana ?
SK : Waktu yang tepat saya usulkan pertimbangkan untuk setelah lulus SMA tidak langsung masuk Sekolah Teologi.
Y : Bagaimana bila sudah yakin, alasannya apa menurut Pak Sindu ?
SK : Dalam pertimbangan soal kematangan diri, artinya kalau kita setelah lulus SMA minimal saya usul, berilah waktu 2 tahun untuk bekerja. Hidup dalam dunia kerja, kerja apa pun yang halal atau bahkan kita ambil pendidikan diploma 2 tahun atau bahkan memiliki pengalaman studi setingkat sarjana S1 selama tiga sampai lima tahun, baru masuk Sekolah Teologi. Supaya kita punya kematangan yang lebih lagi. Ketika kita masuk Sekolah Teologi rata-rata tahun kedua itu sudah terjun praktek pelayanan di gereja. Di sana kita sudah dipanjang senior, dipandang sebagai orang yang sudah punya pemahaman dan pengalaman, hikmat, kematangan tertentu. Kalau kita sudah punya pengalaman kerja 2 tahun, akhirnya kita lebih bisa berempati dan tidak mudah menyederhanakan khotbah-khotbah tentang dunia kerja. Pergumulan jemaat bisa lebih kita lebih alami, kita hayati karena kita pernah mengalaminya. Karena kita punya kematangan pendidikan diploma atau sampai S1, intelektualitas kita lebih berkembang, lebih bisa berpikir secara kompleks. Dalam hal ini akhirnya orang akan merasa nyaman digembalakan oleh mahasiswa teologi ini. Disamping itu juga maka akan sangat baik Bu Yossy, kalau selama masa antara itu, kita punya pengalaman dimuridkan kembali secara intensional. Kalau tidak bisa kita dapatkan dari lingkungan gereja kita, kita bisa memertimbangkan ke lembaga-lembaga pembantu gereja, seperti ada di Indonesia ada Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas), atau LPMI (Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia), ada juga para navigator dan ada berbagai pelayanan lain yang punya fokus dalam pelayanan pemuridan siswa dan mahasiswa.
Y : Yang tentunya wadah ini akan menjadi wadah yang efektif untuk mematangkan 3 uji tadi.
SK : Betul, mematangkan 3 uji tadi, uji pelayanan, uji hidup rohani, uji karakter. Kelebihan model pemuridan intensional yang fokus pada kelompok kecil dan orang demi orang maka proses penempaan, pembentukan.
Y : Lebih terasa, tidak di permukaan.
SK : Betul, lebih pribadi. Saya mengalami menemukan orang-orang yang pernah punya pengalaman pemuridan intensional baik yang dilakukan di sebuah gereja atau di lembaga-lembaga pendamping gereja yang di antaranya tadi saya sebutkan, rata-rata ketika mereka berada di Sekolah Teologi, mereka lebih matang. Matang hidup rohani, matang karakter, matang kemampuan pelayanan atau pun matang dari segi cara berpikir.
Y : Mengatasi masalah, begitu ya Pak.
SK : Ini akan menolong dia untuk lebih siap. Karena begini, kadang orang salah mengerti juga tentang Sekolah Teologi, dipikir Sekolah Teologi adalah surga yang lahir di dunia.
Y : Dan mahasiswanya para malaikat.
SK : Betul sehingga pasti saya dibimbing rendah hati, saya akan diperlakukan dengan adil dan baik ternyata tidak seperti itu. Sebagian juga orang-orang yang belum matang.
Y : Masih bergumul dengan masa lalunya, dengan kedagingannya.
SK : Betul. Kalau kita sudah punya level kematangan panggilan dan level kematangan diri yang memadai, kita masuk Sekolah Teologi tidak terkejut karena kita sudah memunyai fondasi, punya keyakinan, punya kematangan memadai sehingga kita siap menerima ketidaksempurnaan.
Y : Itu penting ya, Pak.
SK : Sesama mahasiswa ketidaksempurnaan dari dosen-dosen Sekolah Teologi atau sistem yang ada, kita masih bisa mengakomodasi karena kita punya kesiapan.
Y : Setuju, Pak. Bagaimana dengan peran orang tua atau pendeta jemaat, majelis yang mau bersekolah Teologi ini, perannya ?
SK : Dalam hal ini orang tua perlu mengoptimalkan perannya, misalnya mendapati dirinya adalah pendeta, mendapati anak yang sudah digadang-gadang untuk menjadi pendeta, penerus pelayanannya ternyata setelah melewati uji pelayanan, uji karakter, uji rohani tidak lulus, tidak memadai. Mohon tidak dipaksa, karena memuliakan Tuhan itu lebih daripada sekadar hanya menjadi pendeta. Lebih baik menjadi pengusaha berhati pendeta dari pada menjadi pendeta berhati pengusaha.
Y : Nanti bahaya, apa-apa diusahakan terus, ya Pak.
SK : Nanti jemaatnya dieksploitasi. Karena kalau pendeta tidak berhati pendeta nanti dia akan melakukannya seperti gembala upahan, minimalis dan serba minimalis akhirnya jemaat pun terluka. Malah bisa kepahitan dan meninggalkan Tuhan karena pendeta yang tidak berhati pendeta. Dalam hal ini mari bagi para pendeta jemaat, para pemimpin pelayanan ketika mendapati ada anak-anak muda yang seperti menunjukkan minat, keterpanggilan atau dalam proses pergumulan keterpanggilan menjadi pendeta, mohon untuk dibimbing secara intensional, berikan perhatian pendampingan secara khusus, berikan tugas-tugas dimentori secara khusus.
Y : Benar secara spesifik ya, Pak.
SK : Saya menemukan beberapa gereja dan sayangnya masih sedikit gereja yang sudah melakukan pembimbingan. Jadi menahan bagi mahasiswa teologi sengaja 1 tahun sampai 2 tahun, ditahan, disuruh untuk melakukan aktifitas bekerja atau pun studi di bidang yang lain sambil dimentori. Memang hasilnya bagus, Sekolah Teologi pun diberkati.
Y : Inputnya sudah siap dan matang.
SK : Betul, jadi jangan lupa juga sekarang ini Indonesia sedang mengalami perubahan untuk regulasi Sekolah Teologi.
Y : Begitu ya, Pak ?
SK : Sekolah Teologi di masa sekarang dan ke depan setara dengan Perguruan Tinggi umum, tuntutan-tuntutan akademisnya dan standardnya sama. Mau tidak mau beban akademis semakin bertambah sehingga akhirnya padahal tuntutan kematangan dirinya tidak dikurangi. Dalam hal ini stresor berbeban jiwa masa sekarang ini cenderungnya lebih berat daripada masa lalu. Mau tidak mau menunda untuk 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun sampai 5 tahun dalam rangka mematangkan jauh lebih baik daripada terburu-buru setelah SMA masuk Sekolah Teologi.
Y : Prematur ya, Pak.
SK : Seperti kata bu Yossy prematur. Dia tidak tahan, bukan salah di panggilannya tapi karena belum siap.
Y : Memersiapkan diri dengan tepat. Apakah ada kesimpulan atau ayat Firman Tuhan yang boleh mendasari perbincangan kita kali ini, Pak ?
SK : Saya bacakan dari 2Petrus 1:10, "Karena itu saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung". Konteks Firman Tuhan ini berkenaan panggilan keselamatan. Saya perluas juga panggilan pelayanan menjadi pendeta. Artinya panggilan keselamatan saja itu membutuhkan upaya agar kita memastikan tumbuh berkembang, berakar dan memiliki fondasi yang solid, sehingga kita tidak mudah meninggalkan iman kita. Apalagi panggilan pelayanan menjadi pendeta yang notabene pemimpin umat, dengan kata lain, juga salibnya lebih besar mungkin dibahasakan secara kiasan atau lebih berat lagi. Maka janganlah membuat diri menggampangkan apabila menjadi pendeta. Persiapkan, bekali, pertumbuhkan diri secara sadar dan sengaja, secara intensional supaya ketika kita menjalaninya kelak lewat mahasiswa teologi atau menjalani alumni Sekolah Teologi sudah berpredikat sebagai pendeta atau hamba Tuhan penuh waktu, kita tidak mudah tersandung.
Y ; Dan bahkan tidak menyesali karena mungkin kalau kita tidak memersiapkan dengan baik, kita tidak memunyai pemahaman yang tepat, kita bisa menyesal, ya Pak, di kemudian hari dan melayani sebagai pendeta hanya bertahan. Itu yang sangat ironi.
SK : Betul, itu yang bagi saya sangat menyakitkan. Kadang orang mendaftar masuk Sekolah Teologi, mengapa ? Ya karena di Sekolah Teologi dapat beasiswa gratis, kalau sekolah yang lain saya harus bayar, orang tua saya tidak mampu, wah sudah, waktu saya menghadapi calon seperti itu, maaf jangan direndahkan Sekolah Teologi karena Sekolah Teologi pun terkadang bagi beberapa Sekolah Teologi di Indonesia didukung oleh para donatur sehingga nyaris tidak membayar SPP tapi bukan berarti karena anugerah jadi murahan. Anugerah justru makin dihargai, orang yang direkrut benar-benar yang memersiapkan diri dan apalagi seperti yang dikatakan oleh Bu Yossy sudah cukup memersiapkan diri, sehingga dengan demikian tahan uji dan juga dalam hal ini kalau punya pengalaman kerja, itu akan baik. Karena begini, kadang ladang pelayanan tidak selalu ladang yang basah secara finansial apalagi kalau kita masuk ke daerah-daerah misi, kalau kita sudah memunyai pengalaman kerja sebelum masuk Sekolah Teologi, sudah punya bekal S1, keterampilan, punya pengalaman profesi tertentu kita tidak terikat harus masuk ke gereja yang sudah terstruktur, kita bisa masuk ke kantong-kantong pelayanan yang mungkin belum ada gereja secara formal tapi sangat membutuhkan penjangkauan jiwa dan kita bisa masuk dengan S1.
Y : Kita dengan profesi yang lain.
SK : Kita menjadi seperti rasul Paulus, "tent-maker", pembuat tenda, tetap hatinya pendeta tapi statusnya sebagai orang professional di bidang kesehatan, di bidang pendidikan, di bidang bisnis tapi hati pendeta. Jadi dengan begitu dia menjadi hamba Tuhan yang siap pakai.
Y : Justru efektif ya, Pak.
SK : Ya, mari jangan menjadi pendeta berarti aku harus meninggalkan dunia, tidak boleh punya pengalaman kerja di bidang umum. Harus langsung masuk Sekolah Teologi. Tidak, dunia pelayanan jaman sekarang sudah lebih kompleks dan membutuhkan pendekatan yang berbeda daripada yang di luar. Dulu orang tua, kakek nenek kita lakukan.
Y : Setuju sekali, Pak. Terima kasih banyak untuk pembicaraan kita kali ini semoga mencerahkan bagi saudara-saudara kita yang sedang bergumul menjawab panggilan Tuhan melayani sepenuh waktu.
SK : Amin.
Y : Terima kasih, Pak Sindu.
: Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Panggilan Menjadi Pendeta". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.