Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Mega, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Menuntut Seketika". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
M : Pak Sindu, diskusi kita pada hari ini akan membicarakan topik "Menuntut Seketika". Dari judulnya ini sangat menarik perhatian saya, Pak Sindu. Kira-kira seperti apa yang ingin Bapak bagikan?
SK : Menuntut seketika saya amati rupanya menjadi gejala yang dialami oleh beberapa orangtua ketika berhadapan dengan anak mereka. Mungkin orangtua berkata, "Nak, ayo pindahkan sepedamu dari teras, masukkan ke dalam rumah !" Anak menjawab, "Ah, nanti, Pa… Saya sedang mengerjakan PR." Orangtua, "Nanti, nanti. Sekarang!" Itu gambaran minta seketika apa yang menjadi kemauan orangtua harus dipenuhi.
M : Apakah itu tidak diijinkan, Pak? Karena saya juga orangtua, saya juga terbiasa untuk meminta anak saya melakukan ini melakukan itu dan memang kita orangtua pasti inginnya cepat dilakukan.
SK : Tepat seperti yang Bu Mega ceritakan. Sebagai orangtua masih mungkin, masih tertoleransi untuk terkadang kita meminta anak kita melakukan sesuatu saat itu juga, yaitu ketika misalnya sedang mengalami kondisi darurat. Misalnya, ketika mau masuk ke dalam rumah orangtua melihat sepeda anak berada di luar pagar rumah. Bukankah rawan untuk dicuri? Sementara orangtua memang perlu bergegas masuk ke rumah untuk sesuatu keperluan dan tidak bisa menunggui sepeda anak. "Ayo, pindahkan sekarang. Bahaya. Ayo, lakukan !" karena memang mendesak. Atau misalnya orangtua datang dengan banyak barang, naik taksi dan perlu segera menurunkan barang-barang, sementara orangtua sendirian dan kewalahan. Anak dipanggil, "Nanti, sedang asyik nonton TV !" Orangtua, "Eh, segera ini butuh bantuan. Taksinya mau pergi lagi. Ayo, bantu sekarang !" Nah, itu memang kondisi-kondisi yang masih tertoleransi orangtua menuntut seketika.
M : Kalau begitu apakah ada peristiwa-peristiwa lain yang menurut Pak Sindu menuntut seketika ini bisa menjadi suatu masalah dalam keluarga?
SK : Ya. Yaitu ketika orangtua menjadikannya sebagai pola kebiasaan. Baik hal-hal yang mendesak ataupun sesungguhnya hal-hal yang sebenarnya tidak mendesak, kita tetap saja menuntut seketika. Disanalah menjadi masalah yang mengganggu tumbuh kembang anak kita.
M : Ya. Saya pernah bertemu dengan seorang ibu. Pada waktu saya bertamu ke rumahnya, hanya 30 menit tapi berapa kali saya dengar dia memanggil anaknya, "Nyo, ambilkan mama ini ! Nyo, ambilkan mama itu !" walaupun anaknya itu tidak di dalam ruangan yang sama. Ada di dalam kamar atau dia sedang kerja kelompok dengan temannya, dan saya lihat sebetulnya mamanya itu bisa mengerjakan sendiri permintaan itu, tidak perlu menyuruh anaknya.
SK : Bu Mega lihat anak itu melakukan atau bagaimana?
M : Ya melakukan. Tapi sebelum dia melakukan, dia menawar, "Sebentar, Ma…" Nah, mamanya langsung naik tensinya, "Kamu itu disuruh orangtua mengapa mesti alasan." Saya melihatnya begini, sebetulnya mamanya ini bisa melakukan kegiatan itu sendiri tanpa harus menyuruh anaknya tapi dia menginginkan itu untuk dilakukan oleh anaknya dan harus saat itu juga. Menurut Pak Sindu hal seperti itu wajar atau tidak terjadi dalam keluarga?
SK : Betul. Yang dilihat Bu Mega itu pula yang sepertinya kelihatan wajar, lumrah untuk beberapa keluarga atau orangtua melakukannya. Namun sayangnya itu akan punya dampak negatif bagi tumbuh kembang anak, Bu Mega.
M ; Seperti apa ya, Pak?
SK : Yang pertama, salah satu kemungkinannya anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang mudah gugup atau gelagapan ketika mendengar hardikan atau suara keras.
M : Itu seperti yang saya lihat tempo hari, Pak. Begitu mamanya berteriak, anaknya itu bisa seperti orang ndredeg, bahasa Jawanya.
SK : Gemetaran.
M : Ya ! Bahkan dia tidak tahu mau disuruh apa, pokoknya kalau mamanya teriak, hanya mendengar namanya disebut saja dia sudah datang tergopoh-gopoh, "Iya, Ma. Iya, Ma." Apakah seperti itu yang dimaksud, Pak?
SK : Ya. Ketika berkali-kali, bertahun-tahun terbiasa mendengar suara yang keras, hardikan, bentakan, akhirnya anak tumbuh menjadi pribadi yang mudah tegang jiwanya, kurang bisa santai, sensitif dengan suara keras dan hardikan. Sebenarnya itu menjadi semacam teror jiwa. Apalagi anak umur 0 – 12 tahun itu masa pencetakan jiwa. Kalau terbiasa terteror, mengalami kekerasan emosional kekerasan verbal lewat kata-kata yang memburukkan anak atau kekerasan emosi nada-nada tinggi, itu membuat anak menjadi pribadi yang lebih cenderung tidak mudah tahan stres. Sedikit suasana tegang langsung dia bereaksi dengan cepat karena otaknya terbentuk dalam tekanan-tekanan yang demikian. Ini merugikan sang anak.
M : Ternyata dampaknya luar biasanya ya, bisa sampai merusak kepribadian anak. Begitu ya?
SK : Betul. Lebih lanjut lagi, anak terkondisi untuk muncul sebuah pola pikir "Kepentinganku tidak penting. Yang lebih utama adalah kepentingan orang lain".
M : Kira-kira dampak seperti itu bisa sampai ke masa dewasanya atau tidak ya?
SK : Iya. Justru masa anak masa mencetak jiwa. Ketika dari kecil dikondisikan "Kamu tidak penting. Yang penting dan utama adalah kebutuhan dan kemauan orang lain." Maka dia akan terbiasa untuk menderita. Menderita dalam arti dia mengabaikan kebutuhannya untuk istirahat, kebutuhannya akan privasi, kebutuhannya untuk konsentrasi menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Namun semua itu bisa disingkirkan, "Yang ini minta bantuan, yang itu memberi instruksi. Ya sudah, lakukan. Ini nanti saja." Akhirnya dia tidak bisa menyelesaikan tugas tepat pada waktunya, menjadi pribadi yang kewalahan, sulit berkata tidak.
M : Itu bisa menjurus ke arah inferior, Pak? Anak merasa mungkin dirinya itu tidak penting?
SK : Betul. Rasa inferior, rasa rendah diri, dengan sendirinya serta-merta tumbuh dalam diri anak. Anak menjadi pribadi yang seperti tidak punya jati diri. Dia terlalu tunduk kepada otoritas. Ketika di sekolah, di lingkungan gereja, atau di tempat pekerjaan sebagai orang dewasa terutama terhadap figur-figur otoritas yang punya kekuasaan atau orang-orang yang menampilkan otoritas dengan nada tinggi, dengan suara yang mantap, serta-merta seperti hatinya ciut berhadapan dengan figur raksasa yang mutlak harus saya lakukan.
M : Dia menjadi pribadi yang lebih mudah menurut pada orang lain ya Pak?
SK : Betul. Mudah tunduk tanpa alasan, tanpa batasan.
M : Rasa-rasanya dia akan menjadi pribadi yang gampang dimanipulasi ya?
SK : Tepat ! Ini bahayanya, Bu Mega. Awalnya kita pikir yang namanya anak ‘kan harus melakukan apa maunya orangtua. Hukum yang kelima "Hormatilah ayah dan ibumu" itu ‘kan firman Tuhan. Tapi ketika firman Tuhan ini dimengerti dengan keliru oleh orangtua, sebenarnya (maaf) orangtua sedang membunuh jiwa anak. Akhirnya anak seperti tidak punya pagar diri, tidak punya batas untuk melindungi dirinya. Orang lain masuk ke ruang pribadi atau privasinya, silakan dan dia tida bisa berkata tidak, karena diriku adalah hamba bahkan (maaf) budak dari kemauan-kemauan orang lain.
M : Dampaknya itu sangat mencekam jiwa anak ya.
SK : Ya.
M : Saya bayangkan kalau anak seperti ini, dari kecil dia sudah merasa bahwa dirinya itu tidak berharga dan orang lain yang lebih berharga. Berarti dia sedang dalam kondisi yang ditekan. Manifestasinya bisa seperti apa, Pak? Manifestasi ke dalam anak ini menjadi inferior, rendah diri, merasa dirinya tidak berharga. Apa ada manifestasi ke luar?
SK : Iya. Manifestasi atau perwujudan lainnya, anak-anak ini potensial menjadi korban perundungan (bullying), karena dia tanpa sadar dimatikan kediriannya tentang keberhargaan dirinya oleh orangtua, makanya dia jadi orang yang cenderung tunduk tanpa batas dan alasan. Termasuk terhadap teman-temannya. Kadang teman, "Eh, ambilkan itu !" mungkin dia lakukan. "Lho mengapa mau dia? Eh, minta pinsilmu ya? Aku suka." Tanpa perlawanan. "Lho, kenapa mau ya? Eh, minta uangmu! Kamu diberi uang saku berapa? Setor 50 % ke saya !" Nah, anak tidak mengerti melindungi diri, tambah lama tambah menjadi bulan-bulanan dari teman-temannya yang jahat ini.
M : Lebih gampang dimanipulasi tadi ya Pak, karena dia tidak bisa mengenali jati dirinya dengan baik, atau bahkan jati dirinya memang tidak berkembang dengan baik pula. Berkaitan dengan hal ini, kalau anak yang menjadi korban bullying ini, dia ‘kan orangnya menjadi pribadi yang tertekan dalam. Maksud saya apakah mungkin anak-anak yang seperti ini, yang menjadi korban bullying ini, dia itu tidak hanya menjadi orang yang pasif tetapi juga bisa menjadi orang yang agresif?
SK : Bisa. Sisi yang lain, muncullah kemungkinan yang lain, anak-anak itu menjadi figur yang agresif seperti yang dikatakan Bu Mega tadi. Jadi, dia menjadi anak-anak pemberontak. Awalnya terhadap orangtua ya tunduk dan menurut 100 %. Tapi lama kelamaan sejalan dengan usia, dia marah. "Lho, aku kok dimanfaatkan? Mengapa ditindas oleh orangtuaku?" Anak mulai mikir, mulai kritis dan dalam sebagian anak memang muncul keberanian untuk melawan. Mungkin waktu umur 10 - 11 tahun, mulai ada pembantahan-pembantahan. Eh, orangtua menampar, misalnya. Nanti masa remaja, apalagi kalau ini anak laki-laki, badan semakin kuat, punya geng atau teman-teman, melawan orangtuanya bisa lebih terang-terangan atau melakukannya dalam bentuk agresif pasif, misalnya dilakukan tetapi sengaja ditunda-tunda biar marah. Dipukul, ditonjok, "Nih, tampar !" beri pipi kiri, beri pipi kanan. Biar dihukum, dia sengaja melawan. Biar saja dipukul tapi aku akan tampil kuat ! Atau dalam bentuk yang lain, apa yang dia kerjakan untuk orangtua dirusak. Tiba-tiba handphone orangtua macet, uang orangtua hilang, mobil atau kendaraan orangtua kok ada yang tidak beres. Tidak berani melawan terbuka atau agresif aktif tetapi agresif pasif melakukan sabotase terhadap orangtua.
M : Wah, luas biasa ya. Ini semua bisa terjadi karena hal yang kita orangtua biasanya lihat sebagai suatu hal yang sederhana, menuntut seketika. Orangtua yang hanya ingin dituruti tetapi bisa menjadikan anak selain dia tidak bisa melihat jati dirinya dengan baik tapi juga bisa bertumbuh menjadi pribadi yang memberontak.
SK : Ya. Sisi yang lain, anak pun menjadi pribadi otoriter tanpa toleransi, tanpa fleksibilitas terhadap orang lain, pribadi yang kaku, berfokus pada kepentingan diri, serba ‘sumbu pendek’ atau gampang marah, terpicu, menindas orang lain sebagaimana orangtuanya menindas anak ini bertahun-tahun.
M : Jadi, ini seperti mata rantai ya, Pak. Orangtua memperlakukan anaknya demikian maka anak juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang sama seperti orangtuanya, tanpa disadari.
SK : Ya. Anak menjadi salah arah. Maka dalam hal ini, bicara tentang kepemimpinan, sebenarnya pola kepemimpinan seseorang itu sudah terbentuk di masa pengasuhan sebagai anak terutama masa 12 tahun pertama. Itu mencetak pondasi model kepemimpinan apa yang akan diterapkan. Apakah fleksibel, toleran, demokratis ataukah tangan besi. Itu cukup dipengaruhi oleh bagaimana orangtua menerapkan gaya kepemimpinan kepada anak-anaknya.
M : Jadi, orangtua juga harus memahami hal ini ya, Pak. Betapa pentingnya cara kita berkata-kata kepada anak, cara kita memperlakukan anak, itu ternyata sangat-sangat penting ya Pak. Menjadikan anak ini nantinya akan menjadi seperti apa.
SK : Tepat.
M : Pak Sindu, kalau misalnya peristiwa-peristiwa ini sudah terjadi, anak sudah sering dituntut, orangtua sudah sering bersikap arogan di rumah, maunya dituruti saja, berarti sudah ada luka-luka yang timbul di dalam keluarga tersebut terutama dari anak-anak itu sendiri. Pak Sindu bisa memberikan solusi seperti apa?
SK : Dalam hal ini orangtua perlu mengubah pola pikirnya, itu salah satunya, Bu Mega.
M : Seperti apa, Pak?
SK : Pola pikir bahwa orangtua adalah milik orangtua, properti orangtua. Kebenarannya adalah anak itu adalah miliknya Tuhan, orangtua hanyalah manager yang dipercayakan Tuhan untuk menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemauan sang pemilik yaitu kemauannya Tuhan. Kelak orangtua akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi, dengan cara itu kita memiliki satu landasan yang lebih kokoh, bahwa ini adalah pribadi miliknya Tuhan. Kalau aku melakukan dengan buruk ya nanti Tuhan sang pemilik anak ini akan minta pertanggungjawaban terhadap aku, kalau aku menindas anak itu berarti aku menindas miliknya Allah. Pola pikir ini yang perlu ditumbuhkembangkan. Yang kedua, orangtua perlu menghayati keintiman dengan Bapa Surgawi sebagai Bapak yang mengasihi diri setiap kita sebagai orangtua. Sangat mungkin kita pun memandang Allah Bapa itu Pribadi yang serba menuntut seketika. Hanya figur yang di atas dan menuntut dan kita harus penuhi. Kalau kita tidak memenuhi tuntutan Bapa Surgawi, Allah kita, maka kita pun akan siap dikutuk dan tidak diberkati. Nah, konsep penghayatan itu memengaruhi cara kita menjadi orangtua bagi anak-anak kita. Kalau kita mengembangkan keintiman dengan Bapa Surgawi, relasi dengan firman Tuhan, menikmati kesempatan memuji Tuhan yang menyentuh jiwa kita, membangun keintiman secara perasaan, emosi, afeksi, selain secara kognitif, secara pemahaman firman, maka kita akan menjadi pribadi yang cair dengan Bapa. "Oh, Bapa menghargai aku, mengasihi, menyayangi aku, menoleransi aku." Maka itu akan menjadi satu jiwa semangat yang kita pakai pula waktu kita menjadi orangtua bagi anak-anak kita yang intim secara emosi yang menghargai yang hangat dan bukan serba menuntut seketika.
M : Ya. Jika orangtua bisa memiliki relasi yang baik dengan Allah, itu nantinya juga akan menjadi suatu pola yang akan dia teruskan dan mewarnai juga relasinya dengan anaknya. Begitu ya, Pak?
SK : Ya.
M : Kemudian kalau secara praktis, kalau saya lihat orangtua yang menuntut seketika, kalau dari beberapa teman-teman saya atau orang-orang yang saya jumpai, saya melihat orangtua itu juga memiliki rasa capek. Karena mengurus anak itu ‘kan tidak mudah, apalagi kalau anaknya banyak dan masih kecil. Biasanya orangtua menjawab, "Ya sudah tidak apa-apalah. Biasalah kalau orangtua menuntut anak, anak-anak juga memang harus nurut pada orangtuanya." Bagaimana, Pak Sindu?
SK : Benar. Ada sisi itu yang juga menjadi faktor penyebab. Sehingga solusi yang lain adalah kita sebagai orangtua perlu menyadari batas-batas kesanggupan kita. Artinya kita juga perlu memberi waktu bagi diri kita sebagai orangtua untuk beristirahat, untuk menyediakan waktu pribadi. Dalam Bahasa Inggris ada istilah "me time" atau waktu pribadi. Menarik diri, mengerjakan hobi, santai dengan hal-hal yang sehat. Dengan demikian ketegangan jiwa kita lebih dikendorkan sehingga terhadap anak pun kita lebih kendor, lebih tidak serba menuntut seketika.
M : Kalau dalam praktisnya, ada bapak ada ibu. Me time itu giliran atau bagaimana?
SK : Bisa dua-duanya. Ada kalanya keluar berdua, suami-istri me time. Itu memang bagus ya. Cinta romantik itu perlu terus dihidupkan. Keintiman pasangan yang terpelihara membuat jiwa lebih santai dan terhadap anak pun akan terbangun keintiman juga kalau orangtua sebagai suami istri intim secara emosi. Sisi yang lain, ada waktunya juga sang suami keluar sendiri atau beraktifitas yang menyenangkan diri secara sehat, sang istri atau ibu juga demikian.
M : Ya. Jadi, memang perlu diatur ya. Waktu-waktu untuk orangtua, waktu-waktu buat masing-masing pribadi, bapaknya atau ibunya. Dengan demikian anak dengan memiliki orangtua yang sehat secara emosi, nantinya mereka bisa dibesarkan, dididik, diasuh dengan emosi yang lebih sehat juga.
SK : Tepat. Memang isu emosi ini isu penting. Bukankah sejak tahun 90-an sudah berkembang buku-buku yang diberi judul kecerdasan emosi dan buku-buku itu jelas menunjukkan data-data lapangan kesuksesan dalam karier, pekerjaan, pernikahan dan hidup bermasyarakat yang terbesar bukan ditentukan oleh kecerdasan akademis tapi lebih ditentukan oleh kecerdasan emosi. Kemampuan untuk membaca dan mengenali emosi, mengelola emosi, menunda kepuasan dan toleran terhadap kondisi perasaan, keterbatasan orang lain, kemampuan berelasi yang baik dengan orang lain.
M : Dengan kata lain, orangtua yang menuntut seketika terhadap anak-anak itu apa bisa dikatakan kurang cerdas secara emosi?
SK : Iya. Apa boleh buat. Kalau itu menjadi pola, kebiasaan orangtua, berarti orangtuanya kurang toleran, tidak bisa menunda kepuasan. Orangtua yang demikian lebih mungkin mudah frustrasi, ada tuntutan-tuntutan tinggi, rasa aman yang rendah terhadap kondisi diri dan sekitar. Ini pun orangtua kalau memang kesulitan untuk mengatasi diri, tidak apa-apa datang ke konselor. Datanglah ke orang-orang yang dinilai mungkin bisa menjadi rekan bercerita, karena itu justru pribadi yang sehat. Tahu ada sesuatu yang kurang dan terbatas, berinisiatif bersedia mencari pertolongan. Itu bukan tanda orang sakit tapi justru tanda orang sehat.
M : Iya. Pembicaraan kita hari ini luas dan dalam ya. Bisa sampai kecerdasan emosi, tentang pertumbuhan pribadi anak, kesehatan emosi anak juga.
SK : Ya. Itu hal penting, Bu Mega. Maka secara konkret, kita orangtua bisa mengembangkan pola memberi alternatif. "Wah, tidak bisa, Pak. Sekarang saya sedang butuh konsentrasi mengerjakan PR." "Okey, bagaimana kalau lima menit lagi?" "Wah, tidak bisa." "Okey, sepuluh menit lagi bantu mama ya. Bisa ‘kan?" "Okey, bisa." Nah, melakukan negosiasi, tidak harus semua serba seketika. "Aduh, tidak bisa Pa, sudah ada janji." "Okey. Kalau begitu kapan kamu bisa?" dengan demikian orangtua yang toleran, orangtua yang bisa tawar menawar akan mengembangkan jiwa dan kemampuan anak untuk juga toleran terhadap temannya, terhadap orang lain, melakukan tawar menawar. Bukankah dalam bisnis, dalam kita memimpin sekelompok orang, kita juga perlu tawar menawar? Pandai untuk melakukan lobi-lobi, win-win-solution, penyelesaian masalah yang sedapat mungkin saling menyenangkan satu sama lain, saling merasa saya tidak dikalahkan dan orang lain pun tidak dikalahkan, sama-sama dihargai dan dimenangkan. Dimulai dari pola orangtua yang fleksibel dan luwes.
M : Yang lebih memberikan ruang kepada anak untuk juga bisa memiliki pendapat.
SK : Betul.
M : Pak Sindu, apakah bisa dibagikan firman Tuhan yang bisa jadi pegangan bagi para pendengar mengenai topik ini?
SK : Saya bacakan dari Efesus 6:4, "Dan bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu. Tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasehat Tuhan." Firman Tuhan mengingatkan kita para orangtua untuk menghormati perasaan anak-bahwa anak juga punya pikiran, perasaan dan kehendak. Anak kita adalah pribadi yang membawa gambar Allah yang mulia sebagaimana orangtua. Jadi, anak-anak sama berharga seperti orangtua. Maka mari kita memberi tempat kepada penghormatan terhadap kepentingan anak, terhadap perasaan anak, dan kita bernegosiasi, membuat kesepakatan yang sehat bersama anak kita.
M : Terima kasih banyak untuk penjelasannya, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menuntut Seketika". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.