Mengapa Susah Melepaskan Pasangan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T568B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Tidak mudah untuk menerima kematian pasangan kita, kita akan lebih rela bila kita telah memberi yang terbaik, bila kita sudah menolong pasangan untuk bertumbuh, bila pasangan sudah siap untuk pulang ke Rumah Bapa dan bila kita percaya dan menerima kematian pasangan berada di dalam rencana Tuhan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Kematian adalah suatu kepastian. Walau kita tahu itu, tetap saja tidak mudah bagi kita untuk menerima kematian pasangan hidup. Sebaik apa pun kita memersiapkan diri, pada saat kita harus menghadapi perpisahan, kita tetap merasa seperti gelas yang jatuh hancur berkeping-keping. Pada akhirnya tidak ada persiapan yang dapat menghindarkan kita dari kedukaan. Jika kita tetap harus melewati kedukaan, apakah ada yang dapat kita perbuat untuk merelakan kepergian pasangan? Jawabannya ialah, ada. Berikut adalah beberapa saran untuk itu.

Pertama, kita akan lebih rela melepaskan pasangan apabila kita telah memberi yang terbaik. Dengan kata lain, jika kita menyimpan penyesalan karena tidak memberi yang terbaik, besar kemungkinan kita akan mengalami kesukaran untuk melepaskan pasangan. Kita terus merasa bersalah sebab kita tidak lagi berkesempatan untuk memberi yang terbaik kepadanya. Seperti kereta api yang telah lewat, begitu pulalah dengan kesempatan yang sekarang sudah berlalu.

Dari sini dapat kita petik satu pelajaran yaitu berusahalah untuk hidup tanpa penyesalan. Dan, kita hanya dapat hidup tanpa penyesalan bila kita memberi yang terbaik. Jadi, sayangilah pasangan; dengan segera bereskanlah masalah; jangan menunda-nunda dan jangan menyimpan dendam. Berikanlah apa yang menjadi haknya dan jangan kita menahan apa yang seharusnya diterima olehnya. Jangan ragu untuk meminta maaf dan jangan biarkan kebencian bersarang di hati. Sewaktu ia sakit, rawatlah dengan sabar dan kasih; jangan justru memarah-marahinya. Ungkapkanlah kasih dan penghargaan kita kepadanya semasa hidupnya.

Memberi yang terbaik tidak berarti memberi yang sempurna. Tidak! Kita bukan manusia sempurna, jadi, sewaktu kita memberi yang terbaik, itu berarti kita memberi dalam keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Relasi nikah juga bukan relasi yang sempurna; itu sebab, sewaktu kita memberi yang terbaik, itu tidak berarti bahwa kita tidak pernah kesal dan marah kepada pasangan. Kita pasti pernah mengecewakan pasangan, sama seperti ia pun pasti pernah mengecewakan kita. Jadi, jangan membawa penyesalan karena keterbatasan dan kemanusiawian kita. Pasangan pun mafhum akan hal ini sebab ia pun manusia yang terbatas.

Kedua, kita akan lebih rela melepaskan pasangan apabila kita sudah menolong pasangan untuk bertumbuh menjadi diri yang terbaiknya. Singkat kata, kita akan lebih rela melepaskan pasangan bila kita tahu bahwa kita telah berandil di dalam pertumbuhan dirinya menjadi pribadi yang matang dan terpenuhi. Sebaliknya, kita akan terus dirundung rasa bersalah dan penyesalan jika kita telah menyengsarakan pasangan semasa hidupnya. Mungkin kita telah menghalanginya meraih impiannya gara-gara keegoisan kita; atau mungkin kita telah menyusahkan pasangan dengan masalah yang kerap kita timbulkan. Bila itu yang terjadi, besar kemungkinan kita akan terus dirundung rasa bersalah dan penyesalan karena kita tahu bahwa gara-gara kita, pasangan telah kehilangan kesempatan untuk menikmati hidup.

Dari sini dapat kita petik satu pelajaran yakni pikirkanlah kepentingan pasangan; jangan sampai kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Pernikahan adalah sebuah jalan dengan dua arah, bukan searah. Bukan saja kita memikirkan kepentingan sendiri, kita pun semestinya memikirkan kepentingannya. Bukan saja kita menuntutnya untuk menolong kita meraih impian, kita pun harus berbuat semaksimal mungkin menolongnya meraih impiannya.

Ketiga, kita akan lebih rela melepaskan pasangan apabila ia telah siap untuk pulang ke rumah Bapa di surga. Sulit untuk kita merelakan kepergiannya jika ia sendiri tidak rela untuk pergi. Sewaktu kita mendengar betapa ia ingin sembuh dan tidak ingin meninggalkan dunia, kita tahu bahwa sesungguhnya ia belum siap untuk pergi. Itu sebab tatkala akhirnya ia meninggal dunia, kita sedih sebab kita tahu ia belum rela untuk pergi. Dan, ini akan menjadi beban di hati kita.

Dari sini dapat kita tarik satu pelajaran yaitu kita semua harus siap, bukan saja untuk hidup tetapi juga untuk mati. Kita tidak dapat menentukan kapan kita lahir di dunia dan kita pun tidak dapat menentukan kapan kita meninggalkan dunia. Itu sebab kita harus menjalani hidup dengan penuh kesadaran bahwa kita tidak berkuasa atas hidup; suatu saat kita akan mati. Kita mesti siap menyerahkan orang yang kita kasihi ke tangan Tuhan. Ia yang telah memelihara hidup kita akan memelihara kehidupan orang-orang yang kita kasihi. Sewaktu pasangan melihat kesiapan kita, ia pun akan lebih siap dan rela melepaskan kita. Ia tahu bahwa kita rela pergi sebab kita siap dan ingin berjumpa dengan Pencipta dan Penebus kita, Tuhan Kita Yesus.

Keempat, kita akan lebih rela untuk melepaskan pasangan apabila kita percaya dan menerima bahwa kematian pasangan berada di dalam, bukan di luar rencana Tuhan. Kadang kita sulit menerima sebab kita beranggapan bahwa tidak seharusnya pasangan meninggal dunia. Dengan kata lain, kita menyimpulkan bahwa kematiannya di luar rencana Tuhan. Tidak. Firman Tuhan menjelaskan (Ayub 1:21), "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan." Tuhan memberi pasangan kepada kita, Tuhan mengambil pasangan dari kita.

Dari sini kita dapat memetik satu pelajaran yaitu pemberian dan pengambilan keduanya adalah dari Tuhan dan merupakan hak Tuhan. Biasanya kita hanya mengaitkan pemberian dengan Tuhan, tetapi dari Firman Tuhan kita belajar bahwa pengambilan adalah bagian dari rencana Tuhan pula. Sewaktu Tuhan mengambil pasangan kita, Ia mengambilnya sesuai dengan rencana-Nya, bukan di luar rencana-Nya. Kita dapat teguh berdiri di atas kebenaran ini.

Jika demikian, kita pun harus berkata bahwa kesendirian kita—setelah ditinggal pasangan—berada di dalam rencana Tuhan pula. Tidak heran mata Tuhan tertuju secara khusus kepada orang-orang yang ditinggal, sebagaimana dicatat di Yakobus 1:27, "Ibadah yang murni dan tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia." Kita pasti akan ditinggal pasangan, tetapi kita pasti tidak akan ditinggal Tuhan.