Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Sulit Berkomunikasi ?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Walaupun alat-alat komunikasi begitu canggihnya, Pak Paul, sekarang ini, tetapi kemampuan kita berkomunikasi tidak bertambah lebih baik, termasuk dalam hubungan kita suami istri, kadang-kadang kita sulit sekali berbicara, berkomunikasi padahal kita tahu bahwa komunikasi adalah sesuatu yang penting. Nah ini bagaimana pandangan Pak Paul?
PG : Betul, Pak Gunawan, jadi memang saya kira ujian komunikasi adalah dalam rumah tangga kita. Kalau kita bisa komunikasi dengan orang di luar ya itu tidak begitu heran, tapi kalau kita bisa berkomunikasi dengan baik dengan pasangan kita saya kira itu menandakan bahwa kita bisa berkomunikasi sebagaimana tubuh memerlukan darah, begitu pula pernikahan memerlukan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak akan terjalin relasi apalagi relasi pernikahan, nah itu sebabnya kita mesti belajar dan memang kita yang sudah menikah menyadari ternyata tidak mudah untuk menjalin komunikasi. Ada saja pertengkaran yang terjadi akibat salah berkomunikasi. Coba kita belajar mengapa sulit berkomunikasi dan juga beberapa masukan bagaimana menjembatani masalah ini.
GS : Berkomunikasi disini bukan sekadar asal bicara saja atau memberitahukan hal-hal yang terjadi di luar tetapi berkomunikasi dari hati ke hati, ini yang sulit antara suami istri, Pak Paul.
PG : Betul sekali, memang bukan saja menyampaikan fakta, berita atau apa, bukan ya tapi memang mengkomunikasikan pikiran kita dan isi hati kita.
GS : Sebab yang pertama pasangan ini sulit berkomunikasi apa, Pak Paul ?
PG : Kendala pertama dalam berkomunikasi adalah perbedaan cara berpikir yang akhirnya melahirkan perbedaan pendapat. Tidak selalu kita memunyai sudut pandang yang sama terhadap suatu masalah dan sebagai akibatnya seringkali kita pun sampai pada kesimpulan yang berbeda. Saya berikan contoh misalnya kita menganggap anak kita kurang berdisiplin dalam belajar sehingga nilai prestasi akademiknya merosot, nah pasangan melihat kenyataan yang sama, merosotnya nilai akademik tapi sampai pada kesimpulan yang berbeda. Misalkan, dia berpendapat bahwa anak kita telah berusaha tetapi tuntutan yang diberikan terlalu berat untuknya. Kita pun langsung menjawab bahwa jika itulah kenyataannya maka anak kita harus mengeluarkan usaha yang lebih keras untuk memenuhi tuntutan yang berat. Contoh ini memerlihatkan bahwa kendati kita berdua melihat fakta yang sama namun belum tentu kita sampai pada kesimpulan atau pendapat yang sama. Pasangan lebih menyoroti tuntutan yang dianggapnya terlalu tinggi untuk anak itu sedangkan kita lebih menyoroti usaha yaitu ya sudah kalau tuntutannya tinggi, usahakannyalah yang lebih besar. Alhasil kita berbeda pendapat dan tidak jarang kita bertengkar karena memertahankan pendapat ini.
GS : Itu masih lumayan, sering kali pasangan mengatakan ini gara-gara kamu kurang mendisiplin anak kita sehingga dia kurang belajar dengan sungguh-sungguh. Ini kadang-kadang bisa menjadi percekcokan, Pak Paul.
PG : Betul sekali memang akhirnya menjadi lebih rumit lagi karena nanti yang dilakukan oleh pasangan atau oleh kita adalah melemparkan tanggungjawab atau kesalahan itu pada pasangan. Sudah berbeda cara pikir kita, ditambah dengan saling menyalahkan, komunikasi akhirnya makin renggang. Apa yang mesti kita lakukan ? Saya melihat dalam kasus tadi yang saya bagikan, sekurang-kurangnya ada dua pilihan. Pertama, kita berusaha meyakinkan pasangan bahwa kita benar dan dia salah. Dia seharusnya menyeberang dan berpihak pada pandangan kita. Dia tadi menekankan tuntutannya yang terlalu berat. Kita menekankan anak harus lebih berusaha. Kita berusaha meyakinkan bahwa kita benar, bahwa anak kitalah yang harus mengeluarkan lebih banyak usaha. Itu pilihan yang pertama. Pilihan yang kedua adalah kita berkata bahwa kita berbeda pendapat, kamu melihat tuntutannya terlalu tinggi, saya melihat anak kita usahanya kurang ya sudah tidak apa-apa, kita berbeda pendapat kita tidak harus selalu menyelaraskan pendapat. Memang pilihan kedua lebih mudah, Pak Gunawan, akhirnya kita tidak ribut, itu betul. Pilihan yang kedua lebih panjang prosesnya bisa ribut tapi masalahnya dengan pilihan kedua adalah jika dalam hampir setiap konflik kita memilih pilihan ini maka pada akhirnya kita akan makin terpisah satu dengan yang lain. Hubungan kita merenggang dan kita makin malas untuk menyelaraskan pandangan, daripada bertengkar kita berkata kita setujulah karena kita berbeda pandangannya tidak sama, tidak usah diributkan. Akhirnya kita makin tidak selaras, makin berbeda makin akhirnya tidak bisa menyelesaikan perbedaan di antara kita.
GS : Padahal sebenarnya suami istri harus memunyai pikiran yang sejalan, begitu Pak Paul, didalam menangani satu masalah seperti anak yang prestasinya menurun tadi.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kita akhirnya mesti berusaha menyelaraskan. Saya tidak berkata bahwa pilihan yang kedua ini yaitu okelah kita berbeda pandang, kita setujulah kita tidak sama. Saya tidak berkata inilah pilihan yang kita tidak boleh ambil sama sekali. Kadang-kadang kita harus memilih pilihan ini kalau kita tidak bisa menyelesaikan persoalan kita, tapi persoalannya adalah jangan sampai kita terus memilih pilihan yang kedua ini. Kalau ini yang kita lakukan, perbedaan kita akhirnya tidak pernah terselesaikan. Nah, kita mesti menyadari bahwa komunikasi akan baru dapat terjalin bila kita mulai melihat sesuatu dari cara pandang yang sama, tidak ada kesamaan cara pandang tidak mungkin ada komunikasi. Untuk memerbaiki komunikasi maka tidak bisa tidak kita mesti berusaha menyelaraskan cara berpikir kita. Dalam contoh yang baru saja saya bagikan, pilihannya dua. Pertama, pasangan menerima pandangan kita dan akhirnya mengadopsinya sebagai pandangan pribadinya bahwa letak masalah adalah pada kurangnya usaha anak bukan karena tingginya tuntutan. Kedua, kitalah yang menerima pandangan pasangan dan akhirnya mengadopsinya sebagai pandangan kita bahwa letak masalah adalah pada tuntutan yang tinggi bukan kurangnya usaha. Memang ini yang saya maksud dengan menyelaraskan bahwa pada akhirnya kita mesti, tidak bisa tidak mendengarkan cara pandang pasangan mengapa ia berpikir demikian dan mungkin kita juga mesti belajar mengadopsi cara pikirnya sehingga akhirnya lain kali kita bisa melihatnya dari kacamata yang sama.
GS : Jadi memang kalau hal-hal itu yang tidak terlalu menyangkut kita, sebenarnya pilihan yang kedua tadi yang Pak Paul katakan, ya sudahlah kita memang berbeda pandangan disini, tidak apa-apa, biarkan. Ini masalahnya tidak terlalu berpengaruh seperti kalau kita sedang membicarakan sesuatu yang langsung menyangkut kita seperti anak tadi. Itu anak kita sendiri jadi harus dipikirkan masak-masak. Kalau itu di luar kita yang di luar rumah tangga mungkin kita bisa mengambil alternatif daripada ribut untuk sesuatu yang tidak menyangkut keluarga kita, biar jalan sendiri-sendiri, begitu Pak Paul.
PG : Betul, betul, sekali lagi saya tekankan saya tidak berkata pilihan yang kedua itu selalu pilihan yang buruk, kadang-kadang ya sudah memang kita tidak sama, kita tidak selalu harus ribut supaya bisa selaras. Tidak ya, tapi memang sedapatnya apalagi kalau pilihan itu atau persoalan itu persoalan pribadi yang besar, kita berusahalah menyelaraskan pandangan. Nah, sayangnya, Pak Gunawan, pada umumnya kebanyakan pasangan menyerah terlalu dini, daripada bertengkar kita mengakhiri konflik atau setuju untuk tidak setuju. Sebenarnya yang perlu dilakukan adalah berusaha dan berusaha untuk terus menjelaskan kepada pasangan lewat pertengkaran ini dan lewat pertengkaran selanjutnya. Selama kita berdua memperlihatkan niat baik untuk mendengarkan pandangan masing-masing dan bersedia mengalah, sesungguhnya makin sering kita menghadapi perbedaan pendapat, makin mendekat pandangan kita berdua. Alhasil setelah mungkin melalui sepuluh pertengkaran selaraslah kedua pandangan kita, cara berpikir kita juga makin serupa, ini berarti kita akan makin jarang bertengkar dan makin sering berkomunikasi. Menghadapi persoalan lain pun kita makin mudah menyelesai-kannya karena cara berpikir kita telah makin serupa, sebaliknya bila kita menyerah terlalu dini, "sudahlah tidak usah bicara lagi, memang kita berbeda", relasi kita akan makin merenggang dan akan makin banyak persoalan yang tidak dapat kita selesaikan.
GS : Masalahnya ini menguras energi kita, Pak Paul, atau pasangan kita terkuras energinya padahal ada banyak hal yang harus diurus di tengah-tengah keluarga itu.
PG : Betul, Pak Gunawan, memang saya mengerti ini tidak mudah, saya mengerti dan tadi saya sudah tekankan, kadang-kadang sudahlah tidak usah diributkan memang kita berbeda, tapi sedapat-dapatnya kita cobalah selaraskan. Makin kita coba memang awal-awalnya kita harus bertengkar, tapi makin kita coba makin besar kemungkinan kita mencapai kesamaan cara berpikir. Nantinya kesamaan cara berpikir ini akan menolong kita dalam menyelesaikan banyak masalah, Pak Gunawan. Mengapa ada orang yang telah menikah begitu lama tapi kalau ada apa ribut terus, ribut terus, karena memang saya duga pada awalnya usaha untuk menyelaraskan tidak diberikan secara maksimal. Kalau diberikan secara maksimal dan ada kerelaannya untuk mengaku salah, ada kerelaan untuk mengalah, ada kerelaan untuk mengakui pasangan benar. Kalau semua itu ada akhirnya makin banyak kesamaan yang bisa kita capai, kesamaan berpikir ini menolong sekali dalam menyelesaikan masalah-masalah yang nantinya akan muncul dalam pernikahan.
GS : Karena kita sudah menemukan caranya bagaimana menyelesaikan masalah dengan pikiran yang diselaraskan, Pak Paul. Tapi mungkin ada kendala yang lain mengapa kita sulit berkomunikasi dengan pasangan kita.
PG : Kendala kedua dalam berkomunikasi adalah perbedaan gaya berkomunikasi itu sendiri. Pada umumnya kita berbeda dalam cara pengungkapan dan pemilihan kata serta dalam nada dan penekanan suara. Sebagai contoh, untuk meng-iya-kan mungkin cukup buat kita berkata "mmh", masalahnya adalah untuk pasangan kita itu bukanlah jawaban, itu gumaman. Itu sebab ia menghendaki agar kita memberi jawaban ya atau tidak misalnya disertai dengan penjelasan. Nah, sudah tentu tuntutan seperti ini berpotensi membuat kita enggan berkomunikasi, Pak Gunawan. Kita takut berkomunikasi karena tidak mau disuruh bicara terlalu panjang sebab kita terbiasa pendek-pendek jawabnya, sedangkan pasangan juga takut berkomunikasi karena tidak ingini jengkel kepada kita akibat tidak utuhnya tanggapan yang kita berikan atau pendeknya jawaban kita itu. Ditambah dengan perbedaan nada lagi, ditambah dengan perbedaan penekanan suara, komunikasi dapat membuka peluang terjadinya konflik, akhirnya untuk meredam kemungkinan ini kita mengurangi komunikasi dan ini tidak sehat.
GS : Tapi memang ada orang yang sejak kecilnya sulit untuk bicara panjang-panjang jadi bicaranya pendek-pendek. Waktu menikah pun dia masih membawa kebiasaan seperti itu.
PG : Betul, Pak Gunawan. Memang gaya berkomunikasi kita sangat dipengaruhi oleh bagaimanakah kita dulu dibesarkan dalam rumah tangga kita. Ada orang-orang yang tidak terbiasa berkomunikasi dengan panjang dan jelas, jadi pendek-pendek. Misalkan ada orang yang selalu berpikir sebelum bicara apa pun, perlu tidak saya bicara sedangkan pasangannya sebaliknya kalau tidak ada apa-apa selalu berpikir mengapa saya tidak bicara. Yang satu berpikirnya perlu tidak saya bicara, jadi mencoba meminimalkan. Pasangannya kebalikannya mengapa saya tidak bicara, jadi selalu mencoba untuk berbicara. Seperti ini tidak bisa tidak nantinya akan menimbulkan konflik, itu sebab kita mesti mencari titik temu, Pak Gunawan. Dalam contoh ini kita mesti berusaha menambahkan beberapa kata dan tidak "mmh" saja kalau kita memang bicaranya pendek-pendek. Sebaliknya pasangan mesti berupaya menerimanya walau tidak seturut dengan harapannya. Singkat kata, pada akhirnya bila kita ingin memertahankan komunikasi maka kita harus menciptakan sebuah bahasa komunikasi yang baru. Bahasa baru ini tercipta lewat belasan kali konflik tapi sekali tercipta kita tidak perlu lagi bersitegang, komunikasi akhirnya makin sering terjadi dan konflik makin jarang terjadi karena akhirnya kita menguasai bahasa yang baru itu, Pak Gunawan.
GS : Disini harus ada saling pengertian memang. Ada pasangan yang suka bicara panjang lebar sehingga kadang-kadang inti dari beritanya sendiri sulit untuk ditangkap karena terlalu banyak ia berbicara.
PG : Betul, misalnya kita kebetulan kebalikan dari pasangan kita seperti itu. Kita bisa berkata kepada dia begini secara baik-baik, "Maaf bisa tidak kamu beritahu saja dulu apa poinnya atau apa yang ingin kamu katakan kepada saya setelah itu penjelasannya. Sebab kalau kamu berikan saya penjelasannya panjang lebar nanti saya sudah keburu lupa sedangkan yang penting ‘kan yang ingin kamu katakan. Coba beritahu saya apa pendapatmu atau apa keinginanmu, saya sudah tangkap itu nanti saya baru dengar penjelasannya". Kita utarakan apa yang kita harapkan. Dia juga mungkin akan bicara dengan kita, "Kamu bisa tidak kalau bicara daripada langsung ‘to the point’ itu seringkali menyakitkan hati saya, bisa tidak bicaranya diubah jangan memakai kata-kata ini atau itu, nah dua-dua mesti belajar bahasa yang baru, Pak Gunawan. Ini yang mesti disadari oleh setiap pasangan nikah, meskipun dua-dua berbahasa Indonesia tapi dua-dua harus belajar gaya komunikasi yang baru dalam pernikahan.
GS : Menyangkut nada dan gaya bicara ini memang agak sulit kadang-kadang diubahnya, Pak Paul karena itu sudah mendarah daging di dalam diri orang itu. Ada etnis-etnis tertentu bila bicara memang kasar dan keras sekali tapi ada yang lemah lembut sampai kita tidak mengerti apa yang dibicarakan.
PG : Betul, jadi memang kita tidak bisa berkata, "Inilah saya, saya tidak bermaksud apa-apa memang ini gaya bicara saya". Tidak bisa kita bicara seperti itu, kita mesti belajar bahasa yang baru, kita tidak bisa lagi persis bicara seperti dulu. Pasangan kita juga sama tidak bisa persis bicara seperti dulu, dua-dua harus belajar sebuah bahasa yang baru.
GS : Dan bahasa yang baru ini penting untuk dilandasi dengan kasih yang betul.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Ada hal yang lain yang membuat seseorang itu sulit berkomunikasi dengan pasangannya ?
PG : Kendala ketiga dalam berkomunikasi adalah praduga yang telanjur tercipta dalam diri kita terhadap motif atau niat pasangan. Sesungguhnya tidak dibutuhkan waktu yang terlalu lama untuk kita mulai mengembangkan praduga terhadap diri masing-masing, sebagai contoh bila setiap kali kita ingin membeli sesuatu, pasangan selalu melarang. Kita pun cepat berkesimpulan bahwa ia adalah seorang yang egois, kita berkata bila kita ingin membeli sesuatu ia melarang tapi jika ia sendiri yang mau membeli sesuatu ia membolehkan. Akhirnya kita mengembangkan praduga, "Kamu egois", kalau praduga sudah tercipta, Pak Gunawan, tidak bisa tidak itu akan menghalangi kita untuk berkomunikasi karena kita sudah mengecap "Kamu orangnya begini" yang begini negatif sehingga itu akan sangat mewarnai komunikasi kita.
GS : Ya memang praduga ini yang kadang-kadang sulit juga untuk dihindari, tiba-tiba muncul atau memang ia terbiasa punya praduga terhadap orang lain. Ada seorang istri yang mengeluhkan pada suatu saat mengeluh dia kelelahan pada sore hari. Langsung suaminya berpikir ini mesti mencari pembantu seperti orang tuanya di sana, dulu di rumah orang tuanya ada pembantu yang selalu ‘stand-by’, selalu siap membantu dan sekarang setelah menikah tidak memunyai pembantu. Dia selalu berkata, "Aku lelah, aku lelah" ini ‘kan belum tentu, Pak Paul.
PG : Betul, jadi memang akhirnya terjadi miskomunikasi, konflik karena si pasangan berkata, "Kamu itu lelah, perlu pembantu", yang satu berkata memang saya lelah tapi saya tidak perlu pembantu. Akhirnya terjadilah masalah daripada kita mengembangkan praduga-praduga seperti itu, saya sarankan untuk kita mencari tahu fakta dan meminta pasangan menjelaskan maksud perkataannya sebelum kita menarik kesimpulan. Mungkin saja pilihan kita memang bukanlah pilihan yang baik dan mungkin pilihannya lebih baik daripada pilihan kita, jadi dengan contoh tadi yang saya berikan, kalau kita beli barang dia melarang, bukan karena dia egois dia melarang tapi karena dia menilai kita kurang bijaksana. Jadi pada waktu kita bicara, kita mencari tahu akhirnya ketemu duduk masalahnya bukanlah itu, dia melarang kita bukan karena dia egois tapi akhirnya dia mengaku bahwa, "Saya melarang karena saya melihat kamu suka membeli barang-barang yang nantinya kamu juga tidak memakainya, akhirnya terbuang-buang nah daripada kamu beli tidak dipakai, beli tidak dipakai, oleh karena itu saya bilang jangan". Pada waktu kita mengerti itulah duduk masalahnya kita baru bisa menyelesaikan masalahnya, tetapi kalau kita diam-diam dan sudah ada praduga, "kamu egois saya beli barang kamu selalu melarang tapi kalau kamu beli barang selalu boleh", itu akan merusak komunikasi.
GS : Tapi orang yang ditanya itupun kadang-kadang belum tentu menjawab sejujurnya, Pak Paul, dia akan membela diri kenapa ia melakukan itu.
PG : Oleh karena itu penting disini dua-duanya terbuka. Betul sekali kadang-kadang memang kita tidak mau terbuka, kita tidak mau jujur, kita memberikan alasan-alasan yang lain. Justru kalau memang jelas inilah duduk masalahnya, ya sudah kita akui. Saya memang harus mengakui jauh lebih mudah mengembangkan praduga atau kesimpulan-kesimpulan dini ketimbang mencari tahu fakta dan mendiskusikannya dengan pasangan. Kita beranggapan bahwa pasangan memang begitulah, tidak akan berubahlah, lebih mudah begitu sehingga kita pun enggan membicarakan apa pun dengan pasangan akhirnya apa yang terjadi ? Komunikasi akhirnya terganggu, jadi komunikasi memang mudah terputus bila praduga negatif terlanjur berkembang, itu sebabnya kita mesti berusaha mencari tahu fakta, tidak membiarkan diri dikuasai praduga sebab praduga pada dasarnya adalah sebuah penghakiman. Benar, praduga itu sebuah vonis, Pak Gunawan, dan orang tidak berdaya atau tidak lagi memunyai kesempatan untuk membela diri karena kita sudah menjatuhkan vonis itu, kamu orang yang egois karena itu saya tidak usah bicara lagi dengan kamu.
GS : Sebenarnya kalau kita mengenal pasangan kita dan mengasihi dia dengan sungguh-sungguh, ‘kan tidak perlu timbul praduga seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan, saya setuju sekali. Kalau memang kita memunyai kasih, kita akan berusaha mencari titik temu dan tidak cepat-cepat melabelkan pasangan. Ini memang sesuai dengan firman Tuhan di Amsal 10:12, firman Tuhan berkata, "Kebencian menimbulkan pertengkaran tetapi kasih menutupi segala pelanggaran". Praduga negatif berpotensi bertumbuh menjadi kebencian dan pertengkaran adalah buah dari kebencian, sebaliknya kasih menutupi segala pelanggaran. Dalam pengertian kasih membuat kita tidak mau berjalan menuju kebencian, sebaliknya kasih membuat kita mencari titik temu dan komunikasi adalah titik temu itu, Pak Gunawan. Jadi upayakanlah komunikasi, jangan mudah menyerah dan membiarkan tali komunikasi itu putus.
GS : Ini usaha yang sungguh-sungguh dibutuhkan dari kedua belah pihak, Pak Paul, karena tanpa kesungguhan itu, saya rasa komunikasi ini akan sia-sia.
PG : Betul dan memang tidak mudah, tidak akan ada yang berkata "Ini gampang". Kita yang sudah menikah cukup lama, kita akan mengakui tidak gampang namun kalau kita rela kerja keras di awal-awalnya nantinya akhirnya kita akan lebih gampang memetik buahnya.
GS : Karena itu juga menyangkut bagaimana kondisi pasangan kita ketika kita berkomunikasi, situasinya seperti apa, itu pun harus menjadi bahan pertimbangan sehingga komunikasi itu bisa mencapai sasarannya.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang diperlukan kesensitifan untuk melihat suasana tidak sembarangan kita bicara, pokoknya kita ingin bicara apa, sembarangan, tidak sama sekali.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Mengapa Sulit Berkomunikasi ?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.