Kesalahan Berakibat Panjang

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T425B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Semua orang pasti bisa dan pernah berbuat dosa, sebesar apapun dosa kita pastilah Tuhan sanggup untuk mengampuni dosa kita, karena kasihNya terlebih besar dibanding segala dosa-dosa kita. Namun setiap dosa yang kita lakukan seringkali berbuntut panjang, karena setiap dosa mengandung konsekuensi. Contohnya saja karena seorang ayah yang berdosa dan hidup tidak benar akhirnya anaknya kurang hormat terhadap ayahnya, ini bukanlah hukuman dosa tapi ini adalah konsekuensi dosa, dst. Disini akan dipaparkan beberapa hal yang harus dilakukan untuk bisa mengurangi dampak dari perbuatan dosa yang telah dilakukan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
Kita tahu bahwa Tuhan mengampuni dosa. Sebesar apa pun kesalahan yang kita perbuat, anugerah-Nya jauh lebih besar. Namun kita mesti mengingat bahwa akibat dari kesalahan yang kita perbuat sering kali berekor panjang. Itu sebab sangatlah penting bagi kita untuk berjaga-jaga agar jangan sampai kita berbuat dosa.



Berikut akan diuraikan buntut kesalahan yang dapat mengikuti kita sampai ke masa depan dan bagaimana seharusnya kita menghadapinya.



Hal pertama yang mesti kita pahami adalah bahwa KONSEKUENSI dosa tidak sama dengan HUKUMAN dosa. Sebagai contoh, mungkin sebelum bertobat kita hidup sembarangan dan tidak bertanggung jawab sebagai seorang ayah. Pada saat anak telah akil balig, barulah kita bertobat dan berusaha hidup sesuai dengan kehendak Allah. Namun tatkala kita ingin mendekat dengan anak, ia malah menjauh. Nah, inilah contoh dari konsekuensi dosa. Oleh karena dulu kita hidup di dalam dosa dan tidak melakukan tugas sebagai seorang ayah, akhirnya anak tidak dekat dengan kita dan mungkin saja, ia menyimpan kemarahan kepada kita. Inilah konsekuensi, bukan hukuman dosa.



Hal kedua yang harus kita mengerti adalah bahwa panjang atau tidaknya konsekuensi dosa bergantung pada seberapa SERIUSNYA kesalahan yang diperbuat dan seberapa LUASNYA dampak yang ditimbulkan. Sebagai contoh, perbuatan berkhianat terhadap pasangan biasanya berakibat serius dan meninggalkan bekas yang tidak mudah hilang. Rasa percaya yang ternoda memerlukan waktu yang tidak singkat untuk kembali pulih. Sedangkan sikap kasar dan jahat, baik kepada pasangan dan anak, pada umumnya bukan saja berdampak dalam, tetapi juga luas. Anak yang menjadi korban dapat mengembangkan perilaku agresif yang sama dan akhirnya menjadikan orang lain korban berikutnya. Singkat kata, makin serius dan luas dampak dosa yang kita perbuat, makin panjang ekornya.



Hal ketiga yang perlu kita ketahui adalah kendati kita tidak dapat sepenuhnya menghilangkan konsekuensi kesalahan di masa lampau, dengan pertolongan Tuhan kita masih bisa MENGURANGI dampaknya. Syaratnya adalah kita harus menghadapinya dengan CARA TUHAN yaitu:



• Rekonsiliasi. Kita harus mengakui andil kita apa adanya, meminta pengampunan dari pihak yang dirugikan, dan berdoa untuknya. Tidak boleh kita membenarkan diri, apalagi menyalahkan pihak lain. Kita hanya perlu menyoroti diri sendiri, bukan orang lain. Inilah langkah awal menuju perdamaian. Yakobus (5:16) mengingatkan, Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.



• Kompensasi. Kita mesti menunjukkan itikad baik menebus kesalahan masa lalu dengan memberi pertolongan kepadanya, sesuai kebutuhan. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa sekarang seseorang harus menanggung akibat kesalahan yang kita perbuat dulu. Singkat kata, kita tidak boleh lepas tangan. Firman Tuhan (Galatia 6:2) mengingatkan, Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.



• Transformasi. Pada akhirnya kita mesti memperlihatkan bahwa kita sungguh-sungguh telah berubah sekarang dan selamanya. Kita harus menunjukkan bahwa kita bukanlah orang yang sama. Tuhan telah menebus dan mengubah hidup kita. Sebaliknya, sekalipun kita meminta maaf dan mengkompensasi kerugian yang diderita orang, namun apabila ia melihat bahwa kita masih tetaplah sama, luka dan kemarahan pastilah terus bersarang di hati. Galatia 5:24 menegaskan, Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala nafsu dan keinginannya.



Remaja Berbohong|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T426A|T426A|Remaja/Pemuda|Audio|Berpacaran DAN berbohong begitu terkait. Pada umumnya remaja berbohong kepada orang tua karena ia tahu bahwa orang tua tidak akan menyetujui keinginannya untuk berpacaran. Mungkin orang tua melarang karena ia terlalu muda atau mungkin karena pilihannya berada di dalam daftar cekal orang tua. Masalahnya adalah, kerap kali anak tetap meneruskan relasinya dan memilih berbohong untuk menutupi perbuatannya. Nah, apakah yang harus kita perbuat jika hal ini terjadi pada keluarga kita ?|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T426A.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Remaja Berbohong. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.



GS : Yang namanya berbohong itu bisa dilakukan oleh semua orang mulai anak- anak sampai orang dewasa, manula pun bisa berbohong. Hubungannya dengan remaja apa, Pak Paul, apa keistimewaannya ?



PG : Pada umumnya remaja akan melakukan hal-hal yang memang tidak diizinkan oleh orang tuanya. Oleh karena itu dia memilih untuk menyembunyikan perbuatannya. Gara-gara itulah kita seringkali beranggapan bahwa remaja itu sering berbohong dan memang ada benarnya karena cukup sering mereka melakukan hal-hal yang dilarang oleh orang tua misalnya merokok, bolos dari sekolah. Jadi seringkali stigma berbohong lebih dikaitkan dengan remaja.



GS : Itu terkait dengan perilaku remaja sendiri. Sedangkan kalau orang tua alasannya apa, Pak Paul ?



PG : Kalau orang tua berbohong seringkali berkaitan dengan apa yang mereka telah misalnya lakukan kepada satu sama lain yang juga rasanya tidak enak diketahui orang, mungkin bukanlah hal yang dilarang atau hal yang berdosa tapi kadang-kadang kita tahu ini bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh orang. Jadi dari pada orang tahu, tidak enak dan sungkan dengan orang. Akhirnya kita orang tua tidak mau terus terang dengan apa yang telah terjadi. Sebagai contoh misalnya ada sesuatu terjadi di dalam keluarga kita, kita ditanya Bagaimana semuanya kita menjawab, Semua baik-baik saja karena kita tahu tidak enak membicarakan hal-hal yang pribadi.



GS : Jadi kalau sudah dewasa, kebanyakan dasarnya adalah etika, norma-norma masyarakat.



PG : Norma-norma dan jaga penampilan atau reputasi dan jangan sampai menjadi pembicaraan orang. Dan itu yang biasanya membuat orang tua menutupi hal- hal yang memang terjadi di dalam hidupnya.



GS : Pada masa remaja, itu adalah masa di mana mereka giat-giatnya beraktifitas bersosialisasi termasuk berpacaran. Apakah dalam semua bidang mereka juga seringkali terlibat di dalam kebohongan.



PG : Karena di dalam berpacaran merupakan kegiatan yang dilarang oleh orang tua.



Maka remaja juga acapkali berbohong soal ini, misalnya dilarang karena usianya terlalu muda sehingga orang tua tidak akan memberi ijin dan dia tahu itu sehingga dia kemudian bersembunyi untuk menjalin hubungan dengan pacarnya. Atau dia tahu bahwa orang ini atau temannya ini masuk dalam daftar



cekal orang tuanya dan tidak mungkin orang tuanya akan mengizinkan dia untuk bersama dengan temannya itu, maka dia akan berbohong supaya bisa menjalin relasi dengan orang itu.



GS : Biasanya kalau ditanya, Apakah itu pacarmu ? dia menjawab Tidak hanya sekadar berteman.



PG : Atau mungkin mereka akan berkencan tapi bilangnya pergi ramai-ramai dengan teman-teman padahalnya pergi berduaan.



GS : Kita sebagai orang tua apa yang harus kita perbuat karena sulit untuk mengetahui ini kebohongan atau tidak, Pak Paul ?



PG : Dan memang kalau kita tidak punya bukti maka kita tidak bisa menuduhnya.



Tapi kalau kita punya bukti maka kita harus tanyakan langsung pada anak kita dan kita paparkan buktinya itu. Kalau misalnya akhirnya dia terpaksa mengakui bahwa dia telah menjalin relasi dengan pacarnya itu, saya kira ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Yang pertama adalah kita harus menghindari tuduhan tapi sebaliknya kita memfokuskan pada perasaan. Maksud saya kita kalau dibohongi pasti tidak enak dan kita rasanya sakit hati dan mungkin kita marah. Mungkin kita ini akan bertambah marah dan bertambah tidak suka dengan pacar anak kita karena menurut kita gara-gara dialah atau pacar itulah, anak kita sampai tega membohongi kita. Persoalannya adalah sesungguhnya keputusan untuk berbohong merupakan keputusan dia sendiri atau anak kita sendiri, memang dia telah tega untuk mengeraskan hati untuk membohongi kita namun kita harus mengerti sesungguhnya kebohongannya bukanlah sebuah serangan penghinaan atau tidak respek kepada kita, melainkan lebih merupakan perlindungan bagi dirinya sendiri. Jadi gara-gara dia tidak ingin diketahui dan takut nanti hubungan dengan pacarnya dilarang maka dia berbohong. Jadi bohongnya bukan sebagai pertanda secara langsung, dia tidak respek atau memandang rendah kita, bukan seperti itu. Tatkala mengkonfrontasi kebohongannya silakan kita utarakan dampak perbuatannya pada diri kita, misalnya kita berkata, Saya sedih sekali, saya kecewa sekali karena kamu tega membohongi mama dan papa. Jadi utarakan bahwa perbuatannya itu telah memberikan sebuah dampak yang berat untuk kita tanggung.



GS : Tetapi biasanya anak remaja ini berdalih kalau saya bicara terang-terangan nanti sama mama dan papa dilarang jadi terpaksa saya berbohong.



PG : Seringkali itu yang menjadi alasannya. Jadi karena dia tahu kalau kita akan melarang, maka akhirnya dia main belakang. Namun dalam kita mengkonfrontasinya dan mencoba untuk menolongnya maka kita harus mengenali pola dan alasan kenapa dia berpacaran. Saya mengerti bahwa kebanyakan remaja berpacaran karena cinta, meski bisa jadi yang disebutnya cinta hanyalah ketertarikan belaka. Jadi dengan berpacaran mereka dapat memadu cinta yang telah bersemi dihati dan sudah tentu hal ini merupakan daya tarik yang kuat baginya untuk berpacaran, namun berpacaran seringkali memunyai keuntungan tersembunyi lainnya.



GS : Apa yang Pak Paul maksud dengan keuntungan tersembunyi itu ?



PG : Misalnya ada anak remaja yang karena berpacaran dia mendapatkan status populer. Sudah tentu kebanyakan remaja senang dikenal populer sebab kepopuleran akan memberinya tiket masuk ke dalam kelompok elite di dalam pertemanannya. Misalnya ada lagi yang punya alasan atau motivasi, dengan dia berpacaran maka dia akan memeroleh status Laku, terutama bagi remaja putri status laku merupakan status yang penting. Karena tanpa status ini remaja cenderung merasa minder. Jadi ini seringkali menjadi pergumulan, kadang saya menemukan kasus dimana orang tua berbicara kepada saya tentang anaknya atau putrinya yang sudah misalkan kuliah dan belum punya pacar, tapi teman-temannya sudah punya pacar. Jadi waktu kami berbicara, saya diingatkan bahwa bagi mereka tekanan itu sangatlah besar, bagi kita Kenapa harus dipermasalahkan karena sebenarnya tidak apa-apa tapi bagi mereka di usia itu atau di kalangan teman-teman belum punya pacar dan yang lain sudah punya pacar maka status laku menjadi sesuatu yang sangat penting. Adalagi yang lain keuntungan yang kadang-kadang menjadi alasan kenapa mereka akhirnya memulai pacaran adalah dengan dia berpacaran maka dia bisa mengisi kebutuhannya yang tidak terpenuhi, misalnya rasa dikasihi, rasa aman, merasa diri berharga. Jadi dengan terpenuhinya kebutuhan ini maka remaja merasa lebih stabil dan merasa lebih stabil terhadap diri dan hidupnya. Jadi bisa jadi semua itu terlibat di dalam keputusan remaja untuk berpacaran.



GS : Sebagai orang tua, menasehati agar anak remaja kita tidak berpacaran agar mereka bisa berkonsentrasi pada pelajarannya. Kalau nanti sudah selesai dengan kuliahnya maka kita sebagai orang tua akan mengizinkan mereka berpacaran.



PG : Betul sekali dengan kata lain kita menyadari bahwa dalam hidup akan ada hal- hal yang harus dilakukan terlebih dahulu dan kita tidak perlu melakukan semuanya sekaligus. Jadi kita yang lebih tua memang menyadari bahwa kita selesaikan satu kewajiban dan nanti kita memulai lagi dengan kewajiban yang kedua. Kalau kita mencampur aduk semua pada masa bersamaan bukankah itu akan mengganggu pelajaran kita dan mungkin sosialisi kita dengan orang lain. Itu sebabnya kita sebagai orang tua meminta anak agar tidak terlalu cepat berpacaran.



GS : Selain dua hal itu apakah ada hal lain yang bisa kita perbuat, Pak Paul ?



PG : Waktu kita tahu bahwa anak kita telah berbohong padahal dia sudah berpacaran, tadi kita sudah singgung bahwa kita harus kenali kenapa dia berpacaran. Sebab kita mau untuk membahas atau mencoba menyelesaikan masalah itu. Misalkan yang lain adalah kita harus memulihkan relasi kita dengannya, apabila kita mendeteksi bahwa dibalik cinta sebetulnya tersembunyi alasan lain mengapa dia berpacaran maka sebaiknya kita mengangkat hal itu. Seringkali hal lain itu berkaitan dengan relasinya dengan kita di rumah misalnya kebutuhan akan penghargaan diri, dikasihi, ditemani dan rasa aman. Itu semua acapkali berhubungan dengan relasi kita dengannya. Walaupun remaja tetaplah rentan untuk mengalami pergumulan dalam hal ini namun relasi yang kuat dan hangat dengan orang tua biasanya dapat mengurangi kebutuhan yang ada, juga relasi yang penuh penerimaan dengan



orang tua umumnya membuatnya merasa nyaman untuk bercerita tentang kesepiannya atau tentang pergumulannya akibat tidak punya pacar. Jadi hal-hal ini penting sekali supaya anak-anak kita bisa terbuka dan membagikan juga pergumulannya atau misalnya kita menyadari bahwa kita telah berandil di dalam pergumulannya karena gara-gara relasi kita dengan pasangan yang kurang harmonis maka dia sekarang minder, kesepian, maka jangan ragu untuk mengakui kekurangan diri kita sebagai orang tua dan jangan takut untuk meminta maaf kepadanya. Saya percaya hanya dengan cara-cara inilah kita akan dapat memulihkan relasi kita dengannya dan dalam banyak kasus, inilah awal dari pemulihan dirinya pula sehingga nantinya dia bisa mendapatkan kekuatan, penghargaan dan tidak lagi kesepian dan sebagainya.



GS : Kebutuhan akan relasi yang hangat ini, lebih banyak dibutuhkan oleh remaja putri daripada remaja putra, Pak Paul ?



PG : Saya kira demikian sebab pada umumnya remaja putri memang memunyai sisi emosi yang lebih aktif kuat, sehingga kebutuhan untuk dikasihi biasanya lebih dialami oleh remaja putri. Itu sebabnya kalau di rumah dia kurang mendapatkannya maka dorongan untuk dia mencarinya di luar akan lebih besar. Atau kalau ada teman yang menunjukkan minat atau kasih kepadanya, itu juga akhirnya menjadi undangan yang susah ditolak karena dia memiliki kebutuhan itu.



GS : Bagaimana kalau menurut penilaian kita, anak kita masih terlalu muda untuk berpacaran misalnya saya baru di tingkat SMP atau bahkan SD mereka mulai berpacaran, kita sebagai orang tua tidak bisa diam saja.



PG : Betul maka kita harus mulai menjelaskan kepada anak-anak kita bahwa dia terlalu muda dan bahwa pada masa remaja yang terpenting baginya adalah menjalin relasi dengan banyak teman, sebab lewat jalinan pertemanan inilah dirinya akan diperkaya. Jadi kita memberitahu anak kita, Jikalau kamu di usia



14 tahun sudah berpacaran seperti ini maka kamu justru akan membatasi atau mengurangi proses pengayaan diri kamu dan justru memiskinkan pengenalan dirinya akan manusia secara lebih luas dan mendalam. Jadi kita harus jelaskan kepada anak kita bahwa lebih dari 2/3 dari rentang hidup manusia dihabiskan dalam relasi yang intim atau eksklusif, misalnya kita menikah dalam umum 25 dan misalkan Tuhan ijinkan kita hidup sampai umur 75, berarti memang 2/3 hidup kita dihabiskan dalam relasi yang eksklusif. Jadi artinya hanya 1/3 yang dihabiskan dalam kesendirian (25 tahun pertama). Jadi sudah seyogianyalah kita tidak tergesa-gesa mengikatkan diri dalam relasi yang eksklusif. Inilah yang harus kita sampaikan kepada anak-anak kita. Jadi tujuannya adalah untuk kebaikannya supaya dia memiliki sebuah diri yang kaya yang diisi oleh masukan atau interaksi dengan teman-temannya.



GS : Tapi dorongan dari teman-temannya atau apa yang dia lihat, teman-temannya sudah mulai berpacaran, maka itu menggoda dia berpacaran pada usia muda.



PG : Seringkali demikian. Jadi kebanyakan tekanan teman itulah yang mendorong orang untuk berpacaran, misalnya dia mulai melihat si A punya pacar, tapi mayoritas belum punya pacar dan dia masih merasa OK, tapi tahu-tahu temannya si B jadian, dia sudah mulai terlihat gamang dan kemudian tidak



lama lagi si C punya pacar. Sedangkan dalam kelompoknya hanya ada 6 wanita. Tiba-tiba 50% dari kelompoknya sudah punya pacar dan hanya tinggal dia bertiga yang belum, kalau masih ada dua yang lain mungkin dia masih merasa mendingan tapi kalau akhirnya dalam kelompoknya semua sudah berpacaran dan hanya tinggal dia sendirian dalam kelompoknya yang tidak berpacaran, pasti dia akan kehilangan teman karena tadinya dia biasa pergi dengan teman- teman ini tapi sekarang teman-temannya langsung kencan dengan pacarnya dan hanya tinggal dia sendiri. Tiba-tiba perasaan, Kenapa saya tidak sama, kenapa saya tidak laku dan kenapa saya tidak ada yang minati, kenapa saya tidak dikasihi orang itu semua tiba-tiba menggelora karena hanya tinggal kita sendirian, sehingga saya mengerti tekanan itu sangat besar. Maka tadi sudah saya singgung, misalnya saja hubungannya dengan kita di rumah baik dan kita bisa mendengar dia berbagi dan terbuka menceritakan tekanan-tekanan itu dan kita bisa melimpahkan dorongan dan kasih sayang kepadanya.



GS : Kenapa timbul perasaan seperti tadi itu yaitu merasa tidak nyaman ketika teman-temannya yang lain sudah berpacaran sedangkan dia sendiri belum.



PG : Saya kira secara umum remaja itu akan mudah tergoda untuk merasa seperti itu, Kenapa saya sendiri belum jadi normal bagi remaja untuk merasa dirinya kurang aman, namun kadang-kadang ada lagi penyebab lain kenapa remaja itu tidak merasa aman dengan dirinya dan itu adalah dikarenakan kegagalannya menerima diri sepenuhnya. Jadi misalnya dia tidak bisa terima dirinya karena terlalu kurus, terlalu kecil, kita harus memberinya nasehat bahwa Adalah wajar bagi kita untuk tidak menerima semua bagian diri kita dengan penilaian yang sama, misalnya ada hal dalam diri kita yang kita terima dengan nilai A. Tapi ada juga bagian diri kita yang kita terima dengan nilai B atau C, misalnya kita menerima kecerdasan kita dengan nilai A, namun kita memberi nilai C untuk tinggi badan kita. Jadi dengan kata lain itu normal dan kita ajarkan kepada anak kita untuk memberi penilaian yang jujur terhadap bagian-bagian dalam dirinya. Acapkali remaja luput melihat bagian dirinya yang bernilai A atau B karena terlalu memfokuskan perhatiannya pada bagian hidupnya yang dinilai C atau D. Jadi bantulah dia untuk meluaskan wawasan dan melihat bagian dirinya yang mungkin selama ini luput dari perhatiannya. Setelah itu cobalah diskusikan kriteria penilaiannya, seringkali remaja menerapkan sistem penilaian yang kaku sehingga terjebak di dalam penilaian tertinggi atau terendah, A atau D. Dia sukar memberi penilaian B atau C karena pada masa remaja kecenderungannya adalah memberi penilaian yang ekstrem, maka kita perlu membimbingnya agar dia dapat memberi penilaian pada dirinya yang lebih objektif dan tepat.



GS : Di sini orang tua justru seringkali menonjolkan nilai-nilai yang kurang dalam diri remaja itu. Jadi nilai yang C dan D justru diekspose kuat sekali oleh orang tua sehingga anak itu merasa tambah minder.



PG : Itu seringkali, Pak Gunawan. Jadi akhirnya si anak sejak kecil karena terlalu disoroti kekurangannya. Jadi matanya hanya melihat kekurangannya itu padahal kalau mau didaftarkan ternyata ada banyak bagian tentang dirinya yang bernilai bagus. Jadi kita mulai mengajaknya mendaftarkan misalnya dari



penampilan jamaniahnya, kita memintanya mendaftarkan satu per satu hal-hal yang dianggap menjadi kekurangan atau kelemahannya. Mungkin kita bisa menambahkan daftar itu karena mungkin ada yang luput dilihatnya dan dia tidak anggap itu penting. Misalnya tubuhnya tegap dan tinggi, tapi dia tidak perhatikan itu karena mungkin dia hanya memerhatikan warna kulitnya. Kita katakan, Kenapa kamu tidak menulis tubuhmu yang tegap dan tinggi itu bukankah sebuah nilai yang harus mendapatkan nilai pengakuan yang baik. Jadi kadang-kadang remaja tidak melihat karena terlalu menyoroti yang buruk dan bisa jadi awalnya kitalah yang terlalu menyoroti bagian yang kita tidak suka itu.



GS : Di usia remaja kadang-kadang sulit bagi remaja menentukan siapa teman hidup yang sebenarnya dia inginkan dan dia hanya mengikuti kelompoknya yang sudah pacaran. Tetapi dia sendiri kesulitan kalau ditanyakan, Bagaimana sosok pasangan hidup yang dia kehendaki karena dia belum berpikir ke arah itu, Pak Paul.



PG : Ini pengamatan yang baik sebab banyak remaja yang akhirnya pada masa remaja akan berhadapan dengan teman-teman dan menerima masukan dari teman-teman tentang kriteria berpacaran, teman-temannya berkata, yang seperti ini saja atau yang seperti itu saja sehingga yang digunakannya adalah kriteria dari teman-temannya. Itu sebabnya kita dari awal sudah harus memperkenalkan kriteria pasangan hidup yang baik dan kita misalnya dalam berbicara dengan dia maka kita harus menekankan terpenting bukan hanya mendapatkan cinta, tapi juga merayakan cinta bersama seorang yang berkenan kepada Tuhan dan memang cocok dengan kita. Jadi kita tekankan kepada dia tujuan berpacaran bukan hanya mendapatkan cinta, padahalnya tidak seperti itu tapi mengenai bisa atau tidak nantinya kita untuk waktu yang berkelanjutan merayakan cinta dengan orang yang kita cintai dan orang itu adalah orang yang berkenan kepada Tuhan. Mungkin kita diingatkan kembali akan kriteria pasangan yang dikehendaki Tuhan yaitu sesama orang percaya. Sudah tentu selain dari faktor iman, kita juga harus menekankan akan kecocokan di antara mereka. Dengan cara itulah kita mulai mengajarkan kepada anak kita pasangan seperti apakah yang memang tepat untuk dia.



GS : Apakah masih ada lagi, Pak Paul, hal-hal yang harus kita perhatian sebagai orang tua ?



PG : Satu lagi, Pak Gunawan. Kalau kita akhirnya mengetahui anak kita berpacaran dan kita tahu anak kita juga berbohong maka kita tetap harus menetapkan batas, bila kita melihat relasi ini sudah tidak sehat dan kita harus mengatakan kepadanya bahwa kita memahami pergumulannya namun kita tidak dapat memberinya izin untuk menjalin relasi dengan orang itu. Sampaikan kepadanya bahwa kita akan meminta pertanggung jawabannya setiap hari, misalnya setiap hari kita akan tanya apakah dia hari ini bersama dengan pacarnya atau tidak. Kita juga harus mengatakan hal ini kepada anak kita, bahwa kita mengakui kita tidak mungkin mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi namun kita memilih untuk tetap memercayainya. Jadi apa yang dikatakannya kita percaya, misalnya dia berkata, Tidak, saya tidak bertemu dengan pacar saya lagi maka kita



percaya kepadanya, dan keesokan harinya kita bertanya lagi. Kenapa ? Sebab kalau kita terus bertanya maka dia akan tahu kalau dia dituntut pertanggungjawaban. Berarti kalaupun dia mau berbohong lagi, tapi dia akan berbohong dengan lebih susah karena dia tahu kalau dia sudah membohongi kita walaupun kita tidak tahu apa buktinya, tapi karena kita setiap hari tanyakan itu maka dia nantinya sedikit banyak akan diberikan cermin bahwa dia sedang berbohong, itulah tujuannya kita meminta pertanggung jawabannya setiap hari.



GS : Tapi apakah itu tidak justru kita sebagai orang tua menyudutkan remaja ini untuk berbohong kepada kita karena dia nyatanya masih berpacaran dan dia menyukai itu.



PG : Persoalannya adalah kalau kita tidak tanyakan pun maka dia akan tetap



melakukannya. Tapi dengan kita menanyakannya, setidak-tidaknya dia menyadari kalau dia berada di bawah pengawasan kita dan kita sungguh- sungguh tidak setuju. Saya tadi sudah jelaskan mudah-mudahan kita bisa menyampaikan alasan yang memang baik, Kenapa kita tidak setuju sudah tentu alasan itu memang harus didasarkan dua kriteria yang tadi saya sebut yaitu orang itu adalah sesama orang seiman yang berkenan kepada Tuhan, dan yang kedua yang harus memunyai kecocokan dalam sifat dan karakternya.



GS : Tentu itu membutuhkan relasi yang baik antara orang tua dan remaja ini, Pak



Paul, karena kalau tidak maka akan sulit sekali dilaksanakan.



PG : Saya setuju, Pak Gunawan. Memang masa berpacaran ini seringkali menjadi masa yang cukup kritis dalam relasi orang tua dan anak, karena adakalanya anak akan tetap memilih jalannya sendiri yang dianggapnya benar dan tidak peduli apa yang dikatakan orang tuanya.



GS : Tapi di atas semua itu, firman Tuhan yang paling berwibawa dan berotoritas untuk membimbing kehidupan kita. Dan sebelum kita mengakhiri perbincangan kita apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?



PG : Kita mau agar dia berdoa dan mencari kehendak Tuhan dalam hal berpacaran.



Jadi kita ingatkan dia akan Amsal 21:2,3 yang berkata, Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati. Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan TUHAN dari pada korban. Artinya kita harus berserah minta kehendak Tuhan dan hiduplah



berkenan kepada Tuhan dan tidak ada yang menggantikan hidup yang berkenan kepada Tuhan.



GS : Terima kasih untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Remaja Berbohong. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami



nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian



Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



|Berpacaran DAN berbohong begitu terkait. Pada umumnya remaja berbohong kepada orang tua karena ia tahu bahwa orang tua tidak akan menyetujui keinginannya untuk berpacaran. Mungkin orang tua melarang karena ia terlalu muda atau mungkin karena pilihannya berada di dalam daftar cekal orang tua. Masalahnya adalah, kerap kali anak tetap meneruskan relasinya dan memilih berbohong untuk menutupi perbuatannya. Nah, apakah yang harus kita perbuat jika hal ini terjadi pada keluarga kita ?



1. HINDARI TUDUHAN, FOKUSKAN PERASAAN. Dibohongi merupakan perasaan yang menyakitkan dan mengundang kemarahan. Persoalannya adalah sesungguhnya keputusan untuk berbohong merupakan keputusannya sendiri dan bukanlah sebuah serangan penghinaan yang ditujukan secara langsung kepada kita melainkan lebih merupakan perlindungan bagi dirinya sendiri. Jadi, tatkala mengkonfrontasi kebohongannya, silakan utarakan dampak perbuatannya pada diri kita yakni sedih dan kecewa.



2. KENALI POLA DAN ALASAN BERPACARAN. Kebanyakan remaja berpacaran memang karena cinta-- meski bisa jadi yang disebutnya cinta hanyalah ketertarikan belaka. Jadi, dengan berpacaran mereka dapat memadu cinta yang telah bersemi di hati dan sudah tentu hal ini merupakan daya tarik yang kuat untuk berpacaran. Namun berpacaran memunyai keuntungan tersembunyi lainnya. Misalnya, dengan berpacaran remaja mendapatkan status populer, dengan berpacaran remaja juga memeroleh status laku, dengan berpacaran remaja juga dapat mengisi kebutuhannya yang tak terpenuhi, misalnya dikasihi, rasa aman dan merasa diri berharga.



3. PULIHKAN RELASI KITA DENGANNYA. Apabila kita mendeteksi bahwa di balik cinta sebetulnya tersembunyi alasan lain mengapa ia berpacaran, sebaiknya kita mengangkat hal itu. Sering kali hal lain itu berkaitan dengan relasinya dengan kita di rumah. Misalnya, kebutuhan akan penghargaan diri, dikasihi, ditemani dan rasa aman acap kali berhubungan dengan relasi kita dengannya. Juga, relasi yang penuh penerimaan dengan orang tua membuatnya nyaman untuk bercerita tentang kesepiannya dan pergumulannya akibat tidak punya pacar.



4. PENGEMBANGAN DIRI YANG KAYA. Jika memang ia terlalu muda untuk menjalin relasi serius dengan lawan jenis, katakanlah apa adanya. Jelaskanlah bahwa pada masa remaja, yang terpenting baginya adalah menjalin relasi dengan banyak teman karena lewat jalinan pertemanan inilah dirinya akan diperkaya. Relasi eksklusif akan membatasi pengayaan dirinya dan memiskinkan pengenalannya akan manusia secara lebih luas dan mendalam. Jadi, sudah seyogianyalah kita tidak tergesa-gesa mengikatkan diri dalam relasi eksklusif.



5. PENILAIAN DIRI YANG SEHAT. Rasa tidak aman bersumber dari ketidaknyamanan dengan diri akibat kegagalan kita menerima diri sepenuhnya. Berilah nasihat kepadanya bahwa adalah wajar bagi kita untuk tidak menerima semua bagian diri kita dengan penilaian yang sama. Ada hal tentang diri kita yang kita terima dengan nilai A tetapi ada pula bagian diri kita yang kita terima dengan nilai B atau C.



Jadi, bantulah dia untuk meluaskan wawasan dan melihat bagian dirinya yang mungkin selama ini luput dari perhatiannya.



6. URAIKAN KRITERIA PASANGAN. Kita pun mesti membuka kemungkinan bahwa ia sungguh mencintai temannya. Bila memang itulah keadaannya, akuilah bahwa cinta merupakan perasaan yang indah. Namun terpenting bukan hanya mendapatkan cinta tetapi juga merayakan cinta bersama seorang yang berkenan kepada Tuhan dan memang cocok dengan kita. Di dalam percakapan ini kita mesti kembali mengingatkannya akan kriteria pasangan yang dikehendaki Tuhan yakni sesama orang percaya--selain dari kecocokan di antara mereka.



7. TEGASKAN BATAS. Pada akhirnya kita harus menetapkan batas bila kita melihat bahwa relasi ini adalah relasi yang tidak sehat. Katakan kepadanya bahwa kita memahami pergumulannya, namun kita tidak dapat memberinya izin untuk menjalin relasi dengan orang itu.



Firman Tuhan: Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati. Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan Tuhan daripada korban. (Amsal 21:2)



Anak, Musibah dan Kejahatan|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T426B|T426B|Remaja/Pemuda|Audio|Banyak keterbatasan yang dimiliki oleh orang tua termasuk juga orang tua tidak bisa melindungi anak dari sisi kehidupan yang kelam. Ada waktu-waktu dimana anak harus menghadapinya sendiri entah itu yang berasal dari musibah atau kejahatan.Di sini orang tua perlu memberikan bekal kepada anak sehingga ketika anak menghadapi hal yang tidak mengenakkan tersebut, mereka siap menghadapinya tanpa kita berada di dekatnya.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T426B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Anak, Musibah dan Kejahatan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.



GS : Pak Paul, secara naluriah kita sebagai orang tua tentu akan memberikan perlindungan semaksimal mungkin kepada anak atau anak-anak kita, namun akhir-akhir ini kita sering mendengar berita-berita yang kurang mengenakkan artinya sering terjadi penganiayaan, pemukulan dan sebagainya terhadap anak- anak yang masih dibawah usia. Belum lagi bencana yang terjadi di sana-sini dimana melibatkan anak. Kalau bencana mungkin susah untuk kita bisa menanggulanginya tapi untuk hal-hal yang sifatnya perampokan, pemerkosaan dan sebagainya maka kita sebagai orang tua berusaha bagaimana melindungi anak-anak kita. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?



PG : Kita harusnya mengakui bahwa tidak selalu kita dapat melindungi anak dari sisi kehidupan yang kelam jadi adakalanya anak mesti berhadapan secara langsung dengan wajah kehidupan yang menyeramkan baik itu berasal dari musibah maupun dari kejahatan. Jadi kita akan mencoba mengangkat topik ini dan kita akan mau mempelajari apa yang dapat kita lakukan untuk menolong anak melalui fase buruk yang menimpanya.



GS : Yang pertama-tama apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?



PG : Yang perlu kita ketahui adalah anak lahir ke dalam dunia membawa keyakinan bahwa dunia adalah tempat yang aman, anak lahir tidak mengenal bahaya dan memercayai orang secara polos, itu sebab musibah dan kejahatan berpotensi mengoyak sistem kepercayaan yang ada pada diri anak. Jadi misalkan air yang dianggap tidak berbahaya dapat menenggelamkannya. Api yang dianggap tidak berbahaya dapat membakarnya, tanah yang padat dan stabil dapat berguncang dan membuatnya jatuh terjungkal. Orang yang tidak dikenal dapat muncul dan merampas harta miliknya. Atau lebih buruk lagi orang dapat melukai satu sama lain dengan begitu kejamnya. Yang kita perlu sadari adalah begitu sistem kepercayaan bahwa dunia itu aman yang dibawa oleh anak pada waktu dia lahir, begitu sistem kepercayaan ini terkoyak maka anak akan mengembangkan rasa takut, Pak Gunawan.



GS : Jadi pada mulanya anak tidak punya rasa takut. Tapi ada anak yang digendong orang lain tidak mau, bukankah itu suatu pertahanan diri yang otomatis ada dalam diri anak, Pak Paul ?



PG : Betul. Dan itu kita bedakan dengan rasa takut terhadap bahaya tapi itu adalah rasa takut terhadap keterpisahan. Jadi anak-anak sampai usia tertentu



misalnya 4 tahun, sangat peka sekali dengan dipisahkan atau keterpisahan dari ibunya. Jadi waktu dia tahu dia dipisahkan maka reaksinya adalah dia berontak dan menangis. Ini berbeda dengan yang tadi kita bicarakan yaitu sebuah sistem kepercayaan bahwa lingkungan itu aman tidak berbahaya, maka ketika anak melihat api dia pegang api, dia lihat air dia masuk saja ke dalam, karena memang anak belum mengenal bahwa dunia ini tidak seaman yang dia anggap. Sudah tentu pada akhirnya anak harus belajar mengerti bahwa memang ada bahaya, jadi anak harus belajar menghindar dari bahaya. Tapi intinya yang saya ingin saya katakan dalam tahap awal ini bahwa sistem kepercayaan anak sewaktu terkoyak biasanya membuat anak bereaksi sangat keras dengan sangat takut. Misalnya pernah saya bertemu dengan sebuah keluarga yang mengalami tsunami, sewaktu di Aceh. Sewaktu anak itu dipisahkan dari orang tuanya, dihanyutkan oleh air, dia begitu ketakutan tapi di dalam kemurahan dan penjagaan Tuhan, keluarga itu bisa disatukan, ayah, ibu dan anaknya. Anak itu sampai satu kurun waktu yang agak lama tidak bisa sama sekali mendengar gemercik air dan begitu mendengar gemercik air maka dia akan ketakutan dan bahkan waktu kami berbicara kemudian anak itu mendengar kami berbicara, dia sendiri sudah memberikan reaksi sangat takut. Jadi itulah reaksi yang alamiah waktu sistem kepercayaan bahwa dunia itu aman, terkoyak.



GS : Tapi hampir semua anak itu punya rasa ingin tahu yang besar. Makanya kalau ada api maka dia coba pegang atau bahkan stop kontak dia masukkan benda yang berbahaya sehingga dia tersengat listrik. Jadi ini rasa ingin tahunya itu.



PG : Betul. Jadi rasa ingin tahu yang mendorong anak untuk mengekplorasi lingkungannya dan asumsi yang dibawanya bahwa lingkungan itu selalu baik. Itu sebabnya kita biasanya mengajarkan kepada anak-anak kalau ada orang yang kamu tidak kenal mengajak kamu pergi, jangan mau. Anak mungkin bingung dengan perkataan itu sebab konsep bahwa akan ada orang berbuat jahat kepada dia itu konsep yang dia tidak kenal dan asing sekali, dia tidak pernah tahu hal itu karena dia masih muda dan dia datang dalam dunia membawa sistem kepercayaan bahwa dunia itu aman. Tapi kita harus terus menjelaskan kepada anak, Jangan ikut kalau ada orang yang mengajak dan tidak kamu kenal. Kadang-kadang kita tahu bahwa ada anak yang tetap saja mau diajak pergi walaupun sudah diberitahukan berkali-kali, sebab sekali lagi konsep bahwa dunia itu bisa berbahaya dan orang bisa jahat, itu belum ada dalam dirinya.



GS : Tapi ada juga anak yang agak lamban, ketika diberi tahu misalnya, air panas yang tidak boleh dia pegang, pernah sekali tangannya melepuh karena memegang air panas, lain kali dia tetap melakukan hal yang sama. Apa yang menyebabkan hal itu, Pak Paul ?



PG : Ada dua. Yang pertama ada anak-anak seperti kita juga orang dewasa yaitu tidak bisa sekali ingat, jadi harus dua atau tiga kali baru ingat. Jadi misalkan sudah pernah melepuh seharusnya dia ingat kalau ini panas, tapi selang beberapa waktu ingatan itu memudar dan kita tidak ingat lagi akan panasnya air itu. Tapi yang kedua adalah ada anak yang memang bawaannya keras dan



nakal, berani menantang bahaya. Jadi ada anak yang sudah tahu air itu panas tapi dia ingin mencoba lagi, siapa tahu kali ini dia bisa menahan rasa panasnya. Jadi ada dua jenis anak.



GS : Apakah terkoyaknya sistem kepercayaan dalam diri anak itu otomatis menimbulkan trauma kepada anak itu seperti yang tadi Pak Paul katakan anak yang terseret air bah tsunami itu lalu mendengar gemericik air saja sudah takut, apakah semua mengalami seperti itu, Pak Paul ?



PG : Memang bergantung pada seberapa besarnya peristiwa yang dialaminya. Jadi semakin besar dan dahsyat semakin besar kemungkinan anak itu akan membawa trauma yang dalam. Yang kita mesti pahami adalah begitu sistim kepercayaan bahwa dunia aman terkoyak, anak terpaksa membangun sebuah zona aman untuk menciptakan rasa aman. Kecenderungannya adalah anak membangun zona aman yang sangat ekstrem sehingga perilakunya berubah menjadi perilaku yang penuh was-was dan ketidakpercayaan. Itu sebabnya setelah perjumpaan anak dengan musibah dan kejahatan acapkali anak berubah menjadi penakut dan tidak berani mengambil resiko sekecil apa pun. Ada kecenderungan dia akan mencari perlindungan di bawah kepak sayap seseorang, biasanya salah satu orang tuanya dan hal ini terus melekat kepadanya. Jadi sekali lagi reaksinya adalah memang menghindar, dia membangun sebuah benteng, disuruh ini tidak mau, coba ini tidak mau, karena memang rasa takut itu begitu besar sehingga reaksi alamiah membangun benteng atau membangun zona aman itu. Ini yang seringkali dialami oleh anak ketika mengalami trauma.



GS : Kita sebagai orang tua bagaimana ? Karena tidak akan membiarkan anak itu terus-menerus berada di balik benteng yang dibangun sendiri.



PG : Untuk satu kurun penting bagi kita orang tua untuk membiarkan anak berlindung dan tidak memaksanya untuk lepas dari kita daripada dipaksakan berani yang belum tentu melahirkan keberanian, lebih baik kita membiarkan keberanian itu bertumbuh secara almiah dan bertahap. Jadi apa yang harus kita lakukan ? Kita tunggu sampai anak itu mulai besar karena nanti di tengah pergaulan dengan teman-temannya ia sendiri akan merasa canggung bersikap penakut dan menghindar terus-menerus karena dia akan mendapat tekanan dari teman-temannya. Pada akhirnya dia akan memaksa diri untuk kembali mengambil resiko apalagi kalau dia mendapatkan bukti demi bukti bahwa ketakutannya tidak berdasar. Jadi sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah kita jangan memaksakan pada tahap awal itu karena memang dia memerlukan tempat yang aman itu. Berilah waktu yang agak panjang, setelah itu kita mungkin bisa mengajak dia bersama dengan kita menjelaskan tentang bahaya itu. Atau nanti waktu dia punya banyak teman dan temannya melakukan hal- hal yang agak berani maka dia akan mendapatkan tekanan untuk juga keluar dari zona amannya.



GS : Jadi kalau orang tua hanya memberitahukan, Tidak perlu takut itu juga tidak akan menolong anak dengan terkoyaknya rasa aman itu tadi, Pak Paul ?



PG : Tidak. Jadi misalnya dia pernah tenggelam, si ayah kemudian berkata, Jangan takut, lihat ayah terjun ke air, ayah terjun dan bisa kembali ke atas permukaan,



lihat ayah tidak apa-apa dia bisa melihat ayahnya terjun beberapa kali tapi tetap dia tidak akan berani. Sebab sekali lagi apa yang dia alami itu nyata, kalau tidak pernah terjadi mungkin dia masih bisa mencobanya tapi kalau memang pernah terjadi dan dia pernah tenggelam maka tidak bisa tidak akan tetap takut meskipun ada contoh yang seperti itu. Jadi lebih baik kita biarkan saja sampai dia lebih besar nanti setelah teman-temannya berenang maka dia nanti akan malu tidak berenang dan dia akan terpaksa bermain dengan air dan perlahan-lahan dia akan membangun rasa percaya dirinya.



GS : Kalau ada orang tua yang tidak sabar, lalu memaksakan apa yang dia inginkan, itu akibatnya apa, Pak Paul ?



PG : Memang ada orang yang berkata, Kalau dipaksakan mungkin saja dia benar- benar berani karena dia akhirnya terpaksa berenang dan akhirnya dia tidak tenggelam maka itu menimbulkan keberanian kepada dirinya. Itu kemungkinan yang pertama, tapi ada juga kemungkinan yang kedua yang kita harus siap yaitu kalau benar-benar kita coba terjunkan dia ke air dan dia sangat ketakutan dan karena sangat ketakutan meskipun kita berada di sebelah dia memegangnya, kemudian misalkan dia tenggelam sebentar sehingga minum air maka akan melipat gandakan ketakutannya atau traumanya itu.



GS : Dan itu lebih sulit untuk mengobatinya, Pak Paul ?



PG : Betul sekali. Jadi kadang-kadang kita harus bersabar dan jangan terlalu memaksakan meskipun kita ini berniat baik dan jangan sampai anak kita nanti dikuasai oleh ketakutan.



GS : Apakah itu menolong anak juga kalau menghadapi bencana di sekelilingnya yang tiba-tiba terjadi, Pak Paul ?



PG : Saya kira iya, apakah anak itu bisa cepat melupakan bencana misalkan kebakaran atau gempa bumi atau banjir dan sebagainya, maka prosesnya juga sama. Jadi untuk satu kurun dia mungkin akan ketakutan sekali. Misalkan kalau dia pernah terseret oleh air karena banjir bandang di sungai dan sebagainya. Saya kira itu akan menimbulkan trauma yang sangat berat dan sudah tentu akan membuat dia menjauh dari air sejauh-jauhnya dan dia akan takut sekali untuk berenang dan sebagainya. Jadi sebagai orang tua sebaiknya di tahap awal tidak memaksakan kepadanya.



GS : Jadi sebenarnya rasa takut di dalam diri anak ini untuk melindungi dirinya



sendiri, begitu Pak Paul ?



PG : Tepat dan ini adalah sebuah reaksi yang alamiah, secara manusia kita itu tidak mau untuk mengalami bencara kedua kalinya. Jadi setelah pertama kali kita berusaha untuk menghindar dari potensi adanya bencana yang kedua itu.



GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul ?



PG : Hal lain adalah kita mesti mengajak anak mengakui kenyataan bahwa hidup tidak sepenuhnya berada dalam kendali. Ini hal yang memang kenyataan bahwa alam bisa berubah ganas dan bahwa orang tidak semuanya baik, ini adalah fakta. Jadi kita mengajak anak untuk melihat realitas apa adanya dan mengizinkan anak untuk membangun sistem perlindungan dan kita tidak mengatakan, Ketakutan kamu itu salah, kamu harus berani dan sebagainya.



Tapi kita mau katakan justru sebaliknya bahwa kita perlu berhati-hati dan kita tidak bisa lagi sembarangan. Jadi tidak apa-apa menjadi berhati-hati dan tidak apa-apa juga ia mulai memikirkan kemungkinan terburuk, ini adalah bagian dari sistim pertahanannya, namun daripada menutup diri atau menghindar terus-menerus dari bahaya, kita mendorongnya juga untuk melihat sisi yang satunya pula bahwa ada hal dalam hidup yang dapat dikendalikan. Misalnya sesungguhnya alam tidak sering berubah ganas dan misalnya masih banyak orang yang baik, singkat kata kita tidak perlu melucuti sistim perlindungannya kita hanya perlu mendorongnya untuk bersikap lebih tepat terhadap musibah dan kejahatan. Jadi kalau di awal memang secara umum melindungi diri berlindung dalam zona amannya makin dia besar kita hanya mau mengarahkan supaya zona amannya itu tepat sasaran dan jangan sampai kelewat batas terhadap segala hal, dia menghindar dan dia ketakutan. Selama dia tepat sasaran, nanti setelah dia melihat kolam terlalu dalam dia tidak berani (tidak apa-apa itu tepat sasaran) kecuali nanti dia sudah bisa berenang dan sebagainya. Jadi kita sekali lagi tidak mau melucuti sistem pertahanannya, kita hanya mau sistem pertahanannya dibangun dan digunakan dengan sasaran yang tepat.



GS : Misalkan kita mau mengajarkan kepada anak itu supaya tidak sembarangan ikut orang yang mengajak dia, itu bagaimana, Pak Paul ?



PG : Misalkan kita ini dalam hal orang asing sungguh-sungguh tidak bisa menetapkan kriteria misalnya orang yang seperti apa yang boleh anak itu iyakan dan seperti apa yang tidak. Akan ada orang-orang yang akan berpakaian rapi tapi kemudian berniat jahat, sebaliknya ada orang yang berpakaian lebih sembarangan tapi justru tidak berniat jahat. Jadi untuk hal- hal seperti itu lebih baik kita memberikan aturan yang umum, bersifat menyeluruh untuk semua orang, Kalau kamu tidak kenal dan mengajak kamu maka kamu tolak, dan kalau orang itu sepertinya mau menarik tangan kamu maka berteriak lari dan sebagainya. Jadi ada hal-hal yang harus kita ajarkan jangan sampai menjadi korban kejahatan orang.



GS : Kalau menghadapi bencana, karena ada orang yang tinggal di suatu tempat dimana sering kali terjadi bencana di sana misalnya gunung meletus, gempa bumi dan bagaimana kita ajarkan.



PG : Karena kebetulan saya cukup lama tinggal di Los Angeles, di California yang merupakan daerah gempa jadi saya mengerti disana, semenjak anak-anak kecil di sekolah-sekolah sudah dilakukan latihan menghadapi gempa. Jadi sejak anak SD secara berkala diadakan latihan siaga menghadapi gempa, anak-anak disuruh berbuat sesuatu, lari ke mana, jadi dipersiapkan dan dipersiapkannya dengan cara yang menyenangkan, ramai-ramai senang-senang, jadi anak tidak mengembangkan rasa trauma atau takut. Dan waktu itu dilakukan, anak-anak jadi mengerti bahwa kalau gempa ini terjadi ada yang bisa dilakukan. Kalau anak tahu bahwa dia tidak sampai tidak berdaya dan dia masih bisa berbuat sesuatu biasanya tetap akan memberikan ketenteraman di hatinya.



GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul ?



PG : Yang lain adalah yang kita mesti waspadai adalah menjaga anak agar tidak mengembangkan karakter buruk sebagai akibat kejahatan yang dideritanya. Mungkin kita bertanya-tanya apa maksudnya. Begini, kita mungkin sudah tahu bahwa ada sebagian pelaku kejahatan yang sebenarnya merupakan korban kejahatan pada masa kecilnya. Selain dari kemarahan dan balas dendam sebenarnya faktor kuat yang memicu lahirnya kejahatan adalah ternodanya sistem kebaikan pada diri anak. Kejahatan seakan-akan memberikan contoh bagaimana caranya melakukan kejahatan dan kejahatan seolah-olah memberikannya izin untuk berbuat kejahatan. Ini adalah efek kejahatan yang kita mesti waspadai sebab ini juga nyata. Tadi saya sudah singgung ada sejumlah pelaku kejahatan yang sebetulnya pada masa kecilnya adalah korban kejahatan dan mungkin kita bertanya, Dia 'kan sudah jadi korban kenapa sekarang mau menjadikan orang lain korbannya ? karena alasan itu. Jadi waktu anak harus berhadapan dengan kejahatan orang dirampok atau dia sendiri yang menjadi korban, bisa-bisa dia mendapatkan contoh, Ini caranya melakukan kejahatan lain kali waktu dia marah dia melakukan hal yang sama. Yang kedua adalah waktu orang berbuat jahat seperti itu kadang-kadang memberikan kepada dia seolah-olah izin bahwa saya juga boleh berbuat demikian, maka kita harus waspadai jangan sampai anak-anak kita mengembangkan karakter buruk akibat kejahatan yang disaksikannya.



GS : Upaya apa yang dapat kita lakukan, Pak Paul ?



PG : Kita tidak bisa tidak harus mengajak dia untuk melihat firman Tuhan. Ini adalah pedoman hidup kita sebab kita tahu ada tokoh-tokoh Alkitab yang juga menjadi korban kejahatan, misalnya sewaktu Stefanus, majelis pertama gereja dirajam dengan batu, dia berseru, ini dicatat di Kisah Para Rasul 7:60, Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka! artinya responsnya justru adalah meminta pengampunan kepada orang yang telah menjahatinya, tidak meminta justru agar Tuhan melumatkan mereka, menghabisi mereka, tapi justru dia berdoa meminta agar mereka itu diampuni oleh Tuhan. Contoh lain ketika Tuhan Yesus disalib, Dia pun berdoa dicatat di Lukas 23:34, Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Jadi Yesus Tuhan kita mengajarkan kita untuk mengampuni orang yang berbuat jahat kepada kita. Ini adalah hal yang bisa kita sampaikan kepada anak. Dan yang ketiga yang saya ingat, yang juga bisa kita ceritakan kepada anak adalah Yusuf, kita tahu Yusuf menjadi korban kejahatan kakak-kakaknya, dia dijual menjadi budak dan akhirnya harus mendekam di penjara karena difitnah oleh istri Potifar, akhirnya ketika dia harus bertemu kembali dengan kakak- kakaknya dan mereka takut Yusuf membalas dendam setelah Yusuf menjadi tangan kanan Firaun Raja Mesir, dia berkata di Kejadian 50:20, Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka- rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi apa yang Yusuf lakukan, Yusuf mengajak kita semua untuk memandang musibah dari lensa atau bingkai Tuhan bahwa ada rencana Tuhan lewat semua ini. Hal-hal seperti inilah yang diajarkan kepada anak-anak sehingga sewaktu dia harus



berhadapan dengan musibah atau kejahatan, dia bisa bereaksi sesuai dengan apa yang firman Tuhan ajarkan.



GS : Kalau kita mau memberikan teladan kepada mereka, itu bagaimana caranya, Pak Paul ?



PG : Misalkan kita sendiri mengampuni waktu orang berbuat jahat kepada kita dan mungkin kita marah dan sebagainya (itu reaksi yang alamiah) namun setelah kita marah maka kita ajak anak-anak, istri kita, suami kita, berdoa bersama meminta agar Tuhan mengampuni orang yang telah berbuat jahat kepada kita dan kita misalkan mendoakan orang-orang itu. Misalkan ada bencana terjadi dan kita adalah korban tapi misalkan kita juga memberikan contoh kepada anak-anak kita dan menolong orang lain, tidak hanya memikirkan diri sendiri, apa yang bisa kita lakukan untuk meringankan derita orang, itu yang juga kita lakukan. Lewat contoh-contoh hidup seperti ini anak belajar untuk menghadapi musibah atau kejahatan dalam hidupnya.



GS : Kita juga harus bersikap tenang menghadapi hal-hal seperti itu sehingga mereka juga bisa melihat bagaimana caranya kita menghadapi peristiwa yang menimpa keluarga kita, tetapi juga bagaimana kita mengantisipasi supaya hal- hal itu tidak terjadi lagi menimpa kita.



PG : Betul. Kalau saya boleh simpulkan, perlihatkanlah reaksi manusiawi, kita ini manusia jadi waktu ada orang berbuat jahat kepada kita mungkin kita marah atau kecewa, itu manusiawi, tapi setelah kita perlihatkan reaksi manusiawi kita juga perlihatkanlah respons rohani kita yaitu misalkan kita berdoa untuk mereka yang telah berbuat jahat kepada kita. Jadi inilah saya kira perspektif yang tepat yang kita bisa bagikan kepada anak-anak.



GS : Di satu sisi kita mengajar mereka untuk belajar berserah kepada mereka, tapi disisi lain kita juga mengingatkan mereka agar waspada tidak semua orang baik dan keadaan tidak senantiasa baik di sekeliling kita itu, Pak Paul.



PG : Betul sekali. Jadi sekali lagi respons manusiawi kita tidak apa-apa berhati-hati atau menjauh dari bahaya tapi juga ada respons rohani kita yaitu berserah kepada Tuhan dan memercayakan hidup kita kepada Tuhan yang dapat memelihara kita.



GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Anak, Musibah dan Kejahatan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



|Tidak selalu kita dapat melindungi anak dari sisi kehidupan yang kelam. Adakalanya anak mesti berhadapan secara langsung dengan wajah kehidupan yang menyeramkan, baik itu yang berasal dari musibah maupun dari kejahatan.



Apakah yang dapat kita lakukan untuk menolong anak melalui fase buruk yang menimpanya?



• Hal pertama yang perlu kita ketahui adalah bahwa anak lahir ke dalam dunia membawa keyakinan bahwa dunia adalah tempat yang aman. Anak lahir tidak mengenal bahaya dan memercayai orang secara polos. Itu sebabnya musibah dan kejahatan berpotensi MENGOYAK SISTEM KEPERCAYAAN yang ada pada diri anak. Air yang dianggap tidak berbahaya dapat menenggelamkannya; api yang tidak berbahaya dapat membakarnya. Tanah yang padat dan stabil dapat berguncang dan membuatnya jatuh terjungkal. Orang yang tidak dikenal dapat muncul dan merampas harta miliknya. Atau lebih buruk lagi, orang dapat melukai satu sama lain dengan begitu kejamnya. Begitu sistem kepercayaan bahwa dunia aman terkoyak, anak akan mengembangkan rasa takut.



• Hal kedua yang mesti kita pahami adalah begitu sistem kepercayaan bahwa dunia aman terkoyak, anak terpaksa MEMBANGUN SEBUAH ZONA AMAN untuk menciptakan rasa aman. Kecenderungannya adalah anak membangun zona aman yang sangat ekstrem sehingga perilakunya berubah menjadi perilaku yang penuh was-was dan ketidakpercayaan. Setelah perjumpaannya dengan musibah dan kejahatan, acap kali anak berubah menjadi penakut dan tidak berani mengambil risiko sekecil apa pun. Ada kecenderungan ia akan mencari perlindungan di bawah kepak sayap seseorang--biasanya salah satu dari orang tuanya--dan terus melekat padanya. Jika ini yang terjadi, penting bagi kita orang tua untuk membiarkan anak berlindung dan tidak memaksanya untuk lepas dari kita. Pada akhirnya ia akan memaksa diri untuk kembali mengambil risiko--apalagi bila ia mendapatkan bukti demi bukti bahwa ketakutannya tidak berdasar.



• Hal ketiga yang mesti kita lakukan adalah MENGAKUI KENYATAAN bahwa hidup tidak sepenuhnya berada di dalam kendali, bahwa alam bisa berubah ganas dan bahwa orang tidak semua baik. Singkat kata kita mengajak anak untuk melihat realitas apa adanya dan mengizinkan anak untuk membangun sistem perlindungan. Tidak apa ia menjadi berhati-hati dan tidak apa ia mulai memikirkan kemungkinan terburuk. Ini adalah bagian dari sistem pertahanannya. Namun daripada menutup diri atau menghindar terus menerus dari bahaya, kita mendorongnya untuk juga melihat sisi yang satunya pula--bahwa ada hal dalam hidup yang dapat dikendalikan, sesungguhnya alam tidak sering berubah ganas dan bahwa masih banyak orang yang baik.



• Hal keempat yang kita mesti waspadai adalah menjaga anak agar tidak mengembangkan KARAKTER BURUK sebagai akibat kejahatan yang dideritanya. Kita mungkin sudah tahu bahwa ada sebagian pelaku kejahatan yang sebenarnya merupakan korban kejahatan pada masa kecilnya. Selain dari kemarahan dan balas dendam, sebenarnya faktor kuat yang memicu lahirnya kejahatan adalah ternodanya sistem kebaikan pada diri anak. Kejahatan seakan-akan memberikan contoh bagaimana caranya melakukan kejahatan. Kejahatan juga seolah-olah memberikannya izin untuk berbuat kejahatan.



Kita harus terus mengingatkan anak akan respons tokoh Alkitab terhadap kejahatan. Sewaktu Stefanus dirajam dengan batu, ia berseru (Kisah 7:60), Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka. Ketika Tuhan Yesus disalib, Ia berdoa (Lukas 23:34), Ya, Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Dan Yusuf yang menjadi korban kejahatan kakak- kakaknya mengampuni mereka seraya berkata (Kejadian 50:20), Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.



Kita perlu mengajarkan kepada anak bahwa respons terhadap musibah dan kejahatan adalah, sepenuhnya berserah kepada Tuhan sebab Ia memelihara kita dan bahwa Ia memunyai rencana lewat apa yang terjadi. Kita pun perlu terus mengingatkannya untuk tidak membalas, sebaliknya, mengampuni orang yang bersalah kepada kita.



Pernikahan di Mata Tuhan|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T427A|T427A|Pranikah/Pernikahan|Audio|Hidup kita seyogianyalah menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Dan bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, sudah selayaknya pulalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Pernikahan yang dapat menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan adalah ketaatan pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup, ketaatan pada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan. Seperti apakah itu?|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T427A.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Pernikahan di Mata Tuhan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.



GS : Pak Paul, rupanya ada banyak motivasi seseorang menikah atau alasan mengapa dia menikah. Tetapi di hadapan Tuhan tentunya ada satu motivasi yang jelas, ada suatu alasan yang jelas kenapa Tuhan memertemukan seorang pria dan seorang wanita lalu menjodohkannya menjadi suami istri. Tetapi apa tanggungjawab kita sebagai manusia, sebagai anak-anak tebusan Tuhan ?



PG : Memang betul yang Pak Gunawan katakan, kita ini hidup bukan lagi untuk diri kita dan kita tidak lagi memandang hidup dari kacamata kita, kita harus memandangnya dari kacamata Tuhan. Coba kita sekarang sejenak membahas tentang pernikahan. Sebetulnya di mata Tuhan untuk apakah pernikahan itu ? Kalau kita baca di Efesus 1:5, 6, 12 firman Tuhan berkata, Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak- Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia- Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya. supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Karena kasih dan di dalam kasih Tuhan telah menetapkan kita menjadi anak-anak-Nya, jalan yang digunakan Tuhan untuk menjadikan kita anak-anak-Nya adalah jalan pengorbanan yakni Yesus anak Allah turun menjadi manusia dan akhirnya mati bagi dosa-dosa kita. Perbuatan Allah yang mulia ini layak menerima puji- pujian dari kita yang telah menerima kebaikan dan kasih karunia-Nya, itu sebabnya segenap hidup kita seyogianyalah menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya sudah selayaknyalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan- Nya.



GS : Tapi pada umumnya kalau ada pasangan yang akan menikah, kepada mereka ditanyakan, Apa tujuan kamu menikah ? maka jawabnya, Untuk hidup bahagia sebagai suami istri, tentunya untuk hidup bahagia, apakah itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan atau permintaan Tuhan tadi bahwa kita harus hidup memuliakan nama Tuhan, Pak Paul ?



PG : Kalau kita menjawab kita menikah agar kita bahagia atau kita ini menikah agar bisa menyambung keturunan atau agar bisa membagi hidup dengan satu sama lain, sudah tentu itu bukan jawaban yang salah tapi itu bukanlah jawaban yang lengkap. Sebab tujuan Tuhan memberikan kepada kita kesempatan untuk menikah, sekali lagi itu adalah sebagai kesempatan yang Tuhan berikan kepada



kita untuk memuliakan-Nya, menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, seluruh hidup kita untuk kemuliaan-Nya dan termasuk di dalamnya adalah pernikahan. Jadi bagi siapa yang hendak menikah hendaklah memunyai konsep ini bahwa kita menikah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.



GS : Kalau begitu tujuan yang begitu mulia tentu harus ada prasyarat yang harus di penuhi oleh kedua orang itu supaya bisa mencapai target yang Tuhan tentukan.



PG : Tepat sekali. Jadi sekurang-kurangnya ada dua yang bisa saya bagikan, bagaimanakah pernikahan bisa menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Yang pertama adalah ketaatan kepada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup. Kita harus mengutamakan kehendak Tuhan sewaktu memutuskan siapakah yang akan kita pilih untuk menjadi suami dan istri kita. Pada dasarnya pergumulan ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa yang kita anggap baik dan melakukan apa yang Tuhan anggap baik. Mungkin saja orang ini baik dan cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa yang terbaik bagi kita, namun ia tidak seiman dan tidak memercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Dalam situasi seperti inilah ketaatan mendapatkan ujiannya, apakah kita akan terus menerobos rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita menaatinya. Pada akhirnya keputusan apa pun yang diambil bergantung pada, apakah kita dapat berkata bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita. Jika kita bisa berkata bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau yang lebih benar daripada perintah Tuhan. Singkat kata, kalau kita berkata perintah Tuhan sempurna maka kita harus mengakui kalau perintah itu adalah hal yang terbaik yang dapat terjadi dalam hidup ini, tidak ada suatu hal pun yang lebih baik dari perintah Tuhan. Seperti kita ketahui di 1



Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14 firman Tuhan dengan jelas berkata, ia bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya asalkan orang itu adalah orang yang percaya, janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak



seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Bila kita meyakini bahwa



perintah Allah adalah sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi dari



pada perintah Allah. Jadi sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita dengannya, tetap itu bukanlah yang terbaik di mata Tuhan.



GS : Tapi seringkali orang mengatakan bahwa banyak contohnya pasangan- pasangan yang seiman pun yang dilihat hanya segereja, atau sama-sama orang Kristen tapi hidup pernikahannya tidak terlihat baik dan tidak memberikan kesaksian yang baik, Pak Paul.



PG : Memang ini sesuatu yang disayangkan sebab ada orang-orang yang menikah yang tidak memilih dengan baik sehingga tidak memerhatikan hal-hal lain di luar kesamaan iman, menggampangkan pernikahan dan beranggapan nanti bisa diselesaikan, padahal setelah menikah tidak bisa menyelesaikannya sehingga justru tidak menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan malahan menjadi batu sandungan dan orang akan berkata, Lihat pernikahan orang Kristen seperti itu dan tidak saling bicara satu sama lain ini memang bisa terjadi karena kita tidak sempurna dan adakalanya kita tidak memerhatikan



hal-hal yang lain itu atau adakalanya kita sendiri belum selesai dibentuk Tuhan sehingga ada kekerasan hati, ada hal yang harus kita akui dan belum kita akui, kita harus minta maaf tapi tidak minta maaf, jadi akhirnya pernikahan kita tidak baik dan akhirnya orang juga akan berkata, Lihat orang Kristen, pernikahannya seperti itu.



GS : Malah mereka bisa mengajukan contoh pasangan-pasangan lain yang tidak seiman tapi dari luar kelihatan harmonis sekali.



PG : Betul dan sudah tentu banyak pasangan yang hidupnya sangat baik dan harmonis meskipun mereka bukanlah orang-orang yang memeluk iman yang sama dengan kita, atau oleh orang yang memiliki keyakinan yang berbeda antara suami dan istrinya tapi bisa saja mereka hidup dengan harmonis. Memang semua itu dimungkinkan sebab pernikahan tidak bergantung pada satu faktor saja yaitu iman. Tidak, pernikahan bergantung pada banyak faktor lain, tapi tetap kesamaan iman adalah sesuatu yang diminta oleh Tuhan, kita tidak menciptakan peraturan ini dan gereja juga tidak menciptakan peraturan ini. Jadi kita mendasarinya atas perintah Tuhan itu sendiri. Jadi kalau kita berkata perintah Tuhan itu adalah sempurna berarti memang tidak ada lagi yang lebih baik dari perintah itu, kita tidak bisa berkata, Tidak mengapa sebab ini juga baik, tidak ! Perintah Tuhan mencerminkan sesuatu yang sempurna dan sesuatu yang paling baik. Jadi tidak ada pilihan lain yang lebih baik atau sama baiknya dengan apa yang Tuhan telah perintahkan.



GS : Jadi kehidupan harmonis di dalam satu keluarga bukan tujuan utama dari pernikahan di mata Tuhan, begitu Pak Paul ?



PG : Tepat sekali. Jadi tujuan pernikahan bukanlah supaya kita hidup harmonis, sudah tentu bagaimana kita hidup akan sangat berpengaruh. Tapi tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan sebab hidup kita secara keseluruhan adalah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan termasuk pernikahan kita juga harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.



GS : Jadi kalau kita memulai pernikahan dengan kondisi yang tidak seiman, itu sebenarnya menjadi sulit untuk memenuhi target yang Tuhan tetapkan itu.



PG : Betul. Sebab kita sudah langsung memulai dengan pelanggaran terhadap perintah Tuhan dan bagaimanakah kita bisa berkata bahwa kita memuliakan Tuhan meskipun kita sudah melanggar firman Tuhan, itu tidak mungkin. Jadi tidak bisa kita melakukan kedua-duanya, yaitu melanggar kehendak Tuhan sekaligus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, tidak bisa seperti itu.



GS : Jadi selain kita harus taat pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup, kita perlu hal apa lagi, Pak Paul ?



PG : Kita juga perlu kalau kita mau menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, menaati kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan itu. Jadi bukan hanya dalam pemilihan pasangan hidup, kita menaati Tuhan, tapi juga dalam menjalani hidup ini sendiri. Adakalanya kita mengidentikkan menjadi puji- pujian bagi kemuliaan Tuhan dengan kegiatan pelayanan. Ini yang seringkali kita lakukan, Ini memuliakan Tuhan, ini memuliakan Tuhan kenapa ? Karena suami menjadi majelis, istrinya menjadi pengurus Komisi Wanita dan anak-



anaknya pelayanan di Sekolah Minggu dan sebagainya. Sudah tentu itu semua hal yang baik tapi sebetulnya bukan itu, kita harus menyadari bahwa terpenting bukanlah kegiatan melainkan ketaatan, selalu ukurannya itu dari Tuhan sebab kita bisa giat dalam pelayanan tapi belum tentu kita bisa taat dalam pelayanan. Jadi meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang pembuktian, tetap ujung-ujungnya adalah ketaatan kepada Tuhan yang akhirnya menjadi ujian bagaimanakah kita menjalani hidup ini, makin taat kepada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan maka makin pernikahan kita membawa puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.



GS : Tapi kalau kita melayani, itu adalah suatu bentuk ketaatan kita kepada Tuhan bukankah Tuhan juga menghendaki anak-anak-Nya untuk melayani, Pak Paul ?



PG : Betul. Sudah tentu itu adalah hal yang mulia namun kita harus akui bahwa



mungkin dari semua hal yang bisa kita kerjakan untuk memerlihatkan ketaatan kita kepada Tuhan, mungkin keterlibatan kita dalam pelayanan seperti yang pernah kita lihat dia menyanyi, menjadi majelis, itu adalah sesuatu yang mudah, yang paling susah adalah kita membuktikan ketaatan kita misalnya sewaktu kita ini diminta Tuhan untuk menolong seseorang, relakah kita menolongnya dan mengeluarkan uang untuk menolong orang itu. Misalkan waktu Tuhan meminta kita untuk meminta maaf kepada pasangan atau anak kita, apakah kita rela meminta maaf ? Jadi ketaatan yang seperti itulah yang sebetulnya menjadi bukti bahwa kita sungguh-sungguh hidup untuk memuliakan Tuhan.



GS : Secara konkret apa yang bisa kita lakukan untuk membuktikan kalau kita taat kepada Tuhan, Pak Paul ?



PG : Ada banyak. Jadi saya akan gunakan prinsipnya saja. Yang pertama adalah apa yang kita perbuat tatkala apa yang diinginkan tidak didapatkan. Pada umumnya kita membawa banyak pengharapan masuk ke dalam pernikahan, baik itu berkenaan dengan diri sendiri atau pasangan kita, anak atau pun target dalam karier. Kadang kita dapat meraihnya, kadang juga tidak. apa yang kita lakukan tatkala apa yang diinginkan tidak didapatkan memerlihatkan seberapa besar ketaatan kita pada kehendak Tuhan. Sebagai contoh, ada yang marah dan menyalahkan pasangan sebab apa yang diinginkan tidak didapatkan. Ada yang menyalahkan lingkungan karena apa yang diinginkan tidak didapatkan. Ada yang menyalahkan diri sendiri, ada yang menarik diri dari pasangan, ada yang menarik diri dari lingkungan dan ada yang menarik diri dari persekutuan. Itu adalah beberapa contoh, apa yang kadang kita lakukan tatkala apa yang kita inginkan tidak kita dapati. Sesungguhnya pada saat seperti itu ketaatan kepada kehendak Tuhan tengah mengalami ujian, apakah kita akan menuruti keinginan sendiri ataukah kita akan menuruti kehendak Tuhan, apakah kita mencoba berdamai dengan pasangan untuk sesuatu yang kita inginkan tidak kita dapatkan, atau kita menolak untuk berdamai dengannya. Ini semua merupakan ajang untuk membuktikan ketaatan kita kepada Tuhan dan inilah yang akan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Jadi dalam keadaan yang sulit yang seperti inilah ketaatan mendapatkan tempaan yang keras. Jika kita menyerah menuruti keinginan diri sendiri maka kita akan keluar dari ketaatan dan begitu



keluar dari ketaatan maka kita makin menjauh dari kehidupan yang membawa kemuliaan bagi Tuhan, sebaliknya kalau kita memutuskan taat kepada kehendak Tuhan dan melakukan apa yang diinginkan-Nya maka kita akan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.



GS : Seringkali salah satu dari pasangan mau taat dan menerima bahwa Tuhan tidak memberikan sesuatu kepada kita yang kita inginkan, tapi pasangannya justru yang tidak bisa melihat itu dan ikut mengajak memengaruhi kita dan marah- marah atau bahkan marah bukan hanya pada lingkungan tapi juga kepada Tuhan.



PG : Betul. Jadi kadang kita menikah dengan seseorang yang tidak sebanding atau sematang kita secara rohani sehingga waktu menghadapi masalah atau kesulitan, bukannya ketaatan kepada Tuhan dan bukannya cara Tuhan yang digunakan untuk menghadapi itu tapi dirinya sendiri yang akan menjadi tolok ukur, apa yang dia inginkan dia lakukan. Kalau misalkan kita bersama dengan pasangan yang seperti itu, maka yang pertama kita harus bersama dengan dia dan bicara baik-baik dan jelaskan kalau ini yang Tuhan kehendaki dalam situasi seperti ini dan sebaiknya kita tidak melakukan ini dan itu karena bukan ini yang Tuhan kehendaki. Jadi kita mencoba bicara dan kita ingatkan bagaimana cara yang baik untuk menyelesaikan masalah kita yaitu dengan cara Tuhan.



GS : Saya teringat akan Ayub. Waktu Ayub menderita justru istrinya mengajarkan agar Ayub meninggalkan Tuhan bahkan menghujat Tuhan.



PG : Betul sekali. Ayub tidak terpengaruh istrinya dan berani untuk bertentangan dengan istrinya karena Ayub tidak mau berdosa kepada Tuhan. Jadi waktu istrinya dalam keadaan yang sangat tertekan melihat harta dan anaknya semua habis, memang istrinya tidak tahan lagi dan malah meminta Ayub untuk mengutuk Tuhan tapi Ayub tidak melakukan itu dan Ayub tahu bahwa Tuhan sudah memberikan kepada saya dan kalau sekarang mau diambil maka saya terima. Jadi kalau kita berada dalam situasi seperti itu maka ingatlah untuk tetap berdiri teguh di dalam kehendak Tuhan. Kadang kita sebagai seseorang anak Tuhan yang mau menaati Tuhan, kita akan kesepian bukan saja kesepian di luar tapi kesepian dalam keluarga sendiri. Saya ingat buku yang sangat populer Perjalanan Seorang Musafir, buku itu ditulis oleh John Bunyan. Si Christian, tokoh yang ada dalam buku itu, pada awalnya cerita itu dikisahkan dia harus meninggalkan keluarganya untuk menuju kota surgawi itu, sebab keluarganya tidak mendukung dan tidak mengerti dan membiarkan dia untuk pergi sendirian. Jadi kadang-kadang kita harus berani untuk berdiri teguh meskipun kita harus kesepian juga dalam rumah sendiri.



GS : Tetapi di sana kelihatan bahwa kematangan iman antara Ayub dan istrinya berbeda sekali walaupun katakan mereka berdua seiman. Dan ini seringkali menjadi masalah di dalam rumah tangga.



PG : Setuju, memang tidak selalu iman kita sama kuatnya. Kadang-kadang kita mesti menyadari kita kuat dalam hal tertentu, lemah dalam hal tertentu. Adakalanya pasangan kita juga seperti itu, dia kuat dalam hal tertentu, dia lemah dalam hal tertentu. Saya seringkali beranggapan saya lebih dewasa dan



matang secara rohani dari pada istri saya, tapi saya menyadari dalam hal tertentu yang kami hadapi misalkan waktu kami menghadapi apa yang dilakukan oleh anak kami sekarang ini, meninggalkan Tuhan. Kami bergumul berat sekali, tapi yang saya lihat istri saya kuat dan seringkali justru yang memberikan penghiburan, memberikan firman Tuhan yang dibacanya dan tetap dia masih bisa berfungsi, melayani dan berusaha untuk seceria mungkin. Saya sering berkata kepadanya, Saya kagum kamu kuat, dan kamu justru lebih kuat dari saya. Mungkin dalam hal lain saya lebih kuat, tapi untuk hal tertentu istri saya lebih kuat juga.



GS : Cara lain untuk membuktikan kalau kita memang taat kepada kehendak Tuhan apa, Pak Paul ?



PG : Kita harus bertanya apa yang kita perbuat atas nama kasih. Pada umumnya kita



semua mengklaim bahwa kita mengasihi keluarga dan pasangan serta anak- anak. Dan atas nama kasih kita melakukan banyak hal untuk mereka. Pertanyaannya adalah apakah kita bersedia untuk berkorban demi mereka. Sesungguhnya kita baru dapat berkata bahwa kita mengasihi mereka tatkala kita bersedia mengedepankan kepentingan mereka dan mengorbankan kepentingan sendiri. Jadi ujian kasih bukanlah terletak pada seberapa besar nilai yang diberikan, melainkan pada seberapa besar pengorbanan yang diberikan.



GS : Pengorbanan yang bapak maksudkan apa, Pak Paul ?



PG : Pengorbanan yang saya maksudkan adalah kerelaan untuk menomorduakan kepentingan kita dan menomorsatukan kepentingan pasangan dan anak-anak kita. Jadi misalnya kalau kita tahu bahwa kalau saya pindah kota, saya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, promosi yang saya idam-idamkan tapi kita tahu bahwa anak-anak, istri atau suami sudah mapan dan senang di sini banyak teman dan sebagainya. Kita harus memertimbangkan mereka. Saya tidak berkata bahwa selalu dalam kondisi seperti ini kita harus meninggalkan impian kita, tidak ! Kadang-kadang kita bisa berdiskusi dan sehati untuk pindah ke kota yang baru itu. Namun mesti ada kesediaan dalam hati kita untuk berkata, Sebetulnya ini yang saya inginkan, ini kesempatan buat saya untuk mendapatkan promosi yang saya inginkan, tapi saya lihat kalau saya pindah, anak-anak harus dicabut dari lingkungannya, kamu juga akan susah dan kehilangan teman-teman dan sebagainya maka akan saya korbankan kepentingan saya supaya keluarga bisa tetap menikmati hidup di sini. Itu pengorbanan yang saya maksud. Jadi waktu kita berbicara tentang pernikahan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, saya mau soroti ketaatan, ketaatan dalam hal seperti ini. Ini akan menjadikan pernikahan kita sebagai puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.



GS : Tapi kalau kita yakin apa yang kita lakukan benar dan membawa kebaikan bagi segenap keluarga, maka kita harus menjelaskan kepada pasangan kita maupun kepada anak-anak kita bahwa apa yang kita lakukan ini benar.



PG : Sudah tentu kadang kita juga harus dengan tegas berkata, Ini yang benar dan kita mau memimpin mereka ke pilihan yang benar itu. Tapi sebenarnya dalam hidup pilihan-pilihan yang sungguh-sungguh bersikap prinsipiil itu juga tidak



terlalu banyak. Tadi contoh yang saya berikan tentang promosi di kota lain dan sebagainya. Kadang-kadang kita mau melakukannya hanya karena gara-gara peningkatan karir kita. Tapi kalau kita melihat ini akan berdampak akan menyusahkan anak atau keluarga kita, mungkin kita harus mengalah dan berkata, Baiklah tidak perlu. Jadi kita akan tunggu waktu Tuhan, di mana waktu kita melakukannya nanti kita akan lakukan dengan senang hati. Jadi harus ada kesediaan. Buat saya ini yang paling penting yaitu mungkin ada kalanya kita mau mengerjakan banyak hal dalam hidup dan kita benar-benar berharap pasangan kita akan nanti mendukung kita supaya kita bisa mencapai yang kita inginkan, tapi kita harus terima adakalanya tidak terjadi, sebaliknya justru kita dituntut untuk mengorbankan kepentingan pribadi kita demi mereka. Jadi yang saya mau tekankan bahwa acapkali menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan terkait bukan dengan keberhasilan kita meraih impian, melainkan pada pengorbanan kita melepaskan impian. Sewaktu kita melepaskan impian, maka Tuhan pun bekerja membentuk kita menjadi sosok yang sungguh akan membawa puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.



GS : Memang sebelum atau di awal pernikahan setidaknya kita harus membagikan impian kita terhadap pasangan kita, sebenarnya keluarga mau dibawa kemana supaya dia pun bisa menjadi supporter kita, menjadi pendorong, pendukung kita karena tujuannya sudah jelas.



PG : Itu yang harus kita lakukan, sewaktu kita berpacaran, masing-masing harus membagikan impiannya, apa yang ingin dicapai dalam hidup dan kita akan cocokkan semuanya itu. Tapi yang saya juga akan tekankan adalah ada banyak hal tak terduga yang bisa terjadi dalam pernikahan ini dan waktu hal-hal ini terjadi diperlukan kerelaan untuk melepaskan impian kita demi pasangan kita atau demi anak-anak kita. Kalau kita tidak bersedia dan hanya berkata, Ini memang yang saya inginkan dari dulu dan tidak bersedia melepaskannya maka saya kira justru ini tidak menjadi pujian bagi kemuliaan Tuhan.



GS : Apakah anggota keluarga ini perlu tahu bahwa ini adalah sebuah pengorbanan dari kita ?



PG : Sebetulnya kalau kita pun tidak bicara maka mereka akan tahu sebab kita



kadang-kadang bicara bahwa ini akan saya lakukan dan ini hal yang baik dan sebagainya. Kemudian kita beritahukan kita dapat tawaran ini dan kita tidak mengambilnya, kita tidak perlu bicara apa-apa, anggota keluarga akan tahu bahwa kita mengorbankan kepentingan kita demi mereka.



GS : Jadi memang dalam hidup pernikahan ini yang terpenting adalah bagaimana



Tuhan memandang hidup pernikahan kita. PG : Tepat sekali.



GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul mau menyampaikan kesimpulan dari apa yang sudah kita perbincangkan ?



PG : Sebagaimana hal lain dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan. Jadi persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama Tuhan Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri.



GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Pernikahan di Mata Tuhan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



|Di dalam ceramah yang berkaitan dengan pemilihan pasangan hidup, kadang saya mendapat pertanyaan, Apakah boleh menikah dengan orang yang tidak seiman ? Sesungguhnya jawaban terhadap pertanyaan ini bergantung pada bagaimanakah kita memandang pernikahan itu sendiri. Jika kita memandang pernikahan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan, keharmonisan rumah tangga, menyambung keturunan serta menjadi wadah yang sehat buat pertumbuhan anak-anak, jawabannya adalah, tidak. Dan juga sebaliknya. Jadi, bagaimanakah seharusnya kita memandang pernikahan ? Pada dasarnya kita harus memandang pernikahan dari sudut pandang kemuliaan Tuhan. Firman Tuhan di Efesus 1:5,6,& 12 berkata, Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita . . . . supaya kami yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.



Hidup kita seyogianyalah menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Dan, bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, sudah selayaknya pulalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Berikut akan dipaparkan bagaimanakah pernikahan dapat menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.



PERTAMA ADALAH KETAATAN PADA KEHENDAK TUHAN DALAM PEMILIHAN PASANGAN HIDUP.



Kita mesti mengutamakan kehendak Tuhan sewaktu memutuskan siapakah yang akan kita pilih untuk menjadi suami atau istri kita. Pada dasarnya pergumulan ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa yang KITA anggap baik dan melakukan apa yang TUHAN anggap baik. Mungkin orang ini baik dan cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa yang terbaik buat kita. Namun ia tidak seiman dan tidak mempercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Nah, dalam situasi seperti inilah ketaatan mendapatkan ujiannya. Apakah kita akan terus menerobos rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita menaati- Nya? Pada akhirnya keputusan apa pun yang diambil bergantung pada apakah kita dapat berkata bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita. Jika kita dapat berkata bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau lebih benar daripada perintah Tuhan.



Berkenaan dengan pernikahan di dalam 1 Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14 tertulis dengan jelas perintah Tuhan untuk kita anak-anak-Nya, . . . ia bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya. Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang- orang yang tak percaya . . . . Nah, bila kita meyakini bahwa perintah Allah adalah sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi daripada perintah Allah. Jadi, sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita dengannya, tetap itu bukanlah yang terbaik.



KEDUA ADALAH KETAATAN PADA KEHENDAK TUHAN DALAM MENJALANI HIDUP PERNIKAHAN.



Adakalanya kita mengidentikkan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan dengan kegiatan pelayanan. Sudah tentu keterlibatan dalam pelayanan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan hati Tuhan. Namun pada akhirnya kita harus menyadari bahwa terpenting bukanlah kegiatan melainkan ketaatan. Kita bisa giat dalam pelayanan tetapi belum tentu kita bisa taat dalam pernikahan. Meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang pembuktian ketaatan, beberapa di bawah ini mungkin dapat mewakili sebagian darinya.



• Apa yang kita perbuat tatkala apa yang diinginkan tidak didapatkan, memerlihatkan seberapa besar ketaatan kita pada kehendak Tuhan.



• Apa yang kita perbuat atas nama kasih. Ujian kasih bukanlah terletak pada seberapa besar nilai yang diberikan melainkan pada seberapa besar pengorbanan yang diberikan. Mungkin ada banyak hal yang ingin kita kerjakan di dalam hidup dan kita berharap pasangan dan bahkan anak-anak akan dapat memberikan dukungan kepada kita untuk meraih impian. Namun adakalanya hal itu tidak terjadi. Sebaliknya malah kita yang dituntut untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi pasangan atau anak-anak. Ternyata menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan acap kali terkait bukan dengan keberhasilan kita meraih impian melainkan pada pengorbanan kita melepaskan impian. Sewaktu kita melepaskan impian, Tuhan pun bekerja membentuk kita menjadi sosok yang sungguh akan membawa puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.



Kesimpulan



Sebagaimana hal lainnya dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan. Jadi, persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama Tuhan kita Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri.



1



Makna Pernikahan Gerejawi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T427B|T427B|Pranikah/Pernikahan|Audio|Pernikahan bagi orang Kristen adalah suatu kesaksian kepada umum bahwa Tuhan hadir dalam hubungan mereka. Dan intinya adalah pernikahan tersebut memperkenankan hati Tuhan.|3.5MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T427B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi; beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pemberkatan nikah. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.



(1) GS : Pak Paul, pada kesempatan ini saya ingin mengajak Pak Paul dan Bu Ida untuk membicarakan tentang makna pemberkatan nikah. Hampir semua kita sebagai pasangan suami-istri Kristen, nikahnya diberkati di gereja tapi juga banyak yang perlu kita ketahui tentang pemberkatan nikah di gereja itu, Pak Paul. Sebagai contoh misalnya mengenai maknanya sendiri. Ada sebagian orang yang mengatakan keunikan pernikahan Kristen itu adalah pemberkatan di gereja, jadi itu yang membedakan pernikahan Kristen dan yang bukan misalnya. Pandangan Pak Paul sendiri bagaimana mengenai pemberkatan nikah di gereja?



PG : Saya kira kita harus melihat dengan perspektif yang berimbang, Pak Gunawan, adakalanya kita ini memberikan porsi yang terlalu besar terhadap upacara itu sendiri. Tapi di pihak lain saya tidak ingin kita ini meremehkan makna dari pernikahan gerejawi



itu. Saya akan jelaskan yang saya maksud, ada misalkan orang yang beranggapan bahwa pernikahan Kristen itu kudus karena diberkati di gereja, seolah-olah dengan menikah di gereja dan mendapatkan berkat dari pendeta di gereja, untuk selama-lamanya pernikahan itu menjadi pernikahan yang diberkati. Kata berkat atau diberkati di gereja sebetulnya mempunyai beberapa aspek, aspek yang pertama adalah diberkati di gereja atau diberkati oleh Tuhan, berarti diperkenan oleh Tuhan. Jadi pernikahan itu pernikahan yang memang Tuhan setujui. Otomatis kita harus mengerti apa itu yang Tuhan akan setujui, yang jelas adalah Tuhan menghendaki kita menikah dengan yang seiman. Jadi misalkan ada orang yang ingin menikah dan meminta pemberkatan di gereja tapi pasangannya bukanlah seorang Kristen, secara otomatis pernikahan itu hanyalah menjadi upacara formal namun saya percaya tidak ada berkat Tuhan untuk pernikahan tersebut, karena jelas-jelas keduanya melakukan sesuatu yang Tuhan tidak setujui. Jadi apa yang Tuhan tidak setujui, Tuhan tidak mungkin memberkatinya. Unsur memperkenankan Tuhan itu penting sekali sebagai prasyaratnya. Yang kedua adalah berkat mempunyai arti sesungguhnya juga memberikan sukacita, sebab kata berkat itu mengandung arti kebahagiaan, kesukacitaan. Dengan kata lain, sewaktu Tuhan memberkati, Tuhan itu memang akan menambahkan sukacita, akan benar-benar menolong, menyertai pernikahan ini sehingga ini menjadi suatu pernikahan yang cocok, yang membahagiakan keduanya. Jadi saya kira kebanyakan kita lebih menekankan aspek yang kedua, Pak Gunawan, kita ingin menikah di gereja sebab kita ini mengharapkan Tuhan akan membahagiakan kita, tapi kita jangan sampai melupakan aspek yang pertama tadi, yaitu aspek memperkenankan hati Tuhan sebagai pernikahan yang memang Tuhan setujui. Jadi sekali lagi saya mau simpulkan jangan kita ini menempatkan berkat dalam



pernikahan secara kaku tapi juga tidak tepat. Sebaliknya saya juga tidak mau kita ini meremehkan pernikahan. Ini banyak dilakukan misalnya oleh para bintang-bintang film yang menikah di gereja-gereja, saya langsung mengingat para bintang film di Amerika Serikat, sewaktu mereka menikah, mereka senantiasa mencari gereja untuk menikahkan mereka. Tapi bagi mereka pernikahan gerejawi juga sebetulnya tidak mempunyai dampak apa-apa, mereka tidak mempunyai konsep bahwa nomor satu pernikahan ini haruslah diperkenankan oleh Tuhan, mereka tidak begitu pusingkan hal itu. Kedua, mereka juga tidak pusingkan aspek Tuhan itu memberkati dalam pengertian membahagiakan melalui pernikahan ini, kedua insan itu akan mendapatkan kecocokan dan hidup mereka akan penuh dengan sukacita karena Tuhan memberkatinya. Jadi mereka ini menikah di gereja hanya dengan tujuan tradisi, hal yang biasa dilakukan dan hal yang baik dilihat oleh orang, mereka menganggap bahwa pernikahan itu seolah-olah belum resmi kalau belum dilakukan di gereja. Jadi saya kira kita perlu memiliki keseimbangan jangan sampai kita mental dari yang satu ke satunya lagi.



IR : Nah, Pak Paul kalau pernikahan itu mempunyai arti untuk memperkenan hati Tuhan tentunya ada contoh-contoh konkret, syarat-syarat untuk bisa diperkenan oleh Tuhan itu pasangan yang bagaimana, Pak Paul?



(2) PG : Tadi saya sudah singgung bahwa yang pertama dan yang mutlak harus dipenuhi adalah keduanya harus seiman, jadi dua-duanya itu adalah orang yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan mereka dan telah menjadi Juruslamat bagi dosa mereka. Yang kedua, menurut saya ini juga sangat penting yaitu yang menjadikan pernikahan itu Kristen, bukanlah upacaranya tapi kehidupan kedua insan ini baik sebelum menikah ataupun setelah menikah. Sekarang saya mau sedikit banyak bergeser ke topik yang memang berdekatan dengan yang sedang kita bicarakan yaitu apa yang menjadikan pernikahan itu pernikahan Kristen. Sering kita beranggapan pernikahan itu pernikahan Kristen, karena dinikahkan atau upacaranya dilakukan secara Kristiani. Nah saya mau menekankan bahwa yang menjadikan pernikahan kita itu pernikahan Kristen bukan upacaranya, tapi kehidupan pernikahan kita itu, apakah benar-benar kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan apakah kehidupan kita itu memperkenankan hati Tuhan. Jadi bagi saya itu yang terlebih penting dan berkat Tuhan yang tadi saya maksud dengan menambahkan sukacita dalam kehidupan kita itu juga diperoleh tidak secara otomatis, tidak karena kita ini menikah di gereja, maka untuk seumur hidup Tuhan akan terus menambahkan sukacita kita, tidak! Jadi bagaimanakah kita ini berdua hidup, apakah kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, kalau kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan maka berkat Tuhan juga akan Tuhan curahkan, jadi kita tidak bisa membatasi pemahaman kita hanya pada upacaranya. Nah ini saya kira anggapan yang beredar sekarang ini, pokoknya menikah secara Kristen, seolah-olah nanti akan terus diberkati saya kira tidak, bergantung bagaimana keduanya hidup setelah mereka menikah. Kalau yang satu hidup tidak sesuai dengan kehendak Tuhan misalkan berfoya- foya, main judi, main perempuan lain dan sebagainya, bagaimanakah bisa mengharapkan berkat Tuhan, tidak mungkin karena hidupnya sudah tidak lagi memperkenankan Tuhan. Atau dua-duanya tidak mudah mengalah kalau ada perbedaan pendapat dua-duanya keras kepala, sombong dan sebagainya, bagaimanakah berkat Tuhan dicurahkan dalam kehidupan yang tidak suci dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Jadi konsep berkat itu saya kira jauh lebih luas dari sekadar diberkati di gereja.



GS : Ya tapi memang betul, Pak Paul, di negara kita pada saat ini salah satu prasyarat untuk bisa mendapatkan surat keterangan pernikahan itu perlu dilakukan pemberkatan di gereja, jadi memang itu banyak unsur formalitasnya. Menanggapi hal itu, bagaimana seharusnya gereja menyikapinya?



PG : Gereja harus tetap melakukan upacaranya tapi sebelumnya perlu menyaring dengan baik, menyeleksi, meneliti, mencermati pasangan yang akan menikah itu. Jangan sampai akhirnya gereja memberkati orang yang tidak memperkenankan Tuhan, apalagi kalau misalnya jelas yang satu itu tidak seiman, yang satu itu tidak hidup dalam Tuhan misalnya, gereja berhak menolak. Adakalanya saya kira sebagai pendeta mengakui bahwa kami ini adakalanya sungkan, masa orang mau menikah dipersulit dan sebagainya, tapi saya kira kita ini bukannya mau mempersulit tapi mau menegakkan kebenaran Tuhan juga. Jadi jangan sampai kita menjadi lembaga yang begitu sembarangan menikahkan orang, asal mereka senang kita senang ya sudah kita nikahkan mereka, saya kira itu juga keliru.



IR : Kalau ada pasangan yang hamil dahulu, bagaimana gereja menolak, kalau ditolak katanya tidak ada pengampunan, itu bagaimana Pak Paul?



PG : Sementara ini ada beberapa posisi ya Bu Ida, ada gereja yang mewajibkan bagi yang sudah hamil di luar nikah itu untuk menikah misalnya di aula tidak lagi di ruang ibadah atau misalnya di dalam ruang serba guna atau di rumah si mempelai; ada gereja yang mempunyai aturan seperti itu. Tapi ada juga gereja yang memberikan izin mereka menikah dalam ruang ibadah. Bagi saya secara pribadi, tempatnya bagi saya tidak masalah kalau misalkan gereja memang menetapkan agar tempatnya di luar baik, kalau gereja berpendapat tidak apa-apa di dalam juga baik. Bagi saya yang paling penting adalah gereja perlu melihat bahwa keduanya sudah bertobat. Jadi dalam konseling pranikah kita memang mewajibkan si mempelai untuk memberikan keterangan yang jujur, sudahkah mereka berhubungan suami-istri sebelum menikah. Jangan sampai kita ini akhirnya sebagai hamba Tuhan merasa lega karena mereka tidak hamil, tapi apa bedanya kalau mereka memang tidak hamil tapi karena menjaganya dengan baik misalnya memakai alat-alat kontraseptif, tapi mereka terus berhubungan suami istri sebelum mereka menjadi suami-istri. Jadi saya kira kita hamba Tuhan juga harus berhati-hati jangan sampai terpaku pada yang kasat mata, yang nampak saja, yang tidak nampakpun harus kita lihat. Kalau memang ada bukti mereka sudah berhubungan suami- istri dalam pranikah, dalam bimbingan pranikah kita ketahui hal itu, tugas hamba Tuhan adalah untuk meminta mereka bertobat dan menghentikan perbuatan itu. Mereka sadar apa tidak itu dosa, mereka mau tidak bertobat atas perbuatan mereka. Kalau kita melihat memang mereka tidak mau bertobat, saya sebagai hamba Tuhan akan dengan lega berkata, Saya tidak akan nikahkan kalian. Jadi gereja berhak menolak, gereja tidak berkewajiban menerima semua orang yang mau menikah di gerejanya, tidak harus, sebab gereja adalah utusan Tuhan dan Tuhan tidak selalu membiarkan orang melakukan hal-hal sekehendak mereka. Tuhan meminta anak-anakNya untuk hidup taat kepadaNya, jadi saya kira gereja sebagai utusan Tuhan di bumi ini harus mewakili Tuhan dengan jelas juga.



GS : Jadi peran bimbingan pranikah itu penting sekali ya Pak Paul khususnya pada saat-saat



seperti ini (PG :Betul) untuk memberikan pengertian yang benar. Pak Paul ini ada satu kasus yang disampaikan oleh para pendengar kita dari salah satu kota itu yang pasangan suami-istri ini sudah menikah ± 22 tahun. Nah penulis surat ini adalah seorang ibu yang



usianya 42 tahun dan suaminya itu sekitar umur 50 tahun. Mereka dikaruniai seorang putri yang kini sudah berusia 21 tahun, 6 tahun yang lalu itu suaminya itu menikah lagi, tapi bukan secara Kristen dalam agama yang lain dan ketika sudah mempunyai anak laki- laki, maka ibu itu membaptiskan anaknya, jadi anaknya itu dibaptiskan di sebuah kota lain dan bahkan dipestakan, diperingati. Lalu si suami itu juga beristri lagi tetapi rupanya mengalami hambatan dalam usahanya, tidak lagi menghiraukan istrinya, Pak Paul. Pertanyaan yang diajukan adalah saat ini status pernikahan antara si ibu ini dengan si suami yang kemudian sudah menikah lagi , bagaimana Pak Paul? Cerai ya tidak, karena mereka khususnya ibu ini sebagai orang Kristen tidak mau melakukan perceraian itu tetapi si suami ini 'kan tidak lagi mencukupi nafkah istrinya itu bagaimana menurut Pak Paul?



PG : OK! Jadi isi surat itu adalah menanyakan tentang suami yang menikah kembali dan



menikahnya bukan secara Kristen tapi akhirnya setelah punya anak (GS : anaknya itu dibaptiskan di kota lain Pak Paul ya) secara Kristen. Sebelum saya menjawab saya hanya ingin memberikan penjelasan kepada para pendengar bahwa kami tidak selalu membahas surat yang dialamatkan kepada kami dan kami menganggap semua surat itu adalah hal- hal yang rahasia. Surat ini kami bahas karena diminta Pak Gunawan oleh (GS :Penulis surat ini memang meminta supaya ini mungkin diketahui banyak orang tetapi kita 'kan tidak menyebutkan nama, identitas atau apa). Ya secara rohani dulu Pak Gunawan saya akan bahas, saya akan bacakan dari Markus 10 dan ini adalah suatu percakapan antara Tuhan Yesus dengan murid-muridNya. Di ayat 10 dari pasal 10, Ketika mereka sudah sampai di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu (yakni tentang perceraian ya) lalu kataNya kepada mereka, Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain ia berbuat zinah. Di sini kita melihat, Pak Gunawan, bahwa Tuhan menganggap pernikahan kedua itu dalam konteks tadi sebagai suatu perzinahan. Jadi jelas Tuhan berkata barangsiapa menceraikan istrinya dan kawin dengan perempuan lain dia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Kenapa disebut perzinahan? Sebab pernikahan yang kedua itu Tuhan tidak akui, oleh sebab itulah hubungannya dengan wanita lain tersebut dianggap sebagai suatu perzinahan. Jadi begini maksudnya, kalau pernikahan yang kedua itu Tuhan akui sebagai pernikahan yang sah, Tuhan tidak akan panggil itu sebagai suatu perzinahan, dipanggil perzinahan karena dianggap itu adalah hubungan suami-istri atau hubungan seksual di luar pernikahan. Jadi kalau kita membahas pertanyaan ibu tadi dari segi Kristen, rohani, jawabannya adalah pernikahan yang kedua itu tidak sah di mata Tuhan. Jelas-jelas sebab si suami ini memang meninggalkan istrinya yang sah untuk menikahi orang lain, jadi pernikahan yang kedua itu tidak sah di mata Tuhan.



GS : Bagaimana dengan anak mereka itu, Pak Paul?



PG : Dalam soal anak secara rohani, anak itu anak yang sah, begini soalnya kita tidak bisa menggunakan istilah anak haram, saya kira istilah anak haram tidak adil ya terhadap si anak. Sebab yang haram adalah hubungan antara si bapak dan si ibu itu tadi, anak itu sendiri bukanlah anak yang diharamkan (GS : Tetap karunia Tuhan ya Pak ) tetap karunia Tuhan dalam kemurahan Tuhan, Tuhan memberikan anak kepada mereka tapi



keduanya itu memang telah melakukan hubungan yang haram. Si anak itu tidak bersalah apa-apa. Jadi apa status anak itu? Tetap anak itu adalah anak yang Tuhan berikan.



GS : Sejauh ini memang ada perasaan yang bersalah, Pak Paul, dalam diri si ibu ini karena dia juga terlibat di dalam pelayanan dan sebagainya, mungkin dia tahu tadi yang Pak Paul katakan bahwa itu sesuatu yang tidak benar di mata Tuhan. Pertanyaannya adalah bagaimana dia bisa melepaskan perasaan bersalahnya ini, Pak Paul?



PG : Si ibu ini maksudnya si ibu yang istri sah itu, dia tidak membuat suatu kesalahan jadi dalam hal ini si ibu tidak perlu merasa bersalah sedikitpun kecuali memang dia mempunyai andil yang besar dalam membuat si suaminya itu meninggalkan dia. Tapi saya percaya tetap begini ya, pernikahan itu tidak bisa tidak akan mengundang problem, kita ini adalah dua orang yang berbeda sudut pandang jadi pasti ada problem. Tapi Tuhan tidak menginginkan karena ada problem kita cari perempuan lain, jadi tidak ada alasan bagi seseorang berkata, Karena engkau tidak mengerti aku, aku cari wanita lain, ya tidak bisa, engkau tidak cocok, engkau usahakan agar bisa cocok. Jadi dalam kasus ibu ini saya tidak tahu kasusnya secara mendetail karena memang tidak dijabarkan, namun kalau masalahnya masalah yang manusiawi antara dua orang suami istri saya kira ibu ini tidak usah merasa bersalah, tidak ada kesalahan pada dirinya, yang bersalah adalah si suami, telah meninggalkan istri yang sah menikah dengan orang lain, malahan dia itu menyangkali imannya, karena menikah tidak secara Kristiani. Mungkin dia juga tahu tidak bisa menikah secara Kristiani dan sebagainya, jadi yang jelas salah adalah si suami, si ibu ini mau melayani Tuhan silakan melayani Tuhan, dia tidak ada kesalahan dalam hal ini, yang bersalah adalah si suaminya.



GS : Jadi walaupun tidak ditanyakan Pak Paul saya tergoda untuk bertanya ini, bagaimana seandainya si ibu itu lalu tertarik pada pria lain dan dia menikah dengan pria lain itu, Pak Paul?



PG : Dalam hal ini saya menggunakan ayat yang ditulis oleh rasul Paulus di I Korintus pasal 7, di situ memang rasul Paulus memberi nasihat kepada para istri yang ditinggalkan oleh suami mereka, dan kebetulan suami mereka adalah orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Nah Paulus justru menegaskan, biarkan mereka pergi sehingga tidak timbul keributan dalam masalah perceraian ini, biarkan mereka pergi mereka adalah orang- orang yang tidak percaya Tuhan, sudah jangan membikin keributan. Paulus menekankan prinsip kedamaian, jadi dalam hal ini saya akan berkata kepada si ibu itu kalau ibu itu bersedia, saya kira biarkan ibu itu melepaskan si suaminya meskipun si ibu itu berat lakukan ini, tapi yang meninggalkan si ibu adalah si suami tersebut dan dia sudah ada istri lain. Ya di mata masyarakat memang diakui sebagai pernikahan yang sah karena sudah menikah, tapi di mata Tuhan Yesus kita tahu tidak diakui. Namun kita bisa menggunakan nasihat rasul Paulus yaitu membiarkan jangan membuat keributan, dia mau tinggalkan engkau ya sudah biarkan dia pergi. Jadi saya katakan kepada ibu ini, Silakan kalau engkau ingin memformalkan perceraianmu dengan suamimu yang telah meninggalkan engkau ini dan sudah kawin dengan orang lain silakan, biarkan. Misalkan dia nanti tertarik dan jatuh cinta dengan seseorang pria yang lain kalau saya pribadi bicara untuk diri saya, saya akan izinkan sebab pertama-tama dia adalah korban dari perbuatan suaminya ini.



GS : Banyak pasangan-pasangan Pak Paul yang mungkin dahulu sebelum jadi orang Kristen sudah menikah, lalu sekarang jadi Kristen dulu punya anak-anak menginginkan agar



pernikahan mereka diberkati di gereja. Bagaimana dalam hal ini, Pak Paul? Jadi misalnya saya, waktu menikah karena belum Kristen tentu tidak ada pemberkatan di gereja tapi



sekarang setelah bertobat dan istri juga bertobat lalu ingin diberkati di gereja dengan pengertian supaya mungkin tadi yang Pak Paul katakan, pernikahan ini diberkati.



PG : Jadi bagi saya boleh ya, boleh tidak, terserah. Kalau mau diberkati ulang ya silakan, tidak mau ya tidak apa-apa. Sebab Tuhan mengakui institusi atau kelembagaan pernikahan, dilakukan oleh siapapun dalam konteks budaya apapun Tuhan akui sebagai pernikahan yang sah. Dan sekali lagi saya tekankan berkat Tuhan bukanlah tercurah pada waktu upacara pernikahan itu, tapi pada masa setelah pernikahannya bagaimana kita hidup dengan istri atau suami kita, apakah memperkenankan Tuhan atau tidak.



GS : Memang sebaiknya, pernikahan muda-mudi kita diberkati di gereja tapi tentu



dibutuhkan bimbingan agar mereka betul-betul memahami dengan demikian bisa menghargai makna pemberkatan nikah di gereja itu.



PG : Sebab itu suatu kesaksian, Pak Gunawan, waktu orang Kristen menikah dia memberikan kesaksian kepada umum bahwa Tuhan hadir dalam hubungan mereka, jadi kehadiran Tuhan itu dinyatakan melalui pernikahan Kristiani tersebut, itu maknanya.



GS : Tapi itu juga mengandung konsekuensi logis, Pak Paul, kalau seandainya pernikahan itu



tidak harmonis, lalu orang juga menuduh, Itu lihat orang Kristen hidup berumah tangganya begitu, Pak Paul.



PG : Betul sekali.



GS : Jadi memang itu suatu tantangan juga selain kesempatan untuk bersaksi lewat kehidupan rumah tangga.



Baiklah, demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga dalam hal ini khususnya mengenai pemberkatan nikah, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.