Kedukaan Karena Covid-19

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T573A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Covid-19 adalah penyakit baru, metode penanganannya masih dalam tahap uji coba dan belum baku, Covid-19 membawa dampak tertentu dalam proses kedukaan, keterkejutan dan penyesalan dapat mengeruhkan dan memerlambat proses kedukaan, namun bagi kita yang percaya, kita tidak pernah sendiri karena Dialah Imanuel.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Setiap kematian unik; demikian pula kedukaan. Seberapa dekat dan baiknya hubungan kita dengan yang telah meninggal, dan seperti apakah tipe kepribadian kita,semua ini berperan besar dalam proses menjalani kedukaan. Makin dekat dan positif relasi kita dengan yang telah meninggal, makin berat dan lama proses kedukaan yang mesti kita lalui. Bila kita bertipe kepribadian ekstrovert, kita akan mengungkapkan kedukaan secara ekspresif sedang kita yang bertipe introvert cenderung menyimpan kedukaan di dalam hati.

Selain dari itu ada satu lagi faktor yang berperan besar di dalam kedukaan yaitu penyebab dan cara kematian. Pada umumnya kita akan menjalani proses kedukaan secara lebih mulus bila penyebab kematian adalah penyakit di usia tua dan cara meninggal melalui masa sakit yang panjang dan bertahap. Singkat kata akan lebih mudah buat kita menerima kematian dan menjalani kedukaan bila kematian terjadi secara wajar—apa pun definisi wajar kita itu. Sebaliknya akan lebih susah untuk kita menerima kematian dan menjalani kedukaan jika kita menganggap kematian terjadi secara tidak wajar.

Berlandaskan pengertian ini kita perlu menyadari bahwa Covid-19 membawa dampak tertentu ke dalam proses kedukaan. Sudah tentu ada yang dapat menerima kematian akibat Covid-19 tetapi ada pula yang mengalami kesulitan. Alhasil proses kedukaan berjalan secara tertatih-tatih—jauh dari mulus. Kita sulit menerima kenyataan bahwa orang yang dikasihi telah tiada dan perasaan kita terus berkecamuk dan diombang-ambingkan oleh pelbagai penyesalan. Itu sebab penting untuk kita melihat dengan saksama dampak Covid-19 pada proses kedukaan.Berikut akan dijabarkan beberapa di antaranya.

Oleh karena gejala awal Covid-19 tidak berbeda dari gejala flu pada umumnya, kematian akibat Covid-19 membuat kita sangat terkejut. Kita tidak menyangka bahwa sesungguhnya orang yang kita kasihi telah berada di ambang kematian. Memang kematian karena serangan jantung juga terjadi secara tiba-tiba dan membuat kita terkejut tetapi pada umumnya kita tahu bahwa serangan jantung adalah sesuatu yang serius. Sedikit banyak ini memudahkan kita menerima kematian. Sebaliknya, pada tahap awal Covid-19 tidak menampakkan gejala yang serius. Baik kita yang melihat maupun si penderita, kita sama-sama tidak menyangka bahwa pilek-batuk yang dialami adalah pertanda infeksi Covid-19 telah terjadi.

Keterkejutan yang dirasakan sebelum kematian akhirnya berlanjut menjadi penyesalan setelah kematian. Kita rentan untuk menyalahkan diri sebab kita tidak berikhtiar untuk mencari pertolongan secara lebih gencar. Mungkin kita pun menyalahkan si penderita sebab ia menyepelekan gejala yang dialami dan tidak mau mencari pertolongan. Masalahnya adalah pada tahap awal Covid-19 tidak menampakkan gejala yang mengkhawatirkan. Si penderita—dan mungkin pula kita—beranggapan bahwa ini adalah flu biasa; mungkin pula si penderita—dan kita pula—berpikir bahwa terpenting adalah karantina diri dan beristirahat cukup untuk memberi kesempatan kepada antibodi untuk melawan virus. Keterkejutan dan penyesalan dapat mengeruhkan dan memperlambat proses kedukaan. Kita sulit percaya bahwa orang yang kita kasihi sekarang telah tiada; minggu lalu ia masih bersama kita, tetapi hari ini ia telah tiada. Kita merasakan kehilangan yang amat besar dan sulit menerima kenyataan bahwa orang yang kita kasihi telah tiada. Penyesalan biasanya berujung pada menyalahkan diri; kita merasa bertanggungjawab atas kematian orang yang kita kasihi, seakan-akan kitalah penyebab kematiannya. Kita hanya dapat berbuat sesuatu bila kita tahu sesuatu. Di dalam ketidaktahuan, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Menyalahkan diri—atau si penderita—tidak dapat membangkitkannya dari kematian. Kita mesti menerima keterbatasan kita—bahwa kita tidak tahu. Andaikan kita tahu sudah tentu kita akan langsung membawanya ke Rumah Sakit atau mencari pertolongan yang lebih intens.

Hal berikut yang mesti kita camkan adalah Covid-19 adalah penyakit baru, bukan penyakit lama seperti pneumonia atau pendarahan di otak. Hampir setiap minggu muncul penemuan baru tentang virus ini dan dampak penyerangannya pada tubuh manusia. Sudah tentu pengetahuan kita akan penyakit ini hari ini sudah jauh lebih baik ketimbang tujuh bulan lalu namun tetap, oleh karena Covid-19 adalah penyakit baru, maka metode penanganannya masih dalam tahap uji-coba dan belum baku. Buat penderita tertentu, penanganan dengan cara ini berhasil tetapi buat penderita yang lain, tidak berhasil. Buat penderita tertentu, obat ini berkhasiat namun buat penderita yang lain, obat yang sama malah menimbulkan efek sampingan yang tidak diharapkan. Kita perlu memahami hal ini sebab pada umumnya kita menaruh harapan besar bahwa penanganan medis yang diberikan pastilah akan dapat menyembuhkan orang yang kita kasihi. Sewaktu ia meninggal dunia, kita marah dan menyalahkan penanganan medis yang diberikan. Kita mesti menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan pengobatan berandil besar dalam penanganan yang diberikan. Memang di era globalisasi dan kemajuan teknologi kita dapat berbagi dan saling tukar pengetahuan dan pengalaman, dan ini sangat membantu penanganan medis Covid-19, namun tetap kita perlu mengingat bahwa pada kenyataannya semua menghadapi masalah yang sama—bahwa Covid-19 adalah penyakit baru. Kita masih terus memelajarinya dan berusaha menemukan cara pengobatannya. Dengan kata lain, kita harus bersikap realistik terhadap tenaga medis yang terlibat dalam perawatan orang yang kita kasihi. Janganlah kita terlalu cepat menyalahkan mereka. Kita harus terus mengingatkan diri bahwa mereka hanya dapat berusaha menyembuhkan; mereka tidak memunyai kuasa untuk menyembuhkan. Dan, bahwa mereka pun masih terus memelajari daya kerja virus ini dan cara pengobatan yang tepat.

Terakhir, oleh karena merosotnya sistem imun pada tubuh maka penderita Covid-19 mesti diisolasi. Ini berarti bukan saja si penderita tidak dapat melihat wajah petugas medis yang merawatnya, mereka pun tidak dapat berjumpa dengan sanak keluarga serta kerabat. Inilah yang sering menjadi beban kita menjelang dan setelah kematiannya—kita sedih dan kasihan memikirkan akhir hidupnya. Mungkin kita bertanya, apakah yang direnungkannya dan dirasakannya di dalam kesendiriannya?

Bagi si penderita maupun bagi kita yang mengasihinya, kesendirian di masa sakit dan terpisah dari orang yang dikasihi, merupakan kesengsaraan dan kesedihan besar. Namun di dalam kesendirian itulah kita datang kepadaTuhan dan memohon penyertaan-Nya. Di dalam keheningan kita dapat merenungkan karya dan pemeliharaan Tuhan di dalam hidup kita; di dalam kesunyian kita dapat mendengar suara Tuhan lewat Roh Kudus-Nya berbicara dan menguatkan hati kita. Singkat kata, bagi orang percaya, kita tidak pernah sendirian. Yesus adalah Imanuel, Allah beserta kita.

Pada akhir pergumulannya dengan Allah, Ayub berseru (42:2), "Aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal." Inilah dasar iman: Kita percaya pada Allah yang Maha Kuasa. Ia berkuasa melakukan segalanya—termasuk menyembuhkan orang yang kita kasihi—tetapi Ia tidak selalu melakukannya. Sebab, dalam rencana-Nya yang baik dan sempurna, kadang Ia memakai sakit penyakit—termasuk Covid-19—untuk membawa anak-anak-Nya pulang. Kematian orang yang kita kasihi berada di dalam rencanaTuhan, dan tidak ada yang dapat menggagalkan rencanaTuhan.