Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Dampak Krisis Iman Anak Pada Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita membicarakan tentang anak kita bisa menolak iman yang kita tanamkan sejak kecil, iman Kristen. Ini bisa berdampak pada pernikahan kita sebagai orang tuanya, Pak Paul.
PG : Tidak bisa kita hindari pada waktu anak kita itu memutuskan untuk meninggalkan imannya pada Kristus, kehidupan kita akan berubah. Kepedihan akan menjadi bagian hidup kita sepanjang masa pengembaraannya. Berarti kita akan sedih, kita akan kecewa, kita akan marah. Tidak jarang akhirnya krisis iman anak menimbulkan krisis pada pernikahan kita pula. Pada kesempatan ini kita akan melihat dampak krisis iman anak pada pernikahan kita sebagai orang tuanya dan langkah apa saja yang mesti kita ambil untuk mencegahnya.
GS : Kalau tidak dicegah, yang rusak bukan hanya anaknya tapi juga pernikahan kita, hubungan kita sebagai suami istri, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kita harus menyadari bahwa kalau pernikahan kita kuat waktu mengalami krisis, kita akan mengalami goncangan, tidak bisa tidak. Sekuat apa pun waktu kita mengalami krisis kita akan mengalami goncangan, tapi kalau pernikahan kita kurang kuat kemudian mengalami krisis, kita bukan mengalami goncangan tapi kita akan terjungkal alias kita akan mengalami problem yang berat dalam pernikahan kita. Memang seberapa berat dampaknya, krisis iman anak pada pernikahan kita orang tua bergantung pada kondisi pernikahan kita itu sendiri.
GS : Dampak yang paling sering dirasakan oleh pasangan suami istri yang anaknya meninggalkan iman Kristen itu apa, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa, pertama pada umumnya reaksi awal kita sewaktu anak meninggalkan imannya adalah kaget campur marah dan kecewa. Dalam kondisi marah dan kecewa, kita menyalahkan satu sama lain, kita menuduh pasangan menjadi penyebab munculnya krisis iman pada anak. Mungkin kita beranggapan kalau saja pasangan lebih memberi perhatian pada kerohanian anak maka anak tidak akan meninggalkan imannya pada Kristus. Atau kita menyalahkan pasangan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kerohanian anak sebab selama ini tugas membesarkan anak jatuh pada pundak pasangan. Sudah tentu reaksi ini belum tentu sepenuhnya salah, karena mungkin saja pasangan memang berandil besar pada krisis iman anak. Sungguhpun demikian adalah jauh lebih baik bila kita menilik diri sendiri dan mengakui tanggungjawab kita dalam keputusan anak meninggalkan imannya pada Kristus. Mungkin hubungan kita sebagai suami istri tidak begitu baik sehingga anak merasa kecewa. Dalam kekecewaan ia memutuskan meninggalkan imannya. Keputusan yang sebetulnya lebih merupakan ungkapan protesnya terhadap hubungan kita yang buruk sebagai suami istri, tapi kita juga mesti terbuka terhadap kemungkinan bahwa keputusan anak untuk tidak menjadi pengikut Kristus tidak berhubungan dengan kita, orang tuanya. Adakalanya anak dipengaruhi oleh lingkungan yang membuatnya terseret dan jatuh dalam dosa. Dalam kondisi dia jatuh, dia menjauh dari Tuhan atau dia meninggalkan iman karena keraguan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, misalnya dia tidak dapat menerima ajaran Alkitab. Singkat kata, belum tentu keputusannya meninggalkan iman terkait dengan kita, jadi sekali lagi jangan tergesa-gesa menyalahkan pasangan. Sebaiknya kita melihat diri masing-masing, bersatu untuk menghadapi masalah ini.
GS : Yang sering dijumpai juga bukan saling menyalahkan tetapi menyalahkan dirinya sendiri. Yang mengatakan ini karena saya yang bekerja terlalu sibuk dan sebagainya sehingga anak saya begini atau saya yang terlalu membolehkan segala sesuatu kepada anak. Jadi mereka menyalahkan dirinya sendiri, Pak Paul.
PG : Kadang-kadang itu yang kita lakukan, Pak Gunawan, sebab kita merasa bertanggungjawab. Tadi saya sudah mengatakan bahwa belum tentu kita bebas tidak ada tanggungjawab sama sekali, belum tentu. Jadi kita mesti introspeksi, tapi kalau kita sudah introspeksi, kita lihatlah dengan jelas seberapa besar andil kita ya kita akui, tapi kalau memang kita sudah melihat dengan hati terbuka, sebetulnya tidak ada andil kita. Ini keputusan murni ada di tangan anak kita, ya sudah kita terima. Mungkin karena saya ini hamba Tuhan jadi saya juga cenderung menyalahkan diri, saya tidak mau melepaskan tanggungjawab saya. Waktu anak saya meninggalkan Tuhan, tidak bisa tidak saya juga bertanya apakah saya berandil dalam keputusannya itu. Waktu anak saya yang satu lagi memang tidak sampai meninggalkan Tuhan tapi mengalami krisis iman, saya juga hampir memutuskan waktu itu untuk tidak lagi melayani Tuhan karena saya tidak mau menjadi batu sandungan. Anak sayalah yang memang mati-matian berkata, "Papa jangan mundur dari pelayanan sebab keputusan saya ini tidak ada kaitannya dengan papa tapi dengan saya sendiri. Saya memunyai banyak pertanyaan yang saya belum bisa temukan jawabannya, jadi saya memang tidak bisa percaya bukan karena apa-apa tapi karena memang saya belum menemukan jawabannya".
GS : Yang penting disini dituntut kekompakan antara pasangan suami istri dalam menghadapi masalah ini.
PG : Betul, jadi jangan sampai kita menambahkan masalah dengan menyalahkan satu sama lain. Kalau kita memang melihat pasangan kita berandil, katakan satu kali saja cukup bahwa anak ini meninggalkan iman sedikit banyak ada andil kita atau andil kamu. Sudah begitu ya sudah jangan terus-menerus, sebab kalau kita terus menyalahkan pasangan ini tambah merusak relasi kita dan ini justru berdampak buruk pada anak.
GS : Hal yang kedua apa, Pak Paul yang berakibat buruk dalam pernikahan orang tuanya ?
PG : Hal kedua, keputusan anak meninggalkan iman pada Kristus juga dapat berakibat buruk pada pernikahan sebab cara kita menghadapinya, menghadapi krisis iman anak bisa jadi sangat berbeda. Mungkin kita pribadi lebih memilih untuk membiarkan anak menemukan jalannya sedangkan pasangan berkeyakinan bahwa kita harus lebih berperan aktif membawanya kembali kepada Kristus. Atau kita memilih untuk bercerita kepada pihak lain seperti teman di gereja atau sanak saudara namun pasangan memilih untuk menyimpan masalah ini sendiri. Nah tidak bisa tidak, perbedaan-perbedaan ini berpotensi menimbulkan konflik. Sebaiknya kita saling memahami dan menerima perbedaan sebagai perbedaan, bukan tanda ketidakpedulian atau lainnya. Ijinkan pasangan untuk berbeda, jangan memaksanya untuk mengadopsi gaya kita menghadapi masalah, sebaliknya capailah titik temu dan bersatulah dalam titik temu itu. Misalnya kita dapat berdoa bersama setiap malam untuk anak kita. Ini kesimpulannya, kita mungkin berbeda dalam cara dan pendekatan tapi tujuan kita sama, anak kembali kepada Kristus.
GS : Kadang perbedaan itu bukan hanya sekadar mau cerita atau tidak mau cerita, Pak Paul, tapi dalam menghadapi anak itu ada pihak orang tua misalnya ayah langsung mengusir anak ini, tapi si ibu biasanya lebih menyayangi mencoba memertahankan anak ini, hal ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Ini bagian dari perbedaan cara menghadapi krisis. Ada yang memang menghadapi krisis dengan cara kekerasan, dengan cara memaksakan, dengan cara menghilangkan tapi ada yang menghadapi krisis dengan cara kita hidup dengan krisis itu. Coba untuk bersabar, gunakan cara-cara yang lebih lembut. Gunakan misalkan kompromi dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan ini muncul pada waktu anak meninggalkan imannya, tidak bisa tidak sebab ini adalah krisis. Akhirnya mudah sekali kita konflik dengan pasangan karena ini. Yang biasanya kita lakukan adalah kita langsung mengaitkan tindakan pasangan sebagai wujud tidak peduli kepada anak, tidak sayang kepada anak. Ini yang mesti dijaga jangan sampai kita menuduh pasangan seperti itu. Kamu tidak sayang pada anak karena itu kamu mengusir anak, kamu memang dari dulu tidak dekat dengan anak, tidak peduli pada anak. Itu jangan kita katakan, misalkan pasangan kita berkata, "Saya mau minta dia keluar dari rumah", kita bisa berkata, "Saya tahu sebetulnya kamu sayang kepadanya, kamu sebetulnya terluka dia meninggalkan imannya dengan cara seperti itu, saya mengerti, kamu sebetulnya sayang kepadanya". Karena kamu sayang padanya, saya juga sayang padanya, kita tidak tergesa-gesa kalau kita sudah mengambil keputusan sejauh itu nanti susah untuk bisa memutar jarum jam. Kalaupun dia sudah bertobat, mungkin sekali dia sakit hati dengan kita mungkin sekali dia tidak mau lagi menjalin relasi dengan kita walaupun dia mungkin mau berelasi kembali dengan Tuhan. Apakah itu yang kamu inginkan kalau nanti dia kembali kepada Tuhan dan tidak mau kembali pada kita ? Nah, bukankah engkau juga tidak mau itu terjadi. Kalau tidak mau itu terjadi, kita tunggu jangan cepat-cepat mengusir anak kita keluar dari rumah.
GS : Tapi memang biasanya ada yang tetap diusir karena si suami juga punya harga diri, kalau dia sudah mengatakan seperti itu, dia tetap akan melakukan pengusiran itu. Si ibu ingin tetap menjalin relasi dengan anak itu secara sembunyi-sembunyi tentunya.
PG : Nah, kalau memang sampai terjadi seperti itu, ekstrim sekali dan suami istri tidak bisa bersatu, memang akan biasanya nantinya menimbulkan sakit hati. Si suami sakit hati karena merasa istrinya tidak mendukung dia, si istri juga sakit hati kenapa anak yang dikasihinya dilukai seperti itu. Memang tidak mudah, saya juga tidak berkata bahwa tindakan meminta anak keluar dari rumah selalu salah. Yang saya tekankan adalah dalam hal ini caranya. Saya pernah meminta anak saya waktu dia keluar dari iman, hidup diluar Tuhan dengan cara-cara yang memang tidak berkenan pada Tuhan, saya hanya bicara kepadanya bahwa tidak bisa kita tinggal serumah dengan gaya hidup kamu yang begitu berbeda dengan gaya hidup kami. Saya katakan karena kami berdua menumpang di rumah mertua saya, ini bukan rumah saya, tapi nanti kita bicara dengan orang tua, mertua saya, siapa yang dia mau tampung kalau misalnya dia mau tampung kamu, ya sudah kami yang akan keluar. Kami tidak mengusir dia tapi kami hanya mengatakan bahwa kami tidak bisa hidup dengan kamu dengan gaya hidup kamu yang seperti ini. Jadi salah satu yang memang harus keluar. Kami juga siap untuk keluar rumah kalau misalnya mertua saya bilang, kami mau cucu saja yang tinggal disini, kamu yang keluar. Kami akan keluar, konsekwen. Dalam hal ini istri saya sehati dengan saya karena memang melihat susah dengan gaya hidup yang begitu berbeda, kami juga tidak bisa terima daripada nantinya ribut terus dan ini tambah merusak relasi kami, lebih baik pisah dan dalam anugerah Tuhan waktu kami berpisah justru hubungan kami lebih baik karena ketemu hanya untuk berbicara dan makan bersama. Tidak harus melihat jadi memang lebih mudah untuk kami berelasi dengan dia pada masa-masa dia menghilang dari Tuhan.
GS : Jadi dalam hal ini keputusan si suami mengusir anaknya juga bisa dibenarkan, Pak Paul ?
PG : Tapi saya harus berhati-hati dengan kata "mengusir" karena mengusir itu kasar. Dalam kasus kami, kami tidak mengusirnya, kami hanya berkata kita tidak bisa tinggal serumah lagi. Karena kebetulan keduanya tinggal di rumah orang tua istri saya. Kami pun siap untuk meninggalkan rumah itu.
GS : Tetapi kalau itu tinggal di rumah kita sebagai orang tua dan itu menjadi rumah kita, itu ‘kan sama dengan mengusir, Pak Paul.
PG : Caranya dengan lembut, bicara baik-baik, saya tidak menggunakan kata mengusir, kamu harus pergi dari sini. Saya tidak memaki dia, sama sekali tidak. Saya bicara seperti sekarang saya bicara dengan Pak Gunawan. Saya berkata, "Saya rasa kita tidak bisa tinggal serumah, hidup kita sudah terlalu berbeda dan saya dan istri saya mengatakan, "Saya dan mama, sulit untuk melihat kamu hidup seperti ini. Daripada kita nanti konflik, lebih baik kita berpisah". Memang kita harus siap menghadapi hal-hal seperti ini karena memang tidak selalu mudah dan indah.
GS : Hal yang ketiga apa, Pak Paul, yang seringkali terjadi dalam hubungan pernikahan ?
PG : Ketiga dalam perbedaannya, tidak jarang kita pun merasa sendirian dan tidak mendapatkan dukungan dari pasangan. Seakan-akan kita harus berjuang dan bersedih hati sendirian. Nah, seringkali kesendirian ini membuat kita makin jauh dari satu sama lain. Akhirnya relasi kita makin kering dan hambar berhubung tidak adanya keintiman di antara kita. Sudah tentu kehambaran dan menipisnya keintiman membuka kemungkinan munculnya masalah-masalah lain, misalkan kita menjadi lebih tidak sabar terhadap pasangan atau kita mulai mencari pengertian dan keintiman dari pihak lain. Mungkin benar bahwa kita sendirian menghadapi krisis iman anak karena pasangan bukanlah orang yang memerhatikan apalagi mementingkan hal kerohanian. Sudah tentu jika itu yang terjadi kita harus berjuang sendirian, namun acapkali masalahnya bukan itu. Sesungguhnya pasangan memerhatikan kerohanian anak dan bersedih tapi dia tidak terbiasa menyuarakan kesedihannya secara terbuka. Ia lebih nyaman melewati kesedihan dan kekecewaannya sendirian di dalam hatinya, bukan di luar hatinya. Itu sebab pada masa yang genting ini kita menjalin komunikasi agar pasangan mengerti isi hati kita dan tidak timbul kesalahpahaman dan kita juga dapat terbuka padanya dengan kebutuhan kita bahwa kita merasa sepi dan hambar, merasa ditinggalkan dan sendirian. Katakan bahwa kita mengerti, dia pun menderita dan memerlukan waktu untuk pulih namun ajaklah dia untuk menjalaninya bersama-sama. Ingatkan bahwa untuk memenangkan iman anak, kita harus bersatu padu, bukanlah bercerai-berai. Makin kita terbelah, makin kita lemah dan makin anak menjauh dari Tuhan.
GS : Kalau timbul masalah-masalah lain, Pak Paul, karena gambaran itu. Masalah-masalah lain yang seringkali muncul, apa Pak Paul ?
PG : Misalnya kita kehilangan kasih, Pak Gunawan. Itu yang paling serius karena ini kita merasa sendirian. Pasangan juga sendirian, tidak ada lagi komunikasi, tidak ada lagi keintiman, lama-lama kasih itu hilang. Atau karena kasih itu hilang kita makin hambar, kita makin mudah marah. Makin tidak sabar, makin sering konflik. Konflik makin merusakkan relasi kita. Yang juga berbahaya adalah dalam kondisi seperti ini kita rawan terhadap orang yang terlibat dalam hidup kita, yang mau mengerti kita, yang sependapat dengan kita. Nah, akhirnya kita lebih mencari dia untuk bicara, kalau dia memang lawan jenis kita lama-lama kita terlibat dengan dia secara romantis. Ini bahaya-bahaya yang mesti kita waspadai.
GS : Terutama juga menggoncangkan iman kita, Pak Paul. Sebagai orang tua kadang-kadang kita tidak seteguh pasangan kita karena kita lebih dahulu yang mulai goncang imannya.
PG : Bisa, Pak Gunawan karena bisa jadi kita kecewa pada Tuhan, kenapa saya sudah melayani Tuhan seperti ini, saya sudah memberikan segenap hidup saya untuk Tuhan mengapa Tuhan ijinkan hal ini terjadi. Anak kami bisa begitu berbalik, tidak mau lagi percaya dan hidup seperti ini. Kita bisa akhirnya tawar dan mungkin pahit kepada Tuhan. Kita akhirnya merasa bukan saja jauh dari pasangan tapi juga jauh dari Tuhan. Apalagi kalau kita misalkan memang secara sengaja menjauh dari kelompok teman-teman seiman. Jadi makin kita dikucilkan dan makin kita sendirian, hubungan kita dengan pasangan kita memburuk.
GS : Menjauhnya kita dengan kelompok-kelompok yang seiman dengan kita kadang-kadang ada kekuatiran mereka selalu ingin tahu atau selalu menanyakan hal itu. Lebih baik menjauh dari kelompok ini.
PG : Betul karena ada yang memang nyaman cerita, ada yang tidak nyaman tadi kita sudah bahas. Jadi ada orang yang akan cerita kepada teman-temannya, minta didoakan tapi juga ada yang "Kamu tidak usah bicara pada siapa-siapa, ini pergumulan kita" tapi justru dia pasangannya butuh dukungan dari orang lain.Ini juga bisa menimbulkan masalah.
GS : Apakah masih ada hal lain yang mengganggu hubungan kita dengan pasangan kita ?
PG: Yang keempat dan terakhir, krisis iman pada anak dapat pula memengaruhi relasi pernikahan kita dalam hal pelayanan kadang kita harus mengurangi atau membatasi pelayanan pada masa anak "menghilang". Jika itu yang mesti kita lakukan tidak bisa tidak hidup kita akan mengalami perubahan yang drastik. Kegiatan-kegiatan yang biasa kita lakukan, yang telah menjadi bukan saja pengisi waktu tapi juga identitas diri kita.Sekarang tidak ada lagi, seringkali perubahan ini menimbulkan tekanan yang besar pada pernikahan. Jadi bayangkan kalau misalnya kita terbiasa sibuk dalam pelayanan, empat lima hari seminggu malam-malam kita tidak ada di rumah dan akhirnya setelah anak meninggalkan Tuhan, kita disadarkan ini salah satu penyebabnya kita memang terlalu sibuk di luar jarang di rumah akhirnya anak-anak terbengkalai. Kerohanian mereka tidak terperhatikan oleh kita, sebagai konsekwensi untuk memenangkan anak kita memutuskan sudah kita jangan lagi melayani seperti itu. Kita batasi sementara ini, kita hanya berbakti hari Minggu setelah itu sudah kita tidak terlibat. Kita beritahukan semua kelompok, kita tidak lagi jadi pengurus. Kita berhenti, nah perubahan ini tidak semudah itu ternyata, Pak Gunawan, sebab tiba-tiba kita setiap malam di rumah. Tadi sibuk di luar sekarang tiba-tiba di rumah tidak ada apa-apa. Menunggu anak, kadang-kadang dia pergi, dia pulang jam berapa kita tidak mengetahuinya. Kita hanya berduaan, nah kalau tidak hati-hati kita frustrasi, kita melampiaskannya pada pasangan.Kalau kita terlalu sibuk di luar dulu sehingga perlu penyesuaian lagi. Ini bisa menimbulkan stres pada pernikahan.
GS : Sebagai pasangannya yang tadinya biasa ditinggal-tinggal lalu ada pasangannya sekarang di rumah, itu pun bisa menimbulkan persoalan. Dia merasa tidak enak, Pak Paul.
PG : Betul. Ada kalanya dia yang di rumah pasangan dulu sering di luar, justru merasa lebih lega. Dulu tidak sering bertengkar karena pasangannya tidak ada di rumah. Sekarang di rumah tiap malam akhirnya perlu penyesuaian. Jadi betul kadang-kadang karena harus membatasi pelayanan, harus mengubah gaya hidup dan kegiatan sehari-hari, ini menimbulkan stres dalam pernikahan.
GS : Juga anak-anak yang tadi terbiasa ditinggal dan sekarang ditunggui, merasa tidak enak, tidak nyaman.
PG : Bisa, mereka merasa sekarang sedikit-sedikit ditanya, diganggu akhirnya mereka terhadap kita konflik. Sekali lagi memang tidak mudah.
GS : Apakah sebaiknya tidak perlu mengurangi kegiatan dalam pelayanan itu, Pak Paul ? Supaya masalah ini bisa selesai juga.
PG : Saya kita tetap ada baiknya kita membatasi sebab anak yang hilang itu perlu melihat bahwa karena keputusannya itu, kehidupan kita memang kita korbankan, kita batasi karena kita memang mau memenangkan dia. Jadi anak yang menghilang itu juga perlu melihat bahwa kita berusaha memenangkannya kembali.
GS : Pak Paul, didalam Kitab Suci Tuhan Yesus pernah menceritakan tentang perumpamaan anak bungsu yang meninggalkan rumahnya. Ini ada kaitannya dengan imannya atau tidak ?
PG : Itu dicatat di Lukas 15 memang kisah itu tidak memberikan kepada kita jendela untuk melihat apa yang terjadi pada keluarga si anak, namun dari kenyataan bahwa si ayah menanti-nantikan kepulangan anaknya. Kita dapat menyimpulkan bahwa si ayah tidak pernah berhenti berharap. Jadi inilah yang kita mau pegang, dalam menghadapi masalah ini waktu anak menghilang dari iman. Krisis iman anak meretakkan pernikahan, itu betul tetapi iman menyatukan. Iman bahwa kita percaya, kita berharap suatu hari kelak Tuhan membawa anak kita kembali. Iman inilah yang akan terus menyatukan kita berdua.
GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Roma 12:16 berkata, "Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama: janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai !".
Dalam menghadapi krisis iman anak, jangan anggap diri kita mengetahui semua cara kita paling benar dan akhirnya kita tidak terima dan tidak mau mendengar apa yang pasangan katakan. Saling dengarlah, saling terbukalah, saling belajarlah, hentikan saling menuduh, salah menyalahkan tapi bersehatilah, berdoalah bersama agar anak bisa kembali.
GS : Terima kasih untuk perbincangan kali ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dampak Krisis Iman Anak pada Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.