Membantu Anak Memahami Makna Kematian

Versi printer-friendly
Penulis: 
Heman Elia, M.Psi
Sumber: 
Eunike
Abstrak: 
Meskipun ada banyak konsep tentang kematian yang perlu anak mengerti, kita tidak boleh tergoda untuk menjelaskan semuanya sekaligus. Usia perkembangan anak mempengaruhi berapa banyak informasi yang dapat diserapnya. Selain itu, penjelasan yang panjang akan membuat anak semakin bingung dan membangkitkan pertanyaan lain yang kita sendiri sulit menjawabnya. Jadi, lebih bijaksana kita memberikan jawaban singkat dan langsung tertuju pada apa yang ditanyakan anak kita.
Isi: 

Betapa paniknya Atik dan adiknya Edo menyaksikan marmut mereka mati. Setiap pagi ibu mereka menjemur sejenak marmut kesayangan ini bersama kandanya di taman berumput agar makin sehat. Hari itu, ketika keluar rumah, sang ibu rupanya lupa memasukkan marmut ini ke tempat yang lebih teduh. Akibatnya, marmut kepanasan dan akhirnya mati.

Atik dan Edo pun berdebat mengenai apa yang harus mereka lakukan atas marmut yang sudah tidak bergerak dengan tubuh kaku itu. Mereka membawa bangkai marmut ke sana ke mari dan akhirnya memaksa ibu membawa serta marmut ke dokter. Ketika ibu berusaha membuang bangkai marmut, Atik dan Edo menjerit dan menangis. Mereka tidak habis mengerti mengapa marmut yang lucu itu harus dibuang. Mereka sangat sedih ketika mereka harus berpisah dengan sang marmut. Kejengkelan mereka terbangkit karena ibu seolah tidak berbuat banyak untuk membuat sang marmut bergerak kembali.

Beberapa hari kemudian, ibu membeli lagi seekor marmut. Hal ini membuat Atik dan Edo merasa senang. Meskipun demikian, di benak mereka berdua terbentuk konsep yang kurang tepat. Mereka berpikir bahwa marmut yang dibeli ini adalah marmut yang dulu telah mati itu. Atik maupun Edo belum mampu memahami bahwa marmut yang dulu mati itu tidak pernah dapat hidup kembali.

Penjelasan yang kurang tepat dan dampaknya

Tentu ada perbedaan besar antara kematian hewan piaraan dengan kematian manusia. Salah satunya adalah bahwa jiwa manusia berharga di mata Allah dan karena itu Allah menyelamatkan manusia berdosa melalui anak-Nya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus. Sedangkan binatang diciptakan untuk hidup manusia. Meskipun ada perbedaan ini, bila anak dapat mengalami sendiri situasi matinya hewan piaraan dan belajar darinya, anak juga akan memiliki konsep yang lebih tepat mengenai kematian.

Kecenderungan umumnya orang tua dalam situasi matinya hewan piaraan kesayangan ataupun orang dekat adalah melindungi anak dari perasaan sedih. Orang tua mungkin akan menyembunyikan fakta tentang kematian misalnya dengan mengatakan bahwa si marmut (atau hewan lainnya) sakit parah dan perlu dirawat dalam jangka waktu yang sangat panjang. Cara lain adalah mengatakan bahwa sang marmut tidur sangan panjang. Orang tua lainnya mungkin segera membelikan marmut yang mirip sehingga tertanam kesan pada anak bahwa binatang piaraan pada dasarnya tidak berbeda dari mainan yang dapat bergerak yang tidak memiliki kehidupan.

Tentu orang tua bermaksud baik dengan tidak mengizinkan anak mengalami kesedihan dan rasa takut berkepanjangan. Meskipun demikian, akan lebih sehat bagi anak bila ia diizinkan mengalami kesedihan ini dan memperolah konsep yang lebih tepat soal kematian. Pernyataan kesedihan secara terbuka akan membantu anak belajar bagaimana meredakan dan mengontrol emosinya.

Apa dampak yang mungkin dialami anak bila mereka tidak diberikan fakta sebenarnya? Pertama, anak marah kerena merasa dibohongi orang tuanya. Kita sering berpikir bahwa suatu fakta dapat disembunyikan dari anak dan suatu ketika anak akan melupakannya. Padahal yang lebih sering terjadi adalah anak tidak pernah melupakan hal itu dan secara diam-diam marah terhadap orang tuanya ketika tahu bahwa orang tua tidak mengatakan fakta yang sebenarnya. Anak mungkin tidak akan sampai pada pemikiran bahwa orang tua tidak ingin melihat mereka sedih. Yang mereka ingat adalah bahwa orang tua telah berbohong kepada mereka.

Kedua, anak memperoleh konsep yang salah dalam jangka waktu yang lama. Ada kalanya konsep yang salah ini berakibat munculnya pemikiran dan perasaan yang kurang logis. Sebagai contoh, anak yang diberitahu bahwa marmut yang mati itu sebenarnya tidur panjang mungkin tidak lagi berani tidur karena takut tidak akan pernah bangun lagi.

Bagi sebagian kita, berbincang mengenai kematian adalah sesuatu yang menimbulkan perasaan yang sangat tidak nyaman. Bahkan dalam budaya tertentu, topik mengenai kematian cenderung dihindari. Namun sama halnya dengan pertanyaan anak mengenai kelahiran dan dari mana mereka berasal, pertanyaan mengenai kematian juga selalu akan anak tanyakan. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali kita mempersiapkan diri menjawab pertanyaan mereka.

Berbincang mengenai kematian, Charles Schaefer dan Theresa Foy DiGeronimo dalam bukunya How to Talk to Your Kids About Really Important Things (1994) menyatakan bahwa tujuan kita dalam perbincangan mengenai kematian dengan anak adalah (1) membantu anak-anak belajar memandang kematian sebagai sesuatu yang alami, yang sama sekali bukan merupakan hal yang misterius atau menakutkan, dan (2) membantu anak-anak menyiapkan diri menghadapi pengalaman kematian yang tak terhindarkan, seperti kematian hewan piaraan atau kematian orang dekat mereka.

Dari sudut pandang kristiani, pemahaman mengenai kematian mempermudah anak memahami pandangan Alkitab mengenai kasih Allah. Anak akan lebih mudah diberi penjelasan mengenai dosa dan penebusan Tuhan Yesus Kristus di atas kayu salib. Anak yang memahami arti kematian juga lebih memiliki kemampuan menghadapi krisis atas kematian orang-orang yang dekat dengan mereka.

Perkembangan konsep kematian

Ada beberapa hal yang perlu kita camkan ketika kita berusaha membicarakan tentang kematian.

  1. Pertama, objek yang memiliki kehidupan berbeda dengan sesuatu yang tidak hidup. Anak perlu memahami bahwa dirinya adalah hidup, dan bahwa dirinya yang hidup itu berbeda dengan benda yang tidak hidup. Yang cukup sulit di sini adalah bagaimana memberi penjelasan sehingga anak memahami bahwa gerakan tidak identik dengan kehidupan. Benda yan dapat digerakkan tidak sana dengan makhluk hidup yang bergerak. Jadi, mainan yang dapat bergerak bukan karena mainan itu mempunyai kehidupan. Kita dapat membantu anak memahami bahwa makhluk hidup itu bernafas, perlu makan dan minum, dan jantungnya berdegub untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Kematian berarti berhentinya nafas, terhentinya kerja jantung, serta berhentinya semua aktivitas. Orang yang mati tidak dapat melakukan apapun juga.

  2. Kedua, anak perlu mengetahui bahwa setiap orang pasti mati suatu saat nanti dan bahwa kematian tidaklah dapat dihindari. Jadi mereka sendiri pun akan mati satu saat nanti. Bila anak telah dapat memahami poin ini, kita baru dapat menjelaskan bahwa mati bagi manusia bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah suatu gerbang pintu menuju kehidupan atau kebinasaan yang kekal. Sebagai tambahan, konsep mengenai kekekalan baru mulai dapat dipahami oleh anak usia remaja. Jadi orang tua tidak perlu frustasi bila anak belum memahami semuanya sekaligus secara menyeluruh.

  3. Ketiga, kita tidak dapat memastikan kapan kita akan mati. Mungkin saja dengan mengetahui bahwa tidak ada kepastian kapan kita akan mati merupakan hal yang menakutkan. Meskipun demikian hal ini perlu anak ketahui, supaya ia lebih siap menghadapi kematian orang dekatnya maupun dirinya sendiri nanti. Bagian yang sulit di sini adalah menjelaskan bahwa kematian berarti perpisahan. Meskipun demikian, kita yang sudah berada dalam Kristus akan kembali bertemu suatu saat nanti di surga. Agar anak tidak terlalu takut akan perpisahan, kita perlu memenuhi kebutuhan anak akan kelekatan (need of attachment).

  4. Keempat, kematian bersifat permanen sebagai akhir dari hidup yang sementara di dunia ini. kesulitannya adalah kematian sering merupakan hal yang sangat menyakitkan secara emosional bagi orang yang sedang menghadapinya maupun mereka yang ditinggal mati oleh kerabat dekatnya. Rasa sakit membuat kita manusia berusaha meromantisir atau membuat khayalan-khayalan menyenangkan akan kematian itu, namun secara potensial usaha ini dapat mengaburkan fakta mengenai kematian. Kisah mengenai anak yang mengirim surat kepada papanya yang meninggal merupakan salah satu bentuk usaha meromantisir kematian. Jadi, orang tua perlu lebih dahulu menerima secara rela akan kematiannya sendiri suatu ketika kelak. Dengan begitu orang tua baru dapat membagikan pengetahuannya secara nyaman dan tenang kepada anaknya.

Meskipun ada banyak konsep tentang kematian yang perlu anak mengerti, kita tidak boleh tergoda untuk menjelaskan semuanya sekaligus. Usia perkembangan anak mempengaruhi berapa banyak informasi yang dapat diserapnya. Selain itu, penjelasan yang panjang akan membuat anak semakin bingung dan membangkitkan pertanyaan lain yang kita sendiri sulit menjawabnya. Jadi, lebih bijaksana kita memberikan jawaban singkat dan langsung tertuju pada apa yang ditanyakan anak kita.

Berikut ini adalah beberapa pemahaman anak mengenai kematian sesuai dengan usia perkembangannya menurut apa yang dikemukakan oleh Charles Schaefer dan Theresa Foy DiGeronimo:

  1. Anak usia tiga hingga lima tahun. Anak pada usia ini umumnya mengetahui bahwa kematian berhubungan dengan kesedihan. Kebanyakan anak beranggapan secara salah bahwa sesuatu yang bergerak berarti hidup, termasuk misalnya awan, kipas angin yang berputar, jam dan sebagainya. Tidak adanya gerakan berarti mati. Umumnya kematian dianggap sesuatu yang bersifat sementara. Apalagi pemahaman ini diperkuat oleh film kartun dan film anak yang mempertontonkan tokoh yang mati dan kemudian bangkit lagi. Rasa takut anak pada usia ini terutama adalah ketakutan pada kegelapan (karena orang mati dikubur), dan pada situasi di mana ia ditinggal sendirian. Rasa takut semacam ini timbul terutama pada mereka yang pernah menyaksikan atau mendengar cerita tentang ucapacara pemakaman.

  2. Anak usia enam sampai delapan tahun. Anak pada usia ini sudah mulai menyadari akan situasi keberakhiran dari kematian. Sekalipun demikian mereka masih sulit memahami akan sifat kematian yang tidak mungkin terhindarkan. Pada usia ini, jika ada orang yang mereka sayangi meninggal, anak-anak merasakan hal itu sebagai hukuman terhadap tindakan atau pikiran mereka yang salah.

  3. Anak usia sembilan tahun hingga remaja. Anak-anak pada usia ini mulai menyadari secara penuh bahwa kematian tidaklah terhindarkan dan bersifat universal. Mereka mulai mengetahui sebab akibat kematian, seperti misalnya kematian sebagai akibat dari kerusakan fisik, penyakit, atau ketuaan, dan sebagainya. Mereka mulai memahami kenyataan dari kematian.

Dengan mengetahui prinsip perkembangan ini, orang tua juga dapat lebih bersikap rileks bila anak belum memahami beberapa konsep dasar dari kematian yang disebabkan perkembangan usia mereka. Selain itu, orang tua dapat memberi penjelasan dan jawaban mengenai kematian sesuai dengan usia anak.