Tuhan Di Piring Makanan 1

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T577A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil.
Abstrak: 
Kita makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan, perhatikan pola hidup dan pola makan kita yang harus memberi sumbangsih kepada tubuh kita sebagai bait Allah agar supaya kita tetap bisa berkarya bagi Dia.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Sekarang kita hidup dalam zaman yang merayakan makanan. Sampai era 90-an kita malu kalau menyebut diri hobi makan. Namun di era 2005-an sejak mendiang Bondan Winarno menjadi host acara kuliner bertajuk Wisata Kuliner di salah satu stasiun TV swasta yg terkenal dengan komen maknyus-nya, istilah wisata kuliner menjadi populer. Paling tidak sejak 2010-an orang merasa bangga jika menyebut hobinya adalah wisata kuliner. Hobi makan, dari sekadar icip-icip sambil benar-benar mengejar makanan yang dianggap khas dan populer.

Bahkan, dengan bangga menampilkan foto makanannya dan foto saat dirinya sedang makan dengan lahap di media sosial. Ini sesuatu yang aneh, kurang sopan, rendahan dan maaf menjijikkan dalam persepsi masyarakat sampai era 90-an. Sejalan dengan perekonomian yang makin membaik Indonesia seakan-akan memasuki masa booming dan pembenaran untuk gila makan tanpa batas sehingga angka kesakitan akibat pola makan tidak sehat masih tinggi atau mungkin makin bertumbuh. Minimal data menunjukkan angka obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas juga meningkat drastis dari 8 persenan di 2007 jadi 13 persenan di 2018. Kelebihan berat badan juga obesitas dapat memicu permasalahan kesehatan lain yang lebih serius, seperti hipertensi, diabetes tipe 2, penyakit jantung, kanker, batu empedu, radang persendian dan lain-lain.

Firman Tuhan di I Korintus 6:19, "Tubuhmu adalah bait Roh Kudus" dan di I Korintus 10:31, "Jika engkau makan atau jika engkau minum atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah".

Ada hubungan erat antara Tuhan dan piring makanan. Maka, berbahaya jika Tuhan tidak hadir di piring makanan tiap kita murid Kristus. Ada satir atau sindiran tentang fenomena ini kalau dulu sampai abad 19 banyak hamba Tuhan meninggal karena tertembak panah dan lembing dan menderita kelaparan di ladang misi. Kini semakin banyak hamba Tuhan yang menderita dan bahkan meninggal karena makan berlebihan.

Bagaimana konkretnya menghadirkan Tuhan dalam piring makanan kita?

Berawal dari mindset, pola pikir atau paradigma sebagai batu penjuru atau konstanta kita, Tuhanlah yang kita sembah dan bukan makanan. Makan untuk hidup dan bukan hidup untuk makan. Makan dilandasi dengan buah Roh: Kesabaran dan Penguasaan Diri.

"Jika engkau makan atau jika engkau minum atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah" ( 1 Korintus 10:31)

Apakah pola makan kita memberi sumbangsih pada kesehatan tubuh kita sebagai Bait Allah untuk semakin menghormati Allah dan efektif berkarya bagi Dia ataukah justru kita sedang menista tubuh kita sebagai Bait-Nya?

Teologi tubuh yang benar akan melahirkan teologi asupan yang benar. Ketika kita memisahkan pola makan kita dengan iman kita, dengan sendirinya kita masuk di dalam dosa pemberhalaan dan kita mempraktikkan filsafat Platonisme yg memisahkan tubuh dan jiwa. Tubuh itu fana dan berdosa dan jiwa itu suci. Mau melakukan apa saja dengan tubuh baik itu pelahap dan seks di luar nikah, sah-sah saja.

Bagaimana perwujudannya?

Berpatokan pada berat badan normal. Untuk mengetahui berat badan normal menggunakan rumus Broca hanya diperlukan tinggi tubuh kamu dalam sentimeter yang kemudian dikurangi 100. Rumus ini berlaku bagi pria dan wanita.

Carilah sumber literatur terpercaya untuk menjadi panduan pengetahuan dan praktik kita. Di antaranya, buku-buku karya Dokter Handrawan Nadesul. Sejak tahun 70-an beliau sudah mengasuh rubrik kesehatan di berbagai majalah, menulis di berbagai media, pembicara seminar kesehatan. Puluhan bukunya telah diterbitkan. Kedua, buku karya Dokter Tan Shot Yen, yang mengambil studi S-2 Filsafat dan S-3 Prodi Gizi FK UI dan menemukan kekeliruan fatal dunia kedokteran dalam menangani pasien secara sepotong - sepotong di mana seharusnya memahami secara holistik sebagai satu kesatuan tubuh, emosi, dan spiritual.