Rasa Bersalah

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T148A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

Sering kali banyak orang mencampuradukkan antara penyesalan, ketakutan, rasa bersalah. Memang kita tidak bisa hidup tanpa rasa bersalah. Penting sekali kita belajar mengenai rasa bersalah ini dan bagaimana menghadapinya, agar jangan sampai kita pada akhirnya dikuasai oleh rasa bersalah.

Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Di masa lampau kita pernah melakukan kesalahan dan jatuh ke dalam dosa. Tidak tertutup kemungkinan kita pun akan melakukan kesalahan di masa yang akan datang. Sebagian kita hanya akan melakukan kesalahan kecil, namun sebagian lainnya mungkin akan melakukan kesalahan besar. Rasa bersalah merupakan bagian hidup yang harus kita hadapi; itu sebabnya kita perlu memahami dan menyelesaikannya dengan benar. Sebagai bahan acuan, kita akan melihat kehidupan Daud.

Definisi

  1. Rasa bersalah tidak sama dengan rasa malu. Rasa malu merupakan reaksi terhadap perbuatan yang dianggap tidak lazim untuk dilakukan oleh budaya atau kebiasaan setempat. Misalnya, sebagai pria kita merasa malu kepada istri bila kita tidak dapat menafkahi kebutuhan ekonomi keluarga. Atau, sebagai istri kita merasa malu sebab kita tidak mampu membuahi keturunan bagi suami.

  2. Rasa bersalah tidak sama dengan penyesalan. Penyesalan adalah perasaan sedih dan tertekan yang bercampur dengan rasa malu atas perbuatan yang telah kita lakukan. Penyesalan lebih terfokus pada dampak perbuatan kita terhadap orang atau lebih merupakan reaksi terhadap penilaian orang. Penyesalan tidak selalu dicetuskan oleh rasa bersalah; sebaliknya, rasa bersalah selalu membuahkan penyesalan.

  3. Jadi, apa itu rasa bersalah? Rasa bersalah adalah kesadaran bahwa kita telah melakukan kesalahan dan apabila kesalahan ini berkaitan dengan hukum Tuhan, rasa bersalah merupakan pengakuan bahwa kita telah melanggar kehendak Tuhan.

Untuk dapat menyikapi rasa bersalah dengan tepat, kita mesti dapat membedakan antara rasa bersalah semu dan rasa bersalah sejati.

  1. Rasa bersalah semu sangat dipengaruhi oleh situasi, sedangkan rasa bersalah sejati tidak terlalu dipengaruhi oleh situasi. Setelah berzinah dengan Batsyeba, Daud tidak menunjukkan rasa bersalah (karena belum diketahui). Setelah Batsyeba mengandung, Daud berupaya menutupi perbuatannya dengan cara mengundang Uria pulang dan setelah ini pun tidak berhasil, Daud mengenyahkan nyawa Uria secara licik. Di sini kita dapat melihat bahwa Daud menunjukkan rasa bersalah namun ini merupakan rasa bersalah semu (diakibatkan oleh situasi yakni Batsyeba mengandung).

  2. Rasa bersalah semu terbatasi oleh waktu sedangkan rasa bersalah sejati tidak terbatasi oleh waktu. C. S. Lewis mengatakan biasanya kita merasa bersalah pada waktu melakukan perbuatan dosa namun setelah selang beberapa waktu, kita tidak lagi merasa bersalah-seakan-akan waktu telah mencuci bersih dosa kita. Lewis menekankan bahwa dosa tetap dosa-kapan pun dosa itu dilakukan. Sekurangnya ada setahun rentang waktu antara perbuatan zinah Daud dan kedatangan Nabi Natan. Ternyata Daud tidak meminta ampun kepada Tuhan dalam selang waktu itu dan tampaknya Daud pun telah melupakan dosanya, itu sebabnya ia tidak merasa ialah yang sedang dibicarakan Nabi Natan dalam ilustrasi yang disampaikannya.

  3. Rasa bersalah semu lebih berorientasi pada penilaian orang sedangkan rasa bersalah sejati lebih berorientasi pada penilaian Tuhan dan Firman-Nya.

  4. Rasa bersalah semu cenderung berlebihan dan memenjarakan sedangkan rasa bersalah sejati menjanjikan pengharapan. Rasa bersalah semu berkubang di masa lampau dan menimbulkan penyesalan tanpa akhir. Rasa bersalah sejati berani melihat dan mengakui masa lampau namun tidak berkubang di masa lampau. Rasa bersalah sejati memandang masa depan karena rasa bersalah sejati tidak terfokus pada penyesalan, melainkan pengharapan. Firman Tuhan menjanjikan, "Sebab dukacita menurut kehendak Allah (godly sorrow) menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak disesalkan (no regret), tetapi dukacita yang dari dunia ini (worldly sorrow) menghasilkan kematian." (2 Korintus 7:10)