Kesuksesan Adalah Anugerah, Bukan Imbalan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T546A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Otoritas keputusan Tuhan merupakan alasan seseorang bisa sukses secara ekonomi maupun karir. Tapi bukan alasan harta dan karir yang Tuhan inginkan ketika kita berelasi dengan-Nya. Tuhan ingin agar orang yang beriman kepada-Nya adalah orang yang taat dan beriman sepenuhnya bahwa Dia itu Bapa yang baik dan Tuhan yang berdaulat.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Kalau tidak berhati-hati, kita dapat memperlakukan Tuhan seperti mesin soda; tinggal kita masukkan uang, maka keluarlah minuman kalengan dari mesin itu. Sayangnya banyak orang yang berpandangan seperti itu; mereka berpikir jika mereka menaati Tuhan, maka Tuhan akan memberkati mereka dengan kelimpahan materi. Tuhan bukanlah mesin soda dan Ia tidak akan membiarkan kita memperlakukan-Nya sebagai mesin soda. Itu sebab, kadang bukannya Ia melimpahkan kesuksesan kepada kita yang hidup dalam ketaatan, Ia malah melimpahkan kita dengan kesusahan. Kita bingung, mengapa Tuhan membalas kebaikan dengan kepahitan. Berikut akan dijelaskan mengapa Tuhan tidak selalu membalas ketaatan dengan kesuksesan.

  1. Tuhan tidak selalu mengimbali ketaatan dengan kesuksesan karena Ia tidak ingin kita membeli kesuksesan dengan ketaatan. Tuhan menginginkan kita memunyai motivasi yang benar dalam menaati-Nya. Ia menghendaki kita menaati-Nya atas dasar hormat dan takut akan Dia. Terlebih penting lagi, Ia menginginkan kita menaati-Nya karena kasih dan percaya. Kita taat kepada-Nya karena kita mengasihi-Nya, dan kita taat kepada-Nya sebab kita percaya kepada-Nya—bahwa perintah-Nya adalah untuk kebaikan kita. Apabila kita menaati-Nya hanya karena kita menginginkan imbalan kesuksesan, maka ketaatan kita semu dan rapuh. Begitu kita tidak memeroleh yang kita harapkan, kita pun marah dan kecewa kepada Tuhan. Mungkin kita akan menolak untuk menaati-Nya lagi, sebab kita beranggapan tidak ada gunanya kita menaati-Nya. Secara berkala Tuhan mengimbali ketaatan dengan berkat kesuksesan karena Ia mengasihi kita dan Ia mau memberkati kita. Ia adalah Bapa yang menyayangi kita dan Ia senang memberkati kita dan melihat kita sukses. Namun, Ia ingin kita menaati-Nya karena motif yang benar; itu sebab, kadang Ia menukar kesuksesan dengan kesulitan, berkat dengan masalah.
  2. Tuhan tidak selalu mengimbali ketaatan dengan kesuksesan sebab Ia ingin kita ingat bahwa kesuksesan adalah anugerah. Memang benar, kesuksesan sering kali merupakan akibat atau buah dari kerja keras tetapi sebenarnya tidak selalu demikian. Begitu banyak orang yang bekerja keras dari pagi sampai malam namun kesuksesan tidak kunjung datang. Berdasarkan kenyataan ini kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya kesuksesan adalah anugerah—pemberian Tuhan semata. Untuk alasan yang tidak selalu kita ketahui, Ia menganugerahkan kesuksesan kepada orang-orang tertentu, tetapi tidak kepada semua orang. Kadang kita iri—dan mungkin marah—melihat Tuhan memberkati orang-orang tertentu dengan kesuksesan. Kita iri karena kita beranggapan bahwa sebenarnya kita jauh lebih layak menerima berkat kesuksesan ketimbang orang-orang itu. Kita hidup taat dan takut akan Tuhan tetapi mereka tidak; jadi, seharusnya Tuhan melihat itu dan tidak melimpahkan berkat-Nya kepada mereka. Namun, itulah yang terjadi; Tuhan terus memberkati mereka. Tatkala itu terjadi, tidak bisa tidak, kita merasa Tuhan tidak adil. Mengapa Ia memberkati orang yang tidak hidup dalam ketaatan? Selain merasa Tuhan tidak adil, kita pun berpikir bahwa Tuhan tidak melihat usaha kita untuk hidup taat kepada-Nya. Kesimpulan ini membuat kita berpikir, percuma terus taat kepada-Nya; toh, Ia tidak melihatnya dan tidak menghargainya. Kalaupun melihat, ternyata Ia lebih menyayangi orang lain yang justru tidak taat kepada-Nya. Sesungguhnya sewaktu Tuhan tidak mengimbali ketaatan dengan kesuksesan tetapi malah memberkati orang yang tidak taat dengan kesuksesan, Ia ingin kita belajar suatu prinsip yaitu berkat kesuksesan adalah anugerah belaka. Oleh karena belas kasihan-Nya, maka Ia pun memilih untuk memberikan anugerah-Nya kepada orang yang kita anggap tidak layak. Tuhan tidak mengasihi orang yang tidak layak itu lebih daripada Ia mengasihi kita. Tidak! Sudah tentu Ia mengasihi dan menghargai usaha kita hidup dalam ketaatan, tetapi Ia ingin kita belajar beranugerah—memberi dan mengasihi orang yang tidak taat.
  3. Tuhan tidak selalu mengimbali ketaatan dengan kesuksesan karena Tuhan ingin memperdalam ketaatan kita. Tidak sulit bagi kita untuk taat sewaktu semua berjalan baik; sebaliknya, adalah sukar untuk kita taat tatkala hidup ini sarat kesusahan. Tuhan menginginkan agar ketaatan makin hari makin berakar ke dalam; itu sebab secara berkala Tuhan tidak menebarkan berkat kesuksesan. Sewaktu hidup tidak menyenangkan, kita harus berusaha sangat keras untuk taat kepada Tuhan. Namun, jika kita tetap menaati-Nya, maka dengan seketika kita pun bertumbuh dalam iman dan pengenalan akan Tuhan. Bila ketaatan senantiasa diimbali dengan kesuksesan maka ketaatan akan terus mandeg. Iman dan pengenalan akan Tuhan pun terbang meninggalkan kita. Tuhan menghendaki kita untuk terus menggali ketaatan sebab lewat lensa ketaatan barulah kita dapat mengenal Tuhan. Pada saat kita sudah kehilangan alasan untuk taat, barulah kita berkesempatan mengembangkan iman dan menambah pengenalan akan Tuhan Allah kita. Setelah Paulus bertobat, ia tinggal di padang gurun Arabia selama tiga tahun, kemudian barulah ia pergi ke Yerusalem untuk menemui para rasul. Sayang, tidak semua menerimanya; namun, Paulus tidak memaksakan. Ia pulang ke Tarsus, kampung halamannya, di mana ia tinggal selama beberapa waktu. Ia tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya. Ia pun tidak mendengar suara dari Tuhan; semua sunyi sehabis penolakan di Yerusalem. Sampai akhirnya Barnabas menemuinya dan mengajaknya melayani di Antiokia. Paulus tetap taat meski ia ditolak dan didiamkan.

Tuhan berkepentingan untuk memperdalam iman kita sebab iman yang dalam menandakan kematangan. Ketaatan tanpa imbalan berpotensi memperdalam iman. Salah seorang tokoh di Alkitab yang memperlihatkan iman yang dalam ialah Ayub; dengarkanlah pernyataan imannya (Ayub 2:10), "Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang buruk? Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa . . . ." Tanpa imbalan, Ayub tetap taat.