TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Apakah Yang Dapat Orang Tua Lakukan Untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak I

Apakah Yang Dapat Orang Tua Lakukan Untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak I

Kode Kaset: 
T603C
Nara Sumber: 
pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Abstrak: 
Semakin berusia dini dalam penggunaan smartphone akan semakin parah sewaktu dewasa dalam hal kesehatan mental, para orang tua diminta untuk mengatur penggunaan sosmed dengan bijaksana, anak-anak tidak ingin melakukan apa yang orang tua katakan, mereka ingin melakukan apa yang orang tua lakukan.
Audio
MP3: 



Transkrip

Kata kunci: Semakin berusia dini dalam penggunaan smartphone akan semakin parah sewaktu dewasa dalam hal kesehatan mental, para orang tua diminta untuk mengatur penggunaan sosmed dengan bijaksana, anak-anak tidak ingin melakukan apa yang orang tua katakan, mereka ingin melakukan apa yang orang tua lakukan

TELAGA 2024

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami di acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Ibu Pdt. Dr. Vivian A. Soesilo, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga dan perbincangan kami kali ini tentang "Apakah yang Dapat Orang Tua Lakukan Untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak?" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Y: Ketemu lagi, Bu Vivian, kita akan melanjutkan ke bagian kedua, tapi mungkin sebelumnya Ibu perlu mengingatkan para pendengar tentang poin-poin kesehatan mental anak.

VS: Di bagian pertama sudah diberitahu kesehatan mental itu definisinya apa, lalu juga yang terakhir dari bagian pertama itu adalah apa yang ternyata bisa membantu anak sehat mentalnya, ternyata tergantung tiga hal. Satu tentang hubungan keluarga yang sehat, yang kedua tentang makanan, ternyata makanan yang "Ultra processed foods" bisa mengganggu kesehatan mental anak dan juga penggunaan smartphone atau HP yang tidak bijaksana itu mengganggu. Kami mau membahas lebih banyak tentang penggunaan smartphone, bagaimana yang bijaksana.

Y: Usia berapa kalau begitu, Bu Vivian, anak boleh diberi smartphone yang tentunya membangun atau berguna bagi mereka?

VS: Saya melihat ternyata saya merasa heran juga melihat orang-orang, smartphone itu digunakan oleh anak yang masih baru lahir, sudah diberi smartphone. Saya mengunjungi seorang ibu baru melahirkan anak, eh ternyata ini anaknya masih telentang, sudah segitu sudah dipaparkan didepannya. Masih kecil begitu ya. Anak kecil-kecil nanti kalau sudah mulai bisa bergerak-bergerak, mau makan harus ada smartphone di depannya. Mengapa diberi? Kalau tidak diberi, tidak mau makan, katanya. Apa nanti orang tuanya repot, lalu seperti ‘babysitter’nya diberi didepannya, supaya anaknya diam, tidak rewel. Anaknya sendiri rewel dengan yang lain-lain, ternyata begitu banyak, mulai lahir sudah diberi. Sekarang kita mau melihat apa yang dikatakan oleh para ahli, yang tepat bagaimana menggunakan smartphone. Menurut WHO, Organisasi Kesehatan Dunia, mereka merekomendasikan agar anak-anak usia sekolah, yaitu 5 – 17 tahun dibatasi waktu bermainnya dengan smartphone. Jadi ini bukan untuk waktu edukasi, waktu edukasi di sekolah maupun di rumah, kalau mau mengerjakan PR silakan, tapi waktu untuk rekreasi, jadi untuk game dan lain sebagainya dibatasi. Rekomendasi dari WHO pemakaian gawai untuk anak usia 2 hingga 4 tahun dikatakan tidak lebih dari 1 jam per harinya, malah dikatakan lebih sedikit lebih baik dan WHO juga menyarankan anak-anak yang lebih muda dari 2 tahun, seharusnya tidak ada waktu layar, jadi sama sekali tidak boleh menggunakan smartphone. Lalu disini ada penelitian dari CNBC namanya "Make It", hasil penelitian Sapien Labs terhadap 27.969 ribu anak, jadi hampir 30 ribu anak berusia 18 – 24 tahun di 41 negara menemukan bahwa kesehatan anak muda ternyata semakin memburuk, kalau mereka mendapatkan smartphone mereka itu yang pertama kalinya. Jadi dikira ini anak-anak 18 – 24 tahun sudah besar, ini di 41 negara mereka mendapatkan smartphone pertama, seharusnya senang, tapi ternyata hasilnya membuat mereka lebih buruk kesehatan mentalnya. Secara rinci penelitian itu dilakukan dan dipublikasikan tahun 2023, baru saja. Itu mengatakan bahwa sekitar 74% anak perempuan yang menerima smartphone yang pertama pada usia 6 tahun cenderung merasa tertekan atau kesulitan, namun angka tersebut menurun jadi 52% bagi anak yang baru mendapatkan smartphone pada usia 15 tahun. Kalau anak perempuan menerima smartphone yang pertama pada usia 6 tahun, anak itu sudah bisa. Ternyata ini mengalami penekanan jiwanya tertekan dan juga sulit, tapi kalau ditunggu sampai 15 tahun baru mendapatkannya, ini hanya 52%. Jadi kurang dibandingkan 74%. Sekarang studi yang sama dilakukan pada anak laki-laki. Bila anak laki-laki mendapatkan smartphone pada usia 6 tahun, 42% merasa tertekan dan kesulitan dan kalau angkanya ini menurun lagi, bila mereka mendapatkan smartphonenya usia 18 tahun, menjadi 36%. Tetap prinsipnya sama, kalau menunggu usianya lebih besar, itu mendapatkannya smartphone lebih sehat mentalnya. Lalu juga berkaitan dengan hasil studi tersebut, studi lain lagi di "New York University Stem School of Business", seorang bernama Zach Rausch mengungkapkan bahwa salah satu tugas orang tua adalah menjauhkan smartphone dari jangkauan anak berusia pra-remaja. Jadi orang tua diberi tugas, tugasnya apa? Menjauhkan smartphone dari anak usia pra-remaja. Padahal tadi ada bayi yang baru lahir, bayi sudah diberi.

Y: Mungkin tadi tidak memahami atau termakan dengan kesibukan sendiri, mencari cara yang mudah untuk meninabobokan anak.

VS: Haha, begitu. Lalu menurut Rausch, orang tua sebaiknya tidak memberikan smartphone pada anak hingga mereka berusia 14 tahun. Tidak hanya itu, media sosial juga harus dijauhkan dari anak setidaknya sampai mereka berusia 16 tahun. Jadi smartphone diberikan bukan untuk media sosialnya, tapi untuk hal-hal yang lain, mungkin untuk dihubungi 14 tahun, media sosialnya baru 16 tahun boleh. Tidak hanya itu kami juga menyarankan sekolah-sekolah untuk menerapkan aturan bebas smartphone, jadi selama sekolah tidak boleh smartphone. Setidaknya itu diterapkan dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Pertama, kata Rausch. Ini dikutip Jumat, 19 Juli 2024 jadi baru saja berapa bulan yang lalu. Sebenarnya aturan juga harus lebih ideal diterapkan di Sekolah Menengah ke atas. Jadi lebih baik di sekolah pun bebas smartphone sampai SMA idealnya, paling tidak SMP.

Y: Puji Tuhan, ini juga sudah dilakukan. Kebetulan anak saya SMP, ya harus dikumpulkan pada guru. Baru kalau gurunya mengizinkan karena kepentingan edukasi baru dibagikan. Tinggal tugas orang tua di rumah, menjauhkan anak-anak dari smartphone mengingat bahayanya, dampaknya terhadap kesehatan mental anak.

VS: Betul, betul, bagus. Rausch menjelaskan usia 11 - 14 tahun adalah periode kerentanan tertinggi, masa pubertas bagi anak-anak. Maka dari itu menurut Rausch menjauhi smartphone dari jangkauan tangan anak-anak adalah cara terbaik untuk menghindari efek negatif saat periode rentan tersebut. Jadi itu periode yang rentan, tidak baik. Tidak hanya itu, anak-anak berusia 12 – 13 tahun paling banyak mengalami intimidasi dibandingkan kelas mana pun juga sehingga menunda penggunaan smartphone akan mencegah masalah ini semakin parah. Nah, sekarang menurut penelusuran dari "CNBC International" dan "CNBC Make It". Penggunaan media sosial mengakibatkan anak mengalami perundungan daring yaitu ‘bullying’. Ada ujaran kebencian dan diskriminasi, jadi ada orang-orang melalui itu diintimidasi, bahkan sebagian besar video YouTube yang disaksikan anak-anak mengandung konten tidak pantas dan mengganggu. Jadi itu tidak pantas secara moral dan mengganggu mereka.

Y: Kadang memengaruhi bahasa-bahasa mereka, Bu; menjadi kasar, tidak sopan, penuh maki, itu ternyata dari YouTube, Bu.

VS: Sekarang menurut kelompok advokasi "Wait Until 8th", maksudnya tunggulah sampai ‘8th grade’, jadi SMP kelas 2. Ada tiga manfaat utama yang dapat diperoleh anak jika orang tua memutuskan untuk menunda pemberian smartphone, yaitu paling tidak, paling cepat waktu SMP kelas 2 baru diberikan. Apa manfaatnya? Satu, risiko kecemasan dan depresi yang lebih rendah. Tadi sudah diberitahu ada penelitian anak kalau terlalu cepat diberi, mereka akan mengalami banyak masalah, depresi juga karena dari olok-olok orang lain. Yang kedua, kuantitas dan kualitas tidur lebih baik. Mengapa bisa? Kalau anak-anak terlalu lama dengan smartphonenya, ia addiktif, jadi waktu tidur pun terganggu sehingga kurang segar, besok paginya tidak bisa bangun. Ketiga, memiliki lebih banyak waktu untuk aktifitas fisik dan bermain di luar ruangan. Ini anak kalau sudah tidak terus-menerus didepannya smartphone, dia dengan sendirinya akan lebih aktif untuk bermain, berolah raga yang sehat dan itu diluar, bukan didalam kamar hanya dengan smartphonenya, lalu kurang tidur dan sebagainya. Itulah tiga hal, lebih baik menunggu, manfaatnya lebih besar. Jadi apa yang harus dilakukan? Ini yang harus dilakukan, jadi orang tua harus belajar penguasaan diri di era digital ini.

Y: Maksudnya menguasai diri orang tuanya atau anaknya, Bu?

VS: Dua-duanya, orang tua dan anak-anak, karena anak-anak melihat orang tua. Kalau orang tuanya tidak bisa mengendalikan diri, anaknya melihat orang tuanya terus di smartphone, "aku mau meneladani dia". Nah, sekarang bagaimana? Mengetahui berbagai keadaan yang telah kita bahas tadi, bahaya dari medsos, bukannya menakut-nakuti, membuat kita takut, bukan, tapi memang karena sudah dilihat hasil penelitiannya apa? Karena itu kita harus belajar bagaimana mengendalikan diri. Kalau menurut firman Tuhan di 2 Tim. 1:7 [1], "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban". Jadi kita kalau ada info-info begini, bukan kita menjadi takut, tapi Roh yang membangkitkan kekuatan. Kita bagaimana bisa kuat, menjadi orang tua yang bisa membimbing anak-anak kita, ada kekuatan juga ada kasih dengan anak-anak, juga termasuk ada Roh penguasaan diri. Nah, disini kita diingatkan, kita memunyai Allah yang adalah Sumber dan Pemberi karunia kepada kita semua dengan memberikan karunia yang baik termasuk disini karunia yang baik, itu memberikan kita kekuatan, kasih dan penguasaan diri. Ini karunia daripada Tuhan. Tuhan tidak memberikan pada kita roh ketakutan, takut ini itu, Tuhan menyertai kita, bukan menakut-nakuti, tetapi roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan penguasaan diri. Inilah karunia dari Tuhan, kita bisa dibangkitkan memunyai kekuatan menghadapi tantangan zaman sekarang yaitu era digital, sangat gencar sekali, tapi kita punya kekuatan dan kasih terhadap diri kita, terhadap anak-anak kita dan bisa menguasai diri. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak maju, jadi harus maju menghadapi tantangan ini dengan kuasa Tuhan. Lalu kita melihat seorang professor psikologi dari Yale University bernama Laurie Santos, dia mengatakan, "Orang tua diwajibkan untuk memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya", seperti tidak menggunakan smartphone terlalu lama, jika sedang menghabiskan waktu bersama anak. Mereka yaitu anak-anak tidak akan ingin melakukan apa yang orang tua katakan, mereka ingin melakukan apa yang Anda lakukan. Diomongi, "kamu jangan pakai lama-lama HP, tidak boleh", tapi kita memberi contoh lama-lama dengan HP terus, dengan sendirinya anak melakukan apa yang kita lakukan.

Y: Dengan kata lain, ini yang harus bertobat orang tuanya dulu, ya Bu.

VS: Betul.

Y: Karena kita tahu betapa anak tidak mendengar omongan orang tua, tetapi melihat perbuatan orang tua. Bagaimana tips bagi orang tua agar menjadi teladan yang benar bagi anak-anaknya, Bu?

VS: Orang mau menjadi teladan yang benar juga harus….. saya teringat akan firman Tuhan, kita harus mengajarkannya seterusnya, banyak waktu, kita harus memberi teladan dari hal apa saja. Kalau dilihat dari Ulangan 6 [2], Tuhan mengajarkan supaya mencintai Tuhan dengan segenap hatimu, mencintai Tuhan dahulu. Lalu setelah itu Tuhan juga mengajarkan pada kita semua termasuk anak-anak supaya bisa mencintai Tuhan. Apa perintahnya itu, supaya mengajarkan anak-anak mencintai Tuhan, dikatakan di Ulangan 6:4-9 [3], "Dengarlah hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! Kasihilah TUHAN Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang Kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring, dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah ia menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada tiang pintu gerbangmu". Jadi ini dimana-mana kita mengajarkannya pada anak supaya cinta Tuhan. Dimana-mana dikatakan, kapan ini? Waktu engkau berbaring, engkau bangun, ya berarti dimana-mana, di rumah kita. Juga engkau disini waktu apa? Duduk di rumah, waktu engkau dalam perjalanan, jadi ini yang dilihat, bukan hanya mulut kita, tapi anak melihat keadaan kita sehari-hari, berulang-ulang. Itu yang dilihat oleh anak sehari-hari, mulai pagi sampai malam, itulah yang menurut Laurie Santos dari Yale University. Orang tua wajib memberi contoh yang baik pada anak, supaya kita mengikuti cara penggunaan HP harus hati-hati, bijaksana, jangan menjadi orang yang seperti kecanduan. Kita mesti memberi contoh.

Y: Jadi harus memberi contoh.

VS: Jadi orang tua perhatikan berbagai hal, kita yang tadi saya bacakan di Ulangan, ini orang tua yang pagi, siang, malam, anak itu melihat kita. Kita orang yang terkendali dalam menggunakan HP atau kita sendiri tidak terkendali. Itu yang dilihat. Jadi orang tua harus juga menjadikan Tuhan sebagai pusat dari hubungan orang tua dan keluarga. Orang tua dan anak-anak dan keluarga, orang tua yang juga memusatkan perhatian antara kita dengan Tuhan. Anak-anak juga bisa melihat. Lalu anak juga dibantu dalam hubungannya dengan Tuhan dan kegiatan positif lainnya, jadi karena hubungan kita sendiri baik, anak-anak bisa melihat, "Oh, orang tuaku mencintai Tuhan, aku juga mau meneladani itu". Orang tua juga mau memberi waktu bersama dengan anak membaca firman Tuhan dan berdoa bersama. Kalau bisa, ada namanya "Altar keluarga", sesibuk-sibuknya ada waktu berdoa bersama mereka, ada waktu menjalin hubungan yang baik dengan anak-anak, sehingga anak merasa dihargai, dimiliki. Kalau orang tuanya sibuk dengan pekerjaan, tapi juga ada waktu dengan anak. Saya pernah ada anak mengatakan merasa tidak dicintai oleh orang tua. Mengapa ? Waktu saya buka mata, papa mama sudah pergi, waktu saya mau tidur, papa mama belum pulang, jadi tidak pernah bertemu dengan papa mama. Jadi mengatakan orang tua mencintai anak-anak, tapi mereka tidak merasakan. Anak-anak harus memunyai waktu, orang tuanya ada waktu dengan anak-anak, jadi hubungannya juga dikatakan orang tua perlu menjalin hubungan dengan anak dahulu, sebelum memberi koreksi pada anak. Jika hubungannya baik, kita memberi tahu, "Nak, ini tidak baik", anak tidak mau mendengarkan kalau tidak memunyai hubungan baik. Bahkan penelitian mengatakan, cara menjadi orang tua yang baik ialah 80% itu hubungan, koreksinya 20%.

Y: Kalau terbalik, yang 80% banyak koreksi dan omelan, 20%nya hubungan, tidak efektif ya, maka anak menolak.

VS: Kalau hubungannya baik, anak diberitahu, lalu menurut. Menjalin hubungan tidak bisa terjadi begitu saja, harus ada waktu bersama mereka. Ada waktunya jadi anak merasa dihargai dan dimiliki. Memberi waktu pada anak dengan bermain dengan mereka, tergantung umurnya, kalau umurnya masih kecil, bermain di rumah. Juga ada waktu bermain dengan olah raga di luar dan lain sebagainya, itu bermain tergantung umurnya. Anak perlu merasa dicintai, merasa dia berharga dengan kalau orang tua mau bermain, "Oh aku dicintai, aku berharga". Anak diberi tugas sesuai dengan umurnya, sehingga anak merasa bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas, kalau sudah selesai, diberi ucapan terima kasih. Ini kadang-kadang orang tua, anak merasa hanya disuruh saja oleh orang tua.

Y: Tidak dihargai.

VS: Jadi tugasnya semasih kecil apa yang dia bisa. Mengajarkan anak untuk menumbuhkan kemampuan anak dengan anak bertanggungjawab dan melakukan hal sendiri sesuai umurnya, tidak selalu dibantu menyelesaikan kegiatan sehari-hari. Anak ini makan kalau camilan bisa makan sendiri, mengapa kalau makan nasi harus disuapi? Ini ‘kan harusnya bisa, kalau bisa makan camilan sendiri, coba makan sendiri. Juga kalau seandainya membawa tas ke sekolah, atau membawa apa, mengapa yang harus membawakan adalah…….

Y: Pembantunya, mamanya, tidak perlu ya, Bu.

VS: Bisa membawa sendiri. Kalau di rumahnya ada tangganya, naik loteng, mengapa anak tidak bisa membawa sendiri ke kamarnya, harus orang lain yang membawakan. Tanggungjawab anak masih bisa sendiri, ya sendiri. Lalu kalau sesuatu dia setelah main, berantakan, ya anak ditugaskan, "Ayo kita bereskan bersama-sama", bukannya orang lain terus. Harus diberi mengajarkan sesuai tanggungjawab, kemampuannya bertanggungjawab. Anak dipuji kalau sudah berusaha keras, meskipun tidak selalu sukses seperti yang diharapkan, tapi yang penting ada kemajuan, sekalipun kecil, kita sudah memberikan pujian. Tekankan kemampuan dan kekuatan anak, dipuji usahanya dan progresnya, bukan hasil akhirnya. "Kamu sudah berusaha keras", kita puji dia, seperti itu. Menyediakan lingkungan yang aman bagi anak, bukan lingkungan yang membahayakan, termasuk pemakaian HP yang berlebihan yang tidak terkendali, tidak aman.

Y: Betul.

VS: Anak dibantu dalam hal budi pekerti dan sopan santun, ini ada anak-anak tidak mengerti. Sopan santun, dibantu, terima kasih. Seringkali di dunia maya banyak yang bahasanya kasar, kita harus mengajarkan yang benar, anak diberi waktu untuk berolah raga, seni musik, menambahkan kemampuan mereka, sehingga mereka dapat meningkatkan harga diri mereka. Kalau ribut setiap hari dengan HPnya saja, tidak bisa berolah raga, musik itu perlu juga. Kemampuan anak ini lebih banyak dan dia lebih merasa, "Aku merasa aku berguna", "aku juga merasa mampu". Anak diberi batasan dari yang tegas, mana yang boleh, mana yang tidak boleh. Boleh ada smartphone sesuai dengan umurnya, ada batasan waktunya. Hindarilah segala macam kekerasan, segala bentuk fisik, emosi, seksual, jangan dilakukan. Dengan melakukan begitu, kiranya Tuhan membantu anak-anak kita bisa mengerti tentang batasan, lalu memunyai mental yang sehat.

Y: Wow luar biasa, penjelasannya sangat dalam, tapi juga aplikatif, Bu Vivian langsung memberi tips-tips, cara-cara bagaimana menjaga kesehatan mental, setelah kita sudah mengetahui apa saja faktor yang memengaruhinya. Terima kasih banyak, Bu Vivian untuk paparannya, saya percaya ini membukakan wawasan para orang tua dan membantu orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dengan sehat. Terima kasih, Bu, Tuhan memberkati!

Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Pdt. Dr. Vivian A. Soesilo dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Apakah Yang Dapat Orang Tua Lakukan untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak?" bagian kedua. Bagi Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org [4]; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [5]; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.

Ringkasan
• Penggunaan smartphone atau HP yang bijaksana

"Mental State of the World Report" juga menyebutkan, "Semakin berusia dini dalam penggunaan smartphone, akan semakin parah sewaktu dewasa dalam hal kesehatan mental". Hasil penelitian menyebutkan, krisis kesehatan mental disebabkan oleh penggunaan medsos yang berlebihan, menyebabkan kesepian, kekurangan tidur dan kekurangan keterampilan sosial. Bahkan lebih banyak anak di bawah 19 tahun bunuh diri atau menyakiti diri sendiri dan gangguan makan naik 200%. Pada tanggal 20 Mei 2024 para ahli dari berbagai bidang dan pemerintah mengadakan kampanye "Let Them Be Kids" Biarlah mereka menjadi kanak-kanak, yang menganjurkan supaya anak-anak di bawah 16 tahun tidak berhubungan dengan medsos. Mereka mengadakan survei terhadap 3000 pengguna medsos, termasuk para remaja.

Hasil jajak pendapat menunjukkan:
  • 70% para remaja mengalami pengalaman negatif di medsos
  • 1 dari 3 remaja melihat isi medsos yang traumatis
  • 45% mengalami kekerasan dan pelecehan
  • 1 dari 4 mengalami ‘cyber bullying’ (diolok di dunia maya) atau dilecehkan secara seksual
  • 59% ditipu
  • 1 dari 10 menjadi korban pornografi
Profesor Philip Morris AM dari "the National Association of Practicing Psychiatrists" menyebutkan:
  • Anak-anak belum dapat mengendalikan diri
  • tidak mengerti apa itu risiko dan hal-hal yang bersifat pribadi
  • belum mampu untuk mengambil keputusan yang bijaksana
  • mendapat materi yang tidak pantas dan merusak di sosmed dapat merusak hidupnya.
  • Masalah lainnya ialah konsentrasi — medsos membuat anak-anak tidak dapat belajar konsentrasi, fokus, membayangkan, bermimpi, karena berbagai aplikasi itu adiktif.

Profesor Selena Bartlett, ahli syaraf selama 30 tahun lebih, memeringatkan para orang tua tentang krisis besar dan dampaknya medsos pada anak-anak. Setiap hari dia melihat anak-anak yang bunuh diri dan menyakiti diri. Para orang tua diminta untuk mengatur penggunaan sosmed dengan bijaksana. Di tahun 2024, medsos, berbagai perangkat canggih di HP, permainan merupakan tempat yang sangat bahaya bagi anak-anak. Mereka paling berbahaya waktu berada di kamar tidur dan kamar mandi. Medsos itu dapat berbahaya dan beracun, anak dapat di ‘bully’, ditertawakan, dibuat tidak bisa menerima diri sendiri. Internet sangat diperlukan untuk studi, pendidikan dan sebagainya, tetapi penggunaan yang tidak terkendali dapat merusak iman anak, bahkan kehidupan anak.

Usia yang tepat bagi anak-anak untuk diberikan smartphone masih menjadi perdebatan hangat para orang tua di seluruh dunia. Lantas, kapankah waktu yang tepat untuk memberikan smartphone kepada anak?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar anak-anak usia sekolah (5-17 tahun) membatasi waktu bermain gawai untuk rekreasi. Rekomendasi pemakaian gawai untuk anak usia dua hingga empat tahun adalah tidak lebih dari satu jam waktu layar per hari (lebih sedikit lebih baik); mereka juga menyarankan bahwa anak-anak yang lebih muda dari dua tahun seharusnya tidak memiliki waktu layar.

Melansir dari "CNBC Make It", hasil penelitian Sapien Labs terhadap 27.969 anak berusia 18 - 24 tahun di 41 negara menemukan bahwa kesehatan mental anak muda ternyata semakin memburuk saat mereka mendapatkan smartphone untuk yang pertama kalinya. Secara rinci, studi yang dipublikasikan pada tahun 2023 lalu itu mengatakan bahwa sekitar 74 persen anak perempuan yang menerima smartphone pertama pada usia enam tahun cenderung merasa tertekan atau kesulitan. Namun, angka tersebut menurun jadi 52 persen bagi anak yang baru mendapatkan smartphone pada usia 15 tahun. Sementara itu, sebanyak 42 persen anak laki-laki mendapatkan smartphone pertama pada usia enam tahun juga sering mengalami perasaan tertekan atau kesulitan. Angka tersebut juga turun menjadi hanya 36 persen pada anak laki-laki yang menerima smartphone saat berusia 18 tahun.

Berkaitan dengan hasil studi tersebut, peneliti di "New York University Stern School of Business", Zach Rausch mengungkapkan bahwa salah satu tugas orang tua yang adalah menjauhkan smartphone dari jangkauan anak berusia pra-remaja. Menurut Rausch, orang tua sebaiknya tidak memberikan smartphone kepada anak hingga mereka berusia 14 tahun. Tak hanya itu, media sosial juga harus "dijauhkan" dari anak setidaknya sampai berusia 16 tahun. "Selain itu, kami juga menyarankan sekolah-sekolah untuk menerapkan aturan "bebas smartphone". Setidaknya, itu diterapkan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP)," kata Rausch, dikutip Jumat (19/7/2024). "Sebenarnya, aturan itu juga akan lebih ideal jika diterapkan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)," sambungnya. Rausch menjelaskan, usia 11 sampai 14 tahun adalah "periode kerentanan tertinggi masa pubertas" bagi anak-anak. Maka dari itu, menjauhkan smartphone dari jangkauan tangan anak-anak adalah cara terbaik untuk menghindari efek negatif saat periode rentan tersebut. "Tak hanya itu, anak-anak berusia 12-13 tahun paling banyak mengalami intimidasi dibandingkan kelas mana pun sehingga menunda penggunaan smartphone akan mencegah masalah ini semakin parah," jelas Rausch.

Berdasarkan penelusuran "CNBC International dan CNBC Make It", penggunaan media sosial mengakibatkan anak mengalami perundungan daring, ujaran kebencian dan diskriminasi. Bahkan, sebagian besar video YouTube yang disaksikan anak-anak mengandung konten tidak pantas dan mengganggu.

Menurut kelompok advokasi "Wait Until 8th" (SMP kelas 2), ada tiga manfaat utama yang dapat diperoleh anak jika orang tua memutuskan untuk menunda pemberian smartphone, yakni:

  1. Risiko kecemasan dan depresi yang lebih rendah
  2. Kuantitas dan kualitas tidur lebih baik
  3. Memiliki banyak waktu untuk aktivitas fisik dan bermain di luar ruangan
Mengetahui itu, apakah yang harus dilakukan?
  • Belajar penguasaan diri di era digital. Mengetahui berbagai keadaan, bahaya dari medsos bukannya menakuti-nakuti, membuat kita menjadi takut. 2 Timotius 1:7, "Sebab, Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan penguasaan diri".
  • Ingatlah, Tuhanlah Sumber dan Pemberi karunia kepada kita semua.
  • Tuhan tidak memberikan kepada kita roh ketakutan, takut ini dan itu.
  • Tetapi roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan penguasaan diri.
  • Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak maju.

Profesor psikologi dari Yale University, Laurie Santos mengatakan, orang tua diwajibkan untuk memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya, seperti tidak menggunakan smartphone terlalu lama jika sedang menghabiskan waktu bersama anak. "Mereka (anak-anak) tidak akan ingin melakukan apa yang Anda (orang tua) katakan, mereka akan ingin melakukan apa yang Anda lakukan," tegas Santos.

Anak-anak meneladani orang tua, maka orang tua perlu:

  • Menjadikan Tuhan sebagai pusat dari hubungan orang tua-anak dan keluarga
  • Anak dibantu dalam hubungannya dengan Tuhan dan kegiatan positif lainnya
  • Ada waktu bersama anak untuk membaca firman Tuhan dan berdoa bersama.
  • Menjalin hubungan yang baik dengan anak sehingga anak merasa dihargai, dimiliki
  • Orang tua perlu menjalin hubungan dengan anak dahulu sebelum memberi koreksi pada anak
  • Cara menjadi orang tua yang baik ialah 80% hubungan, 20% koreksi.
  • Memberi waktu kepada anak dengan bermain dengan mereka.
  • Anak dicintai dan dapat merasa dia berharga dengan bermain bersama; anak diberi tugas sesuai umurnya sehingga anak merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas. Kalau sudah selesai diberi ucapan terima kasih.
  • Mengajarkan anak untuk menumbuhkan kemampuan anak dengan anak bertanggung jawab dan melakukan hal-hal sendiri sesuai umurnya, tidak selalu dibantu menyelesaikan kegiatan sehari-hari (misalnya makan masih disuap, bawa tas dibawakan, beres-beres barang dibereskan).
  • Anak dipuji kalau sudah berusaha keras, meskipun tidak selalu sukses, yang penting menunjukkan kemajuannya.
  • Tekankan kemampuan dan kekuatan anak, dipuji usahanya dan progresnya, bukan hasil akhirnya.
  • Menyediakan lingkungan yang aman bagi anak
  • Anak dibantu dalam hal budi pekerti dan sopan santun
  • Anak diberi waktu untuk berolahraga, seni musik, menambah kemampuan mereka sehingga mereka dapat meningkatkan harga diri mereka.
  • Anak diberi batasan atau ‘boundary’ yang tegas, mana yang boleh dan mana tidak boleh
  • Hindari kekerasan dalam segala bentuk (fisik, emosi, seksual, ketelantaran)

Kiranya Tuhan menolong anak-anak dapat memiliki mental yang sehat.

Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo [6]
Audio [7]
Orangtua-Anak [8]
T603C [9]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/apakah_yang_dapat_orang_tua_lakukan_untuk_menjaga_kesehatan_mental_anak_i

Links
[1] https://alkitab.mobi/ayt/passage/2Ti+1:7
[2] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ula+6
[3] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ula+6:4-9
[4] mailto:telaga@telaga.org
[5] http://www.telaga.org
[6] https://www.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_vivian_andriani_soesilo
[7] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[8] https://www.telaga.org/kategori/orangtua_anak0
[9] https://www.telaga.org/kode_kaset/t603c