TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Orang Percaya dan Politik ( II )

Orang Percaya dan Politik ( II )

Kode Kaset: 
T561B
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.
Abstrak: 
Kita tidak bisa memisahkan Injil dan Politik, bagi orang percaya dunia politik bukanlah panggung haram, malah sangat penting untuk digumuli dan ditekuni demi kemajuan bangsa dan kebaikan masyarakat luas.
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.


Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Orang Percaya dan Politik" (bagian kedua). Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Y : Pak Sindu, kita sudah membahas tentang "Orang Percaya dan Politik" bagian pertama. Bisakah Bapak mengulang sedikit untuk langsung masuk ke bagian yang kedua.

SK : Pada bagian yang pertama bisa diringkas, Bu Yosie, bahwa Perjanjian Baru khususnya Roma pasal 13 yang kita bahas dan juga tentang kehidupan gereja mula-mula dan juga zaman Yesus muncul di publik selama 3,5 tahun bisa kita ringkas bahwa sesungguhnya Perjanjian Baru itu sangat menegaskan bahwa Injil tidak bisa dipisahkan dari politik. Jadi ada kesatuan yang terjadi dimana Injil lahir, tumbuh, berkembang, menyebar, disanalah ada situasi politik yang melekat di dalamnya.

Y : Kita tidak bisa menyerahkan ya, Pak, politik kepada yang kita anggap orang dunia dan kita orang surga.

SK : Betul, dalam hal inilah peran serta kita akhirnya penting, bahwa sepatutnya karena kehidupan gereja, kehidupan sebagai orang percaya, kehidupan pelayanan itu melekat juga di dalamnya situasi pergulatan politik, maka sepatutnya pun orang percaya bukannya menjauhi tapi malah mendekati dan menceburkan diri pula dalam kehidupan politik.

Y : Kita telah membicarakan banyak tentang politik pada bagian pertama tetapi apa makna politik itu sendiri? Sejauh mana kita bersikap tepat ?

SK : Jadi politik itu dari kata Yunani "politika" dan politika muncul dari kata Polis. Polis itu adalah negara kota. Jadi kita mengetahui kota Athena di antaranya, itu adalah negara kota di zamannya filsuf Aristoteles, Plato, Socrates. Dari sanalah muncul kata polis dan muncul istilah politik. Dari kata Polis yang artinya negara kota muncul kata politik yang artinya adalah usaha yang ditempuh oleh warga kota atau usaha yang ditempuh oleh warganegara untuk memunculkan kebaikan bersama. Jadi politik adalah upaya untuk mengelola kekuasaan di masyarakat agar terjadi pemerintahan yang membawa kebaikan bersama bagi warga yang tinggal di dalamnya. Jadi pengertian ini, Bu Yosie, maka kita lihat, apakah positif atau negatif kata politik ini ?

Y : Positif sekali.

SK : Iya positif, karena ini bicara tentang pengelolaan, manajemen suatu kota, satu negara supaya bisa membawa kebaikan, ketertiban, kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran bagi seluruh warga yang tinggal di kota atau negara itu. Karena itu berbicara politik adalah berbicara kebaikan kita juga. Tidak heran, jangan lupa ada satu bagian firman Allah di Perjanjian Lama, dikatakan bahwa, "Usahakanlah kesejahteraan kotamu". Negeri dimana aku buang karena kesejahteraan kota dimana kamu tinggal, kesejahteraan dimana negeri kamu tinggal, itu juga kesejahteraanmu sendiri, kalau saya tambahkan kesejahteraan keluargamu, anak cucumu juga. Itulah politik ! Disini muncul sebuah undangan pula supaya orang percaya juga terjun langsung dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Bukan hanya sebatas penonton dan penggembira tapi sebagai pelaku aktif.

Y : Karena hidup bersama tadi membutuhkan pengaturan, ya Pak. Kalau kita sebagai orang percaya tidak mau terlibat dalam pengaturan itu, maka bisa-bisa orang lain yang mengatur nasib kita tadi. Kesejahteraan kita ditentukan oleh orang lain, kita tidak memunyai kekuatan untuk terlibat di dalamnya.

SK : Iya, kita hanya sebagai korban. Kadang kita bicara, "Mengapa kita sebagai orang percaya serba dibatasi? Mengapa terjadi ketidakadilan sebagai orang percaya seperti ditekan dan cuma sekadar ‘pelengkap penderita’, disuruh bayar pajak tapi soal bicara hak, kita tidak diberi hak yang sama dengan kelompok masyarakat yang lain", tapi ternyata berpolitik bagi orang percaya bukan sekadar menuntut hak perlindungan untuk kepentingan kita, tetapi juga jangan lupa Yesus sendiri, Tuhan kita memberi identitas orang percaya sebagai garam dunia dan terang dunia. Dalam injil Matius 5:13-14 [2] dikatakan, "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? …..Kamu adalah terang dunia……Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga". Kira-kira demikian bunyi teks firman Tuhan ini. Jadi menjadi garam dan terang dunia, dengan kata lain, Tuhan sudah menggariskan identitas kita, jati diri kita, sejak kita lahir baru bahwa kita dipanggil, diminta, diinstruksikan oleh Tuhan untuk membawa pengaruh Kristus untuk memberkati seluruh lapisan dunia dimana pun kita berada, dengan pelbagai agama, kepercayaan, budaya daerah, strata sosial ekonomi agar supaya diberkati dimana pengaruh Kristus nyata. Dengan perkataan lain, berani menjadi orang percaya, beranilah untuk bermasyarakat, beranilah untuk berpolitik. Menjadi garam dan terang dunia tidak dapat dilepaskan dengan panggilan untuk berpolitik, bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara.

Y : Benar sekali, Pak. Saya disadarkan karena jujur saya sendiri cukup takut kalau mendengar kata politik atau harus terjun di dunia politik. Menurut Pak Sindu apa latar belakang orang percaya menjadi orang yang apolitik, seperti saya misalnya.

SK : Sesungguhnya kehidupan kita tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik. Muncul sikap apolitik artinya sikap menolak campur tangan, sikap cuci tangan dari kehidupan politik, menghindari. Itu dilatarbelakangi karena munculnya sebagian orang-orang percaya tanpa sadar menyerap pikiran yang tidak Alkitabiah. Pikiran yang tidak Alkitabiah adalah pikiran dikotomi, pikiran dualisme, ada dua yang terpisah, tubuh dan jiwa. Tubuh itu barang fana, barang kotor, materialistik.

Y : Politik itu kotor ! Kita ‘kan suka bicara seperti itu, Pak.

SK : Termasuk politik di dalamnya. Jiwa, roh termasuk suci dan mulia. Itu pikiran dalam dunia fisafat, filsafat Plato…..Platonisme, itu bukan konsep Alkitab. Dengan adanya pemisahan ini, muncullah orang-orang yang memisahkan diri, jadi rahib bertapa di gunung-gunung, tidak mau bergaul, karena itu cara untuk menguduskan diri. Sayangnya sekalipun itu kelihatan begitu saleh, itu tidak Alkitabiah, bukan pikirannya Tuhan. Kalau kita melihat Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, maka terlihat pikiran Allah itu disimbolkan seperti lingkaran konsentris, dimana ada lingkaran yang terkecil, di luar lingkaran kecil itu bagian dilingkupi dengan lingkaran yang lebih besar kemudian di luarnya ada lingkaran yang lebih besar lagi. Jadi lingkaran dalam lingkaran dalam lingkaran dalam lingkaran. Lingkaran yang terkecil adalah Kristus, lingkaran yang kedua yang menutupi/menyelimuti lingkaran yang terkecil tadi adalah kehidupan pribadi. Kemudian lingkaran yang lebih di luar lagi adalah kehidupan keluarga, lingkaran yang lebih di luar lagi adalah kehidupan Rukun Tetangga, kemudian lingkaran yang lebih di luar lagi lingkungan Rukun Warga, kemudian muncul Kelurahan, muncul Kecamatan, Kota, Kabupaten, Provinsi, muncul negara. Itulah yang Alkitabiah, pikiran Kristus pikiran Alkitab kalau disimbolkan adalah berupa lingkaran konsentris. Kita hidup berpusatkan pada Kristus termasuk dalam Kristus sebagai pusat ada kehidupan kota, kehidupan politik, kehidupan negara. Jadi bukan pemisahan tapi ada sebuah integrasi, satu kesatuan dimana Kristus sebagai pusat. Dalam hal ini kita juga dapat melihat pada pandangannya Yohanes Calvin atau orang menyebutnya juga John Calvin, dimana Yohanes Calvin adalah salah satu tokoh reformasi gereja, seorang teolog dan reformator Perancis dimana sebagian besar gereja di Indonesia merupakan gereja-gereja Calvinistik, muncul dari misi Belanda terutama, bahkan muncullah berbagai Sinode besar di Indonesia yang dipengaruhi dengan teologi/pandangan Calvin. Calvin sendiri punya pernyataan yang menarik dalam buku "Institutio Christianae Religionis" atau yang dikenal buku pengajaran agama Kristen, dimana didalam uraiannya mengenai pemerintahan sipil, Yohanes Calvin memaparkan dua hal mendasar yaitu pemerintahan negara dan Kerajaan Kristus. Calvin mengatakan, Kerajaan Kristus itu berada dalam jiwa dan batin manusia serta memiliki hubungan dengan hidup kekal. Sedangkan pemerintahan negara bermaksud menetapkan tata kehidupan yang benar dari segi sipil serta lahiriah yang memiliki hubungan dengan kekinian hidup manusia. Dalam pernyataan yang lain dikatakan oleh Yohanes Calvin bahwa, "Maka oleh siapa pun tidak boleh diragukan lagi bahwa kekuasaan politik adalah panggilan yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah tapi kekuasaan politik itu suatu panggilan yang terkudus dan paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana".

Y : Wow berarti sesungguhnya tidak ada pertentangan antara pemerintahan negara atau politik dengan pemerintahan kerajaan Tuhan atau Kristus meskipun memang keduanya berbeda.

SK : Benar, disini pandangan seorang teolog reformasi gereja bahwa pemerintah negara adalah sesuatu yang penting juga sebagaimana pemerintahan Kerajaan Allah. Siapa yang mau terjun berkarya secara aktif dalam pemerintahan negara, dalam kekuasaan politik itu adalah orang-orang yang kudus. Itulah profesi-profesi yang sangat kudus karena disanalah Kerajaan Allah ditegakkan lewat orang-orang yang terjun dalam pemerintahan di dunia ini.

Y : Jadi bukan orang-orang kotor tadi yang merupakan sebagian anggapan.

SK : Politik itu kotor, itu pandangan yang muncul pada sebagian orang percaya dan pandangan masyarakat di dunia mana pun karena memang ada politisi-politisi yang mempraktekkan cara-cara yang kotor tapi jangan lupa ada juga pilihan untuk kita mempraktekkan cara-cara yang kudus, cara-cara yang benar, bermartabat yang dan berintegritas, sesuai dengan firman Tuhan. Itu pilihan bagaimana kita mau memakai cara, tapi politik itu sendiri boleh dikatakan juga wilayah kudus ketika Allah hadir dengan segala nilai-nilai kerajaan Allah disana pun wilayah kudus, sebagaimana gereja bisakah kita mengelola gereja dengan cara-cara yang kotor?

Y : Bisa saja, tergantung orangnya, tetap ada.

SK : Tepat, jadi bukan karena semata-mata aku pelayanan gereja, pasti apa pun yang aku lakukan semuanya kudus. Kalau kita melayani gereja dengan cara-cara yang kotor kita sedang mengotori diri kita, termasuk dalam politik. Kalau kita menerapkan cara-cara yang kudus dan benar, disanalah juga wilayah dimana Allah hadir dan kekudusan Allah hadir.

Y : Tepat sekali, luar biasa menarik, ya Pak. Bagaimana respons kita secara praktis terhadap politik ?

SK : Disinilah kita perlu untuk berperan serta, Bu Yosie, secara aktif. Kalau kita melihat sejarah negara kita, sejarah bangsa kita, Indonesia, maka kita temukan banyak bertebaran nama-nama orang percaya, anak-anak Tuhan yang berkarya aktif, berperan aktif dalam sejarah bangsa kita, Indonesia.

Y : Para pahlawan yang anak-anak Tuhan, ya Pak ?

SK : Para pahlawan dan tokoh-tokoh nasional, mungkin Bu Yosie bisa ingat sebagian siapakah pahlawan-pahlawan nasional yang adalah orang-orang percaya, anak-anak Tuhan ?

Y : Seingat saya di pelajaran sejarah, Patimura, Christina Martha Tiahahu.

SK : Keduanya adalah anak-anak Tuhan dan kemudian di zaman situasi kemerdekaan Indonesia, kita kenal Dr. Johanes Leimena yang lima kali menjadi Menteri Kesehatan Indonesia dan juga yang menjadi Perdana Menteri dalam satu periode.

Y : Beliau juga yang memerjuangkan Pancasila, Pak.

SK : Yang pasti BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), itu juga ada anak-anak Tuhan, ada orang-orang percaya di dalamnya. Kita kenal juga nama Jenderal T.B Simatupang seorang pemikir perang gerilya, ia juga yang merumuskan ide-ide, perang modern perang gerilya dalam sejarah Pemerintah Indonesia. Mungkin Bu Yosie tahu pencipta lagu kebangsaan, lagu-lagu nasional kita, adakah orang-orang percaya di dalamnya ?

Y : Ada, Pak, lagu kebangsaan kita yang terkenal, Bapak Wage Rudolf Supratman.

SK : Pencipta lagu Indonesia Raya, dia juga anak Tuhan, dia juga orang percaya.

Y : Sangat membanggakan, ya Pak !!

SK : Kita kenal nama Cornell Simanjuntak, lagu "Bangun Pemuda Pemudi", dia juga anak Tuhan. Dalam kemiliteran, ada Jenderal Urip Sumohardjo, ada Laksamana Yos Soedarso (Yos itu singkatan dari Yosafat). Dari dunia Angkatan Udara, Ade Sucipto, Brigjen Slamet Riyadi, salah satu pahlawan revolusi, D.I. Panjaitan. Dalam kementerian, Radius Prawiro, J.B. Sumarlin dan masih banyak lagi anak-anak Tuhan yang bertebaran dalam sejarah kemerdekaan, sejarah politik pemerintahan berkarya secara nyata.

Y : Dipakai Tuhan untuk juga menguatkan hak-hak kita sebagai orang percaya, Pak.

SK : Betul dan mereka juga membawa kebaikan bagi umat yang lain. Disini orang percaya berpolitik, terjun dalam pemerintahan, bukan hanya untuk kepentingan orang percaya semata, tapi untuk memberkati seluruh komponen bangsa Indonesia. Ini juga panggilan Tuhan menjadi garam dan terang dunia, menjadi garam dan terang di Indonesia.

Y : Memerjuangkan kemerdekaan Indonesia, kebenaran Indonesia waktu G-30-S PKI, yang tadi Bp. D.I. Panjaitan berjuang menentang PKI, menyelamatkan Indonesia, tidak hanya orang percaya tapi seluruh rakyat Indonesia.

SK : Disini dapat kita simpulkan, Bu Yosie, bagi orang percaya dunia politik bukanlah panggung haram.

Y : Itu yang harus digarisbawahi, Pak.

SK : Sesungguh-sungguhnya panggung yang sangat halal, panggung yang sangat kudus kalau mengutip pernyataan dari bapak reformasi gereja, yaitu Yohanes Calvin. Malah ini menjadi sangat penting untuk panggung politik dan pemerintahan, panggung ketatanegaraan untuk kita tekuni, gumuli demi kemajuan bangsa Indonesia, demi kebaikan seluruh komponen masyarakat Indonesia. Menjadi birokrat, teknokrat, politisi juga menjadi panggilan hidup dan sepatutnya juga menjadi salah satu cita-cita mulia yang dicita-citakan kita atau anak cucu kita untuk bersaksi di tengah-tengah dunia Indonesia Raya.

Y : Itu juga wujud pelayanan kita sebagai anak-anak Tuhan.

SK : Tepat, pelayanan bukan sebatas di dalam gedung gereja, apa yang disebut sebagai pelayanan rohani. Rohani itu bukan area tapi orangnya, ketika orang yang hidup rohani mengerjakan sesuatu di area-area yang membawa kebaikan, disanalah juga rohani. Dunia politik menjadi dunia rohani, dunia pemberian menjadi dunia rohani.

Y : Yang membawa kemuliaan bagi Tuhan kita. Kalau begitu masukan Pak Sindu secara praktis apa yang dapat dilakukan kita sebagai keluarga, sebagai gereja, sebagai orangtua terhadap konteks politik ini, Pak ?

SK : Yang pertama sepatutnya gereja, berbagai komunitas pelayanan dan keluarga orang percaya, ajarkan kebenaran ini. Bahwa Injil dan Politik sangat berkaitan erat. Menjadi orang percaya berarti dipanggil Tuhan untuk menjadi garam dan terang di dunia politik, dunia bermasyarakat, dunia berbangsa dan bernegara dan pemerintahan. Ajarkan hal ini dalam kurikulum bina iman, dimana pun kita berada berjemaat dan melayani. Atau pun dimana anak, sejak anak-anak kesadaran ini ditanamkan. Ikut sertakan diri kita, anak kita, jemaat kita, komunitas kita, keluarga kita dalam percakapan-percakapan, dialog-dialog dan juga aksi-aksi konkret dalam kaitan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Libatkan diri dan libatkan orang lain. Misalnya anak-anak kita yang masih kecil, baik ada istilah sekarang berkembang kunjungan studi, ajak ke Gedung DPRD, atau DPR, Parlemen Senayan di Jakarta, di setiap kota dan kabupaten ada gedung DPRD. Ajak ke Balai Kota. Disini juga panggilan mulia, bukan hanya jadi pendeta di gereja, tapi menjadi hamba Kristus di parlemen, di pemerintahan, sama mulianya atau bahkan bisa jadi jauh lebih mulia karena apa? Akan melindungi gereja, akan menjadi berkat bukan hanya dalam lingkungan intern gereja, tapi bagi masyarakat di luar gereja.

Y : Menarik, ya Pak. Bahkan aksi konkret bermasyarakat, punya hati yang peduli dengan sesama, terhadap anak-anak yang lebih berkekurangan, mulai kita tanamkan sejak kecil, supaya mereka sadar perannya sebagai garam dan terang dunia.

SK: Betul, jadi bangunlah kepedulian tentang kota kita, desa dimana kita tinggal. Misalnya kadang kita modalnya hanya mengomel, mengkritik, "Mengapa ini banjir, pohon-pohon ditebangi, oh pemerintah tidak becus, lurahnya atau kepala desanya korupsi, ini bagaimana partai-partainya melempem?". Oke boleh mengeritik dan marah, tapi mari kita sebagai komunitas orang percaya, baik atas nama gereja, jejaring, antar gereja berbeda denominasi atau pun kita komunitas orang percaya bekerjasama dengan kelompok-kelompok iman yang berbeda sebagai satu masyarakat, satu bangsa. Kita terjun aktif, kerja bakti, kita buat aksi-aksi untuk penghijauan lingkungan fisik lewat pohon-pohon yang ditanami. Kita membuat aksi-aksi bagaimana pengentasan kemiskinan yang tadi disebut oleh Bu Yosie. Bagaimana ketertiban terjadi, jadi ada kepedulian nyata. Dalam hal ini politik yang kita dukung bukanlah politik sektarian.

Y : Maksudnya sektarian?

SK : Begini, jadi kita terjun dalam dunia politik dan pemerintahan bukan atas nama sekadar untuk kepentingan kita sebagai gereja lokal, kita sebagai orang percaya hanya peduli untuk itu. Tapi politik yang kita mainkan adalah politik kebangsaan, tentang penegakan, pelestarian NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berbhineka tunggal ika, mengakui keberagaman tapi diikat dalam satu semangat kebangsaan, Pancasila dan dilandasi Undang-Undang ‘45. Itu perlu kita upayakan, bahwa kita mengakui keberbedaan, dalam keberbedaan bukan berarti kita bermusuhan dan saling meniadakan, tapi dalam keberbedaan kita saling mengisi, bersinergi membangun Indonesia Raya. Disinilah politik kebangsaan, gereja tidak perlu lagi merasa takut, mengadakan seminar politik, seminar kebangsaan. Kita undang tokoh-tokoh politik dari berbagai agama, dari berbagai partai politik. Tidak apa-apa, sebagai gereja tidak perlu mencondongkan diri pada salah satu partai politik tapi kita berdiri dan mengayomi di atas semua partai politik untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu politik kebangsaan. Gereja tidak perlu takut malah proaktif mengundang bahkan mengutus jemaatnya untuk berani. Kita pun sebagai orangtua berani untuk mendoakan minimal salah satu anak saya jadi Presiden Indonesia, jadi Gubernur, atau Walikota, atau jadi Kepala Desa.

Y : Jadi menteri BUMN…..

SK : Jadi visinya bukan sekadar visi yang hanya dianggap ini rohani dan di sana rohana. Semua nilai rohani asal kita datang membawa nilai kerajaan Allah dan menjadi berkat buat seluruh komponen masyarakat dan rakyat Indonesia. Disanalah rohani itu terjadi, Allah hadir lewat diri kita menjadi garam dan terang.

Y : Baik, Pak Sindu, menarik sekali. Dari paparan bagian pertama dan bagian kedua, apa benang merah dan penutup yang bisa Pak Sindu bisa sampaikan untuk para pendengar?

SK : Saya kembali ingin menegaskan bahwa ketika kita setia kepada Alkitab, setia kepada Firman Allah, kita akan menemukan kesimpulan bahwa Injil Kerajaan Allah itu sangat melekat di dalamnya tentang kehidupan berpolitik, setiap kita dipanggil oleh Allah, dilahirbarukan menjadi umat Allah. Itu berarti disana juga kita dipanggil menjadi garam dan terang dalam kehidupan berpolitik, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka disini menjadi orang percaya dan menjadi warga Indonesia itu adalah sebuah kehormatan yang kedua-duanya perlu kita wujudnyatakan dimana kita berperan aktif, peduli dan memberi kontribusi secara nyata. Gereja dan berbagai kelompok pelayanan juga keluarga-keluarga orang percaya, mari jadikan percakapan politik, aksi-aksi politik kemasyarakatan menjadi bagian integral, menyatu. Bukan lagi wilayah yang dijauhi, ditakuti, malah dirangkul, kita proaktif disanalah Kerajaan Allah akan nyata lewat kehadiran kita dalam kehidupan masyarakat di wilayah RT. Jadilah Ketua RT, kalau ada kesempatan menjadi Ketua RW, kalau ada kesempatan untuk menjadi anggota parpol dan pemimpin parpol, jadilah atau masuk sebagai birokrat, menjadi tokoh dalam pemerintahan Indonesia. Ambillah itu sebagai panggilan yang kudus untuk membawa kebaikan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Y : Amin. Terima kasih banyak Pak Sindu, untuk pencerahannya dan biarlah ini memotivasi kita, mengubah pandangan kita bahwa politik bukan kotor tapi panggilan yang mulia. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Orang Percaya dan Politik" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org [3]. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [4]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan
Latar Belakang

Di beberapa komunitas gereja dan pelayanan ada ketidaknyamanan ketika membicarakan tentang politik dan pemerintahan negara. Bahkan merasa ketakutan kalau gereja dan pelayanan terseret dengan perdebatan urusan politik, pemerintahan dan ketatanegaraan. "Gereja dan pelayanan itu mengurus hal-hal rohani dan Amanat Agung Kristus. Soal politik dan negara itu sudah ada yang mengurusi dan itu bukan tugas kita-kita yang di gereja dan pelayanan". Demikian pendapat umum beberapa hamba Tuhan dan pemimpin gereja dan pelayanan. Umumnya kepedulian terhadap situasi politik dan pemerintahan negara baru muncul menjelang pemilihan umum presiden, legislatif, dan kepala daerah. "Tolong dong, beritahu siapa yang harus dipilih." "Ayo, kita berdoa puasa agar pemilu berjalan lancar, aman dan tertib dan terpilih pemimpin dan anggota legislatif yang takut akan Tuhan". Atau juga baru muncul ketika ada pengrusakan, pembakaran dan penutupan gereja-gereja. Diadakanlah rapat antar gereja dan lembaga pelayanan dengan pemerintah. Namun ketika situasi mereda dan membaik sebagian gereja dan pelayanan seperti tiarap dan berkutat kembali hanya pada area intern yang disebut hal-hal rohani dan berkenaan Amanat Agung Kristus semata.

Pertanyaan yang muncul: sudah tepatkah cara pandang dan respons orang percaya sebagaimana gambaran di atas? Untuk itu lewat "Orang Percaya dan Politik" bagian pertama dan bagian kedua kita akan membahas bagaimana konteks zaman Yesus dan apa kata Alkitab, apa yang melatarbelakangi sikap sebagian orang percaya tadi di atas yang memisahkan kehidupan orang percaya dan politik. Lalu kita akan melihat dalam situasi masa lalu dan kekinian negara kita Indonesia serta membahas bagaimana respons sepatutnya orang percaya.

Yesus dan Kerajaan Allah

Sesungguhnya menjadi orang percaya dan berpolitik sangat terkait erat. Kemunculan Yesus sendiri di publik selama 3,5 tahun sudah menimbulkan riak politik, bahkan gelombang ombak politik secara nasional pada masa itu. Seruan-Nya bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Matius 3:2 [5]) disambut dengan penuh antusias para rakyat Yahudi yang sangat menanti-nantikan mesias politik bagi pembebasan dari penjajahan Romawi. Kemudian Yesus berkeliling ke kampung-kampung dan jalanan Galilea dan menuai banyak simpatisan kebangunan rohani yang kental dengan suasana politis. Mereka pergi mengikuti Yesus ke mana pun pergi dengan keyakinan bahwa Yesus sedang membuka lembaran baru yang mereka nanti-nantikan, yang akan membuat mereka bebas dari pajak yang berlipat-lipat dan penindasan politik yang terjadi.

Kedua belas murid Yesus sendiri mengikut Yesus dengan antusias karena menganggap pernyataan-pernyataan Yesus menunjuk pada apa yang diharapkan orang-orang Yahudi saat itu yaitu suatu revolusi sosiopolitik, menuju kepada tatanan dunia baru.

Pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus sendiri pada saat itu memang berbau politis. Yesus mencela para penguasa dan menunjuk kepada diri-Nya sendiri. Yesus berbicara tentang kabar baik bagi orang miskin. Dia membawa banyak orang ke tempat-tempat sunyi yang bisa dipersepsi sebagai niatan melakukan revolusi. Dia menyatakan bahwa tak lama lagi Bait Allah di Yerusalem akan hancur.

Pada awal Paskah atau hari raya pembebasan Israel, Yesus mengorganisasi orang-orang di sekelilingnya dalam bentuk yang tidak mungkin tidak dianggap sebagai suatu prosesi kerajaan. Bahkan Yesus secara sengaja dan dramatis mengungkapkan suatu perumpamaan tentang kehancuran Bait Allah. Pada saat itu Bait Allah adalah pusat dari Yudaisme dalam segala hal, yang berbeda jauh dengan gedung gereja atau suatu katedral yang terbatas hanya mengurus hal-hal rohani.

Fungsi Bait Allah juga mencakup fungsi gedung parlemen atau istana kepresidenan saat ini. Terhadap institusi sentral dan vital inilah Tuhan Yesus berbicara. Maka, ketika Yesus dikenakan hukuman mati yang sangat keji lewat penyaliban, Ia pun mati sebagai pemberontak politik atau pembangkang politik. Maka, bagaimana mungkin kita berani mengatakan bahwa Yesus tidak berpolitik?

Para Rasul, Paulus, dan Kebenaran Allah

Pengakuan iman jemaat mula-mula sangat singkat, "Yesus Kurios" yang berarti Yesus Tuhan. Pengakuan ini mengandung juga unsur politik, bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang sesungguhnya, bukan Kaisar Romawi yang pada waktu itu dikultuskan sebagai ‘tuhan’. Sementara dalam Matius 28:18 [6] Yesus menyatakan kepada para murid bahwa Ia adalah Raja yang memiliki kuasa tak terbatas: "seluruh kuasa di surga dan di bumi sudah diserahkan kepada-Ku."

Pengakuan ini eksklusif karena memunyai dampak politis yang besar terhadap perkembangan gereja pada waktu itu. Banyak orang percaya dianiaya termasuk para rasul, bahkan karena usaha pekabaran Injil, Paulus ditantang oleh penguasa karena Yesus diakui sebagai Tuhan dan Mesias.

Gereja sejak awal meyakini dirinya sebagai suatu komunitas yang berbeda, baik dari orang Yahudi masa itu maupun dari orang kafir. Tidak ada orang Yahudi ataupun orang Yunani, yang ada hanyalah gereja Tuhan (Galatia 3:28 [7]: "Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tridak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus".) Makin disadari bahwa janji-janji Tuhan telah menjadi warisan bagi orang-orang percaya di seluruh dunia. Tidak ada lagi bangsa, ras maupun geografis yang diistimewakan.

Maka, wajar sekali bila akhirnya Gereja menganggap dirinya berada di atas ketaatan terhadap penguasa-penguasa dunia. Untuk apa tunduk kepada kaisar, sementara kaisar juga tunduk kepada apa yang dia sembah? Kemungkinan ke arah pemberontakan kudus seperti inilah yang bisa melatarbelakangi Paulus menulis surat kepada Jemaat di Roma khususnya yang kita kenal di Surat Roma pasal 13 [8].

13:1 Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah 1 p yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan q oleh Allah. 13:4 Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang 2 . Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. t 13:5 Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati u kita. Apa yang digariskan di sini adalah pencegahan terhadap sikap mencemoohkan pemerintah, seolah-olah gereja berada di atas atau di luar semua kendali sosial dan hukum. Yang dianjurkan di sini bukanlah tunduk begitu saja kepada apa yang diharapkan penguasa, melainkan suatu kesadaran bahwa menjadi orang percaya seseorang tidak perlu berhenti sebagai manusia dan dia terikat kepada kewajiban-kewajiban terhadap sesamanya. Lebih dari itu adalah kewajiban terhadap Allah yang menghendaki manusia-manusia ciptaan-Nya hidup harmonis satu sama lain. Kewajiban-kewajiban tersebut kurang lebih diabadikan dalam hukum-hukum yang dibuat pemerintah dari waktu ke waktu. Yang ditekankan Paulus bukanlah apapun yang dilakukan pemerintah pasti benar dan apapun yang mereka tetapkan harus diikuti, melainkan bahwa Allah ingin agar manusia hidup tertib; bahwa menjadi orang percaya tidak berarti melepaskan seseorang dari berbagai kewajiban terhadap tata tertib ini. Orang percaya patut tunduk, paling tidak secara umum, kepada mereka yang dipercayakan untuk menegakkan tata tertib.

Roma 13 menyatakan bahwa setidak-tidaknya menjadi orang percaya tidak berarti menjadi seorang anarkis atau pemberontak. Allah Pencipta menginginkan manusia ciptaan-Nya hidup dalam berbagai hubungan sosial, di mana diperlukan tata tertib, stabilitas dan struktur di mana orang percaya tidak terlepas dari hal ini.

Dari Perjanjian Baru ini ternyata kita tidak dapat memisahkan Injil dan politik. Kita tidak dapat menitipkan politik hanya kepada mereka yang menyandang senjata atau kepada mereka yang memegang kalkulator. Bila kita berdoa, "Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga", kita tidak bisa hanya berpikir tentang suatu keadaan yang mulai terjadi setelah semua manusia mati atau diubahkan seperti 1 Korintus 15:51 [9] (15:51 Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia 1 : d kita tidak akan mati e semuanya 2 , tetapi kita semuanya akan diubah, f 15:52 dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi g dan orang-orang mati h akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah).

Jika kita ingin menjadi benar di hadapan orang percaya generasi pertama yang berdoa dan hidup di dalamnya, kita perlu membayangkan, bekerja dan berdoa untuk negara, masyarakat dan politik, tidak kalah pentingnya dari kehidupan rohani dan keagamaan kita.

Definisi Politik

Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota). Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan memertahankan kekuasaan di masyarakat. Definisi ini meneguhkan pemahaman bahwa hidup bersama dalam masyarakat membutuhkan pengaturan. Jika sama sekali orang percaya tidak terlibat dalam pengaturan bersama, maka orang lainlah yang mengatur nasib orang percaya dan nasib kehidupan bersama. Tuhan Yesus memberi identitas pada orang percaya sendiri dalam Matius 5:13-14, “Kamu adalah garam dunia dan terang dunia.” Membawa pengaruh Kristus untuk memberkati seluruh dunia dengan kepelbagaian agama, kepercayaan, budaya, daerah, strata sosial ekonomi di manapun kita berada. Dengan kata lain, berani menjadi orang percaya, berani bermasyarakat, berani berpolitik.

Latar Belakang adanya orang percaya yang apolitik

Adanya orang percaya yakni bersikap apolitik dilatarbelakangi oleh pemikiran dikotomi yakni: pemisahan antara yang fana dan yang kekal. Ini sesungguhnya merupakan pikiran Plato dan agama dunia yang memisahkan tubuh dan jiwa. Tubuh itu fana dan jiwa itu suci. Segala aktivitas yang berhubungan dengan tubuh itu fana dan kesia-siaan, segala aktivitas yang berhubungan dengan jiwa itulah yang mulia dan kekal.

Pikiran Kristus tidaklah demikian. Pemikiran Kristus adalah lingkaran konsentris. Ada lingkaran terkecil. Di luarnya lingkaran lebih besar. Di luarnya lagi lingkaran yang lebih besar lagi. Lingkaran terkecil adalah Kristus. Berikutnya lingkaran kehidupan pribadi, lingkaran kehidupan keluarga, lingkaran kehidupan komunitas gereja, lingkaran kehidupan masyarakat kota, lingkaran kehidupan negara, lingkaran kehidupan antarnegara.

Pandangan Yohanes Calvin

Persepsi Yohanes Calvin atau John Calvin—seorang teolog dan reformator Perancis—tentang politik tampak dalam bukunya Institutio Christianae Religionis (Pengajaran Agama Kristen). Dalam uraiannya mengenai Pemerintahan Sipil, Yohanes Calvin memaparkan dua hal mendasar, yakni Pemerintahan Negara dan Kerajaan Kristus. Ia mengatakan, "Kerajaan Kristus itu berada dalam jiwa dan batin manusia dan memiliki hubungan dengan hidup kekal. Sedangkan Pemerintahan negara bermaksud menetapkan tata kehidupan yang benar dari segi sipil serta lahiriah yang memiliki hubungan dengan kekinian hidup manusia." Yohanes Calvin berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan antara Pemerintahan Negara dan Kerajaan Kristus, meskipun keduanya berbeda. Ia bahkan memberi penghargaan yang tinggi dan tulus terhadap pemerintahan negara:

"Maka oleh siapapun tak boleh diragukan lagi bahwa kekuasaan politik itu adalah suatu panggilan yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana."

Dalam bahasan khusus tentang Pemerintahan Negara, Yohanes Calvin berpendapat maksud pemerintahan sipil bukan sekadar menciptakan kebebasan di mana kemanusiaan dijunjung tinggi. Tetapi lebih dari itu pemerintahan sipil itu menuntun warganegara terutama orang percaya agar tidak menghina kebenaran Allah, tidak menyembah berhala, dan tidak menghujat agama. Sebaliknya supaya mereka memelihara ketenteraman umum, tidak merongrong milik sesama manusia, menegakkan keadilan serta memupuk sikap ikhlas dan sopan santun di antara mereka.

Pada dasarnya yang diinginkan Yohanes Calvin adalah supaya di antara orang percaya ada bentuk ibadah yang umum dan praktik hidup sehari-hari yang mencerminkan apa yang diimani dan di antara umat manusia ada perikemanusiaan. Dengan singkat kata, Pemerintahan Negara itu penting, bahkan kekuasaan politik itu merupakan panggilan yang suci, sah, paling kudus dan paling terhormat dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana, termasuk orang-orang percaya. Lebih jauh, Yohanes Calvin menghargai mereka yang terpanggil melayani dalam Pemerintahan Negara.

Partisipasi Aktif Orang Percaya dalam Sejarah Indonesia

Ada banyak nama orang percaya yang terbukti telah berperan penting dalam sejarah politik kebangsaan dan pemerintahan di Indonesia. Antara lain: Pattimura, Christina Martha Tiahahu, Johanes Leimena, Tahi Bonar Simatupang, Radius Prawiro, Yap Thiam Hien.

Respons

Jadi bagi orang percaya dunia politik bukanlah panggung haram. Malahan sangat penting untuk orang-orang tekuni dan gumuli demi kemajuan bangsa dan kebaikan masyarakat luas. Menjadi birokrat, teknokrat, politisi adalah juga panggilan orang-orang percaya untuk bersaksi di tengah-tengah dunia ini.

Tindak Lanjut Gereja, Pelayanan dan Keluarga Orang Percaya
  1. Ajarkan kebenaran ini dalam kurikulum bina iman
  2. Ikut aktif serta dalam percakapan, dialog, dan aksi konkret bermasyarakat, berbangsa, bernegara.
  3. Dorong dan dukung warga gereja dan orang-orang percaya terjun dalam karya kemasyarakatan, politik kebangsaan, parlemen, dan pemerintahan.
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [10]
Audio [11]
Pengembangan Diri [12]
T561B [13]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/orang_percaya_dan_politik_ii

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T561B.mp3
[2] https://alkitab.mobi/tb/passage/matius+5%3A13-14
[3] mailto:telaga@telaga.org
[4] http://www.telaga.org
[5] https://alkitab.mobi/tb/Mat/3/2/
[6] https://alkitab.mobi/tb/Mat/28/18/
[7] https://alkitab.mobi/tb/Gal/3/28/
[8] https://alkitab.mobi/tb/Rom/13
[9] https://alkitab.mobi/tb/1Ko/15/51/
[10] https://www.telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[11] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[12] https://www.telaga.org/kategori/pengembangan_diri_0
[13] https://www.telaga.org/kode_kaset/t561b