TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Berpacaran Perhatikan Kecocokan I

Berpacaran Perhatikan Kecocokan I

Kode Kaset: 
T389A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kendati ada pelbagai penyebab mengapakah pernikahan berakhir di usia dini, namun mungkin sekali penyebab utamanya adalah karena KURANGNYA PERSIAPAN. Ada banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tanpa mengetahui--apalagi menyelesaikan--tugas berpacaran. Salah satu fase yang harus ditempuh dalam proses berpacaran adalah memperhatikan kecocokan, baik kecocokan nilai maupun kecocokan kepribadian.
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan terdahulu yaitu tentang Berpacaran Perhatikan Kecocokan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Sebenarnya perbincangan kita kali ini masih merupakan kelanjutan dari perbincangan terdahulu tentang Tugas Dalam Berpacaran. Pak Paul juga sudah mengajak para pendengar mengikuti perbincangan itu dengan baik. Namun kali ini kita akan lebih fokus pada perbincangan tentang kecocokan. Pada perbincangan yang lalu kecocokan dari segi rohani sudah kita perbincangkan, tapi masih ada sisi-sisi yang lain dari kecocokan yang perlu kita perbincangkan. Bukankah demikian, Pak Paul ?

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi ada satu lagi kecocokan yang layak diperhatikan pada

masa berpacaran dan itu adalah kecocokan dalam nilai kehidupan atau hal apakah yang penting bagi kita. Sudah tentu tatkala kita menetapkan hal apakah yang penting bagi kita, secara bersamaan kita pun menetapkan hal apakah yang tidak penting bagi kita. Nah, inilah yang perlu diperhatikan pada masa berpacaran, Pak Gunawan, sebab seringkali perbedaan nilai atau perbedaan apakah yang penting atau apakah yang tidak penting menjadi masalah yang akhirnya meretakkan relasi. Saya kira alasannya jelas ya, yaitu nilai kehidupan atau nilai-nilai ini memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan kita, Pak Gunawan.

GS : Jadi sebenarnya apa yang dimaksud dengan nilai kehidupan itu, Pak Paul ?

PG : Nilai sebetulnya adalah sebuah persepsi, pandangan atau standar yang kita tetapkan. Lewat standar itulah nanti kita menetapkan apakah itu penting atau tidak penting bagi kita. Sudah tentu masing-masing, baik suami maupun istri, biasanya membawa nilai masing-masing apakah yang penting bagi dirinya.

GS : Yang paling banyak berpengaruh itu nilai-nilai apa saja, Pak Paul ?

PG : Ada tiga, Pak Gunawan, yaitu keluarga, pergaulan dan keuangan. Jadi ini adalah tiga area yang seringkali biasanya nanti menimbulkan masalah di dalam pernikahan kalau nilai-nilai kita dalam ketiga hal ini tidak pas.

GS : Nah, yang mulai saja dengan keluarga. Masing-masing keluarga tentu punya nilai,

Pak Paul. Baik dari keluarga pihak pria maupun keluarga pihak wanita atau dari mereka sendiri 'kan mempunyai nilai ?

PG : Betul. Yang akan coba kita fokuskan adalah hubungan dengan keluarga asal dan hubungan di dalam keluarga kita sendiri. Pada masa berpacaran kita mesti

memerhatikan relasi pasangan dengan keluarga asalnya. Ini penting. kita seringkali berkata, Yang penting 'kan saya dengan dia, bukannya dengan keluarganya. Tapi kalau kita mau mengenal dengan baik siapakah pasangan kita, tidak bisa tidak kita harus melihat keluarganya. Jadi kita harus melihat relasi dengan keluarganya. Misalnya ada yang bersikap tidak peduli dengan keluarga asalnya, ada yang bersikap memerhatikan, dan ada pula yang bersikap mendewakan. Nah, kita akan fokus kepada ketiga reaksi yang biasanya ditunjukkan orang terhadap keluarganya. Ada orang yang tidak peduli karena masa lalu yang tidak menyenangkan, yaitu dalam keluarga yang penuh masalah sehingga dia tidak suka dengan keluarganya. Itu sebabnya hubungan dengan keluarganya itu renggang. Namun ada pula yang tidak peduli karena memang hidup hanya untuk diri sendiri. Jadi kita mau ketahui itu. Kalau memang hubungan dengan keluarganya tidak erat itu kenapa. Kalau memang orang itu hidup untuk diri sendiri ini jauh lebih serius ketimbang dia tidak mau dekat-dekat dengan keluarganya karena banyak masalah. Ada pula yang bersikap mendewakan, Pak Gunawan. Dimana bagi dia keluarga adalah segalanya, benar atau salah pasti dibelanya dan tidak ada seorang pun yang boleh mengkritik keluarganya. Dia sangat erat dengan keluarganya dan mereka pun sangat terlibat dalam kehidupannya. Singkat kata, masing-masing merasa berhak untuk tahu dan ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Ada yang bersikap memerhatikan. Dalam pengertian dia memunyai hubungan yang dekat dengan keluarganya namun ia bisa bersikap objektif. Artinya dia tidak bersikap membabi buta membela keluarganya tetapi dia pun tidak bersikap masa bodoh terhadap mereka. Singkat kata, dia adalah orang yang terpisah dan mandiri dari keluarganya tapi sekaligus juga dekat dan menyayangi keluarganya.

GS : Tapi kalau kedua calon ini, baik pria maupun wanita, keduanya memunyai sikap yang tidak peduli kepada keluarganya, 'kan sebenarnya tidak ada masalah, Pak Paul ?

PG : Sekali lagi yang mau kita lihat kenapa sampai tidak peduli dengan keluarganya ?

Sebab itu akan memengaruhi relasinya sendiri dengan keluarganya atau dengan pasangannya. Misalnya, dia orangnya memang egois, tidak pedulian dengan keluarganya. Kalau dasarnya adalah egois, besar kemungkinan ini akan dia bawa ke dalam keluarganya sendiri. Tapi misalkan memang dia menjauh dari keluarganya karena terlalu banyak masalah dan tersakiti oleh keluarganya, nah belum tentu 'kan dia nanti akan bersikap masa bodoh terhadap keluarganya sendiri. Dan yang tadi kita bahas, ada pasangan yang benar-benar mendewakan keluarganya. Nah, ini juga nanti bisa menimbulkan masalah dalam keluarga. Memang tidak semuanya jadi masalah besar bila ada saling pengertian. Tapi kalau keluarganya itu sedikit-sedikit ikut campur tangan dan dia memang memberikan kesempatan itu. Dan ada yang justru lebih percaya kepada keluarganya ketimbang kepada pasangannya sendiri. tidak bisa tidak ini akan menjadi masalah. Nah, sekali lagi kita mau tekankan dalam masa berpacaran lihatlah hal ini.

GS : Saya malah melihat kalau keduanya sama-sama mendewakan keduanya ini bisa gawat, Pak Paul, dibandingkan dengan jika keduanya sama-sama tidak peduli kepada keluarganya !

PG : Iya, betul sekali. Bisa-bisa kedua keluarga besar yang bertarung ! GS : Jadi memang yang baik yang ketiga tadi ya, Pak Paul ?

PG : Betul. Tanpa penjelasan pun bisa kita lihat dari ketiganya adalah memerhatikan keluarga. Salah satu tugas pernikahan adalah membangun keluarga. Dan ini hanya dapat dilakukan jika keluarga asal tidak terlalu mencampuri urusan dalam keluarga sendiri. Sebaliknya kita pun tidak mau pasangan tidak peduli dengan keluarga asalnya sama sekali. Sebab ketidakpedulian ini mungkin sekali akan diembankan kepada kita, maksudnya dia pun akan menuntut kita untuk lepas dari keluarga asal kita. Dia tidak mau peduli dengan keluarganya, dia tidak mau berdekatan dengan keluarganya, tidak mau ada kontak dengan keluarganya. Nah, akhirnya dia menuntut kita berbuat yang sama juga. Kenapa dekat-dekat dengan keluargamu ? Kenapa keluargamu harus tahu ? Sampai-sampai omongan yang biasa pun tidak boleh dilakukan. Ini yang seringkali juga terjadi. Maka dalam masa berpacaran kita harus memerhatikan hal ini. Sebab hubungan dengan keluarga asal berpengaruh besar dalam pernikahan. Jadi jangan sepelekan. Ada begitu banyak data yang dapat kita peroleh tentang siapakah pasangan dan seperti apakah dia nanti dalam pernikahan lewat pengamatan terhadap relasinya dengan keluarga asalnya.

GS : Kalau memang keluarganya terdiri dari keluarga yang cukup besar, artinya si kedua calon mempelai ini punya banyak saudara, masalahnya bisa lebih kompleks lagi, Pak Paul ?

PG : Ya, biasanya begitu Pak Gunawan. Makanya kita tahu kadang kita mendengar nasihat dari para orang tua, kalau menikah jangan menikah dengan orang dari keluarga besar. Karena memang itu salah satu resikonya ya. Kalau terlalu banyak yang terlibat biasanya itu akan merumitkan relasi keluarga.

GS : Tapi kalau anak tunggal pun membawa masalah, Pak Paul.

PG : Iya. Kadang bisa muncul masalah kalau memang gara-gara dia anak tunggal dia mengembangkan karakter yang kurang baik, misalnya sangat egois, tidak mau diganggu dan sebagainya.

GS : Selain faktor keluarga, hal lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul ?

PG : Selain dari faktor keluarga asal, kita juga mau melihat nilai yang dikandungnya berkaitan dengan seberapa pentingnya keluarga yang akan dibangunnya bersama dengan kita. Sama dengan di atas, ada orang yang memang tidak memedulikan keluarga. Artinya, nanti setelah dia menikah, memang dia bukan orang yang menempatkan keluarga di posisi yang penting. Ada yang mendewakan keluarga, ada yang memerhatikan keluarga pula. Coba kita lihat. Jika kita bertanya kepada pasangan, apakah engkau memerhatikan keluarga, sudah tentu dia menjawab saya mementingkan keluarga. Namun seperti yang kita ketahui ada banyak ayah atau ibu yang tidak mementingkan keluarga. Mereka mungkin sibuk mengejar ambisi pribadi, atau mereka mungkin lebih menikmati menghabiskan waktu dengan

teman di luar ketimbang dengan keluarga sendiri. Nah itu yang pertama. Kedua, ada pula orang yang mendewakan keluarganya nantinya. Mereka sangat protektif dengan keluarganya sehingga tidak ada seorangpun yang boleh mengkritik keluarganya. Sudah tentu pernikahan dan keluarga yang seperti itu akan menjadi pernikahan dan keluarga yang tertutup. Akhirnya kita tidak akan terbuka terhadap komentar dari luar sama sekali dan ini berarti kita pun menjadi orang seperti itu, sukar dikritik. Jadi sekali lagi yang baik adalah sikap yang memerhatikan keluarga tapi tidak mendewakan keluarga. Dengan kata lain, kita tahu keluarga itu penting namun keluarga bukan segalanya dan bukan yang terpenting dalam hidup.

GS : Iya. Memang di dalam hubungan ini kita tidak sendirian. Kita hidup di tengah- tengah masyarakat, dimana kita bergaul dengan mereka selain dengan keluarga kita sendiri. Nah, sejauh mana pergaulan ini memunyai nilai tertentu yang harus kita sepakati sebelum memasuki pernikahan, Pak Paul ?

PG : Ternyata penting, Pak Gunawan. Jadi dalam masa berpacaran kita mesti melihat

nilai yang dianut oleh pasangan kita dalam menentukan pergaulannya. Saya mau jelaskan. Sebenarnya tanpa kita sadari dalam diri kita masing-masing terdapat sebuah sistem nilai yang menentukan siapakah yang akan kita anggap teman. Sebagaimana kita tahu kita adalah mahluk sosial yang memerlukan teman. Jadi kita adalah perpanjangan pergaulan kita dan sebaliknya teman adalah perpanjangan diri kita. Di dalam masa berpacaran kita harus mulai melihat apakah pasangan memunyai kesamaan nilai dalam memilih teman. Saya berikan contoh. Pada umumnya kita bertemu dengan pasangan dalam lingkup pergaulan yang sama, misalnya di gereja atau di sekolah. Oleh karena kita bertemu dalam lingkup sosial yang sama kita pun langsung berasumsi bahwa pasangan memunyai nilai yang sama dalam menentukan pertemanan. Masalahnya adalah belum tentu demikian. Kenyataan dia dan kita berada dalam satu lingkup sosial yang sama belum tentu mencerminkan nilai sosial yang sama. Misalkan kita bertemu dengan pasangan kita di gereja atau di sekolah. Kita tidak selalu berkesempatan memilih teman pribadi lepas pribadi sebab di gereja atau di sekolah, mereka masuk ke dalam kehidupan kita satu paket bersama kegiatan yang kita lakukan. Misalnya kita adalah anggota Paduan Suara. Nah, dalam Paduan Suara itu kita bertemu dan bergaul dengan banyak orang. Namun sesungguhnya bila kita diberi kesempatan memilih, belum tentu kita mau bergaul dengan semuanya dalam kapasitas teman. Oleh sebab itu dalam masa berpacaran kita perlu memerhatikan dengan jernih sistem nilai yang ada dalam diri pasangan. Tangkaplah sistem nilai itu dari perkataannya sewaktu mengomentari seseorang. Lihatlah siapakah yang sungguh- sungguh diajaknya untuk pergi bersama dan siapakah yang terpaksa diajaknya. Perhatikanlah siapakah yang menjadi fokus perhatiannya, yang dihormatinya dan siapakah yang tidak. Jadi kita mau melihat dengan jeli, sebetulnya siapakah atau apakah sistem nilainya di dalam pergaulan itu. Karena kalau memang tidak sama, susah sekali kita membangun kehidupan sosial bersama-sama.

GS : Seringkali kita dikaburkan atau dikacaukan bahwa kalau kita punya kesukaan yang sama, baik itu di gereja, di sekolah, atau bahkan di tempat kerja, kita anggap nilainya sudah sama, Pak Paul.

PG : Betul. Padahal belum tentu ya, Pak Gunawan. Sebelum kita lanjutkan ke bagian berikutnya, saya mau mengatakan sesuatu. Mohon diperhatikan, saya tidak mengatakan bahwa kita harus memunyai sistem nilai yang persis sama dalam memilih teman. Tidak ya. Tidak apa kita berbeda. Yang terpenting adalah masih ada ruang yang lumayan besar dimana kita dapat berbagi teman pergaulan. Jadi saya tidak mengatakan bahwa semua teman pasangan haruslah dapat kita terima sebagai teman kita pula dan sebaliknya dia harus menerima semua teman kita. Namun sekali lagi, perbedaan itu haruslah kecil dan kesamaannya haruslah besar. Sebab kalau tidak demikian, mustahil untuk kita dapat hidup di dalam suatu lingkup sosial yang sama.

GS : Memang betul, Pak Paul. Sebenarnya kita memaksakan calon pasangan kita untuk akrab seperti kita dengan teman atau sahabat-sahabat kita, Pak Paul dan itu yang membuat masalah.

PG : Iya. Memang kita harus memberikan ruang bahwa kita belum tentu bisa akrab dengan teman-teman pasangan kita dan dia pun belum tentu bisa akrab dengan teman-teman kita. namun sedapat-dapatnya perbedaan teman itu kecil. Jangan sampai hampir semua temannya tidak kita sukai dan hampir semua teman kita tidak dia sukai. Kalau begitu bukan saja nantinya dalam kehidupan sosial kita tidak bisa berbagi hidup. Tapi sebetulnya kalau perbedaannya begitu besar, itu menunjukkan bahwa kita dan pasangan sebetulnya juga sangat berbeda. Tadi sudah saya singgung, kita memilih teman sesuai dengan diri kita, teman adalah perpanjangan diri kita. Jadi kalau pasangan kita tidak suka dengan semua teman kita, sebetulnya dia juga tidak begitu suka atau tidak begitu cocok dengan kita.

GS : Pertemanan itu sering kali dipengaruhi oleh kesukaan atau hobi yang dimiliki oleh masing-masing. Kalau hobinya bertentangan itu juga akan sulit bagi mereka untuk bisa akrab, Pak Paul ?

PG : Betul ! Memang kita tidak mengatakan hobinya harus sama. Tidak! Tapi mesti ada cukup banyak minat yang sama.

GS : Selain pergaulan, nilai apa lagi yang perlu kita perhatikan, Pak Paul ?

PG : Ini yang sering jadi bahan masalah, yaitu keuangan, Pak Gunawan. Ada begitu banyak hal yang mesti diputuskan yang berkaitan dengan uang. Tidak heran, masalah uang akhirnya menjadi ladang subur pertengkaran bila kita tidak memiliki kecocokan nilai dalam hal uang. Itu sebabnya dalam masa berpacaran kita mesti memerhatikan hal ini dengan seksama. Coba saya jelaskan. Pada umumnya sebagai anak Tuhan kita sampai pada kesimpulan bahwa : (a) uang adalah penting, tetapi (b) uang bukanlah segalanya. Ini yang biasanya kita yakini ya. Masalahnya di dalam kenyataannya ternyata penerapannya tidak semudah itu ! Sebagaimana kita ketahui, uang adalah sarana semata untuk membeli sesuatu. Disinilah letak masalahnya. Ternyata kita tidak selalu seia sekata dalam hal ini, yaitu membeli apa

dan untuk apa. Dengan kata lain, masalahnya adalah pengeluaran uang itu sendiri. Misalnya ada yang tidak mementingkan rumah atau kendaraan, tetapi mementingkan pendidikan anak. Rumah dan kendaraan boleh kelas dua tetapi sekolah anak mesti kelas satu. Mungkin kita setuju dengan pasangan bahwa rumah dan kendaraan boleh kelas dua, tetapi kita tidak setuju dengan sekolah harus kelas satu. Buat kita pendidikan anak tidak apa kelas dua selama dia dapat menikmati masa sekolahnya. Disini dapat kita lihat sebetulnya baik kita maupun pasangan sama-sama memikirkan kepentingan anak, yaitu masa depannya, namun kita tidak sepaham. Penyebabnya adalah kita mementingkan kepentingan yang berbeda. Jadi, pasangan memfokuskan pada pengasahan otak anak, sedangkan kita memfokuskan pada pertumbuhan jiwa anak. Sudah tentu menyekolahkan anak di sekolah kelas satu akan menuntut biaya yang lebih besar dan ini berarti penghasilan kita akan harus bertambah. Dan bukan hanya penghasilan mesti bertambah, kita pun mungkin harus mengatur ulang pengeluaran uang sesuai dengan prioritas ini. Mungkin uang untuk mendukung orang tua kita terpaksa dipangkas, mungkin uang untuk jajan di luar diperketat dan mungkin ada yang terpikir untuk mengurangi uang persembahan. Jadi berdasarkan contoh ini, kita bisa melihat betapa kompleksnya perihal uang ini. Jadi tidak heran dampak ketidakcocokan nilai menyangkut uang juga berdampak besar. Itu sebabnya penting dalam masa berpacaran kita mesti mulai memerhatikan nilai yang terkandung di dalam diri pasangan. Jangan sampai kita mengabaikan hal ini.

GS : Biasanya justru dalam masa berpacaran, justru orang kurang memerhatikan hal ini.

Menyepelekan, seolah-olah uang itu tidak ada artinya, Pak Paul. Apapun ya mereka lakukan. Tapi nanti setelah menikah bisa berubah.

PG : Betul. Sebab dalam masa berpacaran, pengeluaran uang hanya untuk makan, nonton, jalan-jalan. Itu saja ! Memang sangat terbatas. Tapi begitu menikah, ada seribu satu macam hal yang harus diputuskan yang berkaitan dengan uang. Belum lagi misalnya ada hal-hal lain yang bisa memperkeruh masalah. Misalnya, ada yang berlatar belakang susah sehingga sekarang bertujuan dan berikhtiar keras untuk hidup senang, jadi mesti mendapatkan uang lebih banyak lagi. Atau ada yang terbiasa hidup senang sehingga terlalu menggampangkan uang. Atau ada yang terbiasa hidup keras sehingga sukar bermurah hati, jadi akhirnya ini menambah kompleks masalah uang dalam keluarga.

GS : Dalam hal ini sebenarnya bisa dibicarakan bersama dan dari sini kita bisa tahu bagaimana penilaiannya tentang uang itu.

PG : Betul. Jadi memang kita mesti lebih berinisiatif menanyakan misalkan kita mengalami hal ini, yang mana yang harus kita tentukan atau bagaimana. Jadi mulai masa berpacaranlah kita membicarakannya.

GS : Dalam hal uang, apakah ada pedoman yang bisa kita dapatkan dari Alkitab, Pak

Paul ?

PG : Ada. Kita 'kan terbiasa berpikir bahwa kita harus mencari uang. Sebenarnya bukan uang yang harus kita cari melainkan Kerajaan Allah beserta kebenarannya.

Sebagaimana dicatat di dalam Matius 6:33, Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah beserta kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Jadi perspektif yang benar adalah kita bekerja dan memaksimalkan potensi yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita. uang adalah imbalan dari kita bekerja semata. Jadi sekali lagi, hidup bukan untuk mencari uang. Kita hidup untuk mencari Kerajaan Allah beserta kebenarannya. Dan Allah berjanji bukan hanya Dia akan mencukupi tetapi Dia juga akan menambahkan. Apabila kita mencari Kerajaan Allah beserta kebenarannya maka nilai kita pun akan berubah. Kita tidak akan terpaku lagi pada apa yang penting bagi kita, melainkan kita akan terpaku pada apa yang penting bagi Tuhan dan kerajaan-Nya. Akhirnya pengeluaran uang pun akan dilandasi atas apa yang penting bagi Kerajaan Allah.

GS : Ini sangat berkaitan erat dengan kecocokan nilai rohani seperti yang kita bahas beberapa waktu lalu. Karena tindakan menggunakan uang ini juga tindakan spiritual.

PG : Betul sekali. Memang hubungan kita dengan Tuhan dan seberapa pentingnya Tuhan dan kehendak-Nya di dalam hidup kita akan memengaruhi bagaimana kita akan menggunakan uang kita.

GS : Apakah di Alkitab juga ada suatu contoh konkret tentang bagaimana suami istri menggunakan uang ?

PG : Ada, Pak Gunawan. Contohnya Ananias dan Safira. Saya harus berkata atau menduga, Ananias dan Safira sebenarnya bermaksud baik. Mereka berniat menjual sebidang tanah dan mempersembahkan uang hasil penjualan tanah kepada Tuhan. Namun setelah melihat uang itu rupanya mereka berubah pikiran. Mungkin mereka mulai memikirkan keperluan yang mereka tengah hadapi. Mungkin mereka memikirkan rencana usaha yang baru yang ingin mereka rintis, atau mungkin mereka merasa sayang melepaskan uang itu. Apapun itu, akhirnya pemikiran itu mengalahkan niat baik memberikan persembahan kepada Tuhan. Mereka tidak jadi memberikan seluruh hasil penjualan tanah. Sayangnya mereka tidak jujur di hadapan Tuhan dan para rasul. Supaya terlihat baik dan konsisten memegang ikrar, mereka berbohong dan mengatakan bahwa jumlah itu adalah seluruh hasil penjualan tanah. Kita tahu akhir hidup mereka, Pak Gunawan. Dapat kita baca dalam Kisah Para Rasul pasal 5, keduanya mati di hadapan para rasul. Tuhan turun tangan dan menghukum mereka yang memerlakukan Tuhan seenaknya. Uang dapat menyatukan orang berbuat dosa dalam kasus ini, suami istri bersatu berbuat dosa. Uang dapat mengubah niat baik dan sistem nilai yang baik. Dua-duanya sebetulnya punya niat dan sistem nilai yang baik, namun berubah begitu melihat uang. Uang pulalah yang menghantarkan suami istri yang harmonis ini ke penghakiman Tuhan.

GS : Jadi ini contoh kesepakatan atau kecocokan suami istri yang salah, lebih-lebih di hadapan Tuhan, ya ?

PG : Iya, Pak Gunawan. Jadi kita dalam masa berpacaran, bukalah mata. Lihatlah seberapa pentingnya sih uang bagi pasangan kita dan apa yang penting baginya.

Sebab apa yang penting baginya itu akan coba dia dapatkan dengan uang juga. Kalau tidak sama, tidak cocok, ya nanti akan susah.

GS : Jadi sampai sekarang pun ada banyak kasus. Ada kasus yang melibatkan suami istri yang sepakat misalnya saja membuat banyak hutang kemudian mereka terbelit dengan masalah itu. Mereka berhutang, itu suatu kesepakatan bukan hanya keputusan dari si suami atau si istri, namun akhirnya mereka harus sama- sama menderita, Pak Paul.

PG : Betul. Sayangnya ini justru sering terjadi. Saya yakin para pendengar kita mungkin tahu pasangan seperti itu, keduanya sepakat untuk menipu karena keduanya sudah mempunyai nilai tapi nilai yang salah di mata Tuhan.

GS : Sebenarnya masih adakah hal lain yang harus diperhatikan tentang kecocokan, Pak

Paul ?

PG : Masih ada, Pak Gunawan. Dan berikutnya adalah kita akan membahas kecocokan kepribadian.

GS : Iya, tapi karena waktunya sudah habis maka perbincangan kali ini kita sudahi dulu dan akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Berpacaran Perhatikan Kecocokan. Kami masih akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2]. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.

Ringkasan
Hal berikut tentang kecocokan yang layak diperhatikan pada masa berpacaran adalah nilai kehidupan atau hal apakah yang penting bagi kita. Sudah tentu tatkala kita menetapkan hal apakah yang penting bagi kita, pada saat bersamaan kita pun menetapkan hal apakah yang tidak penting bagi kita. Nah, inilah yang perlu diperhatikan pada masa berpacaran. Sering kali perbedaan nilai menjadi masalah yang akhirnya meretakkan relasi. Alasannya jelas: Nilai kehidupan mempengaruhi banyak hal, termasuk (a) keluarga, (b) pergaulan, dan (c) keuangan. Mari kita perhatikan ketiga hal ini dengan saksama.

Keluarga. Yang saya maksud dengan keluarga adalah hubungan dengan keluarga asal dan hubungan di dalam keluarga sendiri. Pada masa berpacaran kita mesti mulai memperhatikan relasi pasangan dengan keluarga asalnya. Ada yang bersikap tidak peduli, ada yang bersikap memperhatikan, dan ada pula yang bersikap mendewakan. Ada yang yang tidak peduli karena masa lalu yang tidak menyenangkan namun ada pula yang tidak peduli karena memang hidup hanya untuk diri sendiri. Ada yang bersikap mendewakan, dimana keluarganya adalah segala-galanya baginya. Benar atau salah pasti dibelanya dan tidak seorang pun yang boleh mengkritik keluarganya. Ia sangat erat dengan keluarganya dan mereka pun sangat terlibat dalam kehidupannya. Singkat kata, masing-masing merasa berhak untuk tahu dan ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Dan, ada yang bersikap memperhatikan, dalam pengertian ia mempunyai hubungan yang dekat dengan keluarganya namun ia bisa bersikap obyektif. Ia tidak bersikap membabi buta membela keluarganya tetapi ia pun tidak bersikap masa bodoh terhadap mereka. Singkat kata, ia adalah diri yang terpisah dan mandiri. Tanpa penjelasan pun kita dapat melihat bahwa dari ketiganya, sikap yang paling baik adalah yang terakhir--memperhatikan keluarga. Salah satu tugas pernikahan adalah membangun keluarga dan ini hanya dapat dilakukan jika keluarga asal tidak terlalu mencampuri urusan dalam keluarga kita sendiri. Sebaliknya, kita pun tidak mau pasangan tidak peduli dengan keluarga asalnya sama sekali sebab ketidakpedulian ini mungkin sekali akan diembankan kepada kita. Maksudnya, ia pun akan menuntut kita untuk lepas secara total dari keluarga asal kita. Jadi, penting bagi kita untuk memperhatikan relasi pasangan dengan keluarga asalnya. Jadi, jangan sepelekan hal ini. Ada begitu banyak data yang dapat kita peroleh tentang siapakah pasangan dan seperti apakah ia nanti dalam pernikahan lewat pengamatan terhadap relasinya dengan keluarga asalnya.

Jika kita bertanya kepada pasangan, Apakah engkau mementingkan keluarga? sudah tentu ia akan menjawab, Saya mementingkan keluarga. Namun sebagaimana kita ketahui ada begitu banyak ayah atau ibu yang tidak mementingkan keluarga. Mereka mungkin sibuk mengejar ambisi pribadi atau mereka mungkin lebih menikmati menghabiskan waktu dengan teman di luar ketimbang dengan keluarga sendiri. Sebaliknya ada pula orang yang mendewakan keluarganya. Mereka sangat protektif dengan keluarganya sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengkritik keluarganya. Sudah tentu pernikahan dan keluarga yang seperti itu akan menjadi pernikahan dan keluarga yang tertutup. Akhirnya kita tidak terbuka terhadap komentar luar sama sekali dan ini berarti, kita pun menjadi orang yang seperti itu--sukar dikritik. Sudah tentu yang baik adalah sikap yang memperhatikan keluarga, tetapi tidak mendewakan keluarga.

Pergaulan. Apakah yang penting atau tidak penting bagi kita akan mempengaruhi pergaulan kita ? Sebenarnya tanpa kita sadari di dalam diri kita masing-masing terdapat sebuah sistem nilai yang menentukan siapakah yang kita anggap teman. Nah, sebagaimana kita ketahui kita adalah makhluk sosial yang memerlukan teman. Kita adalah perpanjangan pergaulan kita dan sebaliknya, teman adalah perpanjangan diri kita pula. Di dalam masa berpacaran kita harus mulai melihat apakah pasangan mempunyai kesamaan nilai dalam memilih teman. Pada umumnya kita bertemu dengan pasangan di dalam lingkup pergaulan yang sama, misalkan di gereja atau di sekolah. Nah, oleh karena kita bertemu di dalam lingkup sosial yang sama, kita pun langsung berasumsi bahwa pasangan mempunyai nilai yang sama dalam menentukan pertemanan. Masalahnya adalah, belum tentu demikian. Kenyataan ia dan kita berada di dalam lingkup sosial yang sama belum tentu mencerminkan nilai yang sama. Sering kali di dalam konteks gereja dan sekolah, kita tidak selalu mempunyai kesempatan untuk memilih teman pribadi lepas pribadi sebab mereka masuk ke dalam hidup kita satu paket dengan kegiatan yang kita lakukan. Misalkan, kita adalah anggota paduan suara. Nah, di dalam paduan suara itu kita akan bertemu dan bergaul dengan banyak orang. Namun sesungguhnya, bila kita diberikan kesempatan untuk memilih, belum tentu kita mau bergaul dengan semuanya dalam kapasitas teman. Itu sebabnya dalam masa berpacaran kita mesti memperhatikan dengan jeli, sistem nilai yang ada pada diri pasangan. Tangkaplah sistem nilai ini dari perkataannya sewaktu mengomentari seseorang. Perhatikanlah, siapakah yang menjadi fokus perhatiannya dan dihormatinya dan siapakah yang tidak.

Mari kita berhenti sejenak. Mohon diperhatikan bahwa saya tidak mengatakan bahwa kita harus mempunyai sistem nilai yang persis sama dalam memilih teman. Namun, sekali lagi, perbedaan itu haruslah kecil dan kesamaannya haruslah besar. Sebab, jikalau tidak demikian, mustahil bagi kita untuk dapat hidup di dalam lingkup sosial yang sama.

Keuangan. Salah satu sumber konflik dalam keluarga adalah masalah keuangan. Ada begitu banyak hal yang mesti diputuskan yang berkaitan dengan uang. Tidak heran masalah uang akhirnya menjadi ladang subur pertengkaran--bila kita tidak memiliki kecocokan nilai. Itu sebabnya pada masa berpacaran kita mesti mulai memperhatikan hal ini dengan saksama. Pada umumnya sebagai anak Tuhan kita sampai pada kesimpulan bahwa (a) uang adalah penting tetapi (b) uang bukanlah segalanya. Masalahnya adalah di dalam kenyataannya ternyata penerapannya tidaklah semudah itu. Sebagaimana kita ketahui uang adalah sarana semata--alat untuk membeli sesuatu. Nah, di sinilah letak masalahnya. Ternyata kita tidak selalu seia sekata dalam hal ini: Membeli apa dan untuk apa ? Dengan kata lain, masalahnya adalah pengeluaran uang itu sendiri. Ada yang tidak mementingkan rumah atau kendaraan tetapi mementingkan pendidikan anak. Rumah dan kendaraan boleh kelas dua tetapi sekolah anak mesti kelas satu. Mungkin kita setuju dengan nilai bahwa rumah dan kendaraan kelas dua, tetapi kita tidak setuju dengan sekolah harus kelas satu. Buat kita pendidikan anak tidak apa kelas dua selama ia dapat menikmati masa bersekolahnya. Di sini dapat kita lihat bahwa sebetulnya baik kita maupun pasangan sama-sama memikirkan kepentingan anak--masa depannya-- namun kita tidak sepaham. Penyebabnya jelas: Kita memikirkan kepentingan yang berbeda. Pasangan memfokuskan pada pengasahan otak anak sedang kita memperhatikan pertumbuhan jiwa anak.

Berdasarkan contoh sederhana ini kita dapat melihat betapa kompleksnya perihal uang. Tidak heran dampak ketidakcocokan nilai menyangkut uang juga berdampak besar. Itu sebab penting dalam masa berpacaran kita mulai memperhatikan nilai yang terkandung di dalam diri pasangan. Ada yang berlatar belakang susah sehingga sekarang bertujuan dan berikhtiar keras untuk hidup senang. Ada yang terbiasa hidup senang, sehingga terlalu menggampangkan uang. Ada yang terbiasa hidup keras sehingga sukar bermurah hati.

Kita terbiasa berpikir bahwa kita harus mencari uang. Sebenarnya bukanlah uang yang harus kita cari melainkan kerajaan Allah beserta kebenarannya, sebagaimana dicatat di Matius 6:33, Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah beserta kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Jadi, perspektif yang benar adalah kita bekerja dan memaksimalkan potensi yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita. Uang adalah imbalan dari kita bekerja semata. Sekali lagi, hidup bukan untuk mencari uang; kita hidup untuk mencari kerajaan Allah beserta kebenarannya. Dan, Allah berjanji, bukan saja Ia akan mencukupi, tetapi Ia juga akan menambahkan. Apabila kita mencari kerajaan Allah beserta kebenarannya maka nilai kita pun akan berubah. Kita tidak lagi terpaku pada apa yang penting bagi kita melainkan pada apa yang penting bagi Tuhan dan kerajaan-Nya.

Kecocokan Kepribadian

Sebagaimana tidak ada dua helai daun yang sama, begitu pulalah tidak ada dua manusia yang sama. Ada sejumlah hal yang memisahkan kita dari satu sama lain; salah satu di antaranya adalah kepribadian. Saya mendefinisikan kepribadian sebagai pola sikap dan perilaku yang relatif konsisten. Nah, ada banyak cara untuk menggolongkan kepribadian; untuk pembahasan kali ini saya akan membaginya dalam beberapa kategori berikut ini: (a) santai-serius, (b) bebas-teratur, (c) orientasi pada benda-orientasi pada orang, (d) terbuka-tertutup dan (f) praktis-filosofis.

(a) Santai-Serius. Ada orang yang bawaannya santai. Ia tidak tergesa-gesa dan mengerjakan segalanya sesuai dengan jadwalnya sendiri. Pada umumnya ia tidak terpaku oleh target. Ia tidak berkeberatan gagal mencapai target sebab baginya target adalah buatan manusia. Ia ingin menikmati hidup dan menikmati yang dilakukannya tanpa harus dihantui oleh tuntutan. Salah satu kekuatannya adalah kesabaran namun salah satu kelemahannya adalah kurang berdisplin.

Sebaliknya ada orang yang bawaannya serius. Baginya hidup merupakan sebuah tugas pekerjaan yang mesti diselesaikan. Ia tidak dapat hidup tanpa proyek; ia akan selalu menciptakan proyek baru. Oleh karena keseriusannya ia cenderung tegang dan siapa pun yang berada di dekatnya, akan merasakan ketegangan itu pula. Ia cepat tidak puas dengan hasil pekerjaannya--dan sudah tentu ini berarti, ia pun tidak mudah puas dengan hasil pekerjaan orang lain. Salah satu kekuatannya adalah disiplin hidup dan produktif namun salah satu kelemahannya adalah kurang sabar dan banyak menuntut.

(b) Bebas-Teratur. Ada orang yang bawaannya bebas. Ia cenderung spontan dan sering kali kreatif. Ia belajar lebih banyak dari apa yang dilihat dan didengarnya daripada apa yang dibacanya. Ia tidak terlalu menyukai teori yang rumit dan pembicaraan yang tidak langsung. Ia senang dengan kejelasan dan keterusterangan. Ia bukanlah pemikir dan perancang yang sistematik; sebaliknya, ia adalah seorang pelaku yang cepat mencari jalan keluar praktis dari setiap persoalan. Salah satu kekuatannya adalah sikap apa adanya dan keterbukaannya sedangkan salah satu kelemahannya adalah kadang ia kurang berpikir panjang dan mempertimbangkan dampak perkataan dan perbuatannya pada orang lain, dan sulit untuk diatur. Sebaliknya ada orang yang bawaannya teratur. Semua langkah dipikirkan baik-baik dan ia senantiasa berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia banyak kekhawatiran sebab ia selalu memikirkan segalanya. Ia senang dengan kerapihan dan sukar menerima ketidakaturan. Ia pun memiliki kecenderungan untuk mengatur dan menata--baik itu lingkungan atau orang di sekitarnya. Ia tidak dapat diburu-buru dan tidak menyukai kejutan. Ia ingin semua direncanakan terlebih dahulu dan ia perlu diberitahukan jauh hari sebelumnya. Tuntutan akan sangat menekannya dan menimbulkan stres dalam dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia bertindak secara sistematik dan baik dalam beroganisasi dan penataan sedangkan salah satu kelemahannya adalah ia cenderung kaku--baik dalam berpikir maupun bertindak--dan kehidupannya cenderung rutin sehingga dapat membuat orang merasa bosan.

(c) Orientasi pada benda-Orientasi pada orang. Ada orang yang bawaannya senang berkutat dengan benda atau obyek, misalkan mesin, barang elektronik, alat seni dan musik, atau data dan angka. Biasanya ia cakap dengan penggunaan tangannya atau kalau ia adalah orang yang menyukai data atau angka, ia pun sanggup duduk berjam-jam mengutak-atik data atau angka. Dapat kita duga, ia tidak begitu menikmati kebersamaan dengan orang--apalagi banyak orang--dan tidak mempunyai kebutuhan yang besar untuk mengenal apalagi menjalin relasi dengan orang. Baginya mempunyai satu atau dua teman sudah cukup. Salah satu kekuatannya adalah ia cekatan dan cenderung mempunyai keahlian khusus sedangkan kelemahannya adalah ia tidak terlalu mengerti seni berelasi dengan sesama sehingga sering melakukan kesalahan dalam pergaulan. Sebaliknya ada orang yang bawaannya berorientasi pada orang. Ia selalu mencari orang dan ia pun sering dicari orang. Ia senang membuat orang tertawa dan ia pun senang dibuat tertawa. Baginya hidup dengan sesama memberikan energi baru setiap hari. Ia pun menikmati upaya untuk menolong orang dan giat menjalin relasi dan komunikasi. Singkat kata sering kali dalam lingkup sosial ia akan berperan sebagai pemersatu dan pemberi kekuatan. Kehadirannya membuat tali persaudaraan terpelihara. Salah satu kekuatannya adalah ia berempati kuat dan cepat masuk ke dalam kehidupan orang untuk mengerti dan membuatnya diterima, sedang salah satu kelemahannya adalah acap kali ia tertindih oleh beban yang dipikulnya dan akhirnya menuntut orang untuk mengertinya.

(d) Terbuka-Tertutup. Ada orang yang bawaannya terbuka. Apa yang ada di hatinya mudah keluar dan ia pun tidak berkeberatan dikenal seperti apa adanya. Ia juga tidak malu untuk membagikan pergumulan hidupnya dengan sesama dan merasa bebas untuk mengungkapkan perasaannya. Ia berusaha keras agar orang tidak salah paham terhadap dirinya, itu sebabnya ia bersikap dan berperilaku sejelas mungkin. Salah satu kekuatannya adalah biasanya ia tidak berlama-lama menanggung beban stres yang berat sebab ia bersedia terbuka dengan pergumulan hidupnya. Dalam berelasi pun ia cenderung berhasil sebab pada umumnya ia cepat menyelesaikan masalah yang timbul. Salah satu kelemahannya adalah kadang ia memperlakukan orang seperti dirinya sendiri dan tidak sabar dengan orang yang tidak seperti dirinya. Oleh karena baginya, tidak apa-apa, ia pun mengharapkan yang sama dari orang lain.

Sebaliknya ada orang yang bawaannya tertutup. Segala sesuatu yang keluar dari dirinya harus melewati penyaring yang berlapis. Ia tidak mudah mengungkapkan isi hatinya, apalagi berbagi suka dan duka dengan orang. Ia juga berusaha keras agar orang tidak masuk ke wilayah pribadinya; itu sebabnya, ia berupaya untuk membatasi arus informasi yang keluar dari dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia jarang dan tidak suka menyusahkan orang. Ia menanggung semua sendiri dan tidak mempunyai banyak tuntutan kepada orang lain. Salah satu kelemahannya adalah kadang ia mengalami kesukaran menyatakan keinginan secara langsung. Karena ia menumpuk kekecewaan, sewaktu akhirnya keluar, ia mudah putus asa dan menyerah.

(e) Praktis-Filosofis. Ada orang yang bawaannya adalah praktis. Cara pikirnya tidak rumit dan ia selalu berusaha menemukan kegunaan dari segala yang dipelajarinya. Jadi, jika sesuatu tidak mempunyai kegunaan yang langsung, ia tidak begitu memperhatikannya. Apa yang menjadi minatnya adalah segala yang tidak bertele-tele. Singkat kata, ia membawa orang kembali berhadapan dengan realitas. Salah satu kekuatannya adalah ia berorientasi pada tindakan konkret. Ia selalu ingin melakukan sesuatu yang nyata dan tidak suka berlama-lama dalam pembicaraan. Salah satu kelemahannya adalah pada akhirnya semua dinilai dari fungsinya. Jika tidak terlihat guna atau fungsinya, dengan mudah ia pun mengesampingkannya. Sebaliknya ada pula orang yang bawaannya filosofis. Orang ini gemar menekuni hal-hal yang dalam dan menikmati berdiskusi dengan orang yang sepertinya. Ia tidak begitu cepat akrab dengan orang sebab ia cenderung hanya tertarik untuk berinteraksi dengan orang yang seperti dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia mempunyai pemikiran yang dalam dan dapat membagi berkat pemahamannya dengan sesama. Salah satu kelemahannya adalah ia cenderung mengisolasi diri dan tidak begitu mempedulikan orang dan kebutuhannya. Tidak bisa tidak, orang di sekitarnya akhirnya sering mengalami kesepian.

Kesimpulan

Satu hal menarik yang dapat kita lihat di sini adalah kebanyakan orang memilih pasangan yang merupakan kebalikannya. Sebagai contoh, orang yang serius cenderung memilih orang yang santai. Orang yang terbuka memilih orang yang tertutup dan orang yang praktis memilih orang yang filosofis. Tidak ada yang salah tentang hal pemilihan ini. Satu hal yang mesti dilakukan adalah menyadari perbedaan di masa berpacaran dan mulai belajar mengungkapkan diri kepada satu sama lain. Setelah itu kita harus berusaha untuk memenuhi pengharapan masing-masing supaya pada akhirnya kita dapat tiba di titik tengah.

Ya, kecocokan kepribadian adalah tugas yang mesti dimulai pada masa berpacaran dan terus dilanjutkan sampai pada masa pernikahan. Sebagaimana dapat kita lihat dalam contoh Isak dan Ribkah, kegagalan menyelaraskan kepribadian memisahkan dua pribadi yang seharusnya menyatu dan membelah keluarga menjadi dua.

Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Pranikah/Pernikahan [6]
T389A [7]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/berpacaran_perhatikan_kecocokan_i

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T389A.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] https://www.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://www.telaga.org/kategori/pranikah_pernikahan_0
[7] https://www.telaga.org/kode_kaset/t389a