TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Seni Menegur 1

Seni Menegur 1

Kode Kaset: 
T375A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Menegur dapat menjadi bagian yang tersulit dalam hubungan kita dengan orang lain. Seringkali kita memandang menegur sesame kita sebagai sebuah pilihan, namun sesungguhnya kita perlu memandang menegur dengan lebih serius seperti dalam Yakobus 5:19-20. Bagaimana langkah-langkah menegur? Bagaimana cara menegur dengan tepat? Apa maksud menegur adalah sebuah seni?
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang ôSeni Menegurö. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, mengapa topik seni menegur ini penting untuk dibahas ?

SK : Memang ini menjadi bagian keseharian kita, sesungguhnya menegur itu bagian dari relasi kita dalam kita berelasi ada saatnya kita merasa terganjal, tidak puas dengan seseorang, disaat itulah kita butuh untuk menegur.

H : Di Alkitab ada bagian yang mengatakan gagal menegur bisa menjadi dosa. Biasakah Bapak menjelaskannya ?

SK ; Menegur ini bisa menjadi dosa karena ada saatnya kita mungkin mengetahui seseorang melakukan kesalahan. Tapi kita yang ada di dekatnya, kita membiarkannya. Bahkan akhirnya dosa atau kesalahan orang itu bergulir bagaikan bola salju, semakin lama semakin besar dan parah, dan menimbulkan kerusakan bagi dia dan orang lain, tapi kita tetap diam tidak mau menegur. Sesungguhnya saat itu kita turut bertanggung jawab dengan dosa orang ini. Sehingga pernyataan Pak Hendra itu tepat, bahwa gagal menegur memang bisa menjadi dosa.

H : Kalau boleh saya simpulkan, sebenarnya Alkitab sudah mengajarkan dan menggarisbawahi karena menegur memang penting sekali ya, Pak ?

SK : Ya, penting. Dan itu termasuk bagian yang paling sulit dalam hubungan kita dengan orang lain.

H : Sulitnya dimana ?

SK : Karena kebanyakan, menegur diidentikkan dengan hal yang merusak bahkan mengganggu hubungan kita dengan orang lain. Sehingga itu yang secara alamiah atau natural ingin kita hindari. ôKamu saja yang bicara, aku tidak bisa.ö ôSudah, biarkan saja daripada hubunganku dengan dia bertambah buruk.ö Inilah, yang bagi sebagian besar kita, menjadi bagian paling sulit dalam hubungan kita dengan orang lain.

H : Jadi menegur pada satu sisi memang sangat penting bahkan ditegaskan oleh Alkitab tapi di sisi lain juga mengandung resiko, yaitu bisa mengganggu relasi kita dengan orang lain.

SK : Dalam konteks menegur itu penting dan beresiko, maka kita perlu belajar. Disini kita menemukan bahwa menegur itu sebagai sebuah keterampilan yang perlu kita pelajari, bahkan sebuah seni yang perlu kita asah dalam diri kita masing-masing.

H : Kembali ke topik ayat Alkitab, ayat mana yang menggarisbawahi tentang menegur itu, Pak ?

SK : Yakobus 5:19-20 mengatakan, ôSaudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa.ö Teks firman Tuhan ini menegaskan tentang bentuk tanggung jawab untuk kita menolong orang yang menyimpang dari kebenaran Allah. Dengan cara menolong melalui teguran itulah maka kita akan membuat orang itu terselamatkan dan banyak dosa akan terhindari dan terampuni oleh karena pertobatan orang yang kita tegur tersebut.

H : Jadi menegur juga merupakan wujud kasih kita kepada orang yang kita tegur itu, Pak? Karena kita mengoreksi dan mengembalikan dia ke jalan yang benar.

SK : Betul! Sesungguhnya menegur itu dilatarbelakangi oleh semangat kasih, bukan semangat sakit hati. Inilah yang membuat suatu perbedaan tajam antara menegur yang dilandasi semangat kasih (Karena saya mengasihinya, saya ingin menolong dan menyelamatkan dia) dengan menegur yang dilandasi semangat sakit hati (Saya sudah dihina, saya sangat sakit hati dan marah, dan saya ingin membuat dia merasakan apa yang saya rasakan). Perbedaan landasan ini akan menghasilkan bentuk teguran yang sangat berbeda. Nah, di titik inilah yang satu membangun sedangkan yang lain meruntuhkan. Yang satu membawa kebaikan, sedangkan yang satu membawa keburukan.

H : Wah, ini prinsip yang penting sekali. Jadi menegur itu harus dilandasi oleh semangat kasih bukan oleh semangat sakit hati.

SK : Betul.

H : Saya ingin bertanya, apa bedanya menegur dengan menasehati, Pak ?

Sk : Menegur itu di dalamnya ada unsur menasehati. Tetapi menasehati itu lebih luas dari menegur. Biasanya menegur karena ada sesuatu yang dirasa kurang atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain sehingga kita perlu mengingatkan supaya orang itu tahu kesalahannya dan melakukan yang benar. Itu menegur. Kalau menasehati lebih luas. Ada orang yang sudah melakukan hal yang benar tapi kita merasa dia perlu tahu lebih banyak lagi, supaya wawasannya semakin luas, lebih berhati-hati untuk hal-hal lain, memberi masukan-masukan yang tidak ada hubungannya dengan kesalahan dia, dalam hal inilah menasehati menjadi kata yang tepat.

H : Jadi perbedaan menegur dan menasehati bukan hanya pada nada. Menurut kebanyakan orang, menegur nadanya lebih keras, sedangkan menasehati mengandung nada yang lebih lembut. Bukan seperti itu, Pak ?

SK : Bukan. Menariknya, salah satu kesalahan asumsi yang mudah terjadi, kita menyamakan menegur sama dengan memarahi. Itu yang membuat rata-rata orang kesulitan untuk menegur. ôSaya tidak siap memarahi dia. Kalau saya memarahi hubungan kami akan bertambah buruk. Lebih baik kemarahan itu saya telan saja. Rasa tidak puas itu saya telan saja daripada saya memarahi dia.ö Kebenarannya adalah menegur yang paling efektif sesungguhnya lebih banyak berupa dialog daripada monolog, lebih banyak berupa percakapan yang sejuk daripada percakapan yang penuh dengan nada amarah.

H : Menarik sekali, Pak. Menegur tidak berarti memarahi. Menegur Justru adalah sebuah dialog. Saya sudah melihat inilah keindahan dari seni menegur. Bisakah Bapak menjabarkan langkah-langkah bagaimana kita mempelajari seni menegur dengan baik ?

SK : Yang pertama yaitu saat sebelum menegur. Penting sekali sebelum menegur seseorang, gunakan cukup waktu untuk berdoa. Jadi dengan berdoa kita mengakui adanya sikap, pikiran atau perilaku kita yang mungkin kasar, ada sakit hati, kemarahan, kejengkelan, mari kita akui kepada Tuhan di dalam doa itu sehingga hati kita dibersihkan dan dimurnikan lebih dahulu.

H : Ini dalam konteks kita yang akan menegur. Jadi kita harus introspeksi diri dulu dalam doa, betul Pak?

SK : Betul. Jadi introspeksi ini supaya kita bersih, kembali pada pernyataan di awal bahwa menegur yang efektif itu didorong oleh semangat mengasihi bukan semangat membalas dendam, bukan semangat ingin balas menyakiti. Maka ketika kita merasa disakiti oleh orang tersebut, marilah rasa sakit itu kita buang dulu. Sampah-sampah emosi negatif atau perasaan-perasaan negatif itu kita buang dulu kepada Tuhan. Kita akui, ôTuhan aku sakit hati. Aku merasa dihina dan diabaikan. Tapi aku tidak mau mempertahankan perasaan-perasaan ini. Aku mau lepaskan kepada-Mu, silakan Tuhan ambil. Berikan aku hati yang penuh kasih Bapa. Berikan aku hati yang penuh cinta mengasihi orang tersebut. Sehingga ketika saatnya saya berbicara menegur dia, itu semata-mata karena saya mengasihi dia sebagaimana Engkau terlebih dulu mengasihi saya.ö

H : Jadi selain berdoa untuk membersihkan diri, ada juga tujuan meminta hikmat supaya kata-kata kita tidak salah.

SK : Betul. Selain membersihkan diri, langkah kedua yaitu kita meminta pertolongan Tuhan. Karena menegur itu adalah seni, jadi seni ini butuh hikmat. Kita bersyukur punya Tuhan sumber hikmat, maka marilah kita minta hikmat dari Tuhan untuk kata-kata yang tepat, bahkan kita berdoa supaya Tuhan menyediakan waktu dan tempat yang tepat. Bahkan kita berdoa supaya Tuhan menyiapkan hati orang yang akan kita tegur itu, supaya pada waktu terjadi dialog, hati orang tersebut bisa lapang terbuka untuk mau mendengar dan menerima apa yang saya sampaikan.

H : Bagaimana kalau orang itu tidak dapat menerima teguran kita walaupun kita sudah berdoa ? Kenyataannya orang itu tetap kecewa dan menyerang kita ?

SK : Ya, tidak apa-apa. Artinya yang paling utama kita mengendalikan diri kita sendiri, orang lain bertanggung jawab mengendalikan dirinya sendiri. Jadi apa yang bisa kita kendalikan, kita kendalikan. Yang pertama dan utama adalah diri kita. Kita perlu lebih dulu memastikan bahwa kita menegur dengan cara yang benar.

H : Artinya kita bawa dulu dalam doa ya, Pak. Sebuah sikap meminta kekuatan walaupun hasilnya tidak sesuai harapan kita, tapi Tuhan sudah menguatkan dan mempersiapkan kita ya, Pak?

SK : Betul.

H : Langkah berikutnya apa, Pak ?

SK : Langkah berikutnya adalah kita perlu menanyakan kepada diri sendiri apakah kita berpihak pada orang itu atau bertentangan dengan orang itu. Hal ini menjadi bagian dalam menyiapkan diri kita, ya. Kita coba jujur kepada diri sendiri, membaca diri kita, motif kita apakah sesungguhnya saya sedang menghindari untuk menegur karena saya memihaknya ataukah saya memang ingin menghukum, membalas dendam lewat teguran yang akan saya kenakan pada orang itu. Jadi ada bagian kita memastikan motif kita itu.

H : Jadi ini memastikan motif kasih itu ya. Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi dan kita berpihak padanya atau justru sebenarnya kita sakit hati dan bertentangan dengan dia, seperti itu ?

SK : Betul. Jadi ini penting supaya kalau teguran itu karena kita semata-mata hanya berpihak pada dia, sesungguhnya kita tidak akan menegur ækan ? Kita lebih mendiamkan atau lebih membenarkan dia. Tapi kalau kita merasa sakit hati, maka teguran itu akan lebih jadi cara kita membuang sampah kepada orang itu. Di sisi lain kita perlu memastikan bahwa kita sendiri memang sudah mengampuni orang tersebut.

H : Bagaimana cara memastikannya ?

SK : Jadi hati kita tidak lagi panas, atau minimal sudah cukup dingin. Jangan menegur dalam kondisi hati panas dan penuh amarah.

H : Jadi ini dalam konteks kesalahan dari orang yang akan kita tegur berkaitan dengan diri kita ?

SK : Ya, berkaitan dengan diri kita secara langsung atau tidak langsung. Misalnya seseorang telah merugikan karyawan kita kalau kita seorang atasan. Seseorang telah merugikan pasangan, atau keponakan kita. Itu ækan tidak ada kaitannya dengan kita namun kita merasa punya kaitan relasi atau emosi dengan orang yang telah dirugikan itu dan kita merasa di pihak rekan kita itu. Kalau kita menegur dalam posisi jengkel atau marah, kemungkinan besar kita jadi salah menegur. Maka dalam konteks ini, satu hal yang perlu kita camkan tidak serta merta menegur itu perlu dilakukan pada hari itu juga ketika kita tahu seseorang berbuat salah. Ada kalanya lebih bijak jika kita menunda. Bisa menunda dalam hitungan jam, hari, bahkan minggu. Itu supaya kita punya cukup waktu untuk memastikan kita sudah cukup netral dan sejuk bahkan berhati nyaman untuk menyampaikan teguran yang membangun orang itu.

H : Ini untuk menghindari dan memastikan bahwa kita tidak dalam kondisi marah ketika kita menegur ?

SK : Bukan hanya itu, tetapi kita juga sudah membangun pikiran, perasaan dan kehendak kita untuk membulatkan hati bagaimana cara membangun orang itu, dengan hikmat kata-kata, waktu dan tempat yang tepat kita berbicara dengan orang tersebut.

H : Tapi ada sebagian orang yang beranggapan bahwa menegur lebih efektif disampaikan ketika dia marah. Misalnya orang tua menegur anaknya ækan kadang orang tua sedang marah kepada anaknya. Apakah itu sudah pasti salah atau bisa dilakukan dalam situasi tertentu ?

SK : Lebih banyak kemungkinannya keliru, bukan pasti keliru. Ada saat dimana kita tidak dapat menghindar. Misalnya seorang anak bermain-main dengan api, membakar kertas di dalam rumah. Begitu kita masuk rumah, kita terkejut mendapati anak kita membakar kertas di ruang tamu. Pasti kita kaget dan marah, ôStop ! Cepat matikan api itu !ö Nah, setelah kita matikan api itu, kita bicara padanya, ôNak, kalau bermain api harus ada orang dewasa yang mendampingi kamu. Dan itupun dilakukan di luar rumah, di halaman yang bebas dari barang-barang yang mudah terbakar. Kamu boleh bermain api agar kamu tahu seperti apa api itu. Tapi Papa ingin kamu perhatikan hal ini.ö Nah itu yang bisa kita lakukan saat itu, tapi kembali, pola yang saya contohkan tadi dalam pilihan kata yang bukan menyakiti sang anak, tapi untuk membangun anak tersebut.

H : Disitukah seninya, Pak?

SK : Ya.

H : Setelah kita membersihkan hati lewat doa, lalu kita memastikan bahwa kita tidak dalam kondisi marah atau sakit hati, apa langkah selanjutnya Pak?

SK : Yaitu kita perlu mencari waktu yang tepat untuk berbicara atau menegur. Jadi dalam hal ini kita bisa mengkontak orang ini, kita tanyakan kapan bisa berbicara berdua dengan dia. Misalnya dia bersedia saat itu juga ya tidak apa-apa. Bila orang tersebut sedang sibuk dan wajahnya tertekan namun dia mengiyakan, lebih baik kita tunda sampai dia lebih rileks atau senggang. Buat janji waktu dan tempatnya. Jadi kita tidak bisa seketika datang dan memaksa bicara. Jadi lebih baik kita tunda, cari waktu yang baik buat dirinya untuk nyaman ditemui dan diacak bicara dari hati ke hati.

H : Saya bayangkan situasi ini juga berlaku bagi suami istri ya, Pak ? Suami istri juga kadang kalau mau menegur juga harus lihat-lihat situasi dan saat yang pas.

SK : Betul. Dalam hal ini, khususnya ketika kita atau orang tersebut sedang lelah, sebaiknya hindari atau ketika sedang bersama anak-anak atau teman-teman kita atau teman pasangan kita. Lebih baik menegur dalam empat mata daripada di hadapan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan situasi yang ingin kita sampaikan itu.

H : Apakah masih ada langkah yang lain, Pak ?

SK : Ketika menegur, utamakanlah kita menegur tingkah laku dan bukan sifat atau kepribadian orang tersebut. Maksudnya jangan berkata, ôMemang pada dasarnya kamu orang malas. Semua saudaramu yang kukenal juga pemalas. Karena itu aku sangat tidak suka dengan kemalasanmu ini.ö Nah, kalau seperti ini ækan kita sudah melakukan ôpembunuhan karakterö. Jadi memberi label, citra atau predikat kepada seseorang. Jadi seperti kita sudah membulatkan bahwa orang itu bersalah dalam segala sesuatu dan melekat dengan kesalahan ini. Jauh lebih tepat dan benar jika kita menegur perilaku atau peristiwa. ôAku merasa kamu terlambat kemarin. Dan waktu terlambat itu kamu tidak memberi laporan kenapa kamu terlambat. Aku merasa keberatan untuk keterlambatan yang tidak kamu laporkan itu. Padahal dalam aturan perusahaan kita harus melapor bila datang terlambat.ö Kita ækan fokus kepada waktu, peristiwa, perilaku yang spesifik, bukan melebar kepada hal-hal yang luas seperti kepribadian dan sifat orang itu.

H : Ini penting untuk diketahui. Kadang dalam menegur kita cenderung menggeneralisasikan, Pak.

SK : Betul. Nah dimana terjadi generalisasi, penyamaratakan, istilah jawanya ôgebyah uyahö disanalah kita melakukan kesalahan dalam menegur.

H : Selain kita menegur tingkah laku, apalagi yang harus kita perhatikan ?

SK : Di sisi yang lain kita perlu terbuka menerima teguran. Jadi ini menjadi bagian yang imbang. Fokus kita bukan hanya kepada orang tersebut, pada saat kita hendak menegur, berarti kita juga perlu menyetel pikiran dan hati kita bahwa saya pun siap untuk menerima teguran. Supaya kita bisa berlaku adil dan berlaku sebagai saudara bagi orang tersebut, sekalipun mungkin dia adalah bawahan kita atau kita sebagai orangtua yang menegur anak kita. Jadi misalnya kita orangtua yang menegur anak, kita pun perlu terbuka menerima teguran tersebut.

H : Tetapi bukan hal mudah menerima teguran, Pak. Ditegur itu tidak enak. Kebanyakan orang tidak mau dan tidak suka ditegur. Bagaimana caranya agar kita terbuka pada teguran ?

SK : Mungkin kita bisa berpegang pada firman Tuhan. Di Amsal 15:12 disebutkan, ôSi pencemooh tidak suka ditegur orang; Ia tidak mau pergi kepada orang bijak.ö Jadi orang yang tidak suka ditegur meneurut Amsal 15:12 itu seorang pencemooh, seorang yang suka menghina, tidak mau pergi kepada orang bijak. Kemudian saya tambahkan Amsal 15:31-32, ôOrang yang mengarahkan telinga kepada teguran yang membawa kepada kehidupan akan tinggal di tengah-tengah orang bijak. Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, memperoleh akal budi.ö Amsal jelas mengatakan, orang yang mau menerima teguran adalah orang yang bijaksana dan dia akan menjadi orang yang bertambah hikmat, berakal budi dan sesungguhnya sedang menghargai dirinya sendiri. Jadi kalau kita menolak ditegur, menolak masukan dari orang lain, kita sedang menetapkan diri bahwa kita tidak berharga. ôAku sampah. Tidak usah memberikan sesuatu yang berharga padaku.ö Karena teguran itu mutiara, teguran itu harta, teguran itu membangun. Kalau kita menghargai diri, kita akan bersedia menerima harta yang baik itu.

H : Jadi konsepnya harus diubah dulu, Pak?

SK : Betul. Jadilah orang yang terbuka untuk menerima teguran. Kalau perlu mintalah teguran, sekalipun kita adalah ayah atau ibu dari anak-anak kita, sekalipun kita adalah suami atau istri dari pasangan kita, sekalipun kita atasan, guru, dosen, sekalipun kita Kepala Cabang. Adakan saat-saat tertentu untuk sambung rasa, saat dimana kita mendengar masukan-masukan dari orang lain. ôSaya ingin mendengar masukan dari kalian. Saya menyadari sebagai pimpinan, sebagai orang tua, sebagai guru, ada hal yang perlu saya kembangkan. Silakan memberi masukan hal yang kalian rasa kurang atau perlu dikembangkan.ö Kalau kita sebagai pimpinan, orang tua, atau orang yang lebih dewasa mau menerima teguran, itu akan membangun semangat yang sama pada yunior, bawahan, ataupun anak-anak kita. Yaitu semangat kerendahan hati, semangat yang sedia, setia dan senang diajar, teachable dalam Bahasa Inggris. Itu semangat murid Kristus yang seharusnya kita miliki dan kita menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita.

H : Jadi kita menjadi teladan dahulu dalam keterbukaan menerima teguran, ya Pak? Dan orang lain juga harus belajar hal yang sama. Ada yang mengatakan penting sekali memiliki hubungan yang baik dan penuh kasih terlebih dahulu sehingga teguran yang kita sampaikan bisa lebih efektif diterima oleh orang yang bersangkutan. Bagaimana pandangan Bapak ?

SK : Saya sangat sependapat dengan pernyataan itu. Hubungan yang baik itu bagaikan bantal atau matras. Ketika kita menegur, secantik atau sehalus apapun kita menyampaikan masukan itu, sesungguhnya tetap saja menjadi sesuatu yang menohok yang tidak nyaman. Kalau sudah ada relasi yang baik, itu memberikan satu perlindungan, seperti jatuh di tempat yang nyaman. Orang bisa menerima teguran itu dengan senang hati atau bahkan berterima kasih. ôTerima kasih lho kamu luar biasa. Bukan hanya jadi teman yang baik, tapi dengan masukanmu kamu juga membangun saya.ö Orang mudah menerima teguran karena sudah terlebih dulu mempercayai kita oleh sebab relasi baik yang kita bangun dengan orang tersebut.

H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik ôSeni Menegurö bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2]. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Bagi kebanyakan dari kita, menegur adalah bagian yang paling sulit dalam hubungan dengan orang lain. Tetapi sesungguhnya sangat penting dalam hubungan yang baik. Bukankah Alkitab sendiri berisi teguran-teguran.

Gagal menegur saat harus menegur dapat menjadi dosa. Kita cenderung melihat bahwa menegur orang lain hanyalah sekadar suatu pilihan dalam hidup. Namun kita perlu melihatnya dengan lebih serius sebagaimana Allah melihatnya. Ayat Alkitab yang menggarisbawahi tentang menegur ada di Yakobus 5:19-20 [4], "Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa". Menegur sesungguhnya dilatarbelakangi semangat kasih, bukan semangat sakit hati. Di dalam menegur ada unsur menasihati, tapi bukan memarahi. Menegur yang paling efektif lebih baik dalam bentuk dialog, bukan monolog.

Langkah-langkah mempelajari seni menegur dengan baik adalah :
  1. Gunakan cukup waktu untuk berdoa sebelum menegur.
    Akui sikap, pikiran maupun kelakukan yang kasar. Mintalah Tuhan memberikan sikap penuh kasih dan peduli terhadap orang yang hendak kita tegur. Minta Tuhan memimpin Anda dan memberikan Anda kata-kata yang tepat. Sediakan waktu dan tempat yang tepat. Doakan agar orang itu mau terbuka untuk menerima apa yang Anda sampaikan. Jika orang itu menyerang atau menyakiti kita, atau melakukan hal-hal yang mengganggu kita, berusahalah untuk menerima dan mengampuninya sebelum menegur.
  2. Sebelum menegur, tanyakan pada diri sendiri apakah saya berpihak pada orang itu atau bertentangan dengan orang itu.
    Jangan menghindarkan diri dari menegur karena kita berpihak padanya, juga jangan menggunakan teguran itu untuk menghukum atau membalas dendam jika kita bertentangan dengannya.
    Jika kita sedang marah, jangan menggunakan teguran untuk "membuang sampah" pada orang tersebut. Walaupun menunjukkan ekspresi kemarahan pada kondisi tertentu mungkin diperlukan, cobalah untuk menyelesaikan rasa marah itu sebelum menegur. Jika tidak, keadaan malah akan menurun menjadi tidak lebih dari sekadar perdebatan.
  3. Utamakan menegur tingkah laku dan bukannya sifat atau kepribadian.
    Kebanyakan sikap menghakimi orang lain melibatkan kedua hal ini. Si penegur perlu terbuka untuk menerima teguran sama seperti saat kita memberi teguran. Teguran paling efektif saat kita sudah memiliki hubungan yang penuh kasih yang di dalamnya kita telah secara konsisten meyakinkan orang itu. Dalam Amsal 15:12, "Si pencemooh tidak suka ditegur orang; ia tidak mau pergi kepada orang bijak".Amsal 15:31-32, "Orang yang mengarahkan telinga kepada teguran yang membawa kepada kehidupan akan tinggal di tengah-tengah orang bijak. Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, memperoleh akal budi". Amsal dengan jelas menyatakan bahwa orang yang mau menerima teguran adalah orang yang bijaksana. Teguran itu mutiara, membangun. Kalau perlu mintalah teguran sekali pun kita orang tua dari anak-anak kita, sekali pun istri atau suami, sekali pun kita atasan, guru/dosen, kepala cabang. Hal itu akan membangun semangat kerendahan hati.

Hubungan yang baik sangat menolong bagi si penegur.Berusahalah untuk mengatasi masalah dengan orang yang bersangkutan, bukannya bergosip tentang dia.

Berkenaan yang relasi yang baik, kita bisa membandingkan dengan tabungan emosi. Ketika kita berbuat baik, kita sedang mengisi tabungan emosi. Namun pada waktu kita menegur atau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, kita sedang menarik dari tabungan emosi. Kalau tabungan emosi banyak ditarik maka akan defisit sehingga relasi terganggu. Jika kita banyak melakukan hal-hal yang baik, menunjukkan kepedulian, tabungan emosi bertambah dan menjadi surplus sehingga relasi menjadi baik. Sekali kita menarik tabungan emosi melalui teguran maka jumlah tabungan emosi berkurang, tapi sisanya masih tetap banyak sehingga teguran kita masih bisa dimaklumi. Penting untuk mengembangkan relasi yang baik dengan seseorang sebelum kita menegur.

Cara kita menegur sangatlah penting. Beberapa pedoman yang spesifik:
  1. Tegurlah dengan lembut. Tegurlah dengan tujuan untuk menyembuhkan dan bukan untuk menghukum atau menyakiti.
  2. Tegurlah dengan singkat dan jelas, nyatakan apa faktanya, apa yang kita rasakan atau apa yang menjadi dugaan kita. Fokuskan pada apa yang kita amati, sampaikan keinginan kita agar dia bisa mengubah sikapnya. Jangan menggunakan kalimat yang berbelit-belit, bertele-tele.
  3. Gunakan kata-kata yang menyenangkan jika mungkin. Sedapat mungkin gunakan kata "aku" atau "saya", bukan kata "kamu" yang bersikap menuding, menyakiti perasaannya. Kata "kamu" bisa dikemukakan tapi bukan dengan tujuan menyerang. Perasaan yang kita alami perlu di'expose'. Level komunikasi yang paling di permukaan adalah dunia ide, sifatnya faktual, tidak menyentuh perasaan. Level komunikasi yang lebih dalam adalah perasaan, emosi.
  4. Nada suara penting. Nada yang sejuk sedapat-dapatnya dikondisikan supaya berita dengan nyaman diterima. Komunikasi bukan sekadar apa yang diutarakan tapi yang terutama apa yang orang lain terima.
  5. Teguran yang efektif hampir selalu merupakan dialog, bukan monolog. Coba dengarkan sudut panjang orang tersebut minimal sebanyak yang kita sampaikan. Kalau kita bicara 5 menit, persilakan orang tersebut juga bicara 5 menit. Jangan lupa, kita hanya menerima sebagian dari fakta atau kebenaran yang terjadi. Perlu kita klarifikasi supaya tidak keliru.
  6. Sadarilah bahwa kita mungkin menegur orang lain secara non-verbal dengan cara diam, ekspresi wajah, nada suara, dan lainnya. Teguran non-verbal/lewat bahasa tubuh sangat sulit diterima, jarang efektif dan sering membahayakan suatu hubungan.
  7. Keterampilan menegur sangat banyak dibentuk oleh budaya, dalam hal ini kita perlu mempelajari bagaimana cara menegur yang paling efektif. Apa yang perlu dihindari, komunikasi lintas budaya penting untuk dipahami.
  8. Nilailah keefektifan suatu teguran dengan melihat perubahan tingkah laku dan sikap dalam jangka panjang bukannya dengan melihat reaksi langsung dari orang tersebut. Kita perlu bersabar, sehalus apa pun kita menegur, ada orang yang mudah tersinggung. Adalah umum jika sesorang memberi respons yang buruk, tetapi kemudian menyesal dan berubah. Orang lain mungkin tampaknya menanggap teguran kita dengan baik, tetapi tidak berubah. Setelah menegur, taburi dengan kebaikan. Apabila sikap kita setelah menegur tetap baik, maka orang akan lebih mudah mengurai sikap-sikap defensifnya.

Firman Tuhan dari Amsal 27:5 [5],"Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi". Firman Tuhan menegaskan lebih baik berterus terang dalam bahasa kasih, menegur dalam kasih dan kebenaran daripada kita menyebut diri menegur dengan kasih tapi kita tidak pernah mengekspresikan hal yang bisa membangun orang itu.

Menegur juga merupakan seni, misalnya :
  1. Antara orang tua dengan anak; tegurlah secara spesifik dan dengan lugas. Sampaikan dalam bentuk dialog supaya kita bisa mengkaji sepenuhnya, tidak menggurui. Bentuk dialog Jika anak telah remaja, untuk hasil yang bagus kita harus berani membayar harga. Berilah waktu orang tua untuk anak-anaknya. Anak akan memahami bahwa orang tuanya peduli. Orang tua perlu belajar toleran, misalnya model baju, selera musik jika tidak menyentuh soal moral, beranilah mengijinkannya. Untuk memerbaikinya, tidak ada jalur instant tapi juga tidak ada kata terlambat untuk memerbaiki segala sesuatunya.
  2. Jika anak ingin menegur orang tua, maka anak perlu menekankan bahwa anak tetap hormat kepada orang tua, anak berterima kasih untuk hal-hal tertentu baik yang orang tua telah lakukan. Sampaikan teguran anak dengan cara yang lembut dan menghargai orang tua. Motivasi menegur sampaikan dengan jelas di bagian awal, tujuan menegur, tempat dan waktu juga penting.
  3. Seni menegur antara atasan dan bawahan. Hindarilah atas nama kekuasaan dan bersikap semena-mena. Sebagai atasan pun kita perlu sopan dan hormat, atasan dan bawahan sama-sama ciptaan Allah, masing-masing bertanggungjawab kepada Allah. Menegur orang yang setara dalam jabatan dapat dilakukan dalam bentuk diskusi. Dalam diskusi diselipkan teguran dengan cara yang sangat halus.
  4. Dalam konteks pelayanan, dimana ada kesukarelaan. Relasi itu penting, tebarlah penghargaan, apa yang positif sekecil apa pun pujilah, hormati, nyatakan terima kasih, rasa salut. Bukan secara personal tapi dalam konteks pertemuan pengurus, panitia, tim kerja dan lain-lain.

Yang penting 'mind-set' membangun atau meruntuhkan ! Yang penting pertumbuhan karakter kita yang serupa dengan Kristus. Ketika memberikan umpan balik, pilihlah perkataan yang membangun.

Pesan firman Tuhan dari Efesus 4:15 [6], "tetapi dengan teguh berpegang pada kebenaran dalam kasih kita bertumbuh dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala".

Kebenaran dan kasih bukanlah wilayah yang perlu dipertentangkan. Menegur dengan hati yang penuh kasih, jangan lupa yang paling penting adalah pertumbuhan karakter bahwa kita dan orang lain diubah lewat hal menegur ini untuk makin serupa dengan Kristus. Tanpa itu akan terhambat dan kita mengalami kegagalan sebagai manusia yang telah ditebus oleh Allah. Jadi menegur adalah bagian dari gaya hidup yang sehat untuk kita makin serupa dengan Kristus.

Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [7]
Audio [8]
Pengembangan Diri [9]
T375A [10]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/seni_menegur_1

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T375A.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=yakobus%205:19-20
[5] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=amsal&chapter=27&verse=5
[6] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=efesus&chapter=4&verse=15
[7] https://www.telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[8] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[9] https://www.telaga.org/kategori/pengembangan_diri_0
[10] https://www.telaga.org/kode_kaset/t375a