TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Kekerasan Terhadap Anak 3

Kekerasan Terhadap Anak 3

Kode Kaset: 
T373C
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, kita sudah membahas mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Kalau terkait dengan faktor yang berasal dari anak itu sendiri, itu seperti apa Pak ?

SK : Anak sendiri memang bisa menjadi pemicu bagi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh anak itu. Di antaranya seperti karena keterbatasan fisik anak tersebut. Jadi anak tersebut lahir dalam kondisi kekurangan secara fisik atau mengalami cacat fisik. Dan itu mungkin membangkitkan rasa tidak suka, rasa merendahkan anak itu, ada penolakan terhadap anak itu. Dan itu menjadi sumber tersendiri. Misalnya orang tua merasa kecewa, tidak bangga, bahkan merasa malu misalnya dengan kondisi mata telinga yang tidak utuh, kondisi noktah hitam di wajah atau tangan dan kaki yang tidak sempurna atau bahkan ketika anak mengalami keterbelakangan mental (retardasi mental). Atau mengalami kondisi kebutuhan khusus, misalnya autis ADHD dan kondisi-kondisi khusus lainnya. Ini membangkitkan rasa malu, rasa terbebani, sehingga sedikit-sedikit memicu amarah dan akhirnya orang tua terjerumus kepada perilaku kekerasan terhadap anak.

H : Jadi pemicunya dari anak itu sendiri tetapi akhirnya membuat orang tua bereaksi memberikan kekerasan terhadap anak itu ya, Pak ?

SK : Betul. Memang dalam hal ini faktornya akhirnya juga menjadi faktor orang tua dimana orang tua kurang bisa menerima sang anak. Seandainya orang tua tetap bisa menerima anak itu sebagai hadiah dari Tuhan, menerima itu sebagai karunia dari Tuhan, ada penerimaan yang bahkan boleh dikatakan penerimaan tidak bersyarat, maka sebenarnya orang tua masih bisa menanggulangi dari faktor anak itu. Memang anak itu cacat, kurang sempurna dalam ukuran umum atau mengalami kebutuhan khusus, tapi kalau orang tua bisa mengelola hati perasaannya, konsep dirinya, penghargaan dirinya dengan baik, itu masih bisa diatasi.

H : Terkait dengan akibat kekerasan terhadap anak, seperti apa, Pak ?

SK : Ada beberapa akibat. Yang pertama yang paling mudah dikenali pada umumnya adalah akibat secara fisik. Dalam hal ini anak mengalami luka secara fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, luka sayatan, cacat tubuh secara permanen karena kekerasan bertubi-tubi, hingga kerusakan otak. Dalam hal ini kita perlu menyadari betapa tubuh anak itu sangat ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Kita mengenali tulang anak adalah tulang rawan yang rentan terhadap keretakan. Jadi perlakuan buruk secara fisik, dalam bentuk hajaran, aniaya fisik oleh orang dewasa memang sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam anak dan menimbulkan keretakan dan patah tulang.

H : Sepertinya itu adalah dampak dari perlakuan kategori kekerasan secara fisik ya, Pak ?

SK : Bahkan yang ironis, kasus-kasus kekerasan secara fisik ini beberapa berakhir dengan kematian anak. Sebagaimana saya ingat kasus di tahun 1986-an, muncul ke permukaan ke media nasional yaitu meninggalnya Ari Hanggara karena aniaya kedua orang tuanya, bahkan akhirnya menjadi heboh, gerakan massa memprotes, sampai akhirnya difilmkan menjadi film nasional Ari Hanggara. Dan itu bukan satu-satunya kasus di masa-masa sekarang pun kita bisa membaca dengan mudah, dengan sungguh menyedihkan, kasus bayi/ balita yang sengaja ditenggelamkan di bak mandi oleh ibunya, kasus anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.

H : Kasus-kasus ini yang tragis, Pak. Selain dampak terhadap fisik anak, kami percaya juga ada dampak terhadap emosi anak, ya Pak ?

SK : Betul. Memang inilah yang kadang saya melihat kebanyakan orang tidak menyadari bahwa kekerasan pada anak bisa berakibat pada kerusakan emosional anak. Jadi orang lebih melihat apa yang di depan mata, yaitu fisik. Okelah lukanya sudah sembuh, boroknya sudah pulih kembali, patah tulangnya sudah digips, sudah dipen, sudah normal. Oke itu satu hal. Tetapi luka emosional itu kadang bersifat jangka panjang, merusak sedemikian dalam bahkan nyaris menetap. Ini yang perlu kita perhitungkan.

H : Apakah ini bisa dikategorikan sebagai sebuah trauma, Pak ?

SK : Betul, memang kekerasan pada anak itu menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang dalam hal ini anak. Begitu kerasnya hajaran fisik, apalagi yang berulang-ulang, apalagi dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata yang dikeluarkan oleh orang tua atau si penganiaya, dan begitu kerasnya bentakan yang diterima, itu membuat anak mengalami trauma .

H : Trauma-trauma yang bisa langsung dilihat oleh orang tua itu yang seperti apa, Pak ?

SK : Di antaranya, anak menjadi sulit tidur. Kalau pun bisa tidur tapi mudah terbangun, oleh mimpi-mimpi buruk, menjerit di tengah malam. Apa yang dialami itu begitu merasuk dalam jiwanya. Dan ketika orang sedang tidur, alam bawah sadarnya dalam posisi yang lebih merdeka. Sehingga apa yang terpendam itu keluar menjadi mimi-mimpi buruk bagi sang anak. Kemudian kecemasan dan rasa takut anak bisa menjalar ke tubuhnya menjadi psikosomatis.

H : Apa itu, Pak ?

SK : Psikosomatis adalah keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Jadi karena jiwa yang tertekan itu kemudian mengganggu metabolisme tubuh. Muncul dalam keluhan-keluhan fisik khususnya di bagian anggota tubuh atau organ tubuh yang paling lemah bagi orang tersebut. Contohnya anak bisa mengalami sembelit, susah buang air besar atau sebaliknya anak menjadi sulit menahan buang air, baik mengompol atau bahkan buang air besar. Dan itu bisa bergulir meningkatkan kembali amarah dan kekerasan terhadap anak. Ini seperti sebuah eskalasi peningkatan-peningkatan kekerasan. Karena anak yang memang sudah tidak bisa menerima tindak kekerasan ini. Dalam bentuk yang lain, anak bisa mengalami sakit maag, karena stres yang tinggi membuat asam lambung mudah meningkat sehingga menimbulkan iritasi dan sakit maag. Atau bahkan bisa menyerang fungsi pernafasan. Ada anak-anak tertentu yang mengalami asma, sebenarnya bukan faktor keturunan tapi sebenarnya manifestasi faktor tekanan jiwa yang diterima karena kekerasan yang terjadi pada anak tersebut.

H : Trauma-trauma seperti ini pasti juga akan mempengaruhi pertumbuhan karakternya ya, Pak ?

SK : Betul, memang akhirnya membentuk karakter dan kepribadian anak. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresi, dan mudah frustrasi. Artinya anka cenderung melihat sekitar lebih banyak dari sudut rasa tidak aman, "oversensitive", mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabaran dan mudah terpicu oleh ledakan amarah dan tindakan yang menyerang (reaktif) impulsif, spontan dan tak terkendali. Disini anak tumbuh menjadi pribadi yang minim dengan penguasaan diri.

H : Saya teringat di sesi sebelumnya Bapak menyebutkan peniruan secara alamiah. Apakah ini termasuk kategori itu, Pak ?

SK : Benar, Pak Hendra. Memang orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak secara bertubi-tubi itu menggambarkan pribadi yang tidak sabar, mudah frustrasi dan agresif. Maka anak sebagai korban mengalami proses peniruan model perasaan, pengelolaan diri, khususnya bisa terjadi pada anak laki-laki, menjadi pribadi yang negatif, agresif dan mudah frustrasi. Tidak menutup kemungkinan anak perempuan juga bisa menjadi pribadi yang demikian.

H : Maksudnya, anak laki-laki ini hanya akan meniru perilaku ayahnya yang sejenis kelamin, atau bagaimana Pak ?

SK : Seperti yang Pak Hendra tengarai tadi, saya sejutu bahwa peniruan itu lebih mudah terjadi pada relasi yang sejenis. Anak laki-laki akan meniru ayah, anak perempuan akan lebih meniru ibunya. Jadi peniruan secara gender. Di satu sisi yang lain adalah tentang pembenaran. 'Kan laki-laki lebih dibenarkan untuk mengekspresikan secara agresif. "Anak laki-laki memang begitu kok." Nah, anak perempuan lebih sering dibatasi budaya dan sosial. "Eh, anak perempuan tidak boleh marah-marah begitu. Tidak boleh main pukul !" sehingga pada diri anak perempuan lebih minim, sekalipun juga kita bisa melihat faktor anak perempuan secara alami dia lebih bagus dalam kemampuan verbalnya. Agresifitasnya lebih kepada kata-kata, omelan dan sebagainya. Anak laki-laki karena perkembangan otak laki-laki mengalami keterbatasan secara verbal tapi akhirnya terlampiaskan melalui ekspresi fisik termasuk kekerasan secara fisik. Disinilah proses peniruan diantaranya faktor gender ini menjadi faktor yang memberi sumbangsih.

H : Kalau anak laki-laki akhirnya meniru perilaku agresif ayah, bagaimana dengan anak perempuan yang mendapat kekerasan dari sang ayah ? Dampak seriusnya seperti apa, Pak ?

SK : Pada anak perempuan, khususnya kalau ayah adalah pelaku kekerasan dan ibunya turut menjadi korban kekerasan sang ayah, maka anak perempuan ini bisa tumbuh menjadi gadis yang serba menerima perlakuan laki-laki. Dan anak perempuan ini tumbuh menjadi pribadi yang akhirnya mempercayai sebuah kekeliruan bahwa harkat dan martabatnya itu di bawah laki-laki. Maka ketika kelak dia menikah, tanpa sadar anak perempuan ini tumbuh dewasa dan akan memilih pria yang potensial menjadi pelaku kekerasan sebagai suaminya. Memang ada tindakan yang bersifat instingtif, tindakan naluriah yang tidak dia sadari membuat dia seperti tidak berminat dan bahkan menghindari pria yang baik yang bukan calon pelaku kekerasan. Dia secara naluriah lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang akan menghajar dan menganiaya dia kelak.

H : Kenapa, Pak ?

SK : Ada sebuah proses tercipta sebuah pola pikir seperti benci tapi rindu. Dia terbiasa dalam kondisi yang tidak sehat, kondisi yang disfungsional. Ini mencetak jiwanya. Tanpa sadar. Dia tahu, "Aku tidak suka dengan kekerasan ayahku. Apalagi ibuku jadi korban. Aku sebagai anak juga jadi korban dan melihat 'tayangan langsung' dari hari ke hari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun. Aku tidak suka." Tapi sisi lain, itu menjadi model yang jadi satu-satunya model kehidupan rumah tangga atau kehidupan relasi gender yang seperti itu. Jangan lupa, relasi orang tua itu kuasanya besar daripada anak menonton relasi orang lain yang bukan orang tuanya, apalagi dia hidup satu rumah, jadi gemanya lebih kuat. Ini membentuk alam bawah sadar anak. Seperti ada kode-kode yang tidak nampak, membuat "antenna"nya secara naluriah, dia akan mencari pria yang bakat melakukan kekerasan. Karena dia seperti sebuah mata rantai kekerasan yang tidak bisa dia hentikan, ada kuasa.

H : Jadi dia tidak sadar ?

SK : Tidak sadar ! Jadi kuasa ini bukan dalam arti kuasa okultisme roh atau kerasukan. Kuasa ini adalah pola psikologis, kejiwaan, emosional, sehingga akhirnya ini sungguh menyedihkan, bahwa anak itu akhirnya berpacaran dengan pria yang berpotensi melakukan kekerasan. Mungkin waktu berpacaran dia pernah ditampar, dipukul, dijambak, dijotos sampai babak belur, tapi mungkin tercipta pola pikir di dalam dirinya, "Ah, itu 'kan salahku. Aku yang tidak sabar. Aku yang memaksa cowokku ini 'kan lagi capek, aku yang perlu mengerti. Ini 'kan hanya sesekali. Nanti pasti akan berubah. Apalagi kalau kami menikah, pasti dia akan menjadi pria yang lemah lembut." Jadi dia menciptakan harapan-harapan yang bagaikan pepesan kosong, mimpi di siang bolong.

H : Jangan-jangan cara berpikir seperti itu sudah dia mulai sejak dia kanak-kanak dan dia menjadi korban kekerasan ayahnya.

SK : Ya, karena begini, itu mungkin disumbang oleh ibunya. "Nak, ya itulah yang namanya berumah tangga. Namanya kekerasan, pertengkaran seperti itu lumrah. Nenekmu juga begitu." Itu sebuah doktrin ! Terjadi indoktrinasi terhadap anak perempuan ini. "Oh, rumah tangga itu seperti ini. Laki-laki memang identik dengan kekerasan dan wanita identik dengan korban kekerasan." Jadi membentuk sebuah iman yang tidak sehat dan keliru.

H : Jadi terlihat jelas ada keterkaitan antara perlakuan orang tua pada anak itu membentuk pola bagaimana anak merasa mengembangkan emosi dan tumbuh dalam karakter.

SK : Betul. Pada anak laki-laki yang ayahnya adalah pelaku kekerasan akan tercipta pola sebaliknya. "Oh, laki-laki boleh melakukan kekerasan. Laki-laki itu boleh menampar istrinya. Laki-laki itu boleh menganiaya anaknya. Apalagi anak laki-laki atau anak yang membangkang." Maka ketika dia punya adik perempuan, dia menampar adik perempuannya. Kenapa ? "Papa menampar mama. Ya aku boleh menampar adik. Namanya laki-laki ya pelaku kekerasan. Namanya perempuan ya harus menurut dan tunduk. Kalau tidak menurut tidak tunduk, laki-laki berhak mendisiplin, menegakkan otoritas sekali pun dengan kekerasan fisik".

H : Ini kesesatan berpikirnya anak laki-laki ya, Pak ?

SK : Ya, memang seperti yang Pak Hendra sampaikan, jadi pengasuhan, perlakuan orangtua itu membentuk pola perasaan, pola keyakinan, sekali pun itu keyakinan yang sesat dan keliru. Pola interpretasi atau menafsirkan peristiwa secara sesat dan keliru juga, bahkan membentuk pola atau gambar diri anak. Ini sesuatu yang seringkali kita orang dewasa kurang menyadarinya. Kita menganggap sepele kekerasan terhadap anak. "Ah, itu hanya berdampak fisik!" TIDAK! Ini dampak emosional, psikis, bahkan hidup masa depan anak itu sedang kita gariskan lewat model perlakuan yang kita lakukan ketika anak itu masih kecil.

H : Tadi kita sudah membahas dampak-dampak yang kelihatannya memang termasuk kategori dampak jangka panjang karena berhubungan dengan masa depannya dan sebagainya. Kalau misalnya anak itu langsung mendapat perlakuan kekerasan dari orang tuanya, pada umumnya responsnya saat itu seperti apa, Pak ?

SK : Umumnya anak itu akan lebih menerima. Anak kecil khususnya usia 10 tahun ke bawah, dia melawan malah bisa dipukul atau lebih dianiaya. Akhirnya dia menjadi korban, penonton, yang bersifat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima saja.

H : Tapi 'kan ada anak-anak yang berusaha mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung, Pak ?

SK : Ya, ada anak-anak yang tumbuh terbiasa agresif secara aktif, tapi ada anak yang tumbuh agresif secara pasif. Maksudnya karena anak ini begitu melawan langsung ditebas oleh orang tuanya, maka ada kemarahan yang terserap dalam diri anak. Dia tidak berani mengekspresikannya secara terbuka. Maka anak itu mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung.

H : Secara pasif ?

SK : Ya.

H : Contohnya seperti apa, Pak ?

SK : Misalnya ada istilah dalam bahasa Jawa 'inggih-inggih ning mboten kepanggih' yang artinya mengiyakan tapi tidak mengerjakan. Mungkin sengaja terlambat, "Biar. Aku 'kan sengaja terlambat." "Memang sengaja aku tunda-tunda, sengaja aku buat jelek atau sengaja aku rusak." Jadi dia main belakang. Menjadi pribadi bunglon. Tampil di depan baik, simpatik, bersahabat. Tapi di belakangnya main intrik, bermain licik, menggigit dari belakang. Jadi kalau dikonfrontasi, ditanya, dia tidak akan mau mengakui, sekalipun bukti sudah nyata. Malah itu akan menimbulkan amarah yang semakin besar dan dia siap melakukan sabotase yang lebih besar lagi, bahkan kalau perlu "Ayo mati bersama ! Lebih baik aku kalah kamu kalah juga, daripada kamu menang aku kalah." Memang benar-benar keras hati, keras kepala. Mungkin orang yang agresif pasif ini kalau kenal diluarnya tidak nampak. Nampaknya manis, baik, simpatik. Tapi semakin kenal, barulah kita tahu dan terkena kesulitan-kesulitan berhadapan dengan pribadi yang demikian.

H : Bisa dikatakan seperti air tenang yang menghanyutkan, Pak ?

SK : Bukan hanya menghanyutkan, Pak Hendra, tapi menenggelamkan !

H : Karena keterbatasan waktu apakah ada pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?

SK : Ayat firman Tuhan yang saya bacakan dari Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke laut." Firman Tuhan ini merupakan kutipan langsung dari perkataan Tuhan Yesus, bahwa anak-anak yang datang percaya kepada-Nya, menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, itu benar-benar perlu dijaga dan dilindungi. Yang menyesatkan dan yang mengalihkan anak itu dari iman yang benar, lebih baik dia dihilangkan. Itu kata-kata yang keras karena Tuhan menghargai anak sebagaimana Tuhan menghargai orang dewasa. Saya perluas pengertian teks ini dalam konteks kita ini, perlakuan orang tua, perlakuan orang dewasa itu bisa membawa anak itu semakin mendekat pada pribadi Yesus, mengenal, mempercayai dan mengasihi Yesus. Atau sebaliknya perlakuan kekerasan itu menjauhkan anak dari Tuhan, menjauhkan anak dari hidup yang Tuhan inginkan, menyesatkan anak. Dalam hal ini, kalau kita menjadi orang dewasa atau orang tua yang menyesatkan anak-anak kita dengan perlakuan kekerasan kita terhadap anak, ingat, bukan sekadar anak yang kita hadapi, bukan sekadar hukum negara ini, jauh lebih lagi, Tuhan yang empunya anak-anak kita. Dialah yang menjadi Hakim yang adil, yang minta pertanggungjawaban kita sebagai orang tua ataupun orang dewasa yang telah menganiaya anak yang Tuhan percayakan kepada kita.

H : Di akhir sesi ini, saya tergerak untuk meminta Bapak berdoa bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Mungkin di antara pendengar kita, ada yang pernah mengalami kekerasan di masa kecil dari perilaku orang tuanya, mungkin selama ini tidak paham dengan perilaku kekerasan ini.apa boleh Pak ?

SK : Mari kita berdoa. Bapa yang di Surga, siapakah kami ini ? Sebagian di antara kami adalah pribadi-pribadi yang tumbuh tanpa disadari telah menjadi korban kekerasan dari orang tua kami, korban kekerasan dari orang-orang dewasa yang seharusnya mengasihi, melindungi, dan mengarahkan kami. Maka dalam nama Yesus, kami minta jamahan Tuhan, menolong di tengah keterlukaan dan pengalaman buruk yang pernah kami alami ini. Supaya kami tidak mendiamkannya tetapi mengijinkan memprosesnya bersama dengan Tuhan, rekan-rekan hamba Tuhan, atau bersama konselor yang Tuhan perlengkapi, supaya sampah muatan negatif yang kami serap tidak tinggal diam dalam diri kami. Tetapi lewat proses yang sehat, kami bisa mengakui kepada Tuhan dan sesama kami, dan kami bisa serahkan kepada Tuhan untuk Tuhan cabut dan Tuhan hadirkan kasih-Mu, damai-Mu, pemulihan-Mu, dan penyembuhan-Mu dalam diri kami. Hamba-Mu juga berdoa bagi anak-anak yang ada di bebagai rumah tangga di negeri ini, termasuk rumah tangga Kristen, anak-anak-Mu yang menjadi korban kekerasan. Mari di dalam nama Yesus, jadilah pembela bagi anak-anak yang sedang disesatkan ini ya, Bapa. Orang tua-orang tua dan orang-orang dewasa pelaku kekerasan, di dalam nama Yesus Tuhan bekerja mendatangkan pengakuan bersalah, mendatangkan penyesalan, mendatangkan tekad untuk mau ditolong, dan menjalani proses pertobatan. Selamatkanlah anak-anak-Mu, Bapa, di sudut-sudut rumah, di sudut-sudut sekolah, di sudut-sudut ruangan, atau pun di luar ruangan, yang menjadi korban kekerasan, belalah mereka ya, Bapa. Selamatkan jiwa mereka, selamatkan hidup mereka. Dan jadikan kami orang-orang dewasa yang peka terhadap situasi ini, mau menjadi penolong dan penyelamat bagi anak-anak kami dan sekitar kami yang telah menjadi korban. Berkati kami, bawakan damai sejahtera-Mu bagi anak-anak kami, anak-anak Indonesia. Di dalam nama Tuhan Yesus, amin !

H : Terima kasih Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2]. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Satu sisi kita juga perlu menyadari benar: Jumlah anak di Indonesia sangat besar, sekitar 34 % atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.

Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik terhadap Anak

  2. Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
  3. Kekerasan secara Psikis terhadap Anak

  4. Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
  5. Kekerasan secara Seksual terhadap Anak

  6. Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
  7. Kekerasan secara Sosial terhadap Anak

  8. Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
Amsal 16:29 [4],"Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik" Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak, ada 3 faktor yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor Orangtua dan Keluarga

    1. Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.

    2. 30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
    3. Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.

    4. Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
    5. Pecandu minuman keras dan obat-obatan.

    6. Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
    7. Gangguan jiwa

    8. Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
    9. Asumsi orang tua keliru tentang anak

    10. Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
    11. Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak

    12. Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
    13. Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat

    14. Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
    15. Stres lain:

    16. akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.

  2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas

    1. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.

    2. Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
    3. Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.

    4. Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
    5. Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.

    6. Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
    7. Status wanita yang dipandang rendah.

    8. Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15 [5], "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.

  3. Faktor Anak itu Sendiri

  4. Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
    Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.

    Akibat Kekerasan terhadap Anak
    1. Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.

    2. Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
    3. Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.

    4. Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.

    Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.

    Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.

    Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.

    Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.

    Matius 18:6 [6], "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.

    Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

    Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.

    Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.

    Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.

    Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.

Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.

Berkenaan diri sendiri, misalnya :

  • Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
  • Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
  • Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
  • Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
Berkenaan orang lain:
  • Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
  • Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.

Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.

Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efesus 6:4, [7] "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".

Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak. Solusi kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
  2. Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.

Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.

Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.

Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.

Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.

Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.

Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.

Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.

Matius 25:21 [8], "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".

Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.

Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [9]
Audio [10]
Orangtua-Anak [11]
T373C [12]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/kekerasan_terhadap_anak_3

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T373C.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=amsal&chapter=16&verse=29
[5] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=matius%2019:13-15
[6] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=matius&chapter=18&verse=6
[7] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=efesus%206:4
[8] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=matius&chapter=25&verse=21
[9] https://www.telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[10] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[11] https://www.telaga.org/kategori/orangtua_anak0
[12] https://www.telaga.org/kode_kaset/t373c