TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Kekerasan Terhadap Anak 2

Kekerasan Terhadap Anak 2

Kode Kaset: 
T373B
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, melanjutkan percakapan kita sebelumnya, apa faktor penyebab kekerasan terhadap anak ?

SK : Ada tiga faktor yang menimbulkan kekerasan terhadap anak. Yang pertama, faktor dari orang tua dan keluarga. Yang kedua yaitu faktor lingkungan sosial atau komunitas. Yang ketiga, faktor dari anak itu sendiri.

H : Jadi kalau faktor pertama yang berkaitan dengan orang tua dan keluarga, penjabarannya seperti apa, Pak ?

SK : Yang pertama, ketika orang tua tumbuh dengan kekerasan dimana terjadi pewarisan kekerasan antar generasi. Jadi orang tuanya juga merupakan korban dari kekerasan orang tua di waktu kecil. Karena dia tumbuh sebagai anak korban kekerasan maka menciptakan sebuah potensi bagi dirinya, ketika menjadi orang tua bagi anak-anaknya, diapun akan melakukan proses peniruan, proses pengulangan dari kekerasan yang dulu dia terima, sekarang dialah yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.

H : Yang tadinya dia korban, sekarang menjadi pelaku.

SK : Benar. Jadi bagi anak-anak yang tumbuh dalam pola kekerasan orang tuanya dan kemudian dia meyakini bahwa cara kekerasan itu adalah cara yang terbaik, maka dia akan punya potensi yang lebih besar untuk menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anaknya. Apalagi misalnya pola tersebut akhirnya membentuk semacam iman atau keyakinan, "Kalau aku dulu diperlakukan dengan keras, itu ternyata baik. Kekerasan terhadap anak adalah kunci untuk menghasilkan anak yang sukses !" Jadi karena dia yakin suksesnya hari ini di masa dewasa karena perlakuan keras dari orang tuanya di masa kecilnya, maka itu membentuk iman keyakinan, dan dia akan ulangi pola asuh itu kepada anaknya sendiri dan memang, data survei membuktikan bahwa 30% dari anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya. Jadi ada 30 %, angka yang memang tidak terlalu besar, tapi lumayan. Kurang lebih kurang dari sepertiga anak korban kekerasan, dia akan menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadpa anaknya. Sementara yang 70%, mereka mungkin tidak melakukan pengulangan kekerasan itu karena dia mendapati bahwa kekerasan yang dulu dia terima itu tidak baik dan menimbulkan dampak yang buruk bagi dirinya. Maka ketika dia menjadi orang tua, dia pun menghentikan pola kekerasan yang dulu dilakukan oleh generasi di atasnya.

H : Artinya bukan mustahil iman keyakinan ini bisa dikoreksi. Tujuh puluh persen itu berhasil dikoreksi, begitu ?

SK : Ya. Malah bukan hanya dikoreksi malah tidak membentuk iman keyakinan itu. Dia malah membentuk keyakinan yang lain, "Karena aku diperlakukan dengan keras, baik secara fisik dan psikis atau dalam bentuk yang lain, itu ternyata berdampak buruk bagi diriku." Jadi dia muncul keyakinan, kekerasan terhadap anak adalah kunci menghasilkan anak-anak yang terhambat sehingga dia pun tidak mau melakukan kekerasan atau berusaha mencari cara supaya kekerasan itu tidak muncul dari dirinya terhadap anak-anaknya.

H : Selain faktor pewarisan antar generasi, faktor apa lagi yang bisa melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap anak ?

SK : Faktor orang tua dan keluarga ini bisa berupa dimana sang orang tua sebenarnya belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial untuk memiliki anak, khususnya ketika orang tua menikah dini atau sudah mempunyai anak sebelum mereka berusia 20 tahun. Memang menikah itu membagi hidup. Berarti dia sendiri butuh mempunyai diri yang memang sudah cukup mantap untuk kemudian dibagikan kepada pasangannya. Bahkan dibagi juga kepada anaknya ketika sudah anak bayi. Jadi dia membagi hidupnya dengan dua orang. Jadi itu membutuhkan kematangan fisik dan terutama emosi dan sosial, sehingga dia menjadi orang tua yang siap dan tidak melakukan kekerasan terhadap pasangannya terlebih kepada anaknya.

H : Sesungguhnya pada usia sebelum 20 tahun itu, fase perkembangan fisik, emosi, dan sosial seperti apa yang sedang dialami oleh pasangan yang sudah memutuskan melakukan pernikahan dini sehingga mereka tidak berfungsi sebagaimana seharusnya orang tua yang sudah matang.

SK : Kalau menikah di usia 18 tahun memang secara fisik sudah memadai. Tapi kalau menikah di usia 15 tahun, memang secara fisik belum matang. Dia sedang memasuki masa pubertas. Bahkan ketika seorang wanita melahirkan di usia belasan tahun, di bawah 18 tahun, itu sebenarnya mempengaruhi kualitas sang ibu dan kualitas sang janin. Itu membahayakan secara perkembangan fisiknya. Tetapi kalaupun menikah di usia 17-18 tahun, fisiknya sudah oke, sudah melewati masa pubertas, khususnya bagi wanita. Tetapi secara psikis belum siap. Masih ingin main-main, ingin kumpul dengan teman sebaya, pelesir kesana kemari, enggan bekerja, bekerja pun untuk senang-senang bukan untuk menafkahi. Sementara sudah ada bayi atau anak. Akhirnya sang ibu muda atau ayah muda itu lebih memberikan sebuah persepsi bahwa anak adalah beban atau kutuk bukan berkat. Anak bukan lagi kado atau hadiah tapi anak menjadi sesuatu yang merugikan dirinya, merebut kebahagiaannya sebagai orang muda sehingga dia lampiaskan kemarahan kepada anaknya dalam bentuk tindak kekerasan ataupun dalam bentuk mengabaikan menelantarkan sang anaknya yang masih balita. Itu karena belum siap secara psikis, emosional, mental, dan sosial untuk mengasuh anak.

H : Selain 2 poin ini, poin apalagi yang berkaitan dengan faktor orang tua atau keluarga, Pak ?

SK : yang menjadi faktor kekerasan kepada anak yaitu ketika orang tua adalah pecandu minuman keras atau obat-obatan. Memang orang yang suka minum minuman keras atau beralkohol atau obat-obatan terlarang yang tergabung dalam kelompok psikotropika, itu justru memperbesar ketertekanan jiwa dan merangsang perilaku kekerasan bagi orang tua tersebut yang adalah pecandu. Dalam hal ini, semakin orang mengalami keterikatan dengan minuman keras dan obat-obatan psikotropika itu emosinya labil dan kata-kata serta tindakannya tidak terkendali. Dirinya saja tidak bisa dia urus dengan baik, apalagi harus mengurus pasangannya, apalagi mengurus anaknya yang masih kecil belum bisa mandiri dan butuh banyak perhatian dan bantuan. Malahan sang anak yang masih kecil itu dan pasangannya kemudian dieksploitasi oleh kecanduannya.

H : Saya rasa hal ini tidak hanya terjadi untuk para pecandu untuk orang tua yang mengalami gangguan jiwa atau mental juga bisa begitu, Pak ?

SK : Orang tua yang punya gangguan jiwa juga berpotensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan secara psikis dan fisik kepada anaknya. Misalnya orang tuanya mengalami gangguan depresif secara klinis. Murung terus, berputus asa dan anak hidup dengan orang tua yang demikian, itu berarti orang tuanya mengabaikan anak. Orang tua akan menangis terus dan anak akan tercekam dengan emosi negatif tersebut karena hidup bersama orang yang berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun hidup dengan emosi yang negatif terus. Akhirnya anak menyerap dan meniru pola yang demikian dan anak mengalami kekerasan secara psikis. Atau dalam bentuk lain ada gangguan bipolar, manik depresif, ada saatnya begitu sedih, putus asa, lunglai, lemas, tidak berdaya, tapi dalam beberapa saat kemudian mengalami kondisi euphoria, senang-senang, jingkrak-jingkrak, bicaranya seperti kereta api yang tidak berhenti, bahkan kata-katanya begitu menyakitkan karena terstimulasi dengan kemarahan yang meledak-ledak tapi tiba-tiba muncul kesedihan. Anak bingung. Itu kekerasan secara psikis. Atau dalam kondisi manik, anak dipukul, orang tua tidak sabar, terjadilah kekerasan secara fisik. Demikian juga kalau terjadi gangguan skizofrenia atau halusinasi, orang tua mengalami kondisi gangguan yang berkaitan dengan obsesif kompulsif, paranoid, curiga tanpa alasan, anak dalam kondisi yang tidak sehat dan minimal menjadi korban kekerasan secara psikis. Yang kedua bisa juga kekerasan secara fisik.

H : Mengerikan sekali kalau menjadi anak dari orang tua yang mengalami gangguan seperti itu. Padahal orang tua itu mungkin tidak menyadari keadaannya bahwa mereka sedang mengalami gangguan dan membutuhkan pertolongan.

SK : Ya. Bisa jadi tidak menyadarinya. Tapi ada kalanya beberapa orang tua menyadari. Memang ada berbagai jenis gangguan jiwa. Ada gangguan yang benar-benar dikategorikan sebagai psikotik atau terputus dari alam kenyataan atau alam realitas, tapi ada juga ganguan yang bukan psikotik dan pada saat-saat tertentu dia masih bisa berpikir dan masih bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya.

H : Contohnya ?

SK : Ya itu tadi. Gangguan psikotis juga bukan berarti semuanya putus kontak dengan realitas. Tapi saat-saat tertentu dia bisa tampil stabil dan dia bisa melihat anak, bisa berlaku baik dan normal. Gangguan manik depresif itu juga tidak selalu kondisinya labil terus. Ada fase tertentu kondisinya seperti orang normal dan stabil. Tapi hanya di saat-saat tertentu. Semakin berat gangguan jiwanya, tentunya saat-saat normalnya itu semakin pendek.

H : Itu masalah atau faktor yang terkait dengan keadaan orang tua atau pengasuh. Apakah ada kemungkinan misalnya orang tuanya dalam keadaan baik tapi dia mempunyai asumsi yang keliru tentang anak ?

SK : Bisa. Jadi bisa ada kemungkinan orang tua berpikir bahwa anak seharusnya memberi dukungan kepada orang tua yang bekerja untuk anak-anak. Anak semestinya mengerti orang tua dan memberi perhatian kepada orang tuanya. Tetapi kemudian ketika orang tua mendapati anaknya tidak memberi perhatian dan dukungan kepadanya, maka bangkitlah kemarahan dan kejengkelan orang tua kemudian melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis. Jadi ada pembalikan peran. Asumsi keliru terhadap anak memang memberi sumbangsih untuk terjadinya kekerasan terhadap anak.

H : Asumsi yang keliru ini juga bisa diikuti dengan ketidakmengertian tentang kebutuhan perkembangan anak, ya Pak ?

SK : Ya. Memang dalam bentuk yang lain, ketika orang tua tidak memahami kebutuhan perkembangan anak, maka orang tua salah mengira, akhirnya salah perlakuan. Misalnya, saya miris dengan fenomena anak yang sudah ikut Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau ikut Taman Kanak-Kanak. Tren sekarang ini anak balita dipaksa harus sudah bisa membaca, menulis bahkan menghitung. Sementara gurunya sendiri itu mengajar untuk kelas yang berisi 40an anak balita jadi dia tidak bisa memberi bantuan secara optimal. Dan dia melakukannya dengan cara yang sifatnya instruksional, serba memberi perintah, seperti kalau dia mengajar anak SD. Tapi ini 'kan anak TK atau PAUD. Maka mereka memberi tugas kepada orang tua, anak harus bisa baca, bisa nulis, bisa berhitung, kalau tidak, tidak boleh naik kelas. Orang tua frustrasi. Akhirnya memaksa anak harus bisa dan harus belajar, sedangkan anak maunya bermain. Anak dipaksa, dipukul, dihajar, dimarahi, dikunci di kamar, saking jengkelnya. Kalau orang tua mengerti tahap perkembangan anak, orang tua akan memaklumi bahwa memang belum waktunya bagi anak untuk hal itu. Kalaupun belajar, harus belajar dengan cara yang menyenangkan. Jadi tidak perlu dipaksa, ada cara-cara yang kreatif. Memang pemahaman tentang tahap perkembangan anak, tentang tipe perkembangan anak, apa kebutuhan anak, itu penting supaya orang tua lebih terjauhkan dari kekerasan terhadap anak.

H : Selain itu, faktor apalagi, Pak ?

SK : Tentang kualitas relasi pernikahan. Kalau orang tua memiliki relasi pernikahan yang buruk atau kurang memuaskan, anak akan bisa menjadi korban kekerasan. Misalnya sang istri merasa marah kepada suami yang meninggalkan dia bahkan berselingkuh dengan wanita lain. Misalkan satu-satunya anak laki-lakinya berwajah mirip dengan suaminya. Karena dia tidak bisa marah kepada suaminya yang tidak ada di rumah, akhirnya anak laki-laki itu dijadikan pelampiasan amarah. Jadi kualitas pernikahan itu bisa mempengaruhi apakah bisa terjadi tindak kekerasan atau tidak. Sebaliknya, struktur keluarga yang sehat akan memberi sumbangsih minimnya tindak kekerasan terhadap anak. Keluarga yang kurang sehat misalnya orang tua tunggal, membesarkan anak sendirian tanpa pasangan. Tekanan dalam membesarkan anak yang semestinya dibagi berdua antara suami dan istri, jadinya ditanggung seorang diri. Ini membuat sang ayah atau ibu itu mengalami kondisi tertekan akhirnya anaklah yang jadi tempat pelampiasan rasa lelah dan frustrasinya dengan kata-kata bahkan tindakan fisik yang sebenarnya sudah merupakan tindak kekerasan terhadap anak.

H : Tekanan ini tidak hanya karena faktor kualitas relasi tapi bisa juga karena faktor lain ?

SK : Betul. Misalnya tekanan ekonomi. Kelahiran bayi yang baru sementara anak yang lain masih kecil-kecil. Ada keluarga yang masuk Rumah Sakit dengan penyakit menahun dan butuh biaya yang tinggi. Mengalami musibah mendadak seperti kecelakaan. Atau masuk penjara karena masalah pidana atau kasus kriminal. Kondisi stres mendadak itu 'kan hantaman yang begitu besar karena dia tidak bisa menanggulangi, sementara anak membutuhkan perhatian, akhirnya anak diabaikan selama berhari-hari atau berminggu-minggu, anak juga bisa menjadi sasaran pelampiasan kekesalan berupa fisik maupun psikis. Jadi betul. Sumber tekanan lain bisa turut bersumbangsih dimana orang tua melakukan kekerasan terhadap anak.

H : Selain faktor orang tua atau faktor keluarga, faktor lingkungan sosial atau komunitas itu seperti apa, Pak ?

SK : Jadi dalam hal ini ada segi tentang faktor kemiskinan dalam masyarakat, itu bisa bersumbangsih bagi timbulnya kekerasan terhadap anak. Ketika kondisi masyarakat itu miskin, maka keluarga-keluarga dalam masyarakat tersebut akan lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan materi semata. Sebab itu kebutuhan pokok, sehingga kebutuhan psikis dan emosi sang anak diabaikan. Atau mungkin juga karena kondisi miskin itu, kebutuhan fisik pun susah terpenuhi. Kebutuhan pangan dan kesehatan, sehingga anak mengalami penelantaran dan itu juga bagian dari kekerasan terhadap anak. Atau misalnya kondisi kemiskinan itu menyebabkan orang tua dan anak hanya tinggal dalam satu kamar yang sama. Itu 'kan kurang sehat. Anak melihat relasi orang tua misalnya ketika orang tuanya melakukan kontak seksual. Hubungan seksual yang sebenarnya sehat karena dilakukan oleh suami dan istri, tapi karena dilakukan dalam kamar yang sama dengan anak, tanpa disadari orang tua, anak bisa melihat. Paparan tersebut juga termasuk bentuk kekerasan seksual bagi sang anak. Termasuk ketika ada beberapa kamar tapi dalam satu rumah itu tinggal sebuah keluarga besar dan banyak anggotanya. Kondisi rumah yang kurang sehat atau kurang proposional ini menimbulkan ketertekanan tersendiri secara psikis dan itu membuat orang-orang dewasa di dalamnya berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak yang ada di dalam rumah tersebut. Bicara tentang kemiskinan ini, itu bukan hanya untuk orang miskin, tapi sejalan dengan faktor materi, ketika keluarga yang tidak miskin tapi memiliki penekanan yang kuat pada hal materialistik. "Sukses itu harus kaya raya. Sukses itu merupakan pengejaran, punya ini dan punya itu." Akibatnya karena pengejaran materi yang tidak ada hentinya, akhirnya kebutuhan anak secara psikis juga diabaikan oleh orang tuanya. Sebenarnya itu juga kekerasan terhadap anak yang bukan hanya terjadi pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, tapi juga bisa terjadi pada keluarga yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi.

H : Itu akhirnya membuat pola pikir masyarakat tersebut hanya menitikberatkan pada nilai materialistik sehingga anak-anak juga diberdayakan untuk bekerja ?

SK : Kekerasan secara sosial terhadap anak. Ini pada anak-anak dari keluarga yang miskin, anak-anak yang belum dalam usia kerja, misalnya usia 7-8 tahun, dipekerjakan. Padahal mestinya menurut Undang-Undang Negara kita, bekerja itu minimal untuk usia 13 tahun. Itu pun bekerja hanya untuk 3 jam. Ternyata anak usia 7-8 tahun dipekerjakan jadi pengemis, jadi anak jalanan, pekerja di sektor informal selama 7-8 jam, disini terjadi kekerasan secara sosial.

H : Selain masalah kemiskinan, masalah apa lagi yang dapat menjadi faktor penyebab dalam lingkungan sosial atau komunitas ini ?

SK : Yaitu tentang keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri. itu bersumbangsih kepada timbulnya kekerasan terhadap anak. Ketika anak dipandang sebagai milik orang tua sendiri, sepertinya sebuah pembenaran kalau anak diperlakukan sesuka orang tua. Orang-orang sekitar akan merasa sungkan beritndak ketika mendapati anak mengalami kekerasan dari orang tuanya sendiri. Orang-orang sekitar akan berpikir, "Itu 'kan orang tuanya sendiri, nanti kalau kita bicara ke orang tuanya tentang tindak kekerasan itu, jangan-jangan kita dianggap bersalah karena mencampuri urusan keluarga orang lain."

H : Jadi ini pemahaman masyarakat yang keliru ya, Pak, bahwa masalah orang tua dan anak adalah masalah mereka sendiri, orang luar jangan ikut campur, Pak ?

SK : Sebenarnya memang berpikirnya anak itu bukan milik orang tua sendiri, tapi anak adalah milik kita bersama.

H : Dalam arti kita juga memperhatikan. Kita tidak boleh lepas tangan kalau melihat ada yang tidak beres tentang anak itu.

SK : Ya. Jadi kita pun melihat anak itu sebagai pribadi yang perlu dihormati, dilindungi, bukan hanya oleh orang tuanya sendiri tetapi oleh orang lain juga termasuk dalam hal ini orang lain perlu menjaga supaya anak-anak orang yang lain pun diperlakukan dengan baik sekalipun oleh orang tuanya, maka orang yang lain pun perlu menjaga supaya orangtuanya tidak berlaku semena-mena terhadap anaknya. Karena ini juga telah diatur oleh Undang-Undang negara kita, Undang-Undang perlindungan anak.

H : Selain keyakinan yang keliru masyarakat tentang anak, bisa jadi masyarakat sekarang ini cenderung individualistik. Mereka tidak terlalu mau ikut campur. Jadi bukan salah persepsi, tapi karena budayanya sudah individual. Bagaimana menurut Bapak ?

SK : Kondisi sekarang ini sejalan dengan globalisasi, perkembangan kota yang semakin padat dan desa juga menjadi kota, akhirnya kehidupan masyarakat kita bagaikan seperti pulau-pulau pribadi secara sosial yang tumbuh diantara keluarga-keluarga dalam masyarakat kita. Ada keterpisahan. "Loe loe, gua, gua" (Kamu kamu, aku aku). Kita kira jargon itu hanya untuk orang Jakarta, ternyata tidak. Di berbagai kota-kota lain di pulau lain itu sudah mulai menggejala jargon atau motto seperti itu. Kita tidak perlu sibuk dengan urusan orang lain, sibuklah dengan urusan sendiri, buat apa mengurus orang lain. Tetapi sebenarnya memang kalau kita masih bisa mengembangkan nilai masyarakat yang komunal, yang saling peduli satu sama lain, sebenarnya ini akan meminimalkan kekerasan terhadap anak. Karena selagi tanggung jawab perawatan dan pengasuhan anak menjadi tanggung jawab bersama, menjadi tanggung jawab masyarakat. Kalau itu terjadi, maka tetangga, kerabat, teman-teman, bisa membantu saat orang tua mengalami hambatan dalam mengasuh anak. Karena semangatnya semangat gotong royong, semangat komunal, maka yang terjadi saat orang tua mengalami hambatan dan tak berdaya, orang-orang lain bersedia turut serta sepenanggungan membantu pengasuhan sang anak tersebut, paling tidak sampai orang tua itu sudah dapat memadai mengasuh anaknya sendiri. Nilai masyarakat yang individualistik ini memang sebuah pertanda buruk untuk semakin suburnya perlakuan kekerasan terhadap anak-anak kita.

H : Khususnya dalam bentuk pengabaian ? Karena individualistik, jadi diabaikan, dan tidak mau peduli kepada anak-anak yang lain.

SK : Ya, pembiaran tindak kekerasan orang tua terhadap anaknya oleh masyarakat di sekitarnya karena nilai-nilai yang terlalu individualistik itu.

H : Kalau masalah perbedaan gender dalam masyarakat apakah bisa menjadi pengaruh juga, Pak ?

SK : Ya, memang status wanita sampai sekarang pada umumnya masih dipandang rendah. Akibatnya anak perempuan menjadi lebih rentan dan rawan menjadi sasaran kekerasan. Secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Anak perempuan seringkali menjadi korban terutama dari orang tuanya sendiri atau mungkin dari keluarga besarnya, karena dianggap, "Ah, anak perempuan. Toh nanti kembali ke dapur. Sudahlah tidak usah sekolah tinggi-tinggi, disuruh kerja saja." Anak perempuan dibatasi kesempatannya untuk berkembang dan belajar ini dan itu. Atau dia diperlakukan dengan buruk secara seksual karena dipandang menggoda secara seksual. Kalau pun anak menjadi korban kekerasan seksual, bisa jadi orang tua menyalahkan anak, "Kamu sendiri yang genit ! Kamu yang tidak bisa menempatkan diri dalam berpakaian dan berperilaku, sehingga menggoda laki-laki." Sudah jatuh tertimpa tangga ! Itu karena perempuan dipandang lebih rendah sehingga hal ini semakin menyuburkan kekerasan terhadap anak khususnya terhadap anak perempuan.

H : Karena keterbatasan waktu, kita akan lanjutkan perbincangan kita di sesi mendatang. Apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?

SK : Saya bacakan dalam Matius 19:13-15 [2], "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ." Cerita nyata yang terjadi dalam kehidupan Tuhan Yesus ternyata memperlihatkan betapa Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak. Anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga dan perlu dihormati oleh orang-orang dewasa sebagaimana orang dewasa juga dihormati oleh orang dewasa lainnya. Marilah kita menjadi orang-orang yang menghormati anak-anak kita dan anak-anak orang lain sebagaimana Yesus menghormati anak-anak. Dengan demikian, kalau kita punya rasa hormat yang baik yang tinggi, kita pun akan memperlakukan mereka secara terhormat, bukan memperlakukan anak-anak kita dan anak-anak pada umumnya secara buruk.

H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [3]. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [4]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Satusisikitajugaperlumenyadaribenar: Jumlahanak di Indonesiasangatbesar, sekitar 34 %atausepertigadarijumlahpenduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.

Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik terhadap Anak

  2. Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
  3. Kekerasan secara Psikis terhadap Anak

  4. Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
  5. Kekerasan secara Seksual terhadap Anak

  6. Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
  7. Kekerasan secara Sosial terhadap Anak

  8. Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
Amsal 16:29 [5],"Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik" Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak, ada 3 faktor yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor Orangtua dan Keluarga

    1. Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.

    2. 30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
    3. Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.

    4. Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
    5. Pecandu minuman keras dan obat-obatan.

    6. Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
    7. Gangguan jiwa

    8. Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
    9. Asumsi orang tua keliru tentang anak

    10. Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
    11. Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak

    12. Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
    13. Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat

    14. Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
    15. Stres lain:

    16. akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.

  2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas

    1. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.

    2. Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
    3. Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.

    4. Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
    5. Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.

    6. Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
    7. Status wanita yang dipandang rendah.

    8. Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15 [2], "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.

  3. Faktor Anak itu Sendiri

  4. Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
    Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.

    Akibat Kekerasan terhadap Anak
    1. Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.

    2. Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
    3. Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.

    4. Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.

    Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.

    Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.

    Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.

    Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.

    Matius 18:6 [6], "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.

    Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

    Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.

    Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.

    Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.

    Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.

Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.

Berkenaan diri sendiri, misalnya :

  • Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
  • Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
  • Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
  • Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
Berkenaan orang lain:
  • Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
  • Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.

Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.

Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efesus 6:4, [7] "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".

Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak. Solusi kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
  2. Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.

Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.

Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.

Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.

Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.

Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.

Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.

Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.

Matius 25:21 [8], "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".

Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.

Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [9]
Audio [10]
Orangtua-Anak [11]
T373B [12]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/kekerasan_terhadap_anak_2

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T373B.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=matius%2019:13-15
[3] mailto:telaga@telaga.org
[4] http://www.telaga.org
[5] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=amsal&chapter=16&verse=29
[6] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=matius&chapter=18&verse=6
[7] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=efesus%206:4
[8] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=matius&chapter=25&verse=21
[9] https://www.telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[10] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[11] https://www.telaga.org/kategori/orangtua_anak0
[12] https://www.telaga.org/kode_kaset/t373b